Contribution of Pine Forest Management to the welfare of forest communities (Case in RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)

(1)

(Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas

Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)

DESTIKA RESTYANI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN PINUS TERHADAP

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

(Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas

Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DESTIKA RESTYANI

E14080010

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(3)

Judul Skripsi : Kontribusi Pengelolaan Hutan Pinus terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan (Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)

Nama : Destika Restyani NRP : E14080010

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr.Ir.Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop NIP.19700329 199608 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Dr.Ir.Didik Suharjito,MS NIP.19630401 199403 1 001


(4)

RINGKASAN

DESTIKA RESTYANI. Kontribusi Pengelolaan Hutan Pinus terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan (Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh Dr.Ir.Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh informasi mengenai kegiatan pengelolaan hutan pinus, 2) mengidentifikasi karakteristik penyadap getah pinus, 3) menganalisis kontribusi pendapatan dari menyadap getah pinus terhadap pendapatan total rumah tangga penyadap, 4) menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan dari menyadap getah pinus, dan 5) memperoleh informasi mengenai tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 bertempat di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 60 orang. Analisis data dilakukan melalui analisis korelasi, analisis regresi linear berganda, dan pendekatan garis kemiskinan.

Kontribusi penyadapan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga penyadap pada luas areal <0,5 ha sebesar 37,88%; 0,5-0,99 ha sebesar 53,71%; 1-1,49 ha sebesar 73,76%; 1,5-1,99 ha sebesar 67,53%, dan 2-2,49 ha sebesar 93,32%. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa pendapatan dari sadapan getah pinus dan luas areal sadapan memiliki hubungan yang positif terhadap kontribusi sadapan getah pinus, sedangkan pendapatan dari non sadapan getah pinus memiliki korelasi negatif terhadap kontribusi sadapan getah pinus. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh terhadap besarnya pendapatan dari sadapan getah pinus adalah pengalaman kerja, frekuensi pengumpulan getah pinus, dan berat getah pinus. Menurut garis kemiskinan Sajogyo, sekitar 56,67% penyadap getah pinus berada di atas garis kemiskinan (sejahtera), sedangkan menurut garis kemiskinan Bank Dunia sekitar 38,33% penyadap getah pinus berada di atas garis kemiskinan (sejahtera).


(5)

SUMMARY

DESTIKA RESTYANI. Contribution of Pine Forest Management to the welfare of forest communities (Case in RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Supervised by Dr.Ir.Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.

This research aimed to: 1) obtain information about the activities of the management of pine forests, 2) identify the characteristics of the tappers, 3) analyze the contribution of income from pine resin tapping on total household income of tappers, 4) analyze the variables affect income from pine resin tapping activity, and 5) obtain information regarding the level of welfare tappers.

The research was conducted in April 2012 held at RPH Karangpucung, BPKH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Sampling method used purposive sampling with the number of respondents is 60 people. Data analysis was performed by correlation analysis, multiple linear regression analysis, and the poverty line approach.

Contribution of pine resin tapping against eavesdroppers on household income area <0,5 hectare is 37,88%; 0,5-0,99 hectare is 53,71%; 1-1,49 hectare is 73,76%; 1,5-1,99 hectare is 67,53%; and 2-2,49 hectare is 93,32%. The results showed that the income from pine resin tapping and pine resin tapping area have positive correlation to contribution of income from tapping, whereas the income from non resin tapping has negative correlation to contribution of income from resin tapping. The variables that affect the amount of income from pine tapping are work experience, pine resin collection frequency, and weight of pine resin. According Sajogyo poverty line, approximately 56,67% tappers are above the poverty line (welfare), while according to the World Bank poverty line, about 38,33% tappers are above the poverty line (welfare).


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kontribusi Pengelolaan Hutan Pinus terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan (Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Agustus 2012

Destika Restyani NRP E14080010


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Barat pada tanggal 29 Desember 1990 sebagai anak tunggal dari pasangan Dahlan dan Rohila Fatmawati. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri 01 Sukapura, Lampung Barat dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 08 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 09 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti organisasi DKM ‘Ibaadurrahmaan sebagai Bendahara pada tahun 2009 dan Sekretaris Divisi

Islamic Forester Center pada tahun 2010. Penulis juga pernah bergabung pada kelompok studi Sosial Ekonomi di Forest Management Student Club (FMSC) sebagai anggota. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan Open House 46 (2009), Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (2009), Temu Manajer (2010), dan asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (2010-2011). Kegiatan praktik lapang yang pernah diikuti penulis yaitu Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Sancang Timur-Papandayan pada tahun 2010, Praktik Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2011, dan Praktik Kerja Lapang di KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada tahun 2012.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul Kontribusi Pengelolaan Hutan Pinus terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan (Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah) dibawah bimbingan Dr.Ir.Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kontribusi Pengelolaan Hutan Pinus terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan (Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas segala do’a, nasehat, dukungan dan kasih sayangnya.

2. Bapak Dr.Ir.Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan motivasi bagi penulis selama penulisan skripsi.

3. Segenap karyawan KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah atas bantuan dalam kegiatan penelitian serta pengumpulan data dan informasi.

4. Civitas Fahutan 45 atas kebersamaannya selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... ivi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Pinus ... 6

2.2 Penyadapan Getah Pinus... 7

2.3 Produk Getah Pinus ... 10

2.4 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga ... 11

2.4.1 Pendapatan Rumah Tangga ... 12

2.4.2 Pengeluaran Rumah Tangga ... 13

2.5 Kesejahteraan ... 13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

3.2 Sasaran Penelitian ... 16

3.3 Jenis Data ... 16

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 16

3.5 Metode Pemilihan Responden ... 17


(10)

3.6.1 Kegiatan Pengelolaan Hutan Pinus... 17

3.6.2 Identifikasi Karakteristik Penyadap Getah Pinus ... 17

3.6.3 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga ... 17

3.6.4 Kontribusi Penyadapan Getah Pinus ... 18

3.6.5 Uji Regresi Linear Berganda untuk Mengetahui Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pendapatan dari Menyadap Getah Pinus ... 18

3.6.5 Tingkat Kesejahteraan Penyadap Getah Pinus ... 19

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Singkat Perum Perhutani dan KPH Banyumas Barat ... 20

4.2 Letak Geografis dan Luas Wilayah ... 20

4.3 Tanah dan Geologi ... 22

4.4 Iklim ... 22

4.5 Topografi dan Ketinggian Tempat ... 22

4.6 Ketenagakerjaan ... 23

4.7 Keadaan Hutan (Potensi dan Jenis) ... 23

4.8 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kegiatan Pengelolaan Hutan Pinus ... 25

5.1.1 Potensi Getah Pinus ... 25

5.1.2 Penyadapan Getah Pinus ... 26

5.2 Karakteristik Penyadap Getah Pinus ... 31

5.2.1 Jenis Kelamin Penyadap Getah Pinus ... 31

5.2.2 Umur Penyadap Getah Pinus... 32

5.2.3 Tingkat Pendidikan Penyadap Getah Pinus ... 32

5.2.4 Ukuran Keluarga Penyadap Getah Pinus ... 33


(11)

5.2.6 Luas Areal Penyadapan Getah Pinus ... 34

5.3 Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus ... 34

5.4 Pengeluaran Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus ... 36

5.5 Kontribusi Penyadapan Getah Pinus terhadap Pendapatan Rumah TanggaPenyadap…...….………37

5.6 Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pendapatan dari Menyadap Getah Pinus ... 40

5.7 Tingkat Kesejahteraan Penyadap Getah Pinus... 43

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 45

6.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Kriteria garis kemiskinan Sajogyo dan Bank Dunia ……… 19 2 Luas wilayah BKPH di KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit

I Jawa Tengah ………..…… 21 3 Tenaga kerja di KPH Banyumas Barat ….…………...……… 23 4 Potensi dan target produksi getah pinus tahun 2012 di KPH

Banyumas Barat ……….………….………. 25 5 Potensi dan target produksi getah pinus tahun 2012 di RPH

Karangpucung, BKPH Lumbir ………. 26 6 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin ………….…..……….. 32 7 Sebaran responden berdasarkan umur ………..……….………... 32 8 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan …….…………... 33 9 Sebaran responden berdasarkan ukuran keluarga inti…....….……….. 33 10 Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan utama dan pekerjaan

sampingan ………..……….…..………... 33 11 Sebaran responden berdasarkan luas areal penyadapan ….………..… 34 12 Sumber pendapatan rumah tangga responden yang berasal dari

sadapan getah pinus dan non sadapan getah pinus …….……..……… 35 13 Jenis pengeluaran rumah tangga responden ………….….…………... 36 14 Uji korelasi antara kontribusi pendapatan dari sadapan getah pinus

dengan pendapatan sadapan getah pinus, pendapatan non sadapan

getah pinus, dan luas areal sadapan ………..………..……… 39 15 Analisis ragam hubungan antara pendapatan getah pinus dengan

pengalaman kerja, frekuensi pengumpulan getah pinus, dan berat

getah pinus ……….………...…….……….. 40 16 Uji pengaruh masing-masing variabel terhadap besarnya pendapatan

getah pinus ………... 41 17 Uji korelasi masing-masing variabel terhadap besarnya pendapatan


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Diagram rumusan masalah ………...……… 4 2 Penyadapan getah pinus dengan metode koakan ………. 27 3 Penyadap yang sedang memperbarui koakan ……….. 27 4 Stimulan untuk meningkatkan produktivitas getah pinus: (a) CAS

(Cairan Asam Stimulansia) dan (b) etrat………. 28 5 Pengangkutan getah pinus ke TPG: (a) pengangkutan dengan

menggunakan sepeda motor, (b) pengangkutan dengan menggunakan

mobil, dan (c) pengangkutan dengan cara dipikul ………...… 29 6 Tempat Pengumpulan Getah (TPG) Citando di RPH Karangpucung,

BKPH Lumbir ………..……….…….……….. 30 7 Penimbangan getah pinus di TPG ………...………. 30 8 Getah pinus mutu I dan mutu II………... 31 9 Persentase kontribusi pendapatan dari penyadapan getah pinus

terhadap pendapatan rumah tangga responden ………..………. 38 10 a) Pohon yang rebah akibat koakan yang terlalu dalam, dan b)

Jumlah koakan yang melebihi koakan maksimal ...………. 42 11 Persentase tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus menurut

kriteria kemiskinan Sajogyo ...…………...…………..……… 43 12 Persentase tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus menurut


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Identitas responden ……….….…… 51 2 Kegiatan penyadapan getah pinus ……….………... 54 3 Sumber pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus …….…….. 57 4 Jenis pengeluaran rumah tangga penyadap getah pinus ……….. 60 5 Hasil analisis regresi linear berganda untuk mengetahui

variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan dari sadapan getah

pinus ………..….………...………...……… 63 6 Variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam uji regresi ……… 67 7 Hasil uji korelasi antara kontribusi pendapatan getah pinus terhadap

pendapatan rumah tangga dengan pendapatan dari sadapan getah pinus, pendapatan dari selain sadapan getah pinus, dan luas areal


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat desa hutan merupakan masyarakat yang keberadaannya berbatasan langsung dengan hutan. Kondisi masyarakat di sekitar hutan di Indonesia masih banyak yang tergolong miskin. Sianturi (2006) mengatakan bahwa di sekitar hutan Jawa saat ini terdapat sekitar 5.617 desa hutan dengan penduduk yang hidup di dalamnya sekurang-kurangnya 30 juta jiwa, yakni sekitar 21 juta jiwa tergolong miskin dan memerlukan akses langsung terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber ekonomi.

Masyarakat desa hutan banyak yang masih bergantung kepada hutan karena hutan dianggap bagian dari kehidupannya. Hasil yang diperoleh dari hutan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saat ini, hutan telah banyak dikelola oleh negara dan pengusaha sehingga akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas. Masyarakat tidak bisa leluasa mencari penghidupan di dalam hutan sehingga tidak jarang terjadi gangguan keamanan terhadap hutan seperti perambahan hutan, pencurian hasil hutan, dan gangguan keamanan lainnya. Hal ini diduga karena rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa hutan sehingga tingkat ketergantungan terhadap hutan masih sangat tinggi.

Aspek sosial merupakan salah satu aspek dalam kegiatan pengelolaan hutan yang lestari. Aspek ini turut melibatkan berbagai pemangku kepentingan tidak terkecuali masyarakat sekitar hutan dalam hal pengelolaan hutan. Terlebih ketika masyarakat di dalam dan sekitar hutan masih banyak yang tergolong miskin. Permasalahan kemiskinan tersebut mengharuskan semua pihak khususnya pemerintah dan pengelola hutan untuk memberikan perhatian kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Perum Perhutani, sebagai pengelola hutan di Pulau Jawa, juga tengah berupaya melibatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan sehingga kegiatan tersebut tidak hanya memberikan keuntungan bagi perusahaan, tetapi juga bagi kesejahteraan masyarakat desa hutan.


(16)

Usaha kehutanan kini cukup berkembang dengan tidak hanya mengandalkan kayu sebagai produk utama, tetapi juga produk hasil hutan bukan kayu. Prospek penjualan hasil hutan bukan kayu baik masa kini maupun masa yang akan datang diharapkan lebih baik mengingat banyak produk hasil hutan bukan kayu yang bernilai tinggi. Seperti halnya getah pinus di Perum Perhutani, hasil olahan getahnya yakni gondorukem dan terpentin telah diekspor ke berbagai negara. Perum Perhutani (2012c) menginformasikan bahwa saat ini pihak Perum Perhutani mendapatkan kontrak dagang dengan perusahaan Jepang yakni Marubeni Plax Corporation dalam hal pembelian gum rosin. Kerjasama ini merupakan bentuk keseriusan Perum Perhutani untuk meningkatkan pendapatan dari produk bukan kayu di masa mendatang dengan jaminan kontinuitas bahan baku yang disuplai ke industri luar negeri.

Perum Perhutani memerlukan banyak tenaga kerja untuk menyadap getah pinus karena adanya permintaan pasar yang cukup tinggi. Dengan demikian, terciptalah peluang kerja bagi masyarakat khususnya yang berada di dalam dan sekitar hutan untuk bekerja sebagai penyadap getah pinus. Dari kegiatan penyadapan getah pinus itulah, ada hubungan timbal balik antara pihak perusahaan, dalam hal ini Perum Perhutani, dengan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar wilayah areal kerjanya. Perum Perhutani memperoleh tenaga kerja yang cukup banyak untuk memenuhi target produksi getah pinus, sedangkan masyarakat akan turut menjaga hutan karena mereka merasa memilikinya dengan terlibat langsung dalam pengelolaan hutan. Pendapatan dari menyadap getah pinus diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan rumah tangga penyadap sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

Untuk mengetahui peranan pengelolaan hutan pinus terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, perlu dilakukan penelitian mengenai Kontribusi Pengelolaan Hutan Pinus terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan dengan studi kasus di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Karangpucung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lumbir, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.


(17)

1.2Rumusan Masalah

Pada umumnya, penyadap memiliki pekerjaan lain selain menyadap getah pinus. Dengan demikian, penyadapan getah pinus ini bisa saja dianggap pekerjaan sampingan oleh sebagian besar penyadap dan bagi sebagian lainnya menjadi pekerjaan utama. Penyadapan getah pinus ini tidak perlu dilakukan setiap hari karena pembaruan sadapan biasanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Di sela-sela pekerjaan menyadap itulah, penyadap dapat mengerjakan pekerjaan lainnya.

Adanya pekerjaan lain di luar sadapan getah pinus terkadang menjadi penghambat dalam pencapaian target produksi getah pinus. Namun, penyadap pun tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan dari penyadapan semata untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya karena upah yang diterima dinilai belum mencukupi sehingga perlu ada tambahan penghasilan di luar sadapan getah pinus. Upah yang diterima penyadap bergantung dari produktivitas yang diperoleh, semakin banyak getah pinus yang diperoleh akan semakin tinggi pula penghasilan yang didapat. Penyadap yang menganggap kegiatan sadapan sebagai pekerjaan utama akan secara rutin dan cenderung tepat waktu mengumpulkan getah pinus ke Tempat Pengumpulan Getah (TPG) sehingga hal ini akan membantu pihak Perum Perhutani dalam pencapaian target produksi getah pinus. Sebaliknya, penyadap yang menganggap penyadapan getah pinus sebagai pekerjaan sampingan diduga tidak terlalu serius dalam menyadap.

Penghasilan yang didapat baik dari hasil sadapan maupun selain sadapan secara langsung berkontribusi terhadap penghasilan rumah tangga. Semakin besar kontribusi dari dua sumber tersebut, maka pendapatan rumah tangga pun akan meningkat. Pendapatan inilah yang nantinya menjadi salah satu faktor yang akan menentukan tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus.

Berdasarkan uraian di atas, studi ini akan menjawab pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kegiatan pengelolaan hutan pinus di Perum Perhutani khususnya di KPH Banyumas Barat?


(18)

3. Berapa besar kontribusi hasil sadapan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga penyadap?

4. Variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap besarnya pendapatan dari menyadap getah pinus?

5. Bagaimana tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus?

Rumusan masalah penelitian Kontribusi Pengelolaan Hutan Pinus terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan (Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah) disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram rumusan masalah. 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh informasi mengenai kegiatan pengelolaan hutan pinus di KPH Banyumas Barat.

2. Mengidentifikasi karekteristik penyadap getah pinus. Variabel-variabel yang

mempengaruhi

besarnya pendapatan dari menyadap getah pinus

Pendapatan dari non sadapan getah pinus

Pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus

Pengeluaran rumah tangga penyadap getah pinus

Kesejahteraan penyadap getah pinus Pendapatan dari


(19)

3. Menganalisis kontribusi pendapatan dari menyadap getah pinus terhadap pendapatan total rumah tangga penyadap.

4. Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan dari menyadap getah pinus.

5. Memperoleh informasi mengenai tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peranan pengelolaan hutan pinus terhadap kesejahteraan penyadap getah pinus dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak Perum Perhutani atau pihak yang berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan penyadap getah pinus.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Pinus

Pinus terdiri atas banyak spesies, salah satunya adalah Pinus merkusii. Di Indonesia, pinus dikenal dengan nama tusam. Menurut Hendromono et al (2005)

dalam Handayani & Indrajaya (2008), Pinus merkusii merupakan jenis pohon pionir berdaun jarum yang termasuk dalam famili Pinaceae. Pohon pinus tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera Utara, dan daerah Kerinci.

Tanaman pinus di Pulau Jawa didominasi oleh jenis Pinus merkusii Jung et de Vriese yang dapat diuraikan sebagai berikut (Hermansyah 1980 dalam Priyono & Siswamartana 2002) :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Gymnospermae Class : Coniferae Ordo : Pinales Familia : Pinaceae Genus : Pinus

Species : Pinus merkusii Jungh et de Vriese

Pinus merkusii merupakan satu-satunya pinus yang tersebar secara alami hingga ke Selatan khatulistiwa, tersebar pula di beberapa negara yakni Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Pohonnya besar dan berbatang lurus. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 meter dengan diameter 60-80 cm. Untuk tegakan tua, tinggi pohon dapat mencapai 45 cm dengan diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda berwarna abu-abu, sedangkan yang tua berwarna gelap dan beralur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu dan bunga berkelamin tunggal. Buahnya berbentuk kerucut, silindris, panjang 5-10 cm dan lebar 2-4 cm. Bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk stobili, panjangnya 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk. Strobili betina banyak terdapat pada sepertiga bagian atas tajuk terutama di ujung dahan. Adapun buahnya berbentuk kerucut,


(21)

panjangnya 5-10 cm dan lebarnya 2-4 cm. Benih bersayap berada pada setiap dasar sisik dan setiap sisik menghasilkan dua benih (Hidayat & Hansen 2001).

Persyaratan tumbuh pinus relatif mudah, dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh pada tanah yang becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe hujan A sampai C, pada ketinggian 200-1700 meter di atas permukaan laut, kadang-kadang tumbuh di bawah ketinggian 200 meter di atas permukaan laut dan mendekati daerah pantai (Priyono & Siswamartana 2002).

2.2 Penyadapan Getah Pinus

Pemungutan hasil hutan bukan kayu seperti getah pinus dilakukan dengan cara disadap. Penyadapan pinus pada umumnya dilakukan dengan cara koakan (quarre) baik dengan maupun tanpa bahan perangsang (stimulan). Selain itu, telah banyak dilakukan penyadapan dengan cara lain yaitu metode riil dan metode bor karena suatu metode penyadapan belum tentu cocok diterapkan pada semua lokasi penyadapan (Sumadiwangsa 2000).

Berdasarkan bagian pohon yang disadap, terdapat 3 macam penyadapan, yaitu penyadapan pada batang pohon, penyadapan terhadap malai bunga atau buah, dan penyadapan terhadap buah. Penyadapan pada pohon pinus dilakukan terhadap bagian batangnya (Sumadiwangsa & Gusmailina 2006).

Menurut Kasmudjo (2011), ada beberapa metode dalam penyadapan getah pinus, yakni diuraikan seperti berikut:

a. Metode koakan

Sadapan dengan metode ini berbentuk huruf U terbalik dengan jarak mula-mula dari permukaan tanah 15-20 cm. Penyadapan dilakukan dengan cara mengerok kulit batang terlebih dahulu kemudian kayunya dilukai sedalam 1-2 cm, lebar 10 cm, dan tinggi koakan hingga 200 cm. Saat ini, mulai dikembangkan koakan dengan lebar 4-6 cm dan tinggi koakan 240 cm. Pembaruan koakan dilakukan pada hari ke empat.

b. Metode V

Penyadapan dengan metode V hampir sama dengan metode koakan. Namun, yang membedakannya adalah bentuk pelukaannya berbentuk huruf V. Dari bentuk tersebut, dapat dimodifikasi ke dalam bentuk V ganda atau seri arah ke atas yang


(22)

disebut dengan bentuk rill. Sadap awal 10 cm dari permukaan tanah dengan kemiringan 30°, ada saluran di tengah V. Lebar pelukaan 5 mm dengan jarak sadapan 5 mm. Frekuensi penyadapan enam hari sekali dengan tinggi maksimal 65 cm tiap tahunnya.

c. Metode bor

Penyadapan dengan metode ini dilakukan dengan membuat luka pada pohon yang akan disadap dengan cara dibor sedalam 3-12 cm (diameter mata bor ± 3 cm). Pembaruan luka bor bisa ke arah dalam atau di atas dari luka lama. Arah penyebaran sebaiknya 5-10° dari bidang mendatar. Saat ini, mulai dikembangkan sistem bor tertutup yaitu luka sadapan dimasuki selang dan getah yang keluar ditampung dalam plastik atau botol. Frekuensi sadapan dengan metode ini adalah lima sampai tujuh hari sekali.

d. Metode goresan atau guratan

Metode penyadapan ini biasanya dilakukan pada agathis (kopal) dan karet, sedangkan pada pinus jarang digunakan.

Pohon pinus yang akan disadap harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu pohon yang memiliki diameter minimum 20 cm dan pohon yang telah berumur sebelas tahun (Kasmudjo 1982 dalam Sugiyono et al 2001). Selain itu Soetomo (1971) dalam Iriyanto (2007) menyebutkan bahwa dalam melakukan penyadapan getah pinus seorang penyadap dipengaruhi oleh:

1. Musim hujan yang terus menerus menyebabkan suhu udara rendah sehingga getah cepat beku.

2. Adanya mata pencaharian lain. Pekerjaan lain dengan upah yang lebih tinggi menyebabkan penyadap memilih pekerjaan tersebut sehingga penyadapan terganggu.

3. Jarak dari desa ke blok sadapan dan interval pembaruan luka. 4. Situasi pasaran gondorukem.

5. Intensitas pengawasan.

Besar kecilnya upah yang diterima oleh penyadap sangat ditentukan oleh produktivitas getah pinus. Menurut Matangaran (2006), dari berbagai hasil penelitian, produksi getah pinus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luas areal sadap, kualitas tempat tumbuh, ketinggian tempat tumbuh, jumlah koakan tiap


(23)

pohon, jangka waktu pelukaan, sifat genetis pohon, perlakuan kimia berupa pemberian stimulan, keterampilan penyadap, arah sadapan dan lain-lain. Penelitian Kasmudjo (2011) menyebutkan bahwa produksi getah pinus dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni:

1. Faktor internal (dalam pohon), yaitu:

a. Jenis pohon pinus, masing-masing jenis pinus menghasilkan produktivitas hasil getah yang berbeda, misalnya Pinus merkusii 6,0 kg/pohon/tahun,

Pinus palutris 4,2 kg/pohon/tahun, dan Pinus martima 3,0 kg/pohon/tahun. b. Jumlah (persen) kayu gubal, jenis pinus dengan jumlah kayu gubal yang lebih banyak pada batang kayunya, maka pohon pinus tersebut dapat menghasilkan getah pinus total lebih banyak. Selain itu, karena daerah kayu gubal merupakan tempat akumulasi getah tertinggi (sekitar 36%). c. Kesehatan pohon, pinus dengan kesehatan yang baik, memungkinkan

menghasilkan getah lebih banyak.

d. Sistem perakaran, pinus dengan sistem perakaran yang memadai (luas) berarti dapat menyerap zat makanan dari dalam tanah dengan lebih baik sehingga hasil getahnya lebih banyak.

e. Persen tajuk (lebar dan tinggi tajuk pohon), pinus dengan tajuk yang lebih banyak memungkinkan proses fotosintesis lebih optimal sehingga menghasilkan getah lebih banyak.

2. Faktor eksternal (lingkungan, luar pohon), yaitu:

a. Jarak tanam, hutan pinus dengan jarak tanam yang jarang pada umumnya akan tumbuh lebih baik sehingga menghasilkan getah pinus lebih banyak. b. Iklim dan tempat tumbuh, pohon atau hutan pinus yang tumbuh di daerah

dengan curah hujan rata-rata kurang dari 2000 mm/tahun, suhu antara 22-28°C dan tinggi tempatnya antara 400-700 m dari permukaan laut menghasilkan getah optimal.

c. Bonita, pada tanah yang subur memungkinkan menghasilkan getah pinus lebih banyak.

3. Faktor perlakuan (oleh manusia)

a. Bentuk sadapan, hasil getah dari sadapan bentuk koakan paling banyak, kemudian menyusul bentuk rill dan bor.


(24)

b. Arah sadapan, arah menghadapnya luka sadapan tersebut. Arah sadapan menghadap ke timur paling banyak menghasilkan getah kemudian menghadap ke utara, selatan, dan barat.

c. Arah pembaruan, pembaharuan ke arah atas produksi getahnya lebih banyak dibandingkan ke arah bawah.

d. Penggunaan stimulan, upaya perangsangan pada luka sadapan dengan bahan kimia asam. Upaya stimulansia harus menggunakan pedoman yang teliti agar tidak merugikan. Bahan stimulansia yang dapat digunakan antara lain asam sulfat, socepas, asam oksalat, CuSO4, ethrel, bolus alba

dan sebagainya.

2.3 Produk Getah Pinus

Pada awalnya, tujuan penanaman pinus di Perum Perhutani adalah untuk menghasilkan kayu. Kemudian dicoba untuk dilakukan penyadapan yang diteruskan dengan penyulingan hingga menghasilkan gondorukem dan terpentin (Sumadiwangsa 2000).

Gondorukem dapat digunakan secara murni maupun sebagai campuran, yaitu: a. Dalam industri batik, gondorukem digunakan sebagai bahan pencampur lilin

batik sehingga diperoleh malam. Kebutuhan gondorukem dalam industri ini kira-kira 2.500 ton/tahun.

b. Dalam industri kertas, gondorukem digunakan sebagai bahan sizing (pengisi) dalam pembuatan kertas. Kebutuhan gondorukem dalam industri ini kira-kira 0,5% dari produksi kertas atau 2.000 ton/tahun.

c. Dalam industri sabun, gondorukem digunakan sebagai bahan pencampur dibutuhkan kira-kira 5-10% dari berat sabun.

d. Gondorukem juga dipakai untuk pembuatan varnish, tinta cetak, bahan isolasi listrik, korek api, lem, industri kulit dan lain-lain.

Terpentin digunakan untuk minyak cat, campuran parfum, detergent, flavouring agent, protective coating, insektisida, lubricants, medicine, plastic, rubber, dan sebagainya (Soenardi 1983).


(25)

2.4 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga

Menurut Rahim & Hastuti (2007), pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga merupakan hal yang penting dalam kehidupan berumah tangga, baik rumah tangga petani maupun bukan rumah tangga petani.

BPS (1995) mendefinisikan bahwa rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan bersama dari satu dapur atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluannya sendiri. Orang yang tinggal di rumah tangga ini disebut anggota rumah tangga, sedangkan orang yang bertanggung jawab terhadap rumah tangga adalah kepala rumah tangga.

Sebuah rumah tangga bisa terdiri atas satu orang, sedangkan sebuah keluarga terdiri atas minimal dua orang. Berdasarkan keterkaitan antara keluarga dan rumah tangga, maka rumah tangga terdiri atas dua macam, yakni (Sumarwan 2011):

1. Rumah tangga keluarga

Rumah tangga keluarga adalah sebuah rumah tangga yang anggota-anggotanya terikat oleh hubungan perkawinan, darah, atau adopsi. Rumah tangga keluarga terdiri atas:

a. Rumah tangga suami dan istri.

b. Rumah tangga suami, istri, dan anak-anaknya.

c. Rumah tangga suami dan istri, dan anak-anak tinggal di rumah tangga yang berbeda (misalnya anak sekolah di luar kota atau sudah memiliki rumah sendiri).

d. Rumah tangga orang tua tunggal (ayah saja atau ibu saja), dan

e. Rumah tangga lainnya (saudara sekandung, atau anggota keluarga lainnya tinggal bersama dalam satu rumah).

2. Rumah tangga bukan keluarga

Rumah tangga bukan keluarga adalah sebuah rumah tangga yang anggota-anggotanya tidak terikat oleh hubungan perkawinan, darah, atau adopsi. Rumah tangga bukan keluarga terdiri atas:

a. Rumah tangga yang dihuni oleh seorang pria sendiri


(26)

c. Rumah tangga yang dihuni oleh dua orang atau lebih yang tidak memiliki hubungan keluarga.

2.4.1 Pendapatan Rumah Tangga

Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga sesuai dengan mata pencaharian utama ditambah dengan mata pencaharian tambahan yang diperoleh rumah tangga tersebut per satuan waktu (Soemitro 1981 dalam Prabandari 1997).

Menurut Rahardja dan Manurung (1999), ada tiga sumber pendapatan rumah tangga, yaitu:

1. Pendapatan dari gaji dan upah

Gaji dan upah adalah balas jasa terhadap kesediaan menjadi tenaga kerja. Besar gaji atau upah seseorang secara teoritis bergantung dari produktivitasnya. Upah adalah imbalan jasa yang diterima seseorang di dalam hubungan kerja yang berupa uang atau barang, melalui perjanjian kerja, imbalan jasa diperuntukkan memenuhi bagi dirinya dan keluarganya (Ravianto 1985).

Menurut Badrudin (1974) dalam Hidayat (1999), penetapan upah di perusahaan di bidang kehutanan dapat digolongkan menjadi dua yakni:

a. Penetapan upah dengan dasar waktu

Dasar yang digunakan adalah waktu selama dilakukan pekerjaan dalam hari, minggu atau bulanan. Karyawan yang menerima cara pengupahan seperti ini adalah karyawan tetap. Kelebihan dari cara ini adalah sederhana dalam pemeriksaan, pendaftaran, dan kualitas hasil pekerjaan tinggi. Akan tetapi, cara penetapan upah seperti ini tidak memberi semangat untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi dan sukar dalam perhitungan harga pokok.

b. Penetapan upah dengan dasar prestasi

Dasar yang digunakan adalah prestasi kerja. Cara ini lazim disebut juga cara borongan. Pekerja menerima upah bergantung kepada pestasi yang telah dilakukan dalam waktu yang telah disediakan sehingga jumlah upah tiap bulan bisa bervariasi. Penetapan upah dengan cara ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya mudah dalam hal pelaksanaan dan pengawasan, sederhana dalam hal pendaftaran, serta baik untuk perhitungan harga pokok. Kelemahan dari penetapan upah dengan dasar prestasi ini mengakibatkan pekerja terkadang harus


(27)

mengeluarkan tenaga yang melebihi kemampuannya untuk mencapai upah yang tinggi.

2. Pendapatan dari aset produktif

Aset produktif adalah aset yang memberikan pemasukan atas balas jasa penggunaannya.

3. Pendapatan dari pemerintah (transfer payment)

Pendapatan dari pemerintah adalah pendapatan yang diterima bukan sebagai balas jasa atas input yang diberikan. Di negara-negara yang telah maju, penerimaan transfer diberikan, misalnya dalam bentuk tunjangan penghasilan bagi para pengangguran (unemployment compensation), jaminan sosial bagi orang-orang miskin dan berpendapatan rendah.

2.4.2 Pengeluaran Rumah Tangga

Total pengeluaran rumah tangga adalah sejumlah pengeluaran berbentuk uang yang dilakukan oleh suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dalam kurun waktu tertentu (BPS 2000 dalam Sulistiana 2008).

Menurut Sumarwan (2011), jumlah anggota keluarga atau rumah tangga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa. Rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengonsumsi beras, daging, sayuran, dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit. Jumlah anggota keluarga akan menggambarkan potensi permintaan terhadap suatu produk dari sebuah rumah tangga.

2.5 Kesejahteraan

Kemiskinan dimaknai sebagai kurangnya kesejahteraan dan kesejahteraan sebagai berkurangnya kemiskinan. Kemiskinan berarti kurangnya pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau kekurangan kekayaan untuk memberi stabilitas atau menghadapi perubahan seperti kehilangan pekerjaan, sakit atau krisis lainnya. Kemiskinan dapat juga berarti bahwa kebutuhan dasar yang lain, seperti kesehatan, pendidikan atau perumahan, tidak memadai. Akan tetapi, kemiskinan juga subjektif, dan dapat disebabkan oleh perasaan, seperti kehilangan, kerentanan, keterkucilan, malu atau sakit. Seseorang


(28)

dapat merasa miskin jika kesejahteraannya turun, atau jika dia membandingkan dirinya dengan orang lain yang keadaannya lebih baik (CIFOR 2007).

Menurut Suparlan (1986), kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Salim (1980) dalam Dharmawan et al. (2010) menyebutkan bahwa penduduk miskin dapat dicirikan dengan: 1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup) : bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.

Kemiskinan yang terjadi di perdesaan menyebabkan kesejahteraan masyarakat menjadi rendah. Pendapatan masyarakat yang rendah dan tingginya tingkat pengangguran menyebabkan meningkatnya arus migrasi ke kota (urbanisasi). Secara umum kemiskinan menyebabkan efek yang hampir sama di semua negara. Kemiskinan menyebabkan hilangnya kesejahteraan bagi kalangan miskin (sandang, pangan, papan), hak akan pendidikan, hak atas kesehatan, tersingkirnya dari pekerjaan yang layak secara kemanusiaan, termarjinalkan dari hak atas perlindungan hukum, hak atas rasa aman, hak atas partisipasi terhadap pemerintahan dan keputusan publik, hak atas spritualitas, hak untuk berinovasi, dan yang lebih penting hak atas kebebasan hidup (Muttaqien 2006).

CIFOR (2007) juga menyebutkan ada beberapa pendekatan untuk secara resmi menentukan kemiskinan dalam suatu populasi dan menetapkan siapa yang miskin. Salah satunya adalah dengan menarik garis kemiskinan. Garis kemiskinan menandai level konsumsi minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fisik dasar. Individu yang berada di bawah garis ini dianggap miskin. Kebanyakan


(29)

negara memiliki definisi sendiri mengenai garis kemiskinan tersebut dan, oleh karena itu, kemiskinan sangat berlainan dari satu negara ke negara lain.

Mengacu pada teori garis kemiskinan Sajogyo (1971) dalam BPS (2008), kesejahteraan rumah tangga responden diukur dengan pendekatan tingkat pengeluaran yang ekuivalen dengan konsumsi beras (kg) per orang per tahun di daerah perdesaan dan perkotaan. Di daerah perkotan, kriteria rumah tangga paling miskin jika konsumsi beras berkisar antara 0-270 kg/orang/tahun, miskin sekali jika konsumsi beras berkisar antara 270-360 kg/orang/tahun, kriteria miskin jika konsumsi beras 360-480 kg/orang/tahun, dan apabila tingkat konsumsi beras lebih dari 480 kg/orang/tahun maka rumah tangga tersebut dikategorikan tidak miskin. Untuk perdesaan, kriteria yang menyatakan paling miskin jika konsumsi beras berkisar antara 0-180 kg/orang/tahun, kriteria miskin sekali jika konsumsi beras berkisar antara 180-240 kg/orang/tahun, kriteria miskin jika konsumsi beras berkisar antara 240-320 kg/orang/tahun, dan kriteria tidak miskin jika konsumsi beras lebih dari 320 kg/orang/tahun.

Adapula bentuk pendekatan lain untuk mengukur kemiskinan secara global, yakni kriteria kemiskinan menurut Bank Dunia. Bank Dunia menggunakan indikator pendapatan per kapita US$1 per hari. Orang dianggap miskin jika pendapatannya di bawah standar tersebut (CIFOR 2007).


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April tahun 2012 di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Karangpucung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lumbir, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa RPH Karangpucung merupakan penghasil getah pinus terbesar di BKPH Lumbir yang menyerap tenaga kerja cukup banyak.

3.2 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah penyadap yang melakukan kegiatan penyadapan getah pinus secara aktif di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

3.3Jenis Data

Jenis data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber-sumber data yang meliputi data mengenai identitas responden, data mengenai kegiatan penyadapan getah pinus, data besarnya pendapatan rumah tangga, dan data pengeluaran rumah tangga setiap responden. Adapun data sekunder terdiri atas data kondisi umum lokasi penelitian baik lingkungan fisik maupun sosial ekonomi masyarakat sekitar KPH Banyumas Barat, data potensi getah pinus dan jumlah penyadap tahun 2012, dan peraturan mengenai kegiatan penyadapan getah pinus.

3.4Metode Pengumpulan Data

Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara terhadap penyadap getah pinus dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Adapun data sekunder dihimpun dari instansi dan lembaga yang terkait dengan penelitian.


(31)

3.5Metode Pemilihan Responden

Pengambilan sampel responden menggunakan metode non probability sampling yakni purposive sampling. Menurut Sudjana (1988), metode purposive sampling adalah pengambilan unsur sampel atas dasar tujuan tertentu sehingga memenuhi keinginan dan kepentingan peneliti. Dalam hal ini, responden yang dipilih adalah penyadap getah pinus yang melakukan kegiatan penyadapan secara aktif di lokasi penelitian.

Jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak enam puluh orang. Jumlah sampel tersebut telah memenuhi kriteria pengambilan contoh berdasarkan penuturan Sudjana (1988) bahwa minimal sampel yang diambil adalah sebanyak tiga puluh orang yang didasarkan atas perhitungan atau syarat pengujian yang lazim digunakan dalam statistika.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1 Kegiatan Pengelolaan Hutan Pinus

Kegiatan pengelolaan getah pinus di KPH Banyumas Barat dianalisis secara deskriptif yang meliputi potensi getah pinus dan kegiatan penyadapan getah pinus.

3.6.2 Identifikasi Karakteristik Penyadap Getah Pinus

Pengidentifikasian karakteristik penyadap getah pinus dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Adapun komponen-komponen yang akan disajikan untuk mengidentifikasi karakteristik responden terdiri atas jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, ukuran keluarga, jenis pekerjaan, dan luas areal sadapan.

3.6.3 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pendapatan Rumah tangga

1. Pendapatan dari kegiatan penyadapan getah pinus (S) S (Rp) = berat getah pinus (kg) x tarif upah (Rp/kg) 2. Pendapatan dari kegiatan non penyadapan getah pinus (NS)


(32)

3. Pendapatan total (I total) I total (Rp) = S (Rp) + NS (Rp)

Pengeluaran Rumah Tangga (Rahim & Hastuti 2007) C=∑P + ∑NP

Keterangan:

C : Total pengeluaran rumah tangga (Rp) P : Pengeluaran untuk pangan (Rp) NP : Pengeluaran untuk non pangan (Rp)

3.6.4 Kontribusi Penyadapan Getah Pinus

Kontribusi Pendapatan dari Penyadapan Getah Pinus terhadap Pendapatan Rumah Tangga

Keterangan:

IS : Kontribusi pendapatan dari penyadapan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga (%)

S : Pendapatan dari kegiatan penyadapan getah pinus (Rp/tahun) I total : Pendapatan total (Rp/tahun)

3.6.5 Uji Regresi Linear Berganda untuk Mengetahui Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pendapatan dari Menyadap Getah Pinus

Untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya pendapatan dari sadapan getah pinus dapat diduga dengan menggunakan uji regresi linier berganda. Adapun hipotesis statistik adalah sebagai berikut:

H0 : semua variabel X tidak berpengaruh terhadap Y

H1 : minimal ada satu variabel X yang berpengaruh terhadap Y

Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis varian (ANOVA) dengan pengujian menggunakan program statistik (SPSS 15). Jika didapatkan nilai P>α maka terima H0 yang berarti semua variabel bebas (X) tidak berpengaruh signifikan terhadap

IS (%) = S I total


(33)

variabel terikat (Y). Apabila nilai P<α, maka tolak H0 yang berarti minimal ada

satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat (Y).

3.6.6 Tingkat Kesejahteraan Penyadap Getah Pinus

Tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus diukur melalui dua pendekatan, yakni pendekatan garis kemiskinan menurut Sajogyo (1971) dalam BPS (2008) dan Bank Dunia (CIFOR 2007) seperti yang diterangkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kriteria garis kemiskinan Sajogyo dan Bank Dunia

Kriteria Indikator Garis Kemiskinan

Sajogyo Pengeluaran rumah tangga (Rp/orang/tahun) setara dengan beras (kg/orang/tahun)

>320 kg/orang/tahun

Bank Dunia Pendapatan rumah tangga (Rp/orang/hari)

US$ 1/orang/hari*


(34)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Profil Singkat Perum Perhutani dan KPH Banyumas Barat

Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbasis sumberdaya hutan yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan (hutan produksi dan hutan lindung) berdasarkan prinsip perusahaan dalam wilayah kerjanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Adapun sifat usaha dari Perum Perhutani adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan kelestarian sumber daya hutan. Berdirinya Perum Perhutani bertujuan untuk turut serta membangun ekonomi nasional, khususnya dalam rangka pelaksanaan program pembangunan nasional di bidang kehutanan (Peraturan Pemerintah RI No.72 Tahun 2010).

Wilayah KPH Banyumas Barat sejak tahun 1875 hingga saat ini seringkali mengalami perubahan yang menyangkut wilayah status dan pelaksanaan pengelolaan yakni:

1. Tahun 1875-1893 termasuk Distrik Hutan Banyumas, Bagelen dan Kedu 2. Tahun 1894-1899 termasuk Distrik Bagelen Barat dan Banyumas

3. Tahun 1900-1919 termasuk Distrik Hutan Banyumas

4. Tahun 1920-1928 termasuk Distrik Hutan Banyumas dan sekitarnya 5. Tahun 1929-1941 termasuk Distrik Hutan Banyumas

6. Tahun 1942-1961 termasuk Daerah Hutan Banyumas Barat 7. Tahun 1962-1973 menjadi Kesatuan Hutan Banyumas Barat

8. Tahun 1973 sampai dengan sekarang menjadi Perum Perhutani KPH Banyumas Barat (Perum Perhutani 2012a).

4.2 Letak Geografis dan Luas Wilayah

KPH Banyumas Barat secara geografis berada pada koordinat 108°33’33.488”-109°3’16.756” BT dan 7°8’894”-7°43’52.327” LS. Adapun batas-batas areal kerja KPH Banyumas Barat adalah sebagai berikut:


(35)

b. Sebelah Timur berbatasan dengan KPH Pekalongan Timur dan KPH Banyumas Timur.

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Segara Anakan dan Samudera Indonesia. d. Sebelah Barat berbatasan dengan KPH Ciamis (Perum Perhutani 2012a).

Secara administratif, KPH Banyumas Barat terletak di dua kabupaten yakni Kabupaten Banyumas seluas 7.697,15 hektar (13,86%) dan Kabupaten Cilacap seluas 47.849,07 hektar (86,14%). Wilayah kerja seluas 55.562,99 hektar terdiri atas hutan produksi seluas 29.441,81 hektar, hutan produksi terbatas seluas 26.007,09 hektar, dan hutan lindung seluas 114,10 hektar (Perum Perhutani 2012a).

KPH Banyumas Barat ditetapkan mejadi dua kelas perusahaan, yaitu kelas perusahaan pinus dan kelas perusahaan mangrove. Adapun luas wilayah tiap BKPH dan RPH disajikan pada Tabel 2. Kelas perusahaan pinus berada pada 6 BKPH yakni BKPH Lumbir, BKPH Majenang, BKPH Sidareja, BKPH Wanareja, BKPH Kawunganten, dan BKPH Bokol. Adapun kelas perusahaan mangrove berada di 2 BKPH yakni BKPH Rawa Barat dan BKPH Rawa Timur (Perum Perhutani 2012a).

Tabel 2 Luas wilayah BKPH dan RPH di KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

BKPH RPH Luas (ha)

Lumbir Karangpucung 2.173,58

Banteran 1.253,19

Lumbir 1.267,04

Samudra 1.728,48

Majenang Majenang 3.873,66

Cimanggu 1.812,59

Pesahangan 2.634,31

Surusunda 1.812,99

Wanareja Wanareja 2.568,34

Dayeuhluhur 7.157,40

Kawunganten Julangmangu 1.364,80

Kalijeruk 1.045,68

Kedungwadas 1.665,30

Kubangkangkung 1.087,58

Bokol Besuki 723,90

Citepus 1.343,74

Mentasan 758,56

Randegan 928,23

Sidareja Cidora 909,99

Ciporos 713,68

Gandrungmangu 1.214,38

Sidareja 1.445,67


(36)

Lanjutan Tabel 2

BKPH RPH Luas (ha)

Cikonde 3.826,52

Cilacap 3.776,69

Tritih 1.754,70

Ujungmanik 618,47

Rawa Barat Ciawilayan 967,59

Cikujang 1.427,00

Cisumur 1.262,50

Rawa Apu 846,53

Jumlah 55.562,98

Sumber: Perum Perhutani (2012a)

4.3 Tanah dan Geologi

Jenis tanah pada KPH Banyumas Barat antara lain latosol, litosol, gromosol, regosol, aluvial, mediteran, dan planosol. Adapun jenis batuan yang ada yaitu batu kapur, batu vulkan, dan naval (Perum Perhutani 2012a).

4.4 Iklim

Wilayah KPH Banyumas Barat terletak pada suatu daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang jelas. Pada beberapa tempat di sekitar wilayah hutan, terdapat beberapa stasiun cuaca sehingga dari data stasiun cuaca tersebut dapat diketahui adanya bulan basah dan bulan kering. Bulan basah tertinggi terjadi pada bulan November dan bulan basah terendah terjadi pada bulan April. KPH Banyumas Barat memiliki tipe iklim B dengan curah hujan 3.500 mm/tahun (Perum Perhutani 2012a).

4.5 Topografi dan Ketinggian Tempat

Komposisi kelerengan di wilayah KPH Banyumas Barat adalah sebagai berikut:

a. Datar (kelerengan 0-8%) : 23,78% b. Landai (kelerengan 8-15%) : 27,61% c. Bergelombang (kelerengan 15-25%) : 43,71% d. Agak curam (kelerengan 25-40%) : 4,45% e. Curam (kelerengan >40%) : 0,46%

Wilayah KPH Banyumas Barat merupakan deretan pegunungan yang bersambung. Di antara pegunungan-pegunungan tersebut, terdapat lembah-lembah


(37)

sehingga terbentuk sungai yang merupakan daerah tangkapan air yang membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan ketinggian tempat yang bervariasi mulai dari ketinggian 24 m dpl sampai 1.000 m dpl dengan jumlah 101 pegunungan yang tersebar hampir merata (Perum Perhutani 2012a).

4.6 Ketenagakerjaan

Tenaga kerja merupakan elemen yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan hutan. KPH Banyumas Barat memiliki 545 orang tenaga kerja. Tenaga kerja di KPH Banyumas Barat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Tenaga kerja di KPH Banyumas Barat No Bagian/BKPH PNS/DPB Pegawai

Perhutani

Pekerja

Pelaksana Jumlah

1 Kantor KPH 1 46 23 70

2 KSKPH Cilacap 6 0 6

3 Polhutan Mobil 4 8 12

4 BKPH Wanareja 19 33 52

5 BKPH Majenang 51 84 135

6 BKPH Lumbir 29 60 89

7 BKPH Sidareja 23 27 50

8 BKPH Rawa Barat 12 13 25

9 BKPH Kawunganten 22 9 31

10 BKPH Bokol 16 18 34

11 BKPH Rawa Timur 21 20 41

Jumlah 1 249 295 545

4.7 Keadaan Hutan (Potensi dan Jenis)

KPH Banyumas Barat ditetapkan ke dalam kelas perusahaan pinus karena lahan di areal tersebut cocok ditanami jenis pinus. Tanaman pinus yang tumbuh baik adalah jenis Pinus merkusii. Di lokasi lain yang cukup datar dengan persyaratan iklim yang memungkinkan, ditanam jenis jati dan rimba lain. Selain jenis tanaman kehutanan, adapula jenis lain seperti palawija, empon-empon, buah-buahan, dan umbi-umbian. Kawasan yang tidak diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan ditumbuhi tumbuhan liar seperti kerinyu (Eupathorium spp), tembelekan (Lantana camara), alang-alang (Imperata spp), putri malu (Mimosa pudica), rumput-rumputan, bambu wuluh, tepus, dan pulutan (Perum Perhutani 2012a).


(38)

Jenis-jenis satwa liar yang ditemukan pada kawasan hutan produksi meliputi kijang, babi hutan, ayam hutan, kera, trenggiling, dan biawak. Sedangkan satwa liar yang termasuk kategori langka dan terancam hampir punah juga pernah ditemukan seperti lutung (Presbytis cristata), kera ekor panjang (Macaca fasicularis), macan tutul (Panthera pardus), dan macan kumbang (Panthera pardus) (Perum Perhutani 2012a).

4.8 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Areal kerja KPH Banyumas Barat berbatasan langsung dengan desa-desa di sekitar hutan. Terdapat 106 desa hutan dalam wilayah kelas perusahaan pinus yang tersebar dalam 11 kecamatan dan 2 kabupaten yakni Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap. Jumlah penduduk dalam kecamatan yang masuk wilayah KPH Banyumas Barat yang tersebar di 2 kabupaten yakni Kabupaten Cilacap sejumlah 1.744.128 orang dan Kabupaten Banyumas sejumlah 1.553.902 orang. Dari jumlah penduduk tersebut, sebanyak 50,05% atau 1.650.819 orang berjenis kelamin pria dan sebanyak 49,95% atau 1.647.211 orang berjenis kelamin wanita (Perum Perhutani 2012a).

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat perdesaan di wilayah KPH Banyumas Barat adalah sebagai petani dan buruh. Masyarakat masih sangat mengandalkan pertanian sebagai penopang kehidupannya. Selain bertani, masyarakat juga memiliki ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, dan babi. Selain itu, adapula bidang usaha lain yakni bidang perikanan yang dikelola dengan menggunakan sistem tambak (kolam khusus untuk memelihara ikan) dan sistem tanaman yakni pemeliharaan ikan di sawah bersamaan dengan tanaman padi (Perum Perhutani 2012a).


(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kegiatan Pengelolaan Hutan Pinus 5.1.1 Potensi Getah Pinus

Getah pinus di KPH Banyumas Barat seperti yang tertera pada Tabel 4 berasal dari 6 BKPH yang termasuk ke dalam kelas perusahaan pinus, yaitu BKPH Wanareja, BKPH Majenang, BKPH Lumbir, BKPH Sidareja, BKPH Bokol, dan BKPH Kawunganten. BKPH Majenang memiliki target produksi getah pinus terbesar di KPH Banyumas Barat pada tahun 2012 yakni sebesar 5.814.236 kilogram.

Tabel 4 Potensi dan target produksi getah pinus tahun 2012 di KPH Banyumas Barat

BKPH Luas sadapan (ha)

Jumlah pohon (pohon)

Jumlah penyadap

(orang)

Target produksi (kg) Wanareja 3.049,1 685.606 1.264 2.445.971 Majenang 7.349,3 1.718.897 4.556 5.814.236 Lumbir 4.723,3 1.112.556 3.300 3.761.433 Sidareja 2.280,6 626.215 1.574 2.192.757 Bokol 418,1 109.594 146 360.260 Kawunganten 319,4 84.459 190 235.207 Total 18.139,8 4.337.327 11.030 14.809.864 Sumber: Perum Perhutani (2012a)

Penyadapan getah pinus dilakukan oleh seorang penyadap yang sebagian besar berasal dari desa sekitar hutan. Areal sadapan dibagi ke dalam blok-blok sadapan sesuai dengan kemampuan penyadap dan diupayakan setiap blok berjumlah dua hingga sepuluh penyadap dengan jumlah pohon pangkuan tiap penyadap sebanyak kurang lebih lima ratus pohon. Tabel 4 memberikan informasi bahwa penyadap getah pinus di KPH Banyumas Barat berjumlah 11.030 orang yang seluruhnya berasal dari desa sekitar KPH Banyumas Barat. Jumlah penyadap paling banyak berada di BKPH Majenang yakni 4.556 orang dan paling sedikit di BKPH Bokol yakni 146 orang. Hal ini dipengaruhi oleh luas sadapan tiap BKPH dimana BKPH yang memiliki luas sadapan terbesar membutuhkan tenaga penyadap yang besar pula.


(40)

Tabel 5 Potensi dan target produksi getah pinus tahun 2012 di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir

Kelas Umur Luas Areal (ha) Jumlah Pohon (pohon)

Target Produksi (kg/ha)

III 34,50 7.568 365,13

IV 18,40 2.305 346,52

V 78,00 26.174 1.326,28

VI 263,60 69.498 902,65 VII 1.027,60 216.492 723,08 VIII 346,00 87.612 857,31 Jumlah 1.768,10 409.649 4.520,97

Sumber : Perum Perhutani (2012b)

Berdasarkan informasi pada Tabel 5, di lokasi penelitian yakni RPH Karangpucung memiliki target produksi getah pinus di tahun 2012 adalah sebesar 4.520,97 kg per hektar dengan areal sadapan seluas 1.768,10 hektar.

5.1.2 Penyadapan Getah Pinus

Urutan kegiatan penyadapan getah pinus di Perum Perhutani dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:

1. Pra Sadap

Pra sadap merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum penyadapan dimulai seperti pemberian batas petak sadapan, pembagian blok sadapan, pelaksanaan sensus pohon, pembersihan areal sadapan, pembuatan mal sadap, dan pembuatan plang sadapan. Pra sadap ini dilakukan setahun sebelum penyadapan getah pinus dimulai.

2. Sadap buka

Kegiatan sadap buka ini adalah pembuatan koakan (quarre) awal, pemasangan talang, dan tempurung kelapa.

3. Sadap lanjut

Sadap lanjut adalah kegiatan untuk melanjutkan koakan (quarre) yang sudah ada.

4. Sadap mati

Sadap mati adalah kegiatan penyadapan getah pinus pada tegakan yang akan ditebang setahun yang akan datang.

Metode penyadapan getah pinus yang diterapkan di KPH Banyumas Barat adalah metode koakan (quarre) (Gambar 2). Proses pelukaan dengan metode


(41)

koakan diawali dengan bidang sadapan berupa persegi panjang dengan ukuran 6 X 10 cm dengan jarak koakan pertama dari permukaan tanah adalah 20 cm. Kedalaman koakan maksimal 1,5 cm lepas kulit. Jatah pembaruan koakan (quarre) untuk koakan selanjutnya adalah 5 cm per bulan. Pada tahun selanjutnya, dibuat koakan baru pada bidang sadapan yang lain dengan ukuran yang sama. Perlengkapan yang digunakan dalam penyadapan getah pinus ini meliputi petel

(kadukul), talang, paku, batu asah, tempurung kelapa, sprayer, dan ember.

Gambar 2 Penyadapan getah pinus dengan metode koakan.

Menurut aturan yang diberlakukan oleh Perum Perhutani, pembaruan koakan (quarre) dilakukan setiap tiga hari tanpa stimulansia Cairan Asam Stimulansia (CAS) atau setiap lima hari dengan stimulansia CAS. Untuk penyadap yang menggunakan stimulan jenis etrat, pembaruan koakan dilakukan setiap tiga hari sekali. Namun, terkadang penyadap juga harus mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan lain sehingga pembaruan dilakukan di luar ketentuan tersebut, misalnya empat hari sekali atau tujuh hari sekali baik menggunakan stimulan CAS maupun stimulan etrat.

a.bagian kulit yang dibersihkan

c.quarre awal

d.talang e.tempurung kelapa 6 cm

10 cm

20 cm

b.mal sadap 5 cm


(42)

Sebagian besar penyadap melakukan pembaruan quarre pada pagi hingga siang hari. Namun, adapula penyadap yang melakukan penyadapan sampai sore hari sambil mengambil rumput untuk pakan ternak. Penyadap getah pinus memiliki rata-rata curahan kerja dalam setiap pembaruan quarre adalah enam jam per hari dengan jumlah pohon yang mampu disadap rata-rata sebanyak 295 pohon (Gambar 3).

Stimulan merupakan zat yang dapat merangsang keluarnya getah pinus dan berfungsi untuk meningkatkan produktivitas getah pinus. Jenis stimulan yang digunakan di KPH Banyumas Barat adalah CAS dan etrat (Gambar 4). Di RPH Karangpucung, penggunaan stimulan etrat masih dalam tahap percobaan sehingga masih banyak penyadap yang menggunakan stimulan CAS. Selain itu, banyak pula diantaranya yang beranggapan bahwa penggunaan stimulan etrat

menghasilkan getah yang lebih sedikit daripada penggunaan stimulan CAS. Namun, penggunaan stimulan CAS menyebabkan perih dan gatal di kulit karena komponen zat di dalamnya mengandung asam sulfat sehingga ada beberapa penyadap yang enggan menggunakan stimulan CAS. Stimulan etrat mengandung zat asam organik dan etilen sehingga tidak menimbulkan efek negatif dan dianggap lebih ramah lingkungan.

Gambar 4 Stimulan untuk meningkatkan produktivitas getah pinus: (a) CAS (Cairan Asam Stimulansia) dan (b) etrat.

Pengumpulan getah pinus dilakukan setelah tiga kali pembaruan koakan untuk yang tidak menggunakan stimulan CAS dan yang menggunakan stimulan

etrat serta setelah dua kali pembaruan koakan untuk yang menggunakan stimulan CAS. Sebagian besar penyadap mengumpulkan getah sebanyak dua kali dalam setiap bulannya, namun adapula yang sebulan sekali. Pada musim-musim tertentu


(43)

seperti musim tanam dan panen, getah yang terkumpul di Tempat Pengumpulan Getah (TPG) sedikit karena penyadap lebih banyak menghabiskan waktu di sawah dan kebun.

Pada akhir proses pengerukan atau peludangan getah pinus, dilakukan pembersihan tempurung sehingga benar-benar bersih dari sisa getah. Hal ini untuk menghindari pencampuran antara getah lama dengan getah baru yang akan mempengaruhi mutu getah. Getah pinus ditempatkan di ember yang berkapasitas 20-30 kg dan kemudian dipikul atau diangkut dari petak sadapan ke Tempat Pengumpulan Getah (TPG). Pengangkutan getah pinus ke TPG dilakukan dengan berbagai macam cara yakni dipikul sendiri oleh penyadap atau menggunakan kendaraan seperti sepeda motor dan mobil (Gambar 5). Upah angkutan dengan menggunakan kendaraan bermotor tersebut berkisar antara Rp 6.000,00 – Rp 10.000,00 setiap kali pengangkutan.

Gambar 5 Pengangkutan getah pinus ke TPG: (a) pengangkutan dengan menggunakan sepeda motor, (b) pengangkutan dengan menggunakan mobil, dan (c) pengangkutan dengan cara dipikul. Getah pinus akan dikumpulkan ke Tempat Pengumpulan Getah (TPG) yang letaknya paling dekat dengan lokasi sadapan. TPG merupakan tempat penampungan getah sementara sebelum diangkut ke Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT). Penerimaan getah pinus di TPG dilakukan pada pagi hari. TPG yang berada di RPH Karangpucung berjumlah 6 TPG, yaitu TPG Gunung Sengkala, TPG Tayem, TPG Citando, TPG Dermaji, TPG Sawangan, dan TPG Tlaga. Gambar 6 merupakan contoh TPG yang berada di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir. Di TPG tersebut, hanya tersedia bak penampung getah, drum, dan timbangan.


(44)

Gambar 6 Tempat Pengumpulan Getah (TPG) Citando di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir.

Setelah getah sampai di TPG, mandor TPG segera memeriksa kondisi getah pinus (Gambar 7). Getah tersebut ditimbang dan dicatat berat bersihnya, kemudian dituang ke dalam bak penampung atau drum. Selain itu, dilakukan juga penentuan mutu getah dengan cara mencocokkan warna master getah dengan getah dari penyadap. Getah tidak diperkenankan berada di TPG lebih dari tujuh hari karena akan menurunkan mutu getah sehingga getah pinus tersebut harus segera diangkut ke Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT).

Gambar 7 Penimbangan getah pinus di TPG.

Penyadap yang telah menyetorkan getah pinus ke TPG akan mendapatkan upah sesuai dengan mutu getah pinus yang dihasilkan. Adapun mutu getah pinus terbagi menjadi dua jenis, yaitu mutu I dan mutu II (Gambar 8) dengan penjelasan sebagai berikut:

a.Mutu I, getah pinus yang mengandung kotoran kurang dari 12,9 % dengan tarif yang diberikan sebesar Rp 2.800,00/kg.

b.Mutu II, getah pinus dengan kadar kotoran lebih dari 12,9 % dengan tarif yang diberikan sebesar Rp 2.550,00/kg.


(45)

Gambar 8 Getah pinus mutu I dan mutu II.

Di RPH Karangpucung, getah pinus yang dihasilkan masih termasuk ke dalam kategori getah pinus mutu II. Perbedaan mutu getah pinus ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti frekuensi pengumpulan getah, perlakuan saat melakukan pembaruan quarre, dan faktor lingkungan. Getah yang terlalu lama berada di petak sadapan akan cepat membeku dan berubah warna. Getah pinus yang berkualitas baik berwarna putih bersih. Saat melakukan pembaruan quarre, tempurung kelapa dibiarkan terbuka sehingga tatal kulit kayu pinus masuk ke dalam tempurung kelapa dan mengotori getah pinus. Selain itu, tempurung kelapa yang selalu terbuka menyebabkan daun pinus dan ranting-ranting masuk ke dalam tempurung kelapa. Adapun kondisi lingkungan yang mempengaruhi mutu getah adalah cuaca. Saat musim hujan tiba, air akan turut masuk ke dalam tempurung kelapa sehingga getah akan bercampur dengan air hujan.

5.2 Karakteristik Penyadap Getah Pinus

Karakterisitik responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan, ukuran keluarga, dan luas areal sadapan. Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah penyadap yang melakukan kegiatan penyadapan getah pinus pada lokasi penelitian yang ditentukan dan masih melakukan kegiatan penyadapan secara aktif.

5.2.1 Jenis Kelamin Penyadap Getah Pinus

Kegiatan penyadapan getah pinus masih didominasi oleh laki-laki yakni dengan persentase sebesar 93,33% seperti yang disajikan pada Tabel 6. Adapun perempuan yang melakukan kegiatan penyadapan getah pinus dilatarbelakangi oleh keinginan responden untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah


(46)

tangganya. Pada umumnya, perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sebagai ibu rumah tangga.

Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

Laki-laki 56 93,33

Perempuan 4 6,67

Jumlah 60 100,00

5.2.2 Umur Penyadap Getah Pinus

Berdasarkan informasi pada Tabel 7, umur responden dengan persentase terbesar yakni 91,67% berada pada kisaran umur produktif. Menurut Muttaqien (2006), penduduk usia produktif berkisar antara 15-65 tahun.

Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan umur

5.2.3 Tingkat Pendidikan Penyadap Getah Pinus

Pendidikan penyadap getah pinus masih tergolong rendah yakni mayoritas penyadap berpendidikan sampai jenjang SD (Tabel 8). Hal ini disebabkan pendidikan belum menjadi prioritas utama penyadap. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan maka biaya yang harus dikeluarkan juga relatif lebih besar sehingga keluarga penyadap lebih mengutamakan ketercukupan akan kebutuhan hidup sehari-hari daripada pendidikan. Menurut Mursidin (2009), pendidikan khususnya pendidikan formal merupakan modal yang sangat berharga untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang layak, pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan pada setiap individu, baik cara berpikir dan bersikap.

Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 26-35 12 20,00

36-45 10 16,67

46-55 18 30,00

56-65 15 25,00

66-75 4 6,67

76-85 1 1,67


(47)

Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Tidak Tamat SD 2 3,33

Tamat SD 52 86,67

Tamat SMP 7 11,67

Jumlah 60 100,00

5.2.4 Ukuran Keluarga Penyadap Getah Pinus

Ukuran keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1994) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang). Ukuran keluarga yang dimaksud oleh BKKBN tersebut adalah ukuran keluarga inti yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak. Tabel 9 menunjukkan bahwa ukuran keluarga penyadap sebagian besar tergolong keluarga kecil yakni dengan persentase sebesar 86,67%.

Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan ukuran keluarga inti

Ukuran keluarga Jumlah (orang) Persentase (%)

Kecil 52 86,67

Sedang 7 11,67

Besar 1 1,67

Jumlah 60 100,00

5.2.5 Macam Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Sampingan Responden

Penyadapan getah pinus bukan semata-mata pencaharian utama responden. Sebagian besar penyadap memiliki pekerjaan yang dianggap utama dan pekerjaan yang dianggap sampingan. Adanya pekerjaan selain menyadap inilah yang terkadang menyebabkan penyadap tidak mengumpulkan getah tepat waktu karena harus melakukan pekerjaan lain.

Tabel 10 Sebaran Responden berdasarkan jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan

Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan Jumlah (orang) Persentase (%)

Penyadap Petani 28 46,67

Petani Penyadap 21 35,00

Petani Penyadap dan buruh ternak 1 1,67

Penyadap Pedagang 2 3,33

Penyadap Buruh tani 4 6,67

Ibu rumah tangga Penyadap 2 3,33

Penyadap Petani dan buruh tani 2 3,33


(48)

Responden yang menganggap penyadapan getah pinus sebagai pekerjaan utama adalah sebesar 60%, sedangkan responden yang menganggap penyadapan getah pinus sebagai pekerjaan sampingan adalah sebesar 40% (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan sadapan masih sangat dibutuhkan untuk memberikan tambahan bagi pendapatan rumah tangganya.

Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Penduduk yang tidak memiliki lahan garapan akan bekerja di bidang lain seperti menjadi pedagang atau buruh. Adapula responden yang memiliki lahan garapan namun mengerjakan lahan orang lain untuk menambah penghasilan rumah tangganya.

5.2.6 Luas Areal Penyadapan Getah Pinus

Setiap penyadap memperoleh luas areal sadapan bergantung kemampuan penyadap. Semakin banyak jumlah pohon dalam areal sadapan maka kemungkinan getah yang diperoleh pun semakin banyak karena setiap pohon dilakukan pembuatan quarre. Namun, produksi getah pinus pun tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah pohon tetapi juga ada faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti yang dijelaskan oleh Kasmudjo (2011) yakni faktor eksternal pohon, internal pohon, dan perlakuan manusia.

Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan luas areal penyadapan getah pinus Luas Areal Penyadapan (ha) Jumlah (orang) Persentase (%)

<0,5 25 41,67

0,5-0.99 18 30,00

1-1,49 5 8,33

1,5-1,99 10 16,67

2-2,49 2 3,33

Jumlah 60 100,00

Sebagian besar penyadap getah pinus memiliki luas areal penyadapan kurang dari 0,5 hektar yakni dengan persentase sebesar 41,67% (Tabel 11).

5.3 Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus

Pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus dihitung dalam jangka waktu setahun terakhir yang bersumber dari penyadapan getah pinus dan non penyadapan getah pinus. Pendapatan dari hasil menyadap getah pinus diperoleh berdasarkan berat getah pinus yang diperoleh dalam satuan kilogram per jangka


(49)

waktu tertentu dikalikan dengan tarif upah getah pinus per kilogram. Tarif upah ini juga dilihat dari standar mutu getah pinus yang telah ditentukan oleh Perum Perhutani. Tarif getah pinus mutu I adalah sebesar Rp 2.800,00/kg, sedangkan tarif getah pinus mutu II adalah sebesar 2.550,00/kg. Adapun pendapatan dari non penyadapan getah pinus meliputi hasil sawah dan kebun, hasil ternak, kiriman, pekerjaan anggota rumah tangga selain responden, dan lain-lain.

Tabel 12 Sumber pendapatan rumah tangga responden yang berasal dari kegiatan sadapan dan non sadapan

Sumber pendapatan Jumlah

(Rp/60responden/tahun)

Rata-rata (Rp/responden/tahun) Penyadapan getah pinus 317.648.400 5.294.140,00 Non penyadapan getah

pinus:

Sawah dan kebun 121.955.000 2.032.583,33

Ternak 69.715.000 1.161.916,67

Lain-lain 85.800.000 1.430.000,00 Total 595.118.400 9.918.640,00

Tabel 12 menyajikan informasi bahwa pendapatan dari hasil sadapan getah pinus lebih besar daripada dari hasil non sadapan getah pinus. Pendapatan rata-rata yang berasal dari sadapan getah pinus adalah sebesar Rp 5.294.140 per tahun dengan rata-rata jumlah getah pinus yang diperoleh adalah 2.076 kg per tahun. Mutu getah pinus yang dihasilkan oleh penyadap masih tergolong mutu II dengan upah Rp 2.550,00/kg. Adapun pendapatan dari non sadapan getah pinus terbagi menjadi pendapatan dari hasil sawah, kebun, dan lain-lain. Adapun pendapatan rata-rata dari non sadapan getah pinus adalah sebesar Rp 4.624.500 per tahun. Hasil sawah berupa penjualan padi, sedangkan hasil kebun berupa tanaman pertanian dan tanaman berkayu yang ditanam secara agroforestry. Beberapa responden tidak menjual padi dari hasil panen, tetapi hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tanaman pertanian yang ditanam beragam seperti jenis kapulaga, jeruk, kacang tanah, singkong, jagung, dan talas. Tanaman berkayu terdiri atas jenis jati dan sengon. Selain itu, beberapa responden juga memiliki ternak seperti ayam dan kambing. Ternak tersebut akan dijual pada saat memerlukan biaya mendesak atau menjelang hari raya. Namun, ternak juga tidak semuanya dijual, melainkan juga dikonsumsi sendiri. Pendapatan lain-lain


(1)

Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17

3.672.000 50 17 0,35 2 3.200.000 91 24 1 2 5,0 3,0 6,0 1,5 29 60 400 1

3.672.000 70 17 0,40 2 6.025.000 91 24 1 2 5,0 4,0 6,0 2,0 29 60 200 1

1.530.000 46 10 0,45 3 6.300.000 72 12 1 2 3,0 0,3 0,2 2,0 27 50 90 1

1.989.000 60 20 0,30 2 8.000.000 91 12 1 2 7,0 1,0 0,2 3,0 35 65 300 1

3.672.000 50 19 0,25 2 0 91 24 1 2 5,0 3,0 7,0 2,0 29 60 200 1

4.284.000 84 26 0,30 2 500,000 72 24 1 2 7,0 1,0 0,5 2,0 35 70 150 1

3.794.400 43 25 0,30 2 8.000.000 72 24 1 1 5,0 0,5 0,5 2,0 35 62 200 1

5.584.500 50 20 1,75 2 6.900.000 72 18 1 1 7,0 1,0 1,5 2,0 38 120 300 1

3.672.000 33 25 0,50 3 11.000.000 72 24 1 1 4,5 1,0 1,0 1,5 35 60 200 1

3.672.000 30 24 1,65 2 2.000.000 72 24 1 1 6,0 1,0 0,5 2,0 38 60 200 1

3.549.600 34 15 1,50 2 2.400.000 72 24 1 1 2,0 2,0 1,0 3,0 34 58 50 1

4.406.400 40 25 1,50 2 8.000.000 120 24 2 2 5,0 0,5 2,0 1,5 35 72 130 2

13.961.250 50 28 2,00 2 1.000.000 72 18 1 1 6,5 1,0 0,7 1,5 38 300 500 1

11.169.000 44 28 1,50 2 3.000.000 72 18 1 1 6,5 1,0 0,7 1,5 38 240 600 1

13.961.250 45 28 2,00 2 1.000.000 72 18 1 1 6,0 2,0 2,0 2,0 38 300 600 1

1.836.000 74 17 0,25 2 1.000.000 72 12 1 1 5,0 1,0 1,0 2,0 35 60 300 1

2.142.000 47 20 0,50 2 6.500.000 72 12 1 1 3,0 1,0 7,0 3,0 34 70 100 1

3.672.000 59 28 1,50 2 2.000.000 72 24 1 1 6,0 3,0 1,5 1,5 38 60 300 1

1.836.000 52 25 0,80 2 3.500.000 91 12 1 1 4,5 1,0 1,5 2,0 35 60 90 1

3.672.000 52 25 0,50 2 12.500.000 72 12 1 2 5,0 2,0 2,0 2,0 29 120 200 1

3.672.000 59 30 0,80 2 1.000.000 72 24 1 1 6,0 0,5 0,5 1,5 41 60 350 1

4.284.000 28 5 0,80 3 7.000.000 60 14 1 1 6,0 5,0 1,0 2,5 41 120 200 1


(2)

69

Lanjutan Lampiran 6

Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17

5.584.500 35 13 1,30 2 1.000.000 72 18 1 1 4,5 3,0 3,0 1,5 18 120 300 1

3.213.000 35 10 1,70 2 400.000 72 21 1 1 6,0 3,0 0,5 2,5 41 60 300 1

3.672.000 59 30 0,50 2 2.000.000 72 24 1 2 6,0 5,0 0,5 1,5 41 60 350 1

4.284.000 37 8 0,50 2 3.000.000 72 24 1 2 8,0 2,0 6,0 1,0 37 70 500 1

3.916.800 63 27 0,50 2 12.100.000 72 24 1 2 7,0 7,0 7,0 1,5 37 64 50 1

7.344.000 54 26 0,80 1 3.000.000 72 48 1 2 7,0 5,0 1,0 2,0 36 60 300 1

3.672.000 60 15 0,50 1 2.000.000 72 12 1 1 8,0 5,0 1,0 2,0 37 120 200 1

5.584.500 40 23 1,50 3 6.000.000 120 18 1 1 6,0 5,0 1,0 2,0 15 120 200 1

7.344.000 30 12 1,00 3 0 52 12 1 1 4,5 2,0 1,0 2,0 36 240 100 1

7.344.000 46 20 0,50 2 1.500.000 72 24 1 2 9,0 2,0 1,0 2,5 37 120 600 1

5.508.000 50 30 0,50 2 2.600.000 91 12 2 2 5,0 1,5 1,0 0,5 27 180 500 1

7.344.000 56 5 0,50 2 5.000.000 72 24 1 2 5,0 1,0 1,0 1,5 27 120 150 1

3.672.000 45 25 1,00 2 2.800.000 120 24 2 1 8,0 2,0 4,0 2,0 36 60 100 1

15.606.000 28 8 1,00 2 2.080.000 72 36 1 1 7,0 2,0 1,0 3,0 27 170 200 1

16.524.000 34 7 1,50 2 1.000.000 72 36 2 1 8,0 2,0 10,0 2,5 29 180 800 1

Keterangan:

Y : pendapatan dari penyadapan getah pinus (Rp/tahun) X1 : umur penyadap (tahun)

X2 : pengalaman kerja (tahun) X3 : luas areal (ha)

X4 : pendidikan (1=tidak tamat SD, 2= tamat SD, 3=tamat SMP) X5 : pendapatan di luar sadapan getah pinus (Rp/tahun)

X6 : pembaruan koakan (kali/tahun) X7 : pengumpulan getah pinus (kali/tahun) X8 : jenis kelamin (1=laki-laki, 2=perempuan)


(3)

X11 : jarak dari rumah ke petak sadapan (km) X12 : jarak pikul ke TPG (km)

X13 : tinggi sadapan (m) X14 : umur pohon (tahun)

X15 : berat getah (kg/pengumpulan getah pinus) X16 : jumlah pohon dalam areal sadapan (pohon)


(4)

71

Lampiran 7 Hasil uji korelasi antara kontribusi pendapatan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga dengan pendapatan dari sadapan getah pinus, pendapatan dari selain sadapan getah pinus, dan luas areal sadapan.

Correlations

y x1 x2 x3 y Pearson Correlation 1 .649** -.848** .488**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000

N 60 60 60 60

x1 Pearson Correlation .649** 1 -.330* .516** Sig. (2-tailed) .000 .010 .000

N 60 60 60 60

x2 Pearson Correlation -.848** -.330* 1 -.347** Sig. (2-tailed) .000 .010 .007

N 60 60 60 60

x3 Pearson Correlation .488** .516** -.347** 1 Sig. (2-tailed) .000 .000 .007

N 60 60 60 60

Keterangan:

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Y : kontribusi pendapatan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga (Rp/tahun) X1 : pendapatan dari sadapan getah pinus (Rp/tahun)

X2 : pendapatan dari non sadapan getah pinus (Rp/tahun) X3 : luas areal sadapan (ha)


(5)

Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan (Kasus di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh Dr.Ir.Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh informasi mengenai kegiatan pengelolaan hutan pinus, 2) mengidentifikasi karakteristik penyadap getah pinus, 3) menganalisis kontribusi pendapatan dari menyadap getah pinus terhadap pendapatan total rumah tangga penyadap, 4) menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan dari menyadap getah pinus, dan 5) memperoleh informasi mengenai tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 bertempat di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive

sampling dengan jumlah responden sebanyak 60 orang. Analisis data dilakukan

melalui analisis korelasi, analisis regresi linear berganda, dan pendekatan garis kemiskinan.

Kontribusi penyadapan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga penyadap pada luas areal <0,5 ha sebesar 37,88%; 0,5-0,99 ha sebesar 53,71%; 1-1,49 ha sebesar 73,76%; 1,5-1,99 ha sebesar 67,53%, dan 2-2,49 ha sebesar 93,32%. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa pendapatan dari sadapan getah pinus dan luas areal sadapan memiliki hubungan yang positif terhadap kontribusi sadapan getah pinus, sedangkan pendapatan dari non sadapan getah pinus memiliki korelasi negatif terhadap kontribusi sadapan getah pinus. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh terhadap besarnya pendapatan dari sadapan getah pinus adalah pengalaman kerja, frekuensi pengumpulan getah pinus, dan berat getah pinus. Menurut garis kemiskinan Sajogyo, sekitar 56,67% penyadap getah pinus berada di atas garis kemiskinan (sejahtera), sedangkan menurut garis kemiskinan Bank Dunia sekitar 38,33% penyadap getah pinus berada di atas garis kemiskinan (sejahtera).


(6)

SUMMARY

DESTIKA RESTYANI. Contribution of Pine Forest Management to the welfare of forest communities (Case in RPH Karangpucung, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Supervised by Dr.Ir.Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.

This research aimed to: 1) obtain information about the activities of the management of pine forests, 2) identify the characteristics of the tappers, 3) analyze the contribution of income from pine resin tapping on total household income of tappers, 4) analyze the variables affect income from pine resin tapping activity, and 5) obtain information regarding the level of welfare tappers.

The research was conducted in April 2012 held at RPH Karangpucung, BPKH Lumbir, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Sampling method used purposive sampling with the number of respondents is 60 people. Data analysis was performed by correlation analysis, multiple linear regression analysis, and the poverty line approach.

Contribution of pine resin tapping against eavesdroppers on household income area <0,5 hectare is 37,88%; 0,5-0,99 hectare is 53,71%; 1-1,49 hectare is 73,76%; 1,5-1,99 hectare is 67,53%; and 2-2,49 hectare is 93,32%. The results showed that the income from pine resin tapping and pine resin tapping area have positive correlation to contribution of income from tapping, whereas the income from non resin tapping has negative correlation to contribution of income from resin tapping. The variables that affect the amount of income from pine tapping are work experience, pine resin collection frequency, and weight of pine resin. According Sajogyo poverty line, approximately 56,67% tappers are above the poverty line (welfare), while according to the World Bank poverty line, about 38,33% tappers are above the poverty line (welfare).