6. Seluruh keluarga anggota memiliki pakaian yang cukup untuk kebutuhan
sehari-hari, termasuk pakaian untuk musim dingin, selimut dan kelambu. 7.
Keluarga memiliki sumber nafkah tambahan, seperti kebun sayur atau pohon yang menghasilkan buah untuk digunakan sebagai pilihan saat dibutuhkan.
8. Anggota mampu mempertahankan saldo tahunan rata-rata 5.000 taka sekitar
US75 dalam tabungan. 9.
Anggota sanggup memberi makan keluarga tiga kali sehari selama setahun. 10.
Seluruh keluarga anggota sadar akan kesehatan, dapat bertindak cepat untuk pengobatan yang tepat, dan mampu membayar biaya pengobatan jika ada yang
sakit. Kesepuluh indikator itu jelas didesain untuk mendefinisikan individu dan
keluarga yang bukan lagi termasuk miskin. Namun, hilangnya indikator yang sama dapat digunakan di negara berkembang lain. Dalam kasus lain, butuh
definisi unik agar sesuai dengan kondisi lokal. Yang penting ialah kemiskinan harus didefinisikan dengan jelas sehingga program anti kemiskinan punya sasaran
jelas dan dengan satu atau lebih tujuan untuk dicapai.
36
D. Jaminan Kredit Pada Grameen Bank
Grameen Bank memberikan kredit kecil tanpa agunan yang bisa
digunakan untuk kegiatan produksi income generating maupun yang berkaitan dengan perumahan. Sebuah bank yang hanya mau memberikan kredit kecil bagi
36
Ibid, hal. 117-118.
Universitas Sumatera Utara
orang miskin apalagi tanpa mensyaratkan adanya jaminan, adalah sesuatu yang tidak umum dalam sistem moneter di mana pun. Juga di Bangladesh tentunya,
karena kedua hal ini sama sekali tidak diatur oleh Undang-Undang Perbankan di sana.
37
Perbankan tidak bersedia melayani kebutuhan kredit masyarakat kecil atau orang-orang miskin karena:
38
a. Orang-orang miskin tidak mempunyai barang-barang atau kekayaan yang
dapat dijadikan agunan pinjamannya; b.
Mereka tidak dapat mengisi berbagai formulir yang rumit karena sebagian besar dari mereka tidak dapat membaca dan menulis;
c. Perbankan lebih suka melayani kebutuhan kredit berskala besar daripada yang
kecil-kecilan yang banyak jumlahnya sehingga memerlukan banyak pekerjaan dan mengandung resiko tinggi;
d. Perbankan takut bunga pinjaman yang diterima tidak dapat menutup biaya
pelayanan pinjaman kecil yang banyak jumlahnya tersebut.
Di negara mana pun, institusi perbankan tidak mungkin bisa melepaskan kredit tanpa adanya jaminan yang cukup dari nasabah. Di Bangladesh jaminan
kredit yang paling lazim digunakan adalah aset tanah. Padahal kelompok sasaran
37
http:www. elsppat.or.iddownloadfilew14_a4.pdf., “Grameen Bank Kredit yang Manusiawi dan Demokratis”diakses terakhir tanggal 13 November 2010.
38
http;elib.pdii,lipi.go.idkatalogindex.phpsearchkatalogbyId5612, ”Grameen Bank sebagai Sebuah Model Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan
”terakhir diakses pada tanggal 13 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
yang dituju oleh Prof. Yunus adalah penduduk termiskin yang praktis tidak mempunyai tanah. Bagi Prof. Yunus, persyaratan adanya jaminan bagi orang
miskin sama juga bohong. Inilah keistimewaan Grameen Bank, tidak adanya persyaratan agunan.
Dari banyak studi sudah diketahui bahwa lemahnya akses kredit bagi penduduk termiskin memang terletak pada kendala penyediaan agunan.
Bagaimana bila tidak punya agunan? Cara yang termudah bagi mereka untuk mendapatkan pinjaman uang yang tidak bertele-tele adalah dari rentenir. Rentenir
memang memiliki beberapa keunggulan diantaranya gigih menjaring nasabah, aktif dan rajin memberi kredit. Tentu saja juga rajin menagih. Hal yang tidak
betele-tele itu penting bagi sebagian besar masyarakat Bangladesh yang miskin dan masih buta huruf. Gaya rentenir ini yang coba diterapkan oleh Prof. Yunus
dalam Grameen Bank. Akan tetapi bukan semata-mata melegalkan rentenir karena ada perbedaan mendasar. Perbedaan paling mendasar adalah Grameen Bank
hanya mengenal tiga jenis kredit yaitu, kredit untuk menciptakan pendapatan income generating yang produktif, kredit untuk membangun rumah dan kredit
musiman untuk menanam tanaman musiman. Dalam kasus rentenir yang paling dominan adalah kredit untuk konsumsi yang sama sekali tidak produktif.
39
Disiplin, ini juga yang ingin dibudayakan dalam Grameen Bank. Dalam setiap lima peminjam dibentuk satu kelompok sehingga terjadi tanggung renteng.
Ketika masih ada anggota yang menunggak kredit maka yang lain bertanggung
39
http:www. elsppat.or.iddownloadfilew14_a4.pdf., “Grameen Bank Kredit yang Manusiawi dan Demokratis”diakses terakhir tanggal 13 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
jawab. Maka muncul suatu keharusan untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan disiplin dalam kelompok yang pada akhirnya akan menekan kredit macet.
Suku bunga yang diterapkan juga tidak mencekik. Grameen Bank menerapkan suku bunga yang sama dengan suku bunga komersial, yaitu 20 per
tahun. Bandingkan dengan rentenir yang bisa menetapkan bunga samapai 10 per bulan bahkan sampai 10 per hari. Ciri mendasar terakhir adalah tidak
melakukan ekspansi besar-besaran seperti layaknya rentenir. Meskipun menyebar cabang di mana-mana tetapi Grameen Bank tetap menjaga plafon kredit bagi
setiap peminjam. Ini bedanya dengan rentenir yang berekspansi besar-besaran hanya untuk meraih untung besar.
40
Berdasarkan hal-hal di atas, Grameen Bank mampu menyulap citra orang miskin yang dianggap pemalas, tak bisa dipercaya, tak bertanggung jawab
soal keuangan, menjadi sebaliknya. Itu bukan omong kosong, sebab data statistik menunjukkan 99 persen kredit nasabah Grameen dikembalikan tepat waktu. Ini
menjadikan Grameen Bank salah satu dari sedikit bank dengan kredit macet terkecil di dunia. Kini, 144 juta penduduk Bangladesh menunggu keajaiban demi
keajaiban lain yang akan dilakukan lelaki dari Chittagong tersebut. Menurut Yunus, dengan kecepatan pertumbuhan sekarang, Grameen Bank akan
40
http:www. elsppat.or.iddownloadfilew14_a4.pdf., “Grameen Bank Kredit yang Manusiawi dan Demokratis”diakses terakhir tanggal 13 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
memangkas kemiskinan sampai separuhnya pada tahun 2015, dan menciptakan museum kemiskinan bagi Bangladesh pada 2030.
41
41
Akmal Nasery Basral, “Keajaiban Lelaki dari Chittagong”, Tempo Online, 13 November 2006.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN