Gangguan Hutan Evaluasi perubahan kelas hutan produktif tegakan jati di bagian hutan gombong selatan KPH kedu selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

dipertahankan lagi, karena sudah tidak memungkinkan lagi luasan tersebut dipanen di umur masak tebang, oleh karena itu dilakukanlah peningkatan penanaman khususnya rehabilitasi tanah kosong secara intensif. Komposisi tegakan kelas umur dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu KU muda KU I-II, KU tua KU III, dan KU masak tebang KU IV keatas. Untuk mengetahui besarnya total luas hutan produktif dan penyebaran komposisi tegakan jati dalam setiap kisaran kelas umur dan pada setiap jangka perusahaan, diperlukan data hasil rekapitulasi hutan produktif yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Rekapitulasi hutan produktif BH Gombong Selatan KU 1964-1973 Persen 1974-1983 Persen 1984-1993 Persen KU I-II 1140,6 60,62 1268,1 63,28 1249,6 61,30 KU III 358,6 19,06 377,6 18,84 393,7 19,31 KU IV up 382,4 20,32 358,1 17,87 395,2 19,39 Total 1881,6 100 2003,8 100 2038,5 100 Tabel 6 Lanjutan KU 1994-2003 Persen 2004-2013 Persen KU I-II 1141,4 67,11 1956,4 87,99 KU III 294,2 17,3 101,9 4,58 KU IV up 265,1 15,59 164,9 7,42 Total 1700,7 100 2223,2 100 Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa tegakan jati kelas umur muda di bawah 20 tahun memiliki luas yang dominan dibanding kelas umur di atas 20 tahun. Pada jangka 2004-2013 terlihat jelas tegakan jati muda sangat mendominasi yaitu mencapai 87,99 sedangkan komposisi tegakan KU tua dan masak tebang masing-masing kurang dari 10 . Melihat penyebaran komposisi tegakan jati tersebut pihak KPH Kedu Selatan perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap keadaan tegakan jati baik kelas umur muda, tua dan masak tebang serta adanya upaya dalam menangani faktor-faktor terjadinya gangguan hutan yang mengakibatkan komposisi tegakan jati terganggu, jika tidak ada upaya dan perhatian maka dikhawatirkan pada masa mendatang potensi kelas umur tua dan masak tebang akan habis.

5.3 Gangguan Hutan

Perubahan luas kawasan hutan di Bagian Hutan Gombong Selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor pencurian kayu, kebakaran hutan, bencana alam, pengembalaan, dan bibrikan. Pencurian kayu terbesar terjadi pada periode tahun 1998-2002 dengan jumlah tunggak 1.570 pohon dengan jumlah kerugian Rp 45.172.965.000,-. Pada periode tahun 1998-2002 telah terjadi dinamika sosial yang memunculkan era reformasi sehingga menimbulkan dampak terjadinya pencurian kayu secara besar-besaran di wilayah KPH Kedu Selatan. Setelah tahun 2002, pencurian kayu mulai berkurang secara kuantitas namun masih terus terjadi hingga sekarang, bahkan mengalami kenaikan kembali pada tahun 2007 yaitu dari 84 tunggak pohon pada tahun 2006 menjadi 229 tunggak pohon pada tahun 2007. Untuk tahun 2008 tercatat 300 tunggak pohon dan pada tahun 2009 sebanyak 189 tunggak pohon. Berdasarkan 5 jangka perusahaan dimulai dari tahun 1964 hingga kini tercatat bahwa pencurian sudah terjadi pada tahun 1970, namun masih dalam skala yang kecil dan terus meningkat setiap jangka perusahaan hingga memuncak pada era reformasi. Sebagai akibat munculnya krisis multi dimensional pada tahun 1997, antara lain krisis moneter, krisis kepercayaan diikuti dengan pergantian kepemimpinan nasional yang relatif cepat. Pergantian kepemimpinan yang relatif cepat mengakibatkan munculnya tuntutan dari berbagai pihak kepada pemerintah untuk meninjau kembali pola-pola pembangunan maka Perum Perhutani sebagai BUMN segera menyikapi dengan melakukan perubahan dalam manajemen secara total. Manajemen awal yang dipakai Perum Perhutani yaitu dengan menggunakan paradigma pengelolaan hutan timber management diubah menjadi forest resources management. Besarnya kerugian akibat pencurian kayu dapat dihitung berdasarkan panjang dan diameter kayu yang hilang atau dicuri bukan berdasarkan banyaknya tunggak yang hilang. Jumlah tunggak yang sedikit dapat memiliki kerugian yang besar jika tunggak tersebut memiliki diameter dan panjang yang besar begitu pun sebaliknya jumlah tunggak yang banyak dapat memiliki kerugian yang sedikit karena memiliki diameter dan panjang yang kecil sehingga menghasilkan volume yang kecil pula. Hilangnya pohon-pohon tersebut tentu saja mempengaruhi volume tebangan yang telah direncanakan dan menambah areal yang kosong. Gangguan hutan berupa pencurian kayu ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah dan kepadatan penduduk yang semakin tinggi dengan lapangan pekerjaan yang sempit. Pihak perusahaan mengupayakan adanya usaha pengamanan hutan bersama instansi lain Muspika dan Muspida yang lebih ditingkatkan. Pihak KPH Kedu Selatan perlu juga memikirkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kayu bakar seperti penanaman jenis johar dan turi pada bidang tanaman. Upaya lainnya yaitu melalui PHBM pengamanan hutan yang ditawarkan kepada LMDH untuk mengamankan tegakan hutan sampai dengan akhir daur secara bagi hasil maksimum 25 berdasarka SK. Dir No. 001kptsDIR2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang pedoman barbagi hasil hutan kayu. Selain gangguan hutan berupa pencurian kayu, kebakaran hutan juga berpengaruh pada potensi tegakan jati. Kebakaran terbesar terjadi pada tahun 2002 seluas 743 ha kerugian mencapai Rp 809.045.000,-. Kerugian akibat kebakaran hutan dilihat berdasarkan banyaknya pohon yang terbakar dan pohon yang mati. Besarnya kerusakan yang terjadi tentu saja menyebabkan perubahan kelas hutan dari kelas hutan produktif menjadi kelas hutan tidak produktif yaitu TK dan TJBK. Sumber terjadinya kebakaran dapat disebabkan oleh tumbuhan bawah serta serasah yang kering dan ilalang yang merupakan bahan bakar yang potensial dalam menimbulkan kebakaran. Sebagian besar kebakaran hutan merupakan perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab, diantaranya untuk mendapatkan kayu sisa hasil kebakaran hutan atau rencek dan pembukaan lahan garapan. Usaha yang dapat ditempuh untuk mencegah kebakaran hutan adalah penyuluhan bahaya api dan akibatnya serta kerugian yang ditimbulkan bagi masyarakat sekitar hutan dan mengefektifkan fungsi SATDALKAR, pendirian manara kebakaran, pembuatan ilaran api dan sekat bakar, dan adanya pengaturan jadwal piket kebakaran bagi petugas. Gangguan hutan dapat disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, gempa bumi, angin kencang, dan lain-lain. Bencana alam yang terjadi pada tahun 1984 di BH Gombong Selatan mengalami kerugian terbesar yaitu Rp 74.450.000,- dengan jumlah pohon yang mengalami kerusakan parah 66 pohon, sedangkan untuk jumlah pohon yang mengalami rusak terbanyak terjadi pada tahun 2007 sebanyak 223 pohon dengan kerugian sebesar Rp 21.105.000,-. Penggembalaan merupakan salah satu gangguan hutan, namun tidak sebesar pencurian dan kebakaran hutan. Keberadaan hewan peliharaan dalam masyarakat desa dapat menjadi perusak tanaman tegakan muda karena memakan daun seperti mahoni dan gmelina. Hewan-hewan tersebut digembalakan di dalam hutan dan pengaritan liar untuk mendapatkan pakan ternak. Pencegahan kerusakan hutan akibat pengembalaan liar diantaranya dengan mengarahkan masyarakat untuk beralih ke hewan kandang dan penanaman hijauan makanan ternak dengan jenis rumput gajah, setaria dan king grass. Penyediaan pakan ternak dalam suatu desa dapat dikembangkan secara PHBM karena kebutuhan secara terus menerus dan dalam jumlah yang cukup besar. Pengarahan dan pembinaan pembuatan biogas dan pupuk kompos merupakan alternatif lain untuk menambah pendapatan masyarakat. Gangguan hutan lainnya yaitu bibrikan dan sengketa tanah. Pada umumnya bibrikan adalah kejadian dimana kawasan hutan yang berbatasan dengan tanah milik dikerjakan dan dikuasai oleh masyarakat dengan cara pemindahan pal batas atau mengaburkan batas dengan menghilangkannya. Kasus bibrikan harus segera diatasi karena berpotensi mengurangi luas kawasan hutan bila dibiarkan berlarut- larut. Dengan adanya masalah tersebut maka perlu peningkatan kepedulian petugas terhadap asset Negara melalui laporan pal secara rutin, pengukuran batas hutan yang jelas dan sesuai serta penyuluhan tentang pelanggaran batas hutan kepada masyarakat. Sengketa tanah di kawasan Bagian Hutan Gombong Selatan tidak terjadi yang biasa terjadi adalah masyarakat menggarap kawasan hutan karena membutuhkan lahan garapan, tanpa peduli keadaan hutan tersebut berupa tanaman baru atau di bawah tegakan tua seakan tanah tersebut menjadi bagian dari kehidupannnya. Masyarakat mengolah secara terus-menerus dan masyarakat mengakui tanah tersebut milik Perhutani oleh sebab itu perlu adanya tindakan dimana fungsi hutan dan kelestarian hutan tetap dijaga. Masyarakat atau pesanggern harus diberi pengertian untuk menyesuaikan jenis tanaman palawija mengikuti pertumbuhan tanaman kehutanan yaitu tahun awal dengan jenis butuh cahaya tapi untuk tahun berikutnya dengan jenis yang tahan naungan.

5.4 Faktor Koreksi