Kekuatan Tarik Tensile Strength

19 Keberhasilan proses pemlastikan ampok dan tapioka menjadi material pati termoplastik dapat juga ditentukan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Pati yang belum diproses menjadi pati termoplastik akan menunjukkan sifat birefringent bila dilihat di bawah mikroskop cahaya terpolarisasi. Apabila pati tersebut telah menjadi pati termoplastik, sifat birefringent tersebut akan hilang akibat adanya perubahan morfologi dan kristalinitas pada pati Chaudary et al. 2009. Semakin tinggi tingkat kehilangan sifat birefringent semakin baik pula proses pemlastikan yang terjadi. Bentuk bongkahan termoplasik sebagai hasil dari proses pemlastikan menggunakan rheomix memerlukan penyesuaian bentuk sebelum dikarakterisasi lebih lanjut. Penyesuaian bentuk yang dimaksud adalah penyesuaiannya bentuk lembaran yang memungkinkannya dibentuk guna memenuhi kebutuhan uji kuat tarik. Penyesuaian bentuk tersebut juga dapat membantu penyeragaman tekstur seluruh bagian pati termoplastik. Penyesuaian bentuk bongkahan ke bentuk lembaran dilakukan dengan menggunakan kempa hidrolik. Pada tahap ini pengempaan dilakukan bersama dengan pemberian panas dengan suhu yang sama dengan suhu pemlastikan 130 C. Panas tersebut berperan melunakkan bahan sehingga bahan mampu menyesuaikan bentuk dengan cetakan yang telah diberikan. Bentuk cetakan yang digunakan untuk mengakomodasi bentuk yang dibutuhkan dalam pengujian adalah bentuk plat dengan ketebalan 4 mm. Dalam bentuk seperti ini, sampel A1B2 dan A1B3 memperlihatkan adanya keretakan di sebagian besar bagian pati termoplastik, berbeda dengan sampel lain yang tidak menunjukkan hal tersebut. Hal itu membuat dua sampel tersebut rapuh dan tidak dapat disesuaikan bentuknya untuk diuji kekuatan tariknya.

4.2.1. Kekuatan Tarik Tensile Strength

Kekuatan tarik dapat didefinisikan sebagai gaya maksimal yang mampu ditahan oleh suatu bahan berdimensi tertentu sebelum bahan tersebut putus. Kekuatan tarik merupakan parameter penting dalam aplikasi material seperti plastik, terlebih jika digunakan sebagai bahan dasar kemasan. Semakin tinggi nilai kekuatan tarik pati termoplastik maka semakin tinggi pula nilai fungsi pati termoplastik tersebut sebagai pengemas. Dengan demikian parameter ini menjadi acuan utama dalam penentuan pati termoplastik terbaik yang diproduksi. Menurut Rowell et al. 1997, kekuatan tarik merupakan perwujudan makro dari kekuatan ikatan-ikatan intra dan antar molekul penyusun bahan. Semakin besar kekuatan ikatan-ikatan antar molekul pada bahan semakin besar pula kekuatan tarik bahan tersebut. Rowell juga menambahkan bahwa sifat mekanik suatu bahan, termasuk kekuatan tariknya, merupakan hasil dari interaksi yang cukup kompleks antara beberapa variabel eksternal seperti senyawa-senyawa kimiawi yang ditambahkan dan kelembaban serta sifat struktur molekul bahan itu sendiri seperti derajat polimerisasi, kristalinitas, dan orientasi molekul dalam level mikroskopis. Berdasarkan hasil penelitian terlihat adanya kecenderungan peningkatan nilai kekuatan tarik seiring bertambahnya kadar pati pada bahan. Kecenderungan tersebut tampak pada setiap contoh pati termoplastik dengan tingkat konsentrasi gliserol tertentu. Analisis sidik ragam yang dilakukan pada hasil di atas ternyata juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata untuk masing-masing perlakuan perbedaan konsentrasi pati di mana A 1 berbeda nyata dengan A 2 dan A 3 berbeda nyata dengan A 4 . Hasil yang tidak berbeda nyata hanya ada di tengah-tengah perlakuan yakni antara A 2 dengan A 3 . Dengan 20 demikian dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi konsentrasi pati semakin tinggi pula nilai kekuatan tarik yang dimilikinya. Analisis ragam secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran 8. Gambar 8. Grafik hubungan antara konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap kekuatan tarik pati termoplastik berbasis ampok jagung Menurut Nikazar 2005, nilai kekuatan tarik suatu bahan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah ukuran granula pati serta keberadaan komponen minor seperti lemak dan protein pada bahan. Semakin kecil granula pati semakin besar pula kekuatan tarik yang dihasilkan pada bahan. Demikian pula halnya dengan kadar komponen minor pada bahan. Banyaknya komponen minor tersebut akan berkorelasi negatif dengan kekuatan tarik pada bahan. Hal tersebut disebabkan molekul komponen minor tidak memiliki gugus yang membentuk ikatan antar molekul. Sebagai dampak dari hal tersebut, komponen minor yang mengisi ruang antar molekul malah mengganggu ikatan molekul yang ada. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik tertinggi ada pada sampel A4B1 yakni sebesar 8,43 kgfcm 2 . Sampel tersebut adalah pati termoplastik yang mengandung paling sedikit komponen minor dan paling banyak mengandung pati. Di sisi lain nilai kekuatan tarik paling rendah ditunjukkan oleh sampel A1B3 dan A1B2 yang menghasilkan produk yang retak. Sampel A1B3 dan A1B2 merupakan sampel yang paling banyak mengandung komponen minor dan paling sedikit mengandung pati. Dengan demikian hasil tersebut mendukung pernyataan Nikazar 2005 yang dikemukakan sebelumnya mengenai korelasi antara kandungan komponen minor dengan kekuatan tarik bahan. Hasil uji kekuatan tarik di atas juga memberikan gambaran umum bahwa tingginya kandungan serat pada pati termoplastik ternyata tidak menunjukkan pengaruh positif yang signifikan terhadap kekuatan tarik ampok. Pati termoplastik berbasis ampok jagung yang memiliki kandungan serat paling tinggi, seperti A1B1, justru memiliki kekuatan tarik paling rendah. Hal itu berbeda dengan yang diungkap oleh Lawton et al. 2004 bahwa eksistensi serat mampu memberikan pengaruh positif yang cukup 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 25 50 75 Ke ku at an ta ri k K gf cm 2 Konsentrasi tapioka gliserol 25 gliserol 30 gliserol 35 21 signifikan terhadap sifat fisik biokomposit berbasis pati. Hal tersebut juga berbeda dengan yang diungkap Janssen dan Moscicki 2006 bahwa penambahan serta berbanding lurus dengan peningkatan kekuatan tariknya. Adanya korelasi positif antara kandungan pati dengan kekuatan tarik dapat disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen yang berasal dari pertemuan gugus-gugus -OH pada molekul pati. Saat kondisi kristalin berubah menjadi amorf, molekul-molekul pati menjadi saling bersilangan satu sama lain dan bersama bahan pemlastis membentuk sebuah jalinan yang menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen tersebut. Menurut Gao dan Fei 2004, ikatan hidrogen pada pati termoplastik terbentuk dari interaksi hidrogen maupun oksigen pada gugus C-O-H yang dimiliki pati dengan molekul pemlastis. Dengan demikian, semakin banyak pati yang terkandung pada bahan semakin banyak pula molekul-molekul yang saling bersilangan yang kemudian berdampak pada semakin besarnya ikatan pada bahan secara keseluruhan. Gambar 8. juga memperlihatkan adanya kecenderungan yang tetap untuk setiap perlakuan konsentrasi gliserol di mana terjadi penurunan nilai kekuatan tarik dengan semakin meningkatnya konsentrasi gliserol. Hasil analisis ragam terhadap data tersebut juga memperlihatkan adanya perbedaan nyata terhadap masing-masing perlakuan konsentrasi gliserol di mana B 1 berbeda nyata dengan B 2 dan B 2 berbeda nyata dengan B 3 . Hal tersebut menunjukkan bahwa pada batas konsentrasi 25 hingga 35, jumlah gliserol berbanding terbalik dengan kekuatan tarik pati termoplastik berbasis ampok jagung. Analisis ragam terkait diperlihatkan dalam Lampiran 8. Hasil di atas mirip dengan hasil yang diperoleh Cordoba 2009 yang menggunakan pemlastis alginat di mana semakin tinggi kadar pemlastis yang ditambahkan semakin rendah nilai kekuatan tariknya. Kondisi yang sama juga dialami Janssen dan Moscicki 2006, di mana penggunaan gliserol yang lebih besar berdampak pada penurunan kekuatan tarik pati termoplastik gandum yang mereka produksi. Mereka juga menambahkan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari penggunaan gliserol sebagai pemlastis. Jika gliserol digunakan dalam konsentrasi rendah, kekuatan tarik memang kuat namun kurang fleksibel brittle sedangkan jika gliserol digunakan dalam konsentrasi tinggi, hasilnya pati termoplastik akan lebih fleksibel namun kekuatan tariknya akan lebih kecil. Hasil yang diperoleh tersebut didukung oleh pernyataan Gao dan Fei 2004 yang menyebutkan bahwa pemberian zat pemlastis dalam jumlah besar berdampak pada menurunnya kekuatan ikatan dalam adonan. Mereka juga menambahkan, bahwa semakin tinggi kadar pemlastis pada pati termoplastik semakin banyak pula ikatan hidrogen yang terbentuk di internal molekul-molekul pemlastis sendiri yang kemudian mengurangi proporsi interaksi ikatan dengan molekul pati. Padahal, kekuatan ikatan pada pati termoplastik lebih disebabkan oleh interaksi gugus –OH dengan zat pemlastis. Dengan demikian terbentuknya produk yang retak pada sampel A1B2 dan A1B3 dapat diakibatkan oleh berlebihnya proporsi gliserol yang diberikan pada adonan yang secara faktual memiliki kadar pati paling sedikit di antara sampel yang lain. Secara umum kekuatan tarik terbaik yang diperoleh dari pati termoplastik berbahan dasar campuran ampok jagung dan tapioka memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kekuatan tarik pati termoplastik yang dihasilkan dari penelitian Cordoba et al. 2008 maupun Lee 2009. Kekuatan tarik pati termoplastik Cordoba et al. 2008 dapat mencapai nilai 41 kgfcm 2 sedangkan pati termoplastik Lee 22 dapat mencapai nilai 144 kgfcm 2 . Hal tersebut disebabkan bahan baku yang digunakan Cordoba et al. 2008 berupa berupa pati jagung murni sehingga memiliki kuantitas pati yang lebih tinggi sedangkan Lee 2009 menggunakan campuran LDPE light density polyetilene dalam adonan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, pati termoplastik terbaik adalah pati termoplastik yang diproduksi menggunakan 25 ampok dan 75 tapioka serta 25 gliserol. Perbaikan terhadap parameter kekuatan tarik dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah pati pada adonan pati termoplastik, mereduksi kadar gliserol pada batas optimum, serta memberikan tambahan polimer sintetis.

4.2.2. Kemuluran Putus Elongation at Break