Analisis Sambungan Antara Rigid Connection Dan Semi-Rigid Connection Pada Sambungan Balok Dan Kolom Portal Baja

(1)

ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA RIGID CONNECTION

DAN SEMI-RIGID CONNECTION PADA SAMBUNGAN

BALOK DAN KOLOM PORTAL BAJA

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Penyelesaian Pendidikan Sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh :

MUTIA SHELBI 11 0424 022

BIDANG STUDI STRUKTUR DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

Tugas Akhir ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul Tugas Akhir ini adalah “Analisis Sambungan Antara Rigid Connection Dan Semi-Rigid Connection Pada Sambungan Balok Dan Kolom Portal Baja”.

Penyelesaikan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, serta bimbingan dari berbagai belah pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil;

2. Bapak Ir. Syahrizal, MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil;

3. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc, selaku Koordinator PPSE, Departemen Teknik Sipil;

4. Bapak Ir. Torang Sitorus, MT, selaku Pembimbing, yang telah memberikan arahan, dukungan, masukan, serta meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran Beliau dalam membantu penulis menyelesaikan Tugas Akhir ini;

5. Bapak Ir. Sanci Barus, MT dan Ibu Rahmi Karolina, ST., MT, selaku Penguji, yang turut memberikan masukan dalam proses penyelesaian Tugas Akhir ini;


(5)

6. Bapak/ibu seluruh Staff Pengajar, serta Pegawai Administrasi Departemen Teknik Sipil;

7. Kedua Orang Tua penulis yang teristimewa, Ayahanda Yusuf Effendi dan Ibunda Yunes Nelly, serta kedua Saudari penulis, kakanda Puji Maya Sari dan adinda Ketty Wulandari, yang telah bersabar dan tak henti-hentinya memberikan doa, motivasi, nasehat, serta dukungan. Terima kasih atas segala pengorbanan, cinta, dan kasih sayang yang tiada batas untuk penulis;

8. Teman-teman seperjuangan penulis : Icha, Pipit, Nisa, Delima, Mazia, Dewi, dan Dhilla, serta teman-teman Mahasiswa/i Angkatan 2011-2013 lainnya, terima kasih atas bantuannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas Akhir ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi perbaikan untuk menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2015

Hormat saya,

Mutia Shelbi 11 0424 022


(6)

ABSTRAK

Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul. Dalam perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan digunakan mempengaruhi kekuatan sambungan dan kondisi kekakuan yang berbeda-beda sesuai jenis dan fungsinya. Pada analisa mengenai sambungan antara balok dan kolom ini, bertujuan untuk melihat apakah sambungan bersifat rigid atau semi-rigid, dimana sambungan yang ditinjau berupa end-plate connection jenis extended one way, dengan menggunakan profil baja IWF 350 x 175 x 7 x 11, spesifikasi Bj 37 (fy = 2400 kg/cm2). Alat sambung yang digunakan adalah baut mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi A325. Peraturan yang digunakan sebagai pedoman adalah peraturan SNI 03-1729-2002 untuk Struktur Baja dengan metode LRFD (Load and Resistance Factor Design), serta panduan dari American Institute of Steel Construction (AISC). Dari hasil analisa dan perhitungan, diperoleh nilai kekuatan penampang balok yang digunakan pada sambungan, berupa momen elastis My sebesar 1.865.136 kg.cm dan momen plastis Mp sebesar 2.018.040 kg.cm. Sedangkan momen tahanan nominal Mn sambungan baut yang terjadi pada sambungan dengan menggunakan baut mutu biasa (Baut Hitam) sebesar 1.424.201,21 kg.cm, dan baut Mutu Tinggi sebesar 3.357.047,09 kg.cm. Dengan demikian, sambungan antara balok dan kolom yang menggunakan alat sambung Baut Hitam merupakan sambungan Semi-rigid Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan (pengaruh alat sambung) lebih kecil dari momen yang disambung (pengaruh kekuatan penampang balok). Sedangkan sambungan yang menggunakan Baut Mutu Tinggi merupakan sambungan Rigid Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih besar dari momen yang disambung.

Kata kunci : sambungan struktur baja, alat sambung, kekakuan (rigiditas/rigidity), sambungan momen


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR NOTASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 4

1.5 Pembatasan Masalah ... 4

1.6 Metodologi Penelitian ... 5

1.7 Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Umum ... 9

2.2 Material Baja ... 9

2.3 Sambungan Konstruksi Baja ... 12

2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connection) ... 14

2.3.2 Sambungan Berdasarkan Karakteristik Kekakuan (Rigidity) . 20 2.3.2.1 Sambungan Kaku (Rigid Connection) ... 21


(8)

2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing) ... 23

2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection) 24 2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja ... 26

2.4.1 Baut ... 26

2.4.1.1 Jenis Baut ... 26

2.4.1.2 Kekuatan Baut ... 36

2.4.1.3 Kriteria Perencanaan Baut ... 41

2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan Baut ... 42

2.4.2 Las ... 44

2.4.2.1 Jenis Las ... 44

2.4.2.2 Jenis Sambungan Las ... 45

2.4.2.3 Kekuatan Las ... 46

2.4.2.4 Kriteria Perencanaan Las ... 48

2.5 Hubungan Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 50

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN SAMBUNGAN ... 53

3.1 Pendahuluan ... 53

3.2 Permodelan Sambungan ... 53

3.3 Data Perencanaan Sambungan ... 54

3.4 Analisis Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 55

3.4.1 Sambungan Baut ... 55

3.4.1.1 Filosofi Pendesainan ... 55

3.4.1.2 Tahapan Analisa ... 55


(9)

BAB IV ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA BALOK DAN KOLOM .... 72

4.1 Data Perencanaan ... 73

4.2 Perencanaan Sambungan Antara Balok dan Kolom ... 73

4.2.1 Analisa Kekuatan Penampang Balok ... 74

4.2.2 Daerah Tegangan ... 75

4.2.3 Sambungan Baut Hitam ... 75

4.2.3.1 Diameter Baut ... 75

4.2.3.2 Momen Tahanan ... 77

4.2.3.3 Desain End Plate ... 80

4.2.3.4 Daerah Tekanan End Plate ... 81

4.2.3.5 Gaya Geser Pada Web Kolom ... 82

4.2.3.6 Gaya Geser Vertikal Baut ... 82

4.2.4 Sambungan Baut Mutu Tinggi ... 83

4.2.3.1 Diameter Baut ... 83

4.2.3.2 Momen Tahanan ... 85

4.2.3.3 Desain End Plate ... 88

4.2.3.4 Daerah Tekanan End Plate ... 89

4.2.3.5 Gaya Geser Pada Web Kolom ... 90

4.2.3.6 Gaya Geser Vertikal Baut ... 90

BAB V PENUTUP ... 92

5.1 Kesimpulan ... 92

5.2 Saran ... 93


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Jenis sambungan menurut perilaku sudut rotasi antara balok dan kolom : (a) sendi; (b) kaku; (c) semi-kaku

Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan

Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen

Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC

Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan kaku

Gambar 2.6. Sambungan rigid connection

Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan sederhana

Gambar 2.8. Sambungan simple connection

Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan semi-kaku

Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection Gambar 2.11. Alat sambung baut

Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi

Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi pratarik dan diberi pratarik

Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal Gambar 2.16. Baut yang mengalami geser rangkap


(11)

Gambar 2.17. Kegagalan tarik Gambar 2.18. Kegagalan tumpu Gambar 2.19. Tata letak baut

Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik Gambar 2.21. Jenis-jenis las

Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las Gambar 2.23. Tebal efektif las tumpul Gambar 2.24. Ukuran las sudut

Gambar 2.25. Ukuran maksimum las sudut Gambar 2.26. Tebal efektif las sudut

Gambar 2.27. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke sayap kolom)

Gambar 2.28. Sambungan balok ke kolom (sambungan baut)

Gambar 2.29. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke badan kolom)

Gambar 3.1. Permodelan sambungan yang ditinjau Gambar 3.2. Kekuatan sambungan

Gambar 3.3. Kemampuan perlawanan dari barisan baut Gambar 3.4. Geometri Sambungan

Gambar 3.5. Cek tipikal tegangan pada badan

Gambar 3.6. Penyebaran kekuatan untuk tekanan pada badan Gambar 3.7. Panjang untuk tekuk pada badan

Gambar 3.8. Gaya geser lokal pada badan


(12)

Gambar 3.10. Tegangan dan geser baut Gambar 3.11. Cek tahanan dan tekuk stiffener

Gambar 3.12. Distribusi tegangan pada level beban berbeda Gambar 4.1. Model sambungan baja yang dianalisis


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural

Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan Tabel 2.3. Tarikan baut minimum

Tabel 2.4. Sifat-sifat baut

Tabel 2.5. Jarak tepi minimum baut Tabel 2.6. Ukuran minimum las sudut


(14)

DAFTAR NOTASI

Ab Luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (cm2) As Daerah geser baut (dianjurkan daerah ulir, cm2)

Asg Luas kotor stiffener (cm2)

Asn Luas bersih stiffener yang berhubungan dengan sayap kolom (cm2) Aw Luas badan kolom yang diperkenankan untuk tekuk (cm2)

Aw Luas geser efektif las (cm2) B Lebar sayap kolom (cm) Bb Lebar sayap balok (cm) bp Lebar end plate (cm) bsg Lebar stiffener (cm)

b1 Panjang penahan kekakuan berdasarkan 45o penyebaran melalui end plate dari tepi las (cm)

c Jarak dari pusat berat ke serat terluar (cm) d Tinggi badan antara las (cm)

db Diameter baut pada daerah tak berulir (cm) Dc Tinggi penampang kolom (cm)

ex Jarak tepi (cm)

Fri Kekuatan akhir pada barisan baut i (kg) Fu Kuat tarik pelat (kg/cm2)

fu Kuat tarik putus terendah dari baut atau pelat (kg/cm2) Kuat tarik baut (kg/cm2)


(15)

g Jarak horizontal antar pusat baut (cm) hi Jarak dari pusat tekanan ke baris i (cm) I Momen inersia (cm4)

L Panjang stiffener (cm)

Leff Panjang efektif garis lentur (cm)

Lt Panjang regangan efektif pada badan dengan asumsi pelebarannya 60o dari baut ke pusat badan (cm)

M Momen (kg.cm)

m Jumlah bidang geser

m Jarak dari pusat baut ke 20% dari jarak ke tepi kolom atau las end plate (cm)

Mn Momen nominal (kg.cm)

Mp Kapasitas momen plastis (kg.cm) My Momen elastis/leleh (kg.cm) N Gaya aksial pada balok (kg) n Jumlah baut

n Jarak ujung efektif (cm)

ns Jumlah baut yang tidak berada pada daerah tegangan nt Jumlah baut pada daerah tegangan

n1 Perolehan panjang dari 45o penyebaran melalui setengah dari tinggi penampang kolom (cm)

n2 Perolehan panjang dari perbandingan 1 : 2,5 penyebaran melalui sayap kolom dan radius kaki (cm)


(16)

pb Nilai minimum dari kuat tekan baut atau bagian sambungan pc Kuat tekan rencana badan kolom

pc Kuat tekan stiffener

Pr Kemampuan perlawanan dari barisan baut, atau kelompok baut (kg) Pri Kekuatan pada barisan baut i (kg)

ps Kuat geser baut (kg)

Pss Kapasitas geser dari baut tunggal hanya pada daerah geser (kg)

Pts Kapasitas geser dari baut tunggal pada daerah tegangan yang paling kecil (kg)

Pt’ Kapasitas tegangan baut (kg)

Py Kekuatan geser rencana kolom/end plate (kg) pyb Kekuatan rencana balok (kg/cm2)

pyc Kekuatan rencana kolom (kg/cm2) pys Kuat rencana stiffener (kg/cm2)

ΣPt’ Jumlah kapasitas tegangan untuk semua baut dalam kelompok (kg) r Radius kaki kolom (cm)

Rn Tahanan nominal baut (kg)

Rnw Tahanan nominal per satuan panjang las (kg) Ru Gaya terfaktor (kg)

ry Radius girasi dari daerah efektif (cm) S Jarak antar baut (cm)

S Modulus penampang (cm3)

swf Panjang kaki las sudut pada sayap balok (cm) sww Panjang kaki las sudut pada badan balok (cm)


(17)

Tb Tebal sayap balok (cm) tb Tebal badan balok (cm) Tc Tebal sayap kolom (cm) tc Tebal badan kolom (cm) tp Tebal pelat (cm)

ts Tebal stiffener (cm) Tu Beban tarik terfaktor (kg)

tw Tebal badan kolom atau balok (cm) V Beban geser (kg)

Vu Gaya geser terfaktor (kg) Z Modulus plastik (cm3)

μ Koefisien gesek

φ Faktor reduksi tahanan


(18)

ABSTRAK

Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul. Dalam perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan digunakan mempengaruhi kekuatan sambungan dan kondisi kekakuan yang berbeda-beda sesuai jenis dan fungsinya. Pada analisa mengenai sambungan antara balok dan kolom ini, bertujuan untuk melihat apakah sambungan bersifat rigid atau semi-rigid, dimana sambungan yang ditinjau berupa end-plate connection jenis extended one way, dengan menggunakan profil baja IWF 350 x 175 x 7 x 11, spesifikasi Bj 37 (fy = 2400 kg/cm2). Alat sambung yang digunakan adalah baut mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi A325. Peraturan yang digunakan sebagai pedoman adalah peraturan SNI 03-1729-2002 untuk Struktur Baja dengan metode LRFD (Load and Resistance Factor Design), serta panduan dari American Institute of Steel Construction (AISC). Dari hasil analisa dan perhitungan, diperoleh nilai kekuatan penampang balok yang digunakan pada sambungan, berupa momen elastis My sebesar 1.865.136 kg.cm dan momen plastis Mp sebesar 2.018.040 kg.cm. Sedangkan momen tahanan nominal Mn sambungan baut yang terjadi pada sambungan dengan menggunakan baut mutu biasa (Baut Hitam) sebesar 1.424.201,21 kg.cm, dan baut Mutu Tinggi sebesar 3.357.047,09 kg.cm. Dengan demikian, sambungan antara balok dan kolom yang menggunakan alat sambung Baut Hitam merupakan sambungan Semi-rigid Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan (pengaruh alat sambung) lebih kecil dari momen yang disambung (pengaruh kekuatan penampang balok). Sedangkan sambungan yang menggunakan Baut Mutu Tinggi merupakan sambungan Rigid Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih besar dari momen yang disambung.

Kata kunci : sambungan struktur baja, alat sambung, kekakuan (rigiditas/rigidity), sambungan momen


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan. Sambungan pada suatu konstruksi berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang bekerja pada titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung. Adapun gaya-gaya yang bekerja pada sambungan antara lain gaya normal, gaya geser, momen, dan torsi (Charles G. Salmon & John E. Johnson, 1997).

Pada konstruksi baja, penyambungan terjadi karena profil yang digunakan memiliki panjang batang yang kurang dari perencanaan, serta terjadinya pertemuan antara suatu batang dengan batang yang lain pada satu titik buhul, yang kemudian penyambungannya dibantu dengan menggunakan pelat buhul.

Sambungan-sambungan tersebut direncanakan harus dapat menahan gaya-gaya yang akan bekerja padanya akibat adanya beban luar maupun berat sendirinya. Syarat-syarat perencanaan lainnya yang berlaku pada sambungan diantaranya : kekakuan, kekuatan, keindahan, ekonomis, dan praktis.

Dalam perencanaan sambungan, pemilihan alat sambung yang akan digunakan mempengaruhi kekuatan sambungan nantinya. Setiap sambungan memiliki kondisi kekakuan yang berbeda-beda sesuai jenis dan fungsinya. Kekakuan tersebut mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi gaya-gaya dalam dan deformasi yang terjadi pada sambungan tersebut.


(20)

Pada konstruksi beton, perihal sambungan tidak terlalu dipermasalahkan, karena hubungan antara titik temu struktur secara keseluruhan bersifat monolit (menyatu secara kaku). Berbeda dengan konstruksi baja maupun kayu, sambungannya memerlukan perhatian khusus karena elemen-elemen struktur yang mengalami penyambungan tidak bersifat monolit seperti halnya pada konstruksi beton, terutama pertemuan antara balok dan kolomnya.

Rangka portal baja secara tradisional direncanakan dengan asumsi bahwa sambungan antara balok dan kolomnya bersifat sendi atau kaku sepenuhnya (fully rigid). Jika kondisinya sendi, berarti tidak ada momen yang tersalurkan antara balok dan kolom; ini berarti sambungan tersebut tidak memiliki kekakuan rotasi dan tidak dapat menyalurkan momen, namun dapat menyalurkan gaya aksial dan gaya geser ke komponen yang disambungnya (Gambar 1.1a). Selain itu, sambungan kaku sepenuhnya memiliki kekakuan rotasi dan dapat menyalurkan seluruh gaya yang terjadi antara balok dan kolom (Gambar 1.1b). Namun, sifat dan perilaku sambungan tidak dapat sepenuhnya dipahami. Kenyataannya, sambungan juga memiliki tingkatan derajat kekakuan antara sendi dan kaku, yang disebut semi-kaku (Gambar 1.1c).1

Gambar 1.1. Jenis sambungan menurut perilaku sudut rotasi antara balok dan kolom : (a) sendi; (b) kaku; (c) semi-kaku1

1

Concepcion Diaz, et al., 2010, Review on The Modeling of Joint Behavior in Steel Frames, diunduh dari http://research.iaun.ac.ir/pd/izadinia/pdfs/HomeWork_8988.pdf (3 Januari 2014).


(21)

Oleh karena itu, dilakukanlah suatu analisa mengenai sambungan antara balok dan kolom pada suatu portal baja dengan menggunakan dua jenis alat sambung baut (yaitu baut mutu biasa/baut hitam dan baut mutu tinggi), guna melihat perbedaan perilaku dan kebutuhan sambungan antara keduanya, apakah berupa sambungan jenis Rigid Connection (Sambungan Kaku) atau Semi-rigid Connection (Sambungan Semi-kaku).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti antara lain :

1. Bagaimana merencanakan kebutuhan sambungan antara balok dan kolom pada suatu portal baja dari dua jenis alat sambung baut tersebut, kemudian dilihat perbandingan antara keduanya.

2. Bagaimana menganalisa perilaku sambungan tersebut, apakah berupa sambungan jenis Rigid Connection atau Semi-rigid Connection.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk :

1. Merencanakan kebutuhan sambungan antara balok dan kolom pada suatu portal baja dari kedua jenis alat sambung baut tersebut, kemudian dilihat perbandingan antara keduanya.

2. Menganalisa perilaku sambungan tersebut, apakah berupa sambungan jenis Rigid Connection atau Semi-rigid Connection.


(22)

1.4 Manfaat

Manfaat dari pembahasan ini adalah dapat menganalisa dan merencanakan kebutuhan sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan baut yang berbeda jenis, melihat perbedaan antara keduanya, serta melihat apakah sambungan tersebut berupa sambungan rigid atau semi-rigid, sehingga bisa menjadi referensi tambahan dalam perencanaan konstruksi nantinya.

1.5 Pembatasan Masalah

Dengan mempertimbangkan efisiensi waktu dalam penulisan tugas akhir ini, maka dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut :

1. Sambungan konstruksi yang direncanakan merupakan sambungan antara Balok dan Kolom.

2. Material yang digunakan merupakan jenis baja spesifikasi Bj 37 (fy = 2400 kg/cm2).

3. Profil yang digunakan untuk komponen balok dan kolom adalah profil baja IWF.

4. Alat sambung yang digunakan adalah baut, dengan ketentuan berupa baut mutu biasa (baut hitam A307) dan baut mutu tinggi spesifikasi A325.

5. Peraturan yang digunakan sebagai pedoman adalah peraturan SNI 03-1729-2002 untuk Struktur Baja dan perhitungan dengan metode LRFD (Load and Resistance Factor Design).


(23)

1.6 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah berupa study literatur, dengan mengumpulkan bermacam-macam teori dan pembahasan melalui buku-buku, peraturan Standar Nasional Indonesia (SNI), dan panduan dari American Institute of Steel Construction(AISC), serta jurnal-jurnal yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

Kemudian, dilakukan pemilihan mutu bahan, jenis dan dimensi profil untuk komponen struktur balok dan kolom yang akan digunakan, serta jenis dan mutu alat sambung bautnya. Untuk selanjutnya, dilakukan analisa dan perhitungan terhadap kebutuhan sambungan dengan menggunakan jenis baut yang berbeda, berdasarkan acuan SNI 03-1729-2002 dan AISC, menggunakan metode analisa perhitungan LRFD (Load and Resistance Factor Design). Dari hasil analisa dan perhitungan yang diperoleh nantinya, akan dilihat perbandingan antara kedua jenis sambungan tersebut, apakah berupa sambungan rigid atau semi-rigid.

Secara garis besar, tahapan metodologi penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :


(24)

Gambar 1.2. Bagan metodologi penelitian SELESAI

MULAI

PENGUMPULAN DATA (Study Literatur)

PEMILIHAN KRITERIA DESAIN

ANALISA DAN PERENCANAAN SAMBUNGAN MENGGUNAKAN BAUT

(Berdasarkan Acuan SNI 03-1729-2002 dan AISC, menggunakan metode perhitungan LRFD)

PRELIMINARY DESIGN

SAMBUNGAN KAKU (RIGID CONNECTION)

SAMBUNGAN SEMI-KAKU (SEMI-RIGID CONNECTION) BAUT MUTU BIASA

(A307)

BAUT MUTU TINGGI (A325)


(25)

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk penyajian bahasan yang diteliti, tugas akhir ini dibagi atas 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Memuat gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan sebagai tugas akhir, berupa penjelasan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, metodologi penelitian, dan sistematika penulisannya.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Berisi tentang penjelasan umum mengenai sifat dan perilaku baja, jenis dan perilaku sambungan menurut kekakuan, berupa sambungan momen, sambungan rigid, dan semi-rigid, mengenai alat sambung yang digunakan dalam penyambungan konstruksi, serta bahasan mengenai sambungan antara balok dengan kolom.

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN SAMBUNGAN

Membahas tentang tahapan/langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisa dan merencanakan sambungan, terdiri dari pemilihan kriteria dan pemodelan sambungan, serta perencanaan dan analisis sambungan yang menggunakan alat sambung baut.

BAB IV ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA BALOK DAN KOLOM

Merupakan pembahasan mengenai perencanaan sambungan yang ditinjau, terdiri dari asumsi jenis, mutu, dan dimensi profil yang akan digunakan, serta analisis dan perhitungan kebutuhan sambungan dengan menggunakan alat sambung baut.


(26)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Memuat tentang kesimpulan yang diperoleh dari proses analisis dan saran-saran mengenai tindakan yang ditempuh agar hasil yang diperoleh berikutnya lebih maksimal.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan. Sambungan tersebut berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang bekerja pada titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung.

Pada konstruksi baja, selain memindahkan gaya-gaya yang terjadi, fungsi/tujuan lain dilakukannya penyambungan yaitu :

 menggabungkan beberapa batang baja membentuk kesatuan konstruksi

sesuai kebutuhan.

 mendapatkan ukuran baja sesuai kebutuhan (panjang, lebar, tebal, dan

sebagainya).

 memudahkan dalam penyetelan konstruksi baja di lapangan.

 memudahkan penggantian bila suatu bagian/batang konstruksi mengalami

rusak.

 memberikan kemungkinan adanya bagian/batang konstruksi yang dapat

bergerak, misal peristiwa muai-susut baja akibat perubahan suhu.

2.2 Material Baja

Baja terbuat dari biji besi dan logam besi tua yang dicampur dengan bahan tambahan yang sesuai, kemudian dilelehkan dalam tungku bertemperatur tinggi untuk menghasilkan massa-massa besi yang besar yang dinamakan blok tuangan


(28)

mentah (pigs) atau besi kasar (pigiron). Besi kasar tersebut selanjutnya dicampur logam lain untuk menghasilkan kekuatan, keliatan, pengelasan dan karakteristik ketahanan terhadap korosi (karat) yang diinginkan (Joseph E.Bowles, 1985).

Sifat baja yang penting sebagai bahan konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi, keseragaman bahan-bahan penyusunnya, kestabilan dimensional, daktilitas yang tinggi, kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan. Namun, baja memiliki kekurangan seperti biaya perawatan yang besar, biaya pengadaan anti api yang besar (fire proofing cost), ketahanan terhadap perlawanan tekuk kecil, dan kekuatannya akan berkurang jika dibebani secara berulang/periodik (kondisi leleh atau fatigue).

Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat dikategorikan sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :

1. Baja dengan persentase zat arang rendah (low carbon steel), dimana kandungan arangnya lebih kecil dari 0,15%.

2. Baja persentase zat arang ringan (mild carbon steel), 0,15% - 0,29%. 3. Baja persentase zat arang sedang (medium carbon steel), 0,30% - 0,59%. 4. Baja dengan persentase zat arang tinggi (high carbon steel), 0,60% - 1,7%.

Baja untuk bahan struktur termasuk ke dalam baja yang persentase zat arangnya ringan (mild carbon steel). Semakin tinggi kadar zat arang yang terkandung di dalamnya, maka semakin tinggi nilai tegangan lelehnya.

Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan antara lain :

 Modulus elastisitas (E) = 200.000 MPa


(29)

 Nisbah poisson (μ) = 0,3

 Koefisien pemuaian (α) = 12 x 10-6 per oC

 Serta persyaratan minimum pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural Jenis Baja Tegangan putus

minimum fu (MPa)

Tegangan leleh minimum fy

(MPa)

Peregangan minimum

(%)

BJ 34 340 210 22

BJ 37 370 240 20

BJ 41 410 250 18

BJ 50 500 290 16

BJ 55 550 410 13

Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002

Untuk mengetahui hubungan antara tegangan dan regangan pada baja, dapat dilakukan dengan uji tarik di laboratorium. Sebagian besar percobaan atas baja akan menghasilkan bentuk hubungan antara tegangan dan regangan seperti tergambar di bawah ini.

Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum


(30)

2.3 Sambungan Konstruksi Baja

Sambungan merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam perencanaan struktur baja. Hal ini dikarenakan bentuk struktur bangunan yang begitu kompleks, salah satunya sambungan antara balok dan kolom.

Pada umumnya, sambungan antara balok dan kolom terdiri dari tiga elemen yaitu : balok, kolom, dan alat penyambung. Ketiga elemen tersebut harus direncanakan dengan matang agar struktur bangunan tersebut bertahan sesuai dengan fungsinya.

Kegagalan dalam sambungan dapat mengakibatkan perubahan fungsi struktur bangunan, dan yang paling berbahaya adalah keruntuhan pada struktur tersebut. Untuk mencegah hal tersebut, maka kekakuan sambungan antara balok dan kolom tersebut harus memenuhi persyaratan.

Ada beberapa kriteria dasar yang umum dalam merencanakan sambungan, antara lain (Ervina Sari, 2003) :

1. Kekuatan (strength)

Dari segi kekuatan, sambungan harus dapat menahan momen, gaya geser, dan gaya aksial yang dipindahkan dari batang yang satu ke batang yang lain.

2. Kekakuan (stiffness)

Kekakuan sambungan secara menyeluruh berguna untuk menjaga posisi komponen struktur agar tidak bergerak atau berubah antara satu dengan lainnya.


(31)

3. Kapasitas rotasi

Pada sambungan yang direncanakan untuk menahan momen plastis, titik simpulnya dapat dibuat tidak terlalu kaku (rigid). Namun demikian, derajat kekakuannya harus cukup untuk memungkinkan redistribusi momen yang sesuai dengan asumsi analisis. Oleh sebab itu, sambungan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kapasitas rotasi yang cukup selama menyokong momen plastis.

4. Cukup ekonomis

Sambungan harus cukup sederhana agar biaya fabrikasinya murah, namun tetap memenuhi syarat kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaannya.

Ditinjau dari segi kekakuannya, sambungan dapat dibagi menjadi (Ervina Sari, 2003) :

1. Sambungan defenitif, artinya tidak dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat penyambungnya (menggunakan paku keling atau pengelasan).

2. Sambungan tetap, dimana bagian yang disambung tidak dapat bergerak lagi (menggunakan paku keling atau pengelasan).

3. Sambungan sementara, dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat penyambungnya (menggunakan baut).

4. Sambungan bergerak, sambungan ini memungkinkan pergerakan yang dibutuhkan menurut perhitungan statis pada bagian-bagian yang akan disambung (menggunakan engsel/sendi dan landasan/tumpuan).


(32)

Sambungan juga dapat digolongkan menurut (Ervina Sari, 2003) :

1. Metode alat penyambung, seperti : las, pin, baut, baut mutu tinggi, dan paku keeling.

2. Kekuatan geser sambungan (connection, rigidity) :

a. Sambungan Kaku, dimana kapasitas momen disalurkan secara penuh ke komponen yang disambung dan sudut yang terjadi antara sambungan dipertahankan agar relatif konstan.

b. Kerangka Sederhana, dimana tidak terjadi perpindahan momen diantara bagian-bagian yang disambung (momen yang terjadi kecil, sehingga dapat diabaikan).

c. Sambungan Semi-kaku, kapasitas momen yang dipindahkan kurang dari kapasitas momen penuh dari bagian-bagian konstruksi yang disambung.

2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connections)

Karakteristik sambungan dapat dipahami berdasarkan gambaran rotasi akibat adanya gaya yang diberikan. Rotasi yang terjadi membuat perubahan sudut antara sambungan seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan


(33)

Berdasarkan kurva momen-rotasi (M-Ø), sambungan dapat diklasifikasikan dalam tiga karakteristik seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.3. Tiga karakteristik tersebut adalah (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) :

1. Momen tahanan (moment resistance), yaitu berupa sambungan full strength, partial strength, atau nominally pinned (tidak ada momen penahan).

2. Rotasi kekakuan (rotational stiffnes), dimana sambungan berifat rigid, semi-rigid, atau nominally pinned (dimana tidak ada rotasi kekakuan). 3. Kapasitas rotasi (rotational capacity), dimana sambungan perlu

berdeformasi dan memerlukan rotasi plastis dari suatu tahapan gaya tanpa mengalami keruntuhan.

Kurva momen-rotasi adalah grafik hubungan antara momen (sumbu y) dan rotasi (sumbu x) dari suatu sambungan. Momen (M) dalam hal ini diakibatkan oleh beban yang bekerja pada bidang balok terhadap sambungan dalam jarak tertentu. Rotasi (Ø) adalah perpindahan balok terhadap kolom dalam arah dan sudut tertentu.


(34)

Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen

(Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)

Pada umumnya, kurva momen-rotasi dari sebuah sambungan dapat memberikan beberapa sifat atau karakteristik sebagai berikut (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) :

1. Kekakuan dari sebuah sambungan diidentifikasi dari kemiringan kurva. 2. Perilaku sambungan pada umumnya adalah non linier, dimana

kekakuan menurun sedangkan rotasi meningkat.

3. Pada Gambar 2.3c, daktilitas meningkat seiring meningkatnya rotasi. Sebuah sambungan dapat dinyatakan ductile (elastis) jika memenuhi syarat bahwa rotasi yang terjadi lebih besar dari 0,03 radians.


(35)

Pada Gambar 2.3a, sehubungan dengan kekuatan (strength), sambungan diklasifikasikan menjadi full strength, partial strength, dan nominally pinned :

 Sambungan full strength didefinisikan sebagai sambungan dengan

moment resistance/tahanan M sama atau lebih besar dari moment capacity/kapasitasnya (M ≥ Mcx). Kurva 1, 2, dan 4 menunjukkan sambungan full strength.

 Sambungan partial strength didefinisikan sebagai sambungan moment

resistance/tahanan M sama atau kurang dari moment capacity/kapasitasnya (M ≤ Mcx). Kurva 3 dan 5 termasuk ke dalam klasifikasi partial strength.

 Sedangkan nominally pinned adalah sambungan yang cukup fleksibel

dengan momen resistance/tahanan tidak lebih 25% dari moment capacity/kapasitasnya. Kurva 6 menggambarkan sambungan tipe nominally pinned.

Pada Gambar 2.3b, kekakuan (rigidity) sama dengan kekakuan rotasi dimana kurva 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan sambungan rigid. Sedangkan kurva 5 termasuk dalam klasifikasi sambungan semi-rigid. Dalam peraturan BS5950 dijelaskan bahwa garis putus-putus antara rigid dengan semi-rigid diperoleh dari rumus 2EI/L.

Pada Gambar 2.3c, kurva 2, 4, dan 5 adalah sambungan ductile (elastis). Kurva 1 tidak elastis dan kurva 3 berada antara elastis dan tidak


(36)

elastis. Kurva 6 merupakan jenis sambungan nominally pinned, sehingga merupakan sambungan sederhana.

Pedoman mengenai sifat yang diperlukan untuk perencanaan sambungan pada rangka bangunan dari beberapa metode yang sedang populer pada saat sekarang ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan

Perencanaan Sambungan

Catatan

Tipe Rangka Analisa Global Sifat Gambar 2.3Contoh Metode

Simple/

Sederhana Sendi

Nominally

pinned 6

Sambungan pada Konstruksi Sederhana (Catatan 2)

Metode ekonomi untuk

perkuatan rangka

bertingkat. Perencanaan

sambungan dibuat

untuk kekuatan geser saja.

Continuous/ Menerus (Catatan 1)

Elastis Rigid 1,2,3,4 Bagian 2 Analisa elastis secara

konvensional.

Plastis Full strength 1,2,4 Bagian 2 Sendi plastis terbentuk

pada komponen

penyusun yang

berdekatan, bukan pada sambungan. Terkenal untuk perencanaan rangka portal.

Elastis-Plastis Full strength dan rigid 1,2,4 Bagian 2

Semi-continuous/ Semi-menerus

(Catatan 2)

Elastis Semi-rigid 5,6 Tidak

tercakup

Sambungan dimodelkan sebagai rotasi pegas.

Asumsi kekakuan

sambungan sulit

ditampilkan.

Plastis Partial strength

dan ductile 5,6 Bagian 3

Perencanaan

momen-angin merupakan

variasi dari metode ini.

Elastis-Plastis

Partial strength dan/atau

semi-rigid

Lainnya Tidak

tercakup

Sambungan bersifat penuh dimodelkan pada analisis ini. Merupakan alat penelitian bukannya metode perencanan praktis.

Catatan 1 Catatan 2

BS 5950 mengacu pada metode perencanaan masing-masing sebagai “Kaku” dan “Semi-kaku” tetapi hal ini dapat membingungkan karena mencakup sifat-sifat selain kekakuan.

Lihat pada referensi The Steel Construction Institute, and British Constructional Steelwork Association Ltd (Joints in Simple Construction)


(37)

Dimana :

Full strength connection (sambungan kuat sepenuhnya), yaitu

sambungan dimana momen tahanannya setidaknya sama dengan komponen yang disambung.

Partial strength connection (sambungan kuat sebagian), yaitu

sambungan dimana momen tahanannya lebih kecil dari komponen yang disambung.

Rigid connection (sambungan kaku), yaitu sambungan yang

kekakuannya cukup untuk menahan sifat fleksibel rangka bangunan akibat adanya momen lentur sehingga dapat diabaikan.

Semi-rigid connection (sambungan semi-kaku), merupakan sambungan

yang sangat fleksibel untuk dianggap bersifat kaku namun juga bukan bersifat sendi.

Nominally pinned connection (sambungan sendi), yaitu sambungan

yang cukup fleksibel dianggap sebagai sendi untuk tujuan analisis. Sambungan ini, secara defenisi, bukan merupakan sambungan momen melainkan sambungan partial strength yang mampu melawan kurang dari 25% Mcx, sehingga dianggap sebagai sambungan sendi.

Ductile connection (sambungan elastis), merupakan sambungan yang

kapasitas rotasinya dianggap sebagai sendi plastis.

Simple design (desain sederhana), merupakan metode pendesainan

rangka yang sambungannya diasumsikan tidak terjadi momen yang mempengaruhi, baik sambungan itu sendiri maupun struktur secara keseluruhan.


(38)

Continuous design (desain menerus), merupakan metode pendesainan

rangka yang sifat sambungannya tidak dimodelkan dalam analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungannya bersifat rigid, atau analisa plastis dimana sambungannya full strength.

Semi-continuous design (desain semi-menerus), merupakan metode

pendesainan rangka yang sifat sambungannya dimodelkan dalam analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungan semi-kakunya dimodelkan sebagai rotasi pegas, atau analisa plastis dimana sambungannya kuat sebagian dan dimodelkan sebagai sendi plastis.

2.3.2 Sambungan Berdasarkan Karakteristik Kekakuan (Rigidity)

Selain Sambungan Momen di atas, menurut AISC-1.2 tentang perencanaan tegangan kerja (working stress) dan AISC-2.1 tentang perencanaan plastis, konstruksi baja dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan jenis sambungan yang dipakai. Ketiga jenis ini adalah sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995) :

1. Jenis 1 AISC. Sambungan portal kaku (rigid connection), 2. Jenis 2 AISC. Sambungan kerangka sederhana (simple framing), 3. Jenis 3 AISC. Sambungan kerangka semi-kaku (semi-rigid

connection).

Gambar 2.4 memperlihatkan grafik persamaan garis balok dan kelakuan momen-rotasi dari sambungan Jenis 1, 2, dan 3. Sambungan kaku


(39)

umumnya harus memikul momen ujung M1, yang sekitar 90% dari MFa atau lebih; jadi derajat pengekangannya dapat dikatakan 90%. Sambungan sederhana (Jenis 2) hanya dapat menahan 20% dari momen MFa atau kurang, seperti yang ditunjukkan oleh momen M2, sedangkan sambungan semi-kaku diperkirakan menahan momen sebesar M3, yang mungkin sekitar 50% dari momen primer MFa.

Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995)

2.3.2.1 Sambungan Kaku (Rigid Connection)

Sambungan ini memiliki kontinuitas penuh sehingga sudut pertemuan antara batang-batang tidak berubah, yakni pengekangan (restraint) rotasi sekitar 90% atau lebih dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan ini dipakai baik pada metode perencanaan tegangan kerja maupun perencanaan plastis (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).


(40)

Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan kaku

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut “Tipe FR” (Fully Restrained/terkekang penuh) dan dalam ASD-A2.2dikenal sebagai “Tipe

1”. Biasanya, sambungan jenis ini digunakan pada bangunan yang

strukturnya direncanakan tahan terhadap angin dan gempa (Jack C. McCormac, 2008).

Gambar 2.6. Sambungan rigid connection

(Sumber : Jack C. McCormac, 2008, dan Dian Sukma Arifwan, 2007)

Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini dianggap memiliki kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen yang disambung.

Flange Plates T - Sections Seated connection with stiffener angles


(41)

2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing)

Pengekangan rotasi di ujung-ujung batang pada sambungan ini dibuat sekecil mungkin. Suatu kerangka dapat dianggap sederhana jika sudut semula antara batang-batang yang berpotongan dapat berubah sampai 80% dari besarnya perubahan teoritis yang diperoleh dengan menggunakan sambungan sendi tanpa gesekan (frictionless). Kerangka sederhana tidak digunakan dalam perencanaan plastis, kecuali pada sambungan batang-batang tegak lurus bidang portal yang harus mencapai kekuatan plastis (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan sederhana

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut “Tipe PR” (Partially Restrained/terkekang sebagian) dan dalam ASD-A2.2 dikenal sebagai

“Tipe 2”(Jack C. McCormac, 2008).

θ1 = 0

Ø ≈ 0


(42)

Gambar 2.8. Sambungan simple connection

(Sumber : Jack C. McCormac, 2008)

Menurut SNI 03-1729-2002, jenis sambungan ini dipakai untuk menyambung suatu balok ke balok lainnya atau ke sayap kolom. Pada sambungan ini, siku penyambung dibuat sefleksibel mungkin dan sambungan pada kedua ujung komponen struktur dianggap bebas momen.

2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection)

Pengekangan rotasi sambungan berkisar antara 20% - 90% dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan semi-kaku tidak dipakai dalam perencanaan plastis dan jarang sekali digunakan pada metode tegangan kerja, terutama karena derajat pengekangannya sukar ditentukan (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

Web Ls

Erection bolt

End return

Framed Simple Connection

Top L

Seat L

Alternative location of top L

Seated Simple Connection

Field bolts

Single-plate or


(43)

Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan semi-kaku

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini juga termasuk ke dalam “Tipe

PR” (Partially Restrained/terkekang sebagian), dimana penggunaanya tergantung pada proporsi tertentu dari kekangan penuh. Dalam ASD-A2.2, desain sambungan semi-rigid menghendaki kapasitas momen pada derajat pertengahan antara rigiditas “Tipe 1” dan fleksibilitas “Tipe 2” (Jack C. McCormac, 2008).

Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection

(Sumber : Chen & Lui, 1991)

(a) single web angle (b) single plate (c) double web angle

(d) header plate (e) top and seat angle (f) top and seat angle with double web angle

(g) extended end plate (h) flush end plate (i) T - stub


(44)

Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen yang disambung.

2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja 2.4.1 Baut

Pada suatu struktur yang terbuat dari konstruksi baja, baut merupakan suatu elemen yang paling vital untuk diperhitungkan, karena merupakan alat sambung yang paling sering digunakan.

2.4.1.1 Jenis Baut

Ada beberapa jenis baut yang digunakan dalam perencanaan sambungan, antara lain (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :

a. Baut Mutu Tinggi (ASTM A325dan A490)

Baut ini berkekuatan leleh minimal 372 MPa dan mampu mengatasi slip antara dua elemen baja yang disambung pada struktur rangka batang memikul gaya aksial.

Baut A

325 terbuat dari baja karbon sedang yang diberi perlakuan panas sekitar 558 sampai 634 MPa yang tergantung pada diameter. Baut A

490 juga diberi perlakuan panas tetapi dibuat dari baja paduan (alloy) dengan kekuatan leleh sekitar 793 sampai 896 MPa yang tergantung pada diameter baut.

Alat sambung ini memiliki kepala segi enam yang tebal dan digunakan dengan mur segi enam yang setengah halus dan tebal seperti diperlihatkan pada gambar berikut.


(45)

Gambar 2.11. Alat sambung baut

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997)

Bagian ulirnya lebih pendek daripada bagian baut yang tidak struktural, dan dapat dipotong atau digiling. Diameter baut kekuatan tinggi berkisar antara ½ dan 1 ½ inchi. Diameter yang paling sering digunakan pada konstruksi gedung adalah ¾ sampai 7/

8 inchi, sedang ukuran yang paling umum digunakan dalam perencanaan jembatan adalah 7/8 dan 1 inchi.


(46)

Pemasangan baut mutu tinggi

Kekuatan alat sambung baut mutu tinggi ditentukan oleh dimensinya, tipe bautnya, kekuatan leleh (tensile strength), panjang ulir di dalam elemen pelat, dan putaran untuk tarik awal. Pada pemasangannya, baut mutu tinggi memerlukan pemberian gaya pratarik yang memadai. Gaya pratarik harus sebesar mungkin tanpa mengakibatkan deformasi permanen dan kehancuran dari baut. Sebagai ganti tegangan leleh, digunakan istilah proof load, dimana beban diperoleh dengan mengalikan luas tegangan tarik dengan tegangan leleh yang ditetapkan berdasarkan regangan tetap 0,2% atau perpanjangan 0,5% akibat beban (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997).

Gaya pratarik yang ditetapkan AISC sama dengan 70% dari minimum tensile strength seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3 dan tarikan ini sama dengan proof load.

Tabel 2.3. Tarikan baut minimum


(47)

AISC menetapkan 3 (tiga) macam teknik umum untuk mencapai besarnya pretension, yaitu (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :

 Metode calibrated wrench (kunci yang dikalibrasi)

Menggunakan kunci puntir manual (manual torque wrenches) dan kunci otomatis (power wrenches) yang diatur agar berhenti pada nilai puntir yang ditentukan, untuk menimbulkan tarikan baut sedikitnya 5% di atas nilai yang ditunjukan dalam Tabel 2.3.

 Metode turn of the nut (putaran mur)

Gaya tarikan awal baut diperoleh dengan menetapkan rotasi mur pada awal snug tig position (titik erat) yang menimbulkan besarnya

regangan tertentu pada baut. Mur dipandang berada pada “titik erat” setelah “beberapa kejutan dari kunci kejut atau seluruh

kemampuan manusia dengan kunci mekanik biasa tidak dapat

memutarnya lagi”.

 Metode direct tension indication

Metode ini menggunakan alat berupa cincin pengeras (cincin indicator) dengan sejumlah tonjolan keluar pada salah satu mukanya. Cincin indicator dipasang antara kepala baut dan bahan yang disambung dengan tonjolan keluar menumpu pada sisi bawah kepala baut atau menumpu pada pelat nut face washer yang diletakkan antara cincin indicator dan mur, sehingga terdapat gap akibat cincin indicator tersebut. Tarikan baut ditentukan dari pengukuran gap yang tersisa dengan menggunakan feeler gage.


(48)

Sambungan baut mutu tinggi dapat didesain sebagai sambungan tipe friksi (jika dikehendaki tak ada slip) atau juga sebagai sambungan tipe tumpu.

a. Sambungan Tipe Tumpu

Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut yang dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang disyaratkan, yang kuat rencananya disalurkan oleh gaya geser pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan. Sambungan ini digunakan apabila kelebihan beban tidak penting walaupun menyebabkan tangkai baut mendesak sisi lubang. Untuk pembebanan lainnya, beban dipindahkan oleh gesekan bersama dengan desakan pelat. Gelinciran hanya akan terjadi sekali asalkan pembebanan bersifat statis dan tak berubah arah dan setelah itu baut akan bertumpu pada bahan di sisi lubang.

Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu 2

2

Dody B., 2012, Desain Konstruksi Baja, diunduh dari http://dodybrahmantyo.dosen.narotama.


(49)

b. Sambungan Tipe Friksi

Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan baut minimum yang disayaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya geser rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam bidang kontak dan gesekan yang ditimbulkan antara bidang-bidang kontak. Tipe ini digunakan apabila gelinciran pada beban kerja tidak dikehendaki. Pada tipe ini daya tahan gelincir memadai pada kondisi beban kerja harus disediakan di samping kekuatan sambungan yang memadai.

Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi 2

Apabila dikehendaki sambungan tanpa slip (tipe friksi), maka satu baut yang hanya memikul gaya geser terfaktor Vu dalam bidang permukaan friksi harus memenuhi (Agus Setiawan, 2008) :

Vu < φVn

Vu < φ . 1,13 μ . m . proof load Dimana :


(50)

μ = koefisien gesek (0,35) m = jumlah bidang geser

Proof load adalah gaya tarik awal yang diperoleh dari pengencangan awal, memberikan friksi sehingga cukup kuat untuk memikul beban yang bekerja.

Menurut Spesifikasi AISC setiap baut kekuatan tinggi harus dipasang dengan cara yang sama hingga tarikan awalnya sama tanpa memandang tipe sambungan apakah tipe geser atau tipe tumpu. Penampilan pada beban kerja pada umumnya identik yaitu beban kerja disalurkan melalui gesekan antara potongan yang disambung. Perbedaan penampilan hanyalah akibat perbedaan faktor keamanan terhadap gelincir.

b. Baut Hitam (ASTM A307)

Baut ini terbuat dari baja karbon rendah dan merupakan jenis baut paling murah. Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan yang paling murah karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada suatu sambungan. Pemakaiannya terutama pada struktur ringan, batang sekunder atau pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (cat walk), gording, rusuk dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini juga dipakai sebagai alat penyambung sementara pada sambungan yang menggunakan baut kekuatan tinggi, paku keling atau las.


(51)

c. Baut Sekrup (Turned Bolt)

Dibuat dengan mesin, berbentuk segi enam dengan toleransi yang lebih kecil (sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan dengan baut hitam. Digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang yang dibor.

d. Baut Bersirip (Ribbed Bolt)

Terbuat dari baja paku keling biasa, berkepala bundar dengan tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Bermanfaat pada sambungan tumpu (bearing) dan sambungan yang mengalami tegangan berganti (bolak-balik).

Tabel 2.4. Sifat-sifat baut


(52)

Perbandingan Baut Mutu Tinggi dan Baut Biasa

Pada sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan baut mutu tinggi akan menambah kapasitas daya dukung sambungan itu, bukan saja karena kekuatan bautnya, tapi juga karena pengaruh tarik minimum dengan cara pemutaran mur oleh kunci momen yang telah ditentukan standarnya berdasarkan baut yang digunakan. Pengaruh adanya pratarik ini menyebabkan terjadinya gaya gesekan antara dua elemen pelat yang disambung.

Untuk baut mutu biasa/hitam yang tidak mampu memikul pratarik atau baut mutu tinggi yang tidak diberi pratarik (pretension) dimodelkan menjadi suatu tampang kontinu dengan cara mengkonversi luasan baut dan luasan pelat dimana masing-masing menerima tarik pada daerah atas dan menerima tekan pada daerah bawah garis netral (tampang berbentuk T terbalik).

Baut mutu tinggi tidak lagi seperti permodelan baut mutu biasa akibat baut terlebih dahulu telah mengalami tarik minimum (gaya pratarik). Artinya, semua baut mengalami tarik dan semua bidang kontak mengalami tekan. Ketika beban luar bekerja (momen luar), garis netral berada di tengah-tengah kumpulan alat sambung (Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010).


(53)

Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi pratarik dan diberi pratarik

(Sumber : Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010)

Dimana dapat dihitung besarnya luasan pengganti baut 3:

Kemudian, tegangan pada serat paling atas dapat diperoleh dengan menghitung inersia tampang luasan pengganti 3 :

- , maka

√ ⁄ - - √ 3

Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010, Analisa Baut Mutu Tinggi Serta Aplikasinya Pada Hubungan Balok-Kolom, Jurnal, Universitas Sumatera Utara.

Kolom Baut

s

Hub. Balok-Kolom PL h x b x tp

d Baut T er tari k Pelat Tertekan b x h-x a fM fi

Kondisi tidak diberi Pratarik (Baut Mutu Biasa)

fM

0,5 h

Pratar

ik

Kondisi diberi Pratarik (Baut Mutu Tinggi)

fMfN

Bila fM > fN

fM

fi


(54)

Dibandingkan dengan perilaku sambungan menggunakan alat sambung baut mutu tinggi yang diberi pratarik, permodelan tampang luasan pengganti tidak lagi digunakan. Hal ini dikarenakan seluruh baut telah terlebih dahulu diberi gaya pratarik (pretension) sebesar T. Akibat pemberian gaya awal tersebut, maka seluruh baut mengalami tarikan dan seluruh pelat mengalami gaya tekan.

Dengan demikian, perilaku penggunaan baut mutu tinggi berbeda dengan baut mutu biasa yang tidak diberikan perilaku pratarik. Akibat penguncian atau pemberian gaya pratarik pada baut mutu tinggi, timbul gaya perlawanan geser yang akan memberikan faktor keamanan yang lebih besar dibanding perilaku baut mutu biasa (Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010).

2.4.1.2 Kekuatan Baut

Sebelum memutuskan sambungan apa yang akan digunakan pada suatu konstruksi, kita harus mengetahui kekuatan sambungan tersebut. Dalam hal menentukan kekuatan sambungan baut, yang ditinjau adalah ketahanan dari aspek geser, tarik, dan desak (tumpu), baik terhadap alat sambungnya maupun material yang disambungkan.

Suatu baut yang memikul gaya terfaktor Ru, sesuai persyaratan LRFD harus memenuhi persyaratan (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :

Ru≤ φ Rn


(55)

Rn = tahanan nominal baut, dimana nilai setiap tipe sambungan berbeda-beda

Nilai tahanan nominal baut tersebut diperoleh berdasarkan tahanan-tahanan yang direncanakan dalam menghitung kekuatan baut, yaitu (Dian S. Arifwan, 2007) :

1. Tahanan geser rencana :

Hampir semua hubungan struktural baut harus dapat mencegah terjadinya gerakan material yang disambung dalam arah tegak lurus terhadap panjang baut seperti terlihat pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Pada kasus seperti ini, baut mengalami geser. Pada hubungan tumpang tindih (lap joint) seperti ini, baut mempunyai kecenderungan untuk mengalami geser di sepanjang bidang kontak tunggal antara kedua pelat yang disambung. Karena baut menahan kecenderungan pelat-pelat saling menggelincir pada bidang kontak dan karena baut mengalami geser pada satu bidang saja, maka baut tersebut mengalami geser tunggal. Pada hubungan lurus (butt joints) seperti terlihat pada Gambar 2.16, ada dua bidang kontak sehingga baut memberikan tahanannya di


(56)

sepanjang dua bidang tersebut dan disebut geser rangkap.

Gambar 2.16. Baut yang mengalami geser rangkap

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Kapasitas pikul beban atau kekuatan desain sebuah baut yang mengalami geser tunggal maupun rangkap sama dengan hasil kali antara jumlah bidang geser dengan tegangan geser putus di seluruh luas bruto penampang melintangnya, sehingga (SNI 03-1729-2002) :

Dimana :

m = jumlah bidang geser

r1 = 0,5 ; untuk baut tanpa ulir pada bidang geser r1 = 0,4 ; untuk baut dengan ulir pada bidang geser

= kuat tarik baut (MPa)

Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

2. Tahanan tarik rencana :

Sesuai dengan keadaan batas retak dalam tarik dan bentuk kegagalan yang terlihat dalam Gambar 2.17, kekuatan nominal Rn pada suatu penyambung dalam tarik adalah (SNI 03-1729-2002) :


(57)

Gambar 2.17. Kegagalan tarik

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Jarak antar baut S yang biasa menurut arah transmisi gaya paling tidak harus sebesar 3 kali diameter dan tidak boleh kurang dari 22/3 diameter baut. Karena Rn merupakan kekuatan nominal yang disyaratkan, yang sama dengan beban terfaktor P yang bekerja pada satu baut dibagi dengan faktor resistansi φ, maka :

Dimana :

P = beban terfaktor yang bekerja pada satu baut

φ = 0,75

Fu = kuat tarik pelat t = tebal pelat db = diameter baut

Persyaratan untuk jarak ujung S1 pada arah gaya baut sedemikian

rupa sehingga tidak terjadi patahan adalah :

kegagalan tarik pelat kegagalan tarik baut


(58)

Dimana :

P = beban terfaktor per baut

φ = 0,75

Fu = kuat tarik pelat t = tebal pelat

3. Tahanan tumpu (desak) rencana

Kekuatan batas tumpu berkaitan dengan deformasi di sekitar lobang baut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.18. Kekuatan tumpu Rn merupakan gaya yang bekerja terhadap sisi lobang yang akan memecah atau merobek pelat. Semakin besar jarak ujung L diukur dari pusat lobang ke pinggiran, semakin kecil kemungkinan terjadinya robekan.

Gambar 2.18. Kegagalan tumpu

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

Meskipun baut dalam suatu hubungan telah memadai dalam meneruskan beban yang bekerja dengan mengalami geser, namun masih dapat gagal kecuali apabila material yang disambung dapat meneruskan beban ke baut dengan baik. Distribusi sesungguhnya mengenai tekanan

kegagalan tumpu pelat kegagalan tumpu baut


(59)

tumpu pada material di sekeliling lobang tidak diketahui sehingga luas kontak yang diambil adalah diameter nominal dikalikan dengan tebal material yang disambung. Ini diambil dengan anggapan bahwa tekanan merata terjadi pada luas segiempat.

Nilainya tergantung pada kondisi terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung, dimana (SNI 03-1729-2002) :

Dimana :

db = diameter baut pada daerah tak berulir tp = tebal pelat

fu = kuat tarik putus terendah dari baut atau pelat

2.4.1.3 Kriteria Perencanaan Baut

Dalam perencanaan baut, ada beberapa ketentuan mengenai tata letak/susunan baut pada suatu sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) :

a. Jarak antar pusat lubang baut tidak boleh kurang dari 3 kali diameter nominal baut.

b. Jarak minimum dari pusat lubang baut tepi ke ujung pelat harus memenuhi tabel berikut :

Tabel 2.5. Jarak tepi minimum baut Tepi dipotong

dengan tangan

Tepi dipotong dengan tangan

Tepi profil bukan hasil potongan

1,75 db 1,50 db 1,25 db

dimana db adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir.


(60)

c. Jarak antara pusat lubang baut tidak boleh melebihi 15 tp atau 200 mm (tp adalah tebal pelat lapis tertipis pada sambungan).

d. Jarak dari pusat tiap lubang baut ke tepi terdekat suatu bagian yang berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12 tp atau 150 mm.

3 db < S < 15 tp atau 200 mm 1,5 db < S1 < 12 tp atau 150 mm

Gambar 2.19. Tata letak baut

(Sumber : Agus Setiawan, 2008)

2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan Baut

Pada umumnya, sambungan yang ada merupakan kombinasi geser dan tarik. Contoh sambungan yang merupakan kombinasi geser dan tarik terlihat pada Gambar 2.20. Pada sambungan (a), akibat adanya momen maka baut tepi atas akan mengalami tarik yang sebanding dengan momen yang bekerja. Sambungan ini digunakan bila momen tidak terlalu besar, dan untuk momen yang besar biasanya digunakan sambungan (b), dimana momen disalurkan melalui sayap dan diterima oleh baut-baut pada sayap tersebut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997).

S S1

S S

S1


(61)

Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

a. Sambungan Tipe Tumpu

Dalam perencanaan sambungan yang memikul kombinasi geser dan tarik, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi (Agus Setiawan, 2008) :

1. fuv = ≤ 0,5 . φ . fub . m tanpa ulir di bidang geser ≤ 0,4 . φ . fub . m dengan ulir di bidang geser 2. φ . Rnt = φ . ft . Ab >

b. Sambungan Tipe Friksi

Untuk sambungan tipe friksi, berlaku hubungan (Agus Setiawan, 2008) :

(

)

Dimana :


(62)

Proof load = 0,75 . Ab . proof stress Ab = luas bruto baut

Tu = beban tarik terfaktor

n = jumlah baut

2.4.2 Las

2.4.2.1 Jenis Las

Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan, yaitu (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) :

a. Las Tumpul (Groove Weld)

Berguna untuk menghubungkan batang-batang struktur yang dipaskan pada bidang yang sama. Karena las tersebut harus menyalurkan beban penuh batang-batang yang dihubungkannya, maka las tersebut harus memiliki kekuatan yang sama dengan batang-batang yang digabungkan.

b. Las Sudut (Fillet Weld)

Merupakan jenis las yang paling banyak digunakan karena hemat, mudah dipabrikasi, dan adaptibilitasnya baik, serta tidak membutuhkan presisi pada pengepasannya karena cukup ditumpang-tindihkan.

c. Las Baji (Slot) dan Pasak (Plug)

Las baji dan pasak dapat digunakan secara tersendiri pada sambungan atau dikombinasikan dengan las sudut. Manfaat utamanya adalah menyalurkan gaya geser pada sambungan


(63)

lewatan bila ukuran sambungan membatasi panjang yang tersedia untuk las sudut atau las sisi lainnya, serta mencegah terjadinya tekuk pada bagian-bagian yang saling tumpang tindih.

(a) Las tumpul (b) Las sudut

(c) Las baji (d) Las pasak Gambar 2.21. Jenis-jenis las

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.4.2.2 Jenis Sambungan Las

Beberapa jenis sambungan yang sering ditemui dalam sambungan las adalah (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) :

a. Sambungan sebidang (butt joint), dipakai untuk pelat-pelat datar dengan ketebalan sama atau hampir sama, dan tidak memiliki eksentrisitas.

b. Sambungan lewatan (lap joint), untuk pelat dengan tebal yang berlainan, mudah dibuat dan disesuaikan di lapangan.


(64)

c. Sambungan tegak (tee joint), untuk membuat penampang tersusun seperti bentuk I, pelat girder, dan stiffner.

d. Sambungan sudut (corner joint), untuk penampang tersusun berbentuk kotak pada kolom atau balok yang menerima gaya torsi yang besar.

e. Sambungan sisi (edge joint), bukan jenis sambungan struktural dan digunakan untuk menjaga agar dua atau lebih pelat tidak bergeser satu dengan lainnya.

Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.4.2.3 Kekuatan Las

Filosofi umum dari LRFD terhadap persyaratan keamanan suatu struktur untuk las adalah sebagai berikut (SNI 03-1729-2002) :

Ru≤ φ Rnw

Dimana : Ru = beban terfaktor per satuan panjang las φ = faktor reduksi tahanan

Rnw = tahanan nominal per satuan panjang las (a) butt joint (b) lap joint


(65)

Nilai kuat rencana per satuan panjang masing-masing jenis las diperoleh berdasarkan (SNI 03-1729-2002) :

a. Kuat las tumpul

 Bila sambungan dibebani gaya tarik atau gaya tekan aksial

terhadap luas efektif :

φ Rnw = 0,9 . te . fy (bahan dasar) φ Rnw = 0,9 . te . fyw (las)

 Bila sambungan dibebani gaya geser terhadap luas efektif :

φ Rnw = 0,9 . te (0,6 . fy) (bahan dasar) φ Rnw = 0,8 . te (0,6 . fuw) (las)

Dimana : fy, fu = tegangan leleh dan tegangan tarik putus

b. Kuat las sudut

φ Rnw = 0,75 . te (0,6 . fu) (bahan dasar) φ Rnw = 0,75 . te (0,6 . fuw) (las)

c. Kuat las baji dan pasak

φ Rnw = 0,75 (0,6 . fuw) . Aw

Dimana : Aw = luas geser efektif las fuw = kuat tarik putus logam las


(66)

2.4.2.4 Kriteria Perencanaan Las

Ada beberapa ketentuan mengenai perencanaan las pada suatu sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) :

a. Las tumpul

 penetrasi penuh :

 terdapat penyatuan antara las dan bahan induk

sepanjang kedalaman penuh sambungan.

 tebal rencana las adalah ukuran las.

 penetrasi sebagian :

 kedalaman penetrasi lebih kecil daripada kedalaman

penuh sambungan.

Gambar 2.23. Tebal efektif las tumpul

(Sumber : Agus Setiawan, 2008)

b. Las sudut

 ukuran las ditentukan oleh panjang kaki (tw) seperti pada


(67)

Gambar 2.24. Ukuran las sudut

(Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002)

 ukuran minimum las sesuai dengan tabel berikut :

Tabel 2.6. Ukuran minimum las sudut

Tebal bagian paling tebal, t (mm) Tebal minimum las sudut, tw (mm)

t ≤ 7 3

7 < t ≤ 10 4

10 < t ≤ 15 5

15 < t 6

Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002

 ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi komponen yang

disambung adalah :

Gambar 2.25. Ukuran maksimum las sudut


(68)

 tebal efektif las sudut sesuai dengan gambar berikut :

Gambar 2.26. Tebal efektif las sudut

(Sumber : Agus Setiawan, 2008)

 panjang efektif las paling tidak 4 kali ukuran las; jika kurang,

maka ukuran las perencanaan dianggap sebesar 0,25 dikali panjang efektif.

 luas efektif adalah perkalian panjang efektif dengan tebal

rencana las.

 jarak melintang antara las yang menerus harus < 32 tp.

 jarak melintang antara las yang tidak menerus, tidak boleh

melebihi nilai terkecil dari :

 komponen menerima gaya tekan : 16 tp dan 300 mm.

 komponen menerima gaya tarik : 24 tp dan 300 mm.

2.5 Hubungan Sambungan Antara Balok dan Kolom

Sambungan antara balok ke kolom ditujukan untuk memindahkan semua momen dan memperkecil atau meniadakan rotasi batang pada sambungan, seperti sambungan pada AISC Jenis 1, LRFD Tipe FR, atau ASD Tipe 1 (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997).


(69)

Gambar 2.27. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke sayap kolom)

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995)

Kolom dapat berhubungan secara kaku dengan balok-balok pada kedua sayapnya, seperti pada Gambar 2.27.a, b, dan c, atau hanya pada satu sayap seperti pada Gambar 2.27.d dan Gambar 2.28. Alternatifnya, balok dapat disambung secara kaku ke badan kolom, baik pada satu sisi ataupun kedua sisi, seperti pada Gambar 2.29.


(70)

Gambar 2.28. Sambungan balok ke kolom (sambungan baut)

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995)

Gambar 2.29. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke badan kolom)


(71)

BAB III

METODOLOGI PERENCANAAN SAMBUNGAN

3.1 Pendahuluan

Pada bab berikut ini, akan dibahas mengenai kriteria dan langkah-langkah dalam menganalisa suatu sambungan antara balok dan kolom pada struktur baja dengan menggunakan dua jenis alat sambung baut (yaitu baut mutu biasa/baut hitam dan baut mutu tinggi), guna melihat perbedaan perilaku dan kebutuhan sambungan antara keduanya, apakah berupa sambungan jenis Rigid Connection (Sambungan Kaku) atau Semi-rigid Connection (Sambungan Semi-kaku).

Prosedur/langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menganalisa sambungan tersebut antara lain :

1. Pemilihan suatu model sambungan yang akan ditinjau, 2. Pemilihan data perencanaan sambungan yang akan ditinjau,

3. Perencanaan dan analisis sambungan antara balok dengan kolom, menggunakan alat sambung baut hitam, dan baut mutu tinggi.

3.2 Permodelan Sambungan

Sambungan yang ditinjau berupa end-plate connection jenis extended one way, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.


(72)

Gambar 3.1. Permodelan sambungan yang ditinjau

3.3 Data Perencanaan Sambungan

Balok dan kolom yang dianalisa menggunakan mutu baja Bj 37 (fy = 2.400 kg/cm2), dengan profil berupa IWF 350 x 175 x 7 x 11, dimana :

- h = 350 mm

- b = 175 mm

- tw = 7 mm

- tf = 11 mm

- r = 14 mm

- A = 63,14 cm2

- Ix = 13.600 cm4 - Iy = 984 cm4

- Wx = 775 cm3 - Wy = 112 cm3

Sambungan antara balok dan kolom tersebut direncanakan memikul suatu momen M sebesar 10 ton.m, beban geser V sebesar 15 ton, dan dianalisa menggunakan alat sambung :

- Baut hitam A307, kuat tarik fub = 350 MPa = 3.500 kg/cm2

t

f

t

w

h

b

r


(73)

- Baut mutu tinggi A325, kuat tarik fub = 825 MPa = 8.250 kg/cm2

3.4 Analisis Sambungan Antara Balok dan Kolom 3.4.1 Sambungan Baut

3.4.1.1 Filosofi Pendesainan

Model desain sambungan yang digunakan disini berdasarkan distribusi elastis dan plastis dari kekuatan baut, dimana suatu sambungan end plate menyalurkan momen dari rangkaian tegangan pada baut dengan tekanan pada sayap yang berhadapan. Kecuali disana ada gaya aksial pada balok, maka kedua gaya tersebut sebanding dan berhadapan, seperti Gambar 3.2 (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995).

Gambar 3.2. Kekuatan sambungan

(Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)

3.4.1.2 Tahapan Analisa

Beberapa langkah dalam menganalisa suatu kekuatan sambungan antara balok dan kolom adalah sebagai berikut (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) :


(74)

a. Langkah 1 : kemampuan perlawanan dari barisan baut pada daerah tegangan

Kekuatan pada masing-masing barisan baut pada daerah tegangan terbatas oleh bengkokan pada end plate atau sayap kolom, kegagalan baut, atau kegagalan tegangan pada badan balok atau kolom. Langkah pertama yang dihitung adalah kemampuan perlawanan masing-masing barisan, yaitu : Pri(Gambar 3.3).

Gambar 3.3. Kemampuan perlawanan dari barisan baut

(Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)

Nilai dari Pr1, Pr2, Pr3, dan seterusnya, dihitung dari urutan atas

(baris 1) hingga ke bawah. Prioritas beban diberikan pada baris 1 dan kemudian baris ke 2, dan seterusnya.

Di setiap tahap, baut di barisan paling bawah diabaikan.

Pertama, masing-masing barisan dicek secara terpisah, dan kemudian secara kombinasi dengan barisan di atasnya, seperti (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) :

Pr1 = [kapasitas barisan 1 sendiri]

Pr2 = nilai minimal dari; [kapasitas barisan 2 sendiri] [(kapasitas barisan 2+1) – Pr1] Barisan terlemah yang dipersiapkan


(75)

Pr3 = nilai minimal dari; [kapasitas barisan 3 sendiri] [(kapasitas barisan 3+2) – Pr2] [(kapasitas barisan 3+2+1) –Pr2–Pr1] Dan pola perhitungan yang sama untuk baris selanjutnya.

Langkah 1A : bengkokan pada end plate atau sayap kolom

atau kelenturan baut

Pengecekan ini dilakukan secara terpisah antara sayap kolom dan end plate. Potensi perlawanan pada tegangan sayap kolom atau end plate, Pr merupakan nilai minimum

yang diperoleh dari tiga persamaan berikut (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) :

- Mode 1 : sayap melentur sempurna

……….

(3.1)

- Mode 2 : kegagalan baut dengan sayap melentur

∑ ….(3.2)

- Mode 3 : kegagalan baut


(76)

Dimana :

Mp = kapasitas momen plastis sesuai penggambaran T-stub pada sayap kolom atau end plate

=

Leff = panjang efektif garis lentur sesuai T-stub t = tebal sayap kolom atau end plate

Py = kekuatan rencana kolom/end plate

Pr = kemampuan perlawanan dari barisan baut, atau kelompok baut

Pt’ = kapasitas tegangan baut

ΣPt’ = jumlah kapasitas tegangan untuk semua baut dalam kelompok

m = jarak dari pusat baut ke 20% dari jarak ke tepi kolom atau las end plate (lihat Gambar 3.4) n = jarak ujung efektif (lihat Gambar 3.4)

Gambar 3.4. Geometri Sambungan


(77)

Untuk end plate 4 :

-

-

Untuk sayap kolom 4 :

-

- Dimana :

g = jarak horizontal antar pusat baut (taksiran) bp = lebar end plate

B = lebar sayap kolom tb = tebal badan balok tc = tebal badan kolom

sww = panjang kaki las sudut pada badan balok swf = panjang kaki las sudut pada sayap balok

Ketentuan hanya untuk end plate 4 : mx = x – 0,8 swf

dimana :

ex = jarak tepi, sama seperti penjelasan sebelumnya nx = nilai minimum antara ex dan 1,25 mx

4

The Steel Construction Institute, 1995, Joints in Steel Construction Moment Connections, Silwood Park.


(78)

Langkah 1B : tegangan pada badan balok atau kolom

Kemampuan perlawanan terhadap tegangan pada badan untuk barisan atau kelompok baut ditentukan sebagai (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) :

Pt = Lt x tw x Py ……….. (3.4)

Dimana :

Lt = panjang regangan efektif pada badan dengan asumsi pelebarannya 60o dari baut ke pusat badan (Gambar 3.5)

tw = tebal badan kolom atau balok

Py = kekuatan rencana baja pada kolom atau balok

Gambar 3.5. Cek tipikal tegangan pada badan

(Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)

b. Langkah 2

Langkah 2A : Cek tekanan pada kolom (perlawanan badan

kolom pada daerah tekanan)

Perlawanan pada daerah tekanan, Pc diambil dari nilai

paling kecil antara Persamaan (3.5) dan (3.6) di bawah (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995).


(1)

 Pada sisi kolom :

- b1 = tfb + 2.sww + 2.tp

= 1,1 + (2 . 0,8) + (2 . 2) = 6,7 cm

- n2 = 2 [(tfc + r) . 2,5]

= 2 [(1,1 + 1,4) . 2,5] = 12,5 cm

Sehingga : Pc = (b1 + n2) . twc . pyc > Fc

= (6,7 + 12,5) . 0,7 . 2.400 > 32.244,75 kg = 32.256 kg > 32.244,75 kg ………. OK Jadi, tidak diperlukan tekanan dari stiffener.

4.2.4.5 Gaya Geser Pada Badan Kolom

Karena sambungan berada pada satu sisi kolom saja, maka cek gaya gesernya :

- Fv = Fc= ΣFri = 32.244,75 kg

- Pv = 0,6 . pyc . twc . Hc > Fv

= 0,6 . 2.400 . 0,7 . 35 > 32.244,75 kg

= 35.280 kg > 32.244,75 kg ………. OK

4.2.4.6 Gaya Geser Vertikal Baut

 Kapasitas geser 1 baut penahan sayap kolom : - Baut daerah geser : Pss = d . tfc . fub


(2)

- Baut daerah tarikan : Pts = Pss = 18.150 kg

 Kapasitas gaya geser :

= (ns . Pss) + (nt . Pts) > V

= (2 . 18.150) + (3 . 18.150) > 15.000 kg


(3)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan rangkaian analisis dan perhitungan mengenai perilaku sambungan antara balok dan kolom pada suatu portal baja yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, diperoleh nilai :

1. Kekuatan penampang balok yang digunakan pada sambungan : a. Momen Elastis My = 1.865.136 kg.cm

b. Momen Plastis Mp = 2.018.040 kg.cm

2. Kekuatan sambungan baut yang terjadi pada sambungan :

c. Baut mutu biasa (Baut Hitam), momen tahanan nominal Mn yang terjadi adalah sebesar 1.424.201,21 kg.cm,

d. Baut Mutu Tinggi, momen tahanan nominal Mn yang terjadi adalah sebesar 3.357.047,09 kg.cm.

Tabel 5.1. Momen hasil perhitungan pada sambungan antara balok dan kolom

Alat Sambung

Momen Tahanan Nominal Sambungan Mn (kg.cm) Kekuatan Penampang Balok (kg.cm) Keterangan

Baut Hitam 1.424.201,21

My = 1.865.136 Semi-rigid connection Mp = 2.018.040 Semi-rigid connection

Baut Mutu

Tinggi 3.357.047,09

My = 1.865.136 Rigid connection Mp = 2.018.040 Rigid connection


(4)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sambungan antara balok dan kolom yang menggunakan alat sambung Baut Hitam merupakan sambungan Semi-rigid Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih kecil dari momen yang disambung.

Sedangkan sambungan yang menggunakan Baut Mutu Tinggi merupakan sambungan Rigid Connection, karena momen yang terjadi pada sambungan lebih besar dari momen yang disambung.

5.2 Saran

Untuk mengetahui perilaku sambungan antara balok dan kolom, perlu dilakukan studi yang lebih mendalam dan pembahasan-pembahasan yang lebih kompleks lagi mengenai hal study rigiditas, terutama bagian-bagian yang lemah kestabilannya, dengan mempertimbangkan aspek keruntuhan agar menghasilkan perencanaan struktur yang stabil, cukup kuat, tahan lama, dan tujuan-tujuan lainnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

American Institute Of Steel Construction, 2010, Specification for Sructural Steel Buildings.

Arifwan, Dian S., 2007, Analisis Sambungan Portal Baja Antara Balok Dan Kolom Dengan Menggunakan Sambungan Las Dan Baut (Study Literatur), Tugas Akhir, Universitas Sumatera Utara.

Badan Standarisasi Nasional, 2002, Tata Cara Perencanaan Perhitungan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002).

Barus, S. dan Panjaitan, R., 2010, Analisa Baut Mutu Tinggi Serta Aplikasinya Pada Hubungan Balok-Kolom, Jurnal, Universitas Sumatera Utara.

Bowles, Joseph E., 1985, Desain Baja Konstruksi, Jakarta : Erlangga.

Brahmantyo, D., 2012, Desain Konstruksi Baja, diunduh dari

http://dodybrahmantyo.dosen.narotama.ac.id/files/2012/05/KONSTRUKSI-BAJA-3_SAMBUNGAN-BAUT.pdf (28 Mei 2014).

Chen W. F dan Lui E. M., 1991, Stability Design Of Steel Frames, CRC Press, Inc, New York.

Dewobroto, W. dan Wijaya, H., 2012, Pengaruh Pemakaian Baut Mutu Tinggi dan Baut Biasa Terhadap Kinerja Sistem Sambungan Dengan Ring-Khusus-Beralur, Jurnal, diunduh dari

http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2011/04/4.-Wiryanto-D-Hendrik-W-Vol.19-No.2.pdf (26

November 2013).

Diaz, Concepcion; Marti, Pascual; Victoria, Mariano; dan Querin, Osvaldo M., 2010, Review on The Modeling of Joint Behavior in Steel Frames, Jurnal,

diunduh dari

http://research.iaun.ac.ir/pd/izadinia/pdfs/HomeWork_8988.pdf (3 Januari 2014).

McCormac, Jack C., 2008, Structural Steel Design Fourth Edition, New Jersey : Pearson Education, Inc.

Salmon, Charles G. dan Johnson, John F., 1995, Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid 2 Edisi Kedua, Diterjemahkan oleh : Ir. Wira M.S.C.E, Jakarta : Erlangga.


(6)

Salmon, Charles G. dan Johnson, John F., 1997, Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid 1 Edisi Kedua, Diterjemahkan oleh : Ir. Wira M.S.C.E, Jakarta : Erlangga.

Sari, E., 2003, Analisis Sambungan Balok Kolom Pada Portal Baja, Tesis, Universitas Utara.

Setiawan, Agus, 2008, Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD (Berdasarkan SNI 03-1729-2002), Semarang : Erlangga.

Setiyarto, Y. Djoko, Studi Parametrik Dan Eksperimental : Pengaruh Tata Letak Baut Pada Sambungan Momen Sebidang Untuk Struktur Baja Cold Formed, Jurnal, diunduh dari http://jurnal.unikom.ac.id/_s/data/jurnal/v10-01/02-miu-10-01-djoko.pdf/pdf/02-miu-10-01-djoko.pdf (27 Desember 2013). Suryanita, R. dan Kamaldi, A., 2003, Analisis Kekuatan Nominal Balok Lentur

Baja dengan Metode Desain Faktor Beban dan Tahanan (LRFD) dan Metode Desain Tegangan Ijin (ASD), Jurnal, diunduh

http://teknikseruyan.files.wordpress.com/2012/07/1-analisis-kekuatan-

nominal-balok-lentur-baja-dengan-metode-desain-faktor-beban-dan-tahanan-lrfd-dan-metode-desain-tegangan-ijin-asd1.pdf (23 Oktober 2014). The Steel Construction Institute, 1995, Joints in Steel Construction Moment