BAHAN DAN ALAT Hasil Budidaya dengan Pemupukan Organik dan Anorganik Tanaman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Serat Pangan

14 III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tanaman kolesom organik dan daun tanaman kolesom anorganik masing-masing 5 sampel yang dibudidayakan di daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu etanol 95, etanol 78, aseton, buffer fosfat pH 6,0, termamyl 120 L, Novo Laboratories, protease P-3910, Sigma Chemical, amiloglukosidase A-9913, Sigma Chemical , larutan NaOH 0,275 N, larutan HCl 0,325 M, celite C-211, K 2 SO 4 , HgO, H 2 SO 4 , NaOH 60, H 3 BO 3 , indikator MM dan MB, viscozyme V-2010, Sigma Chemical, EDTA-4Na, Na 2 B 4 O 7 0,0125 M, H 2 SO 4 pekat, 0,15 o-hidroksidifenil, 0,5 NaOH, standard asam galakturonat, Na- oksalat, akuades. Alat-alat yang digunakan adalah oven pengering, neraca analatik, blender, desikator, crucible dengan celite, tanur, waterbath shaker, pH meter, Buchner, labu Kjehldal, alat destilasi, spektrofotometer, dan alat-alat gelas lainnya.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri atas 3 tahap yaitu tahap budidaya tanaman kolesom secara organik dan anorganik, tahap persiapan sampel, dan tahap analisis kimia.

1. Tahap Budidaya

Tahap pertama merupakan tahap pembudidayaan sampel hingga pemanenan. Tanaman kolesom dibudidayakan dengan pemupukan secara organik dan anorganik selama minggu keempat bulan Maret hingga minggu ketiga bulan Mei 2011 di Laboratorium Percobaan IPB, Leuwikopo. Perlakuan organik dan anorganik sampel dilakukan oleh peneliti dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri oleh 5 sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan secara organik dan 5 sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan secara anorganik. Tanaman dipanen setelah berumur 8 minggu, diambil tiga kali ulangan untuk analisis serat pangan dan substansi pektat supaya data yang diperoleh representatif. Perlakuan pada masing-masing sampel adalah sebagai berikut: a. Sampel organik b. Sampel anorganik Tabel 2. Perlakuan pemupukan organik tanaman kolesom Perlakuan Pupuk kandang kgha Dosis N kgha Guano kgha Dosis P 2 O 5 kgha Abu sekam tonha Dosis K 2 O kgha Organik 1 6,1 22,82 75,6 7,88 2,7 29,70 Organik 2 9,2 34,42 151,2 15,77 4,1 45,10 Organik 3 12,3 46,01 226,8 23,66 5,5 60,50 Organik 4 15,4 57,61 302,4 31,54 6,8 74,80 Organik 5 18,4 68,83 378 39,42 8,2 90,20 Pupuk kandang memiliki kadar N sebesar 1,29 dengan kadar air basis basah sebesar 71. Pupuk guano memiliki kadar P dalam bentuk P 2 O 5 sebesar 10,43, dan abu sekam memiliki kadar K dalam 15 bentuk K 2 O sebesar 1,10. Jumlah masing-masing unsur N, P, dan K diperoleh dengan mengalikan jumlah pupuk kgha pada tiap perlakuan dengan persentase masing-masing unsur, kecuali untuk unsur N ada perhitungan yang sedikit berbeda karena pupuk kandang memiliki kadar air sebesar 71. Contoh perhitungan pada perlakuan anorganik 1: • dosis unsur N : 100-71 x 1,29 x 6,1 kgha = 22.8201 kgha • dosis unsur P dalam bentuk P 2 O 5 : 10,43 x 75,6 kgha = 7,88508 kgha • dosis unsur K dalam bentuk K 2 O : 1,10 x 2,7 tonha x 1000 = 29,7 kgha Tabel 3. Perlakuan pemupukan anorganik tanaman kolesom Perlakuan Urea kgha Dosis N kgha SP-36 kgha Dosis P 2 O 5 kgha KCl kgha Dosis K 2 O kgha Anorganik 1 50 23,00 20 7,20 50 30,00 Anorganik 2 75 34,50 40 14,40 75 45,00 Anorganik 3 100 46,00 60 21,60 100 60,00 Anorganik 4 125 57,50 80 28,80 125 75,00 Anorganik 5 150 69,00 100 36,00 150 90,00 Pupuk urea memiliki kadar N sebesar 46, pupuk SP-36 memiliki kadar P 2 O 5 sebesar 36, dan pupuk K2O memiliki kadar K sebesar 60. Jumlah masing-masing unsur N, P, dan K diperoleh dengan mengalikan jumlah pupuk kgha pada tiap perlakuan dengan persentase masing-masing unsur, misalnya pada perlakuan anorganik 1: • dosis unsur N : 46 x 50 kgha = 23 kgha • dosis unsur P dalam bentuk P 2 O 5 : 36 x 20 kgha = 7,2 kgha • dosis unsur K dalam bentuk K 2 O: 60 x 50 kgha = 30 kgha

2. Tahap Persiapan Sampel

Bagian yang dapat dimakan dari sampel, yaitu sekitar 15 cm dari pucuk dipanen setelah tanaman berumur 8 minggu. Setelah dipanen, dilakukan penyortiran sampel sebagai langkah awal agar sampel yang digunakan representatif dan relatif seragam. Kemudian sampel dibersihkan dan dibagi menjadi dua. Sedikit sampel basah dianalisis kadar airnya, sebagian sampel yang lain dikeringkan menggunakan oven pengering. Sampel kering kemudian digiling sampai 30 mesh dan diperoleh tepung daun. Tepung daun ini kemudian dianalisis kadar air, serat pangan dan substansi pektatnya. Sebelum dilakukan analisis serat pangan, sampel dikeringkan selama 17 jam dalam oven pengering pada suhu 60 o C. Kehilangan bobot akibat penghilangan air, residu protein, abu, danatau lemak dicatat dan dibuat faktor koreksi yang tepat untuk menghitung TDF, IDF, dan SDF. Gambar 7. Bagian yang dapat dimakan dari sayuran kolesom 16

3. Tahap Analisis Kimia

Analisis Kadar Air Metode Oven SNI 01-2891-1992 Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator, diambil dengan penjepit. Cawan kering yang sudah didinginkan kemudian ditimbang beratnya. Pada cawan tersebut ditimbang 1-2 gram sampel, kemudian dikeringkan pada oven 105 °C selama 3 jam untuk sampel kering dan 6 jam untuk sampel segar. Selanjutnya cawan beserta sampel didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot tetap ≤ 0,0005 g. Perhitungan: Kadar air basis basah: Kadar air g100 g bahan basah = W- W1-W2 x 100 W Kadar air basis kering: Kadar air g100 g bahan kering = W- W1-W2 x 100 W1-W2 W = bobot contoh sebelum dikeringkan g W1 = bobot contoh + cawan kering kosong g W2 = bobot cawan kosong g Analisis Total Serat Pangan AOAC Official Methods 985.29 Semua prosedur analisis dilakukan terhadap blanko untuk melihat apakah terdapat endapan non serat yang berasal dari reagen atau enzim yang tersisa dalam residu dan dapat terhitung sebagai serat pangan. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g, dengan keakuratan hingga 0,1 mg, dalam gelas piala 200 ml. Perbedaan bobot antar sampel diusahakan tidak lebih dari 20 mg. Sebanyak 25 ml buffer fosfat pH 6,0 dimasukkan ke dalam gelas piala. Nilai pH diukur hingga pH 6,0±0,2. Sebanyak 0,05 ml larutan termamyl ditambahkan. Kemudian gelas piala ditutup menggunakan kertas aluminium foil alufo dan diletakkan dalam air mendidih selama 15 menit, digoyangkan secara perlahan dalam interval waktu 5 menit. Waktu pemanasan dapat ditambahkan jika jumlah sampel yang ditempatkan di dalam waterbath menyulitkan untuk mencapai suhu internal antara 95-100 o C. Termometer digunakan untuk memastikan tercapainya suhu 95-100 o C selama 15 menit. Prosedur ini dapat dilakukan selama 30 menit. Selanjutnya larutan tersebut didinginkan pada suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7,5±0,2 dengan NaOH 0,275 N. Sebanyak 2,5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel dengan cara dilengketkan pada ujung spatula. Protease dapat pula digunakan dalam bentuk larutan 50 mg dalam 1 ml buffer fosfat yang dipipet sebanyak 0,05 ml dan dimasukkan ke dalam sampel sesaat sebelum digunakan. Sampel ditutup kembali dengan kertas alufo. Lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 o C dengan agitasi kontinyu. Sampel didinginkan dan ditambahkan HCl. Nilai pH diukur hingga berkisar antara 4,0-4,6. Jika nilai pH belum tercapai, maka dapat ditetesi kembali dengan asam. Enzim amiloglukosidase AMG ditambahkan sebanyak 0,15 ml dan sampel ditutup kembali dengan kertas alufo. Selanjutnya diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 o C dengan agitasi kontinyu. Sebanyak 140 ml etanol 95 yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60 o C volume diukur setelah pemanasan ditambahkan. Agar terbentuk endapan, sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit. Secara kuantitatif endapan disaring melalui crucible. Sebelumnya, crucible yang mengandung celite ditimbang hingga keakuratan mendekati 0,1 mg. Residu dicuci dengan 3 x 5 ml etil alkohol 78, 2 x 5 ml etil alkohol 95, dan 2 x 5 ml aseton secara berturut-turut. Pada beberapa sampel dapat saja terbentuk getah, filtrasi dapat dibantu 17 dengan pengadukan menggunakan spatula. Waktu yang dibutuhkan untuk pencucian dan penyaringan bervariasi antara 0,1 sampai 6 jam, rata-rata waktu yang dibutuhkan ialah 20 menit per sampel. Lamanya waktu filtrasi dapat dikurangi dengan penghisapan vakum secara hati-hati selama filtrasi. Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven pengering pada suhu 105 o C. lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mencapai 0,05 mg. Untuk memperoleh bobot residu, kurangi dengan bobot crucible dan celite. Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6,25. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 475 o C kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mendekati 0,1 mg. Kurangi dengan bobot crucible dan celite untuk memperoleh bobot abu. Penentuan blanko : B = blanko mg = bobot residu – P B – A B Bobot residu = rata-rata bobot residu mg untuk sepuluh ulangan sampel blanko P B = bobot mg dari protein yang ditentukan dari sepuluh ulangan sampel blanko A B = bobot mg dari abu yang ditentukan dari sepuluh ulangan sampel blanko Perhitungan total serat pangan TDF : TDF = [bobot residu – P – A – B bobot sampel] x 100 Bobot residu = rata-rata bobot residu mg untuk tiap ulangan sampel P = bobot mg dari protein yang ditentukan dari tiga ulangan sampel A = bobot mg dari abu yang ditentukan dari tiga ulangan sampel B = blanko mg bobot sampel = bobot sampel mg yang diambil Analisis Serat Pangan Tidak Larut AOAC Official Methods 991.42 Prosedur yang dilakukan sama dengan analisis total serat pangan, hingga langkah filtrasi sampel secara kuantitatif ke dalam crucible. Selanjutnya residu dicuci dengan 2 x 5 ml air melarutkan SDF, 2 x 5 ml etil alkohol 95, dan 2 x 10 ml aseton secara berturut-turut. Langkah pengeringan crucible hingga tahap akhir serupa dengan prosedur total serat pangan. Perhitungan total serat pangan TDF : IDF = [bobot residu – P – A – B bobot sampel] x 100 Bobot residu = rata-rata bobot residu mg untuk tiap ulangan sampel P = bobot mg dari protein yang ditentukan dari tiga ulangan sampel A = bobot mg dari abu yang ditentukan dari tiga ulangan sampel B = blanko mg bobot sampel = bobot sampel mg yang diambil Analisis Serat Pangan Larut metode by difference Penentuan kadar serat pangan larut dilakukan dengan mengurangkan kadar total serat pangan terhadap kadar serat pangan tidak larut. Perhitungan total serat pangan TDF : SDF = TDF - IDF Analisis Kadar Substansi Pektat Substansi pektat dihitung berdasarkan metode kolorimetrik McCready dan McComb 1952 yang telah dimodifikasi oleh Blumenkrantz dan Asboe-Hansen 1973. Anhidrouronat yang diperoleh 18 dari hidrolisis terhadap substansi pektat dengan diberi orto-hidroksidifenil akan menghasilkan warna yang dapat diukur pada panjang gelombang 520 nm. Sampel kering kolesom ditimbang sebanyak 0,1 g, diekstrak dengan etanol 70 10 ml. Larutan disaring dan endapan diambil, ditambahkan 10 ml reagen versen larutan Na-EDTA 0,5. Larutan sampel diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang untuk melarutkan substansi pektat. Larutan diasamkan sampai pH 3,3-5,5 menggunakan asam asetat, selanjutnya ditambahkan 0,05 ml viscozyme V2010 yang mengandung pektinase, silanase, arabinase, selulase, hemiselulase dan β-glukanase. Larutan diinkubasi pada suhu 25 ºC selama 60 menit. Volume campuran ditepatkan sampai 25 ml dengan aquades, kemudian disaring dan diperoleh filtrat. Filtrat dipipet 0,8 ml, kemudian ditambahkan 4,8 ml larutan tetraborat dalam asam sulfat pekat 0,0125 M larutan Na 2 B 4 O 7 dalam asam sulfat pekat. Larutan sampel didinginkan pada penangas es sampai suhu 4 ºC, dan divortek. Sampel dipanaskan dalam penagas air 100 ºC selama 5 menit, didinginkan kembali dalam penangas es sampai suhu 20 ºC. Sampel kemudian ditambahkan 0,08 ml larutan o- hidroksidifenil 0,075 g o-hidroksidifenil dilarutkan dalam NaOH 0,5 dan divortek. Sampel dibiarkan selama ± 5 menit sampai terbentuk warna yang sempurna. Sampel diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Blanko dibuat dengan memipet 0,8 ml aquades diperlakukan sama seperti sampel tetapi tidak ditambahkan o-hidroksidifenil. Standar asam galakturonat ditimbang sebanyak 24,1 mg, ditambahkan 2 ml NaOH 0,05 N, diencerkan hingga volume 100 ml dengan akuades. Larutan standar dibiarkan semalam pada suhu kamar. Setiap ml larutan standar mengandung 24,1 mgL asam galakturonat. Kurva standar dibuat dengan mengencerkan larutan standar menggunakan aquades. Standar dipipet 0,8 ml dan direaksikan sama seperti pada sampel. Perhitungan kadar substansi pektat dengan persamaan regresi y = ax + b. Kadar substansi pektat bk = konsentrasi mgL x volume akhir ml x 1 L1000 ml x 100 berat sampel gram bk

4. Analisis Data

Data analisis kimia dianalisis menggunakan statistik ANOVA untuk melihat perbedaan antar tiap sampel, dan statistik uji t untuk melihat perbedaan antarbudidaya.

5. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok RAK. Pengujian dilakukan dengan menggunakan model matematika: Y ij = μ + τ i + β j + ε ij Keterangan: i = 1, 2, 3, …, 6 j = 1, 2, 3, …, r Y ij = pengamatan pada perlakuan kelompok ke-i dan kelompok ke-j μ = rataan umum τ i = pengaruh perlakuan organikanorganik β j = pengaruh kelompok ke-j ε ij = pengaruh acak perlakuan ke-I dan kelompok ke-j Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H : τ 1 = … = τ r = 0 perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati H 1 : paling sedikit ada satu i di mana τ i ≠ 0 Pengaruh pengelompokan: H : β 1 = … = β r = 0 kelompok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati H 1 : paling sedikit ada satu j di mana β j ≠ 0 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Budidaya dengan Pemupukan Organik dan Anorganik Tanaman

Kolesom Talinum triangulare Jacq. Willd Secara visual tampak bahwa tanaman kolesom hasil budidaya dengan pemupukan secara anorganik lebih subur dan lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan tanaman kolesom hasil budidaya dengan pemupukan secara organik. Daun kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik tampak memiliki lebih banyak cabang dan daun. Selain itu, daun kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik tampak relatif lebih tebal. Hasil budidaya tanaman kolesom organik dan anorganik terlihat pada gambar 7: a b c d e f g h i j Gambar 8. Tanaman kolesom budidaya dengan pemupukan organik a-e, dan anorganik f-j

B. Analisis Kadar Serat Pangan Sayuran Kolesom

Analisis kadar serat pangan total TDF, serat pangan tidak larut IDF, dan substansi pektat dilakukan terhadap sampel yang telah dikeringkan. Sedangkan analisis data dilakukan untuk menghitung TDF dan IDF terkoreksi, serta kadar SDF dan substansi pektat dalam bobot segar dan basis kering.

1. Kadar Serat Pangan Sampel Segar

Sampel segar daun kolesom menunjukkan rata-rata hasil analisis kadar TDF sampel budidaya dengan pemupukan organik 6,01 g100g sampel segar lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik 6,46 g100g sampel segar. Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar TDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 3 memiliki kadar TDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu sampel anorganik 3 memiliki kadar TDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 1 memiliki kadar TDF paling rendah dalam sampel segar. Rata-rata hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan organik 5,48 g100 g sampel segar lebih rendah dibandingkan rata-rata hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik 5,89 g100 g sampel segar. Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar IDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 4 memiliki kadar IDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan sampel 20 anorganik 5 memiliki kadar IDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 2 memiliki kadar IDF paling rendah dalam sampel segar. a b c Keterangan: Gambar 9. Histogram analisis sampel segar TDF a, IDF b, dan SDF c Data SDF bobot basah sampel segar diperoleh dari pengurangan nilai TDF bobot basah sampel segar terhadap nilai IDF bobot basah sampel segar. Rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik 0,52 g100 g sampel segar lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis Kode organik N kgha P kgha K kgha Kode anorganik N kgha P kgha K kgha 1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30 2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45 3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60 4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75 5 68,83 39,42 90,20 5 69 36 90 21 sampel budidaya dengan pemupukan anorganik 0,57 g100 g sampel segar. Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar SDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 3 memiliki kadar SDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu sampel anorganik 5 memiliki kadar SDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 2 memiliki kadar SDF paling rendah dalam sampel segar. Hasil ini serupa hasil analisis IDF berdasarkan bobot segar sampel.

2. Kadar Serat Pangan Basis Kering

Hasil analisis TDF kolesom basis kering pun menunjukkan rata-rata kadar TDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik 77,78 g100 g bk lebih rendah daripada rata-rata TDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik 85,54 g100 g bk. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada perlakuan dengan dosis pupuk yang sama menghasilkan kadar TDF yang berbeda pada budidaya dengan pemupukan organik dan budidaya dengan pemupukan anorganik dengan hasil dari budidaya dengan pemupukan anorganik lebih tinggi dibandingkan hasil budidaya dengan pemupukan organik. Bahkan terdapat perbedaan yang sangat tajam antara perlakuan 1 sampel budidaya dengan pemupukan organik yang memiliki kadar TDF 62,73 g100 g bk dengan perlakuan 1 sampel budidaya dengan pemupukan organik yang memiliki kadar TDF 89,09 g100 g bk. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar TDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,026. Taraf error α yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis TDF sampel budidaya dengan pemupukan organik dan analisis TDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik. Hasil analisis IDF sampel daun kolesom basis kering menunjukkan rata-rata kadar IDF sampel kolesom dengan pemupukan organik 70,95 g100 g bk lebih rendah daripada rata-rata kadar IDF sampel kolesom dengan pemupukan anorganik 77,94 g100 g bk. Sama seperti hasil analisis TDF, hasil analisis IDF juga menunjukkan bahwa sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menghasilkan IDF lebih tinggi dibandingkan sampel budidaya dengan pemupukan organik pada perlakuan dengan dosis pupuk yang sama. Terdapat pula perbedaan nyata pada setiap perlakuan budidaya dengan pemupukan organik dan anorganik, kecuali pada perlakuan 3. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar IDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,022. Nilai α yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan organik dengan analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik. Perhitungan kadar SDF sampel basis kering juga dilakukan dengan mengurangkan hasil analisis TDF dengan IDF untuk tiap-tiap sampel by difference. Rata-rata nilai SDF diperoleh dari rata-rata hasil pengurangan yang dilakukan untuk tiap perlakuan. Rata-rata kadar SDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik 6,83 g100 g bk lebih rendah daripada rata-rata kadar SDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik 7,60 g100 g bk. Sama seperti hasil analisis TDF dan IDF, hasil analisis SDF juga menunjukkan bahwa sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menghasilkan SDF lebih tinggi dibandingkan sampel budidaya dengan pemupukan organik pada perlakuan yang sama. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar SDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,215. Nilai α yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis SDF sampel budidaya organik dengan analisis SDF sampel budidaya anorganik. 22 a b c Keterangan: a-h : nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata SDF berbeda nyata antar sampel nilai p 0,05 : nilai rata-rata analisis SDF berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan nilai p 0,05 Gambar 10. Histogram analisis basis kering TDF a, IDF b, dan SDF c Kode organik N kgha P kgha K kgha Kode anorganik N kgha P kgha K kgha 1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30 2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45 3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60 4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75 5 68,83 39,42 90,20 5 69 36 90 23

3. Kadar Substansi Pektat

Rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik 0,35 g100 g sampel segar lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik 0,40 g100 g sampel segar. Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar substansi pektat paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 4 memiliki kadar substansi pektat paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan sampel anorganik 5 memiliki kadar substansi pektat paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 4 memiliki kadar substansi pektat paling rendah dalam sampel segar. Rata-rata kadar substansi pektat basis kering untuk sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik 3,64 g100 g bk lebih rendah daripada rata-rata kadar substansi pektat sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik 4,27 g100 g bk bk. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar substansi pektat menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p sebesar 0,781. Nilai α yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, tidak terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis substansi pektat sampel budidaya organik dengan analisis substansi pektat sampel budidaya anorganik. a b Keterangan: a-h : nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata substansi pektat berbeda nyata antar sampel nilai p 0,05 : nilai rata-rata analisis substansi pektat tidak berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan nilai p 0,05 Gambar 11. Histogram analisis substansi pektat sampel segar a, dan basis kering b Kode organik N kgha P kgha K kgha Kode anorganik N kgha P kgha K kgha 1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30 2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45 3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60 4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75 5 68,83 39,42 90,20 5 69 36 90 24

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Serat Pangan

Terjadinya perbedaan kadar serat pangan disebabkan perbedaan komposisi kimia dan sifat fisik sayuran. Sedangkan komposisi kimia dan sifat fisik tersebut dipengaruhi oleh spesies, kematangan umur panen, bagian tanaman, dan perlakuan pada sampel sayuran tersebut Anderson dan Clydesdale 1980. Kadar IDF sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin di dalam dinding sel tanaman, sedangkan kadar SDF sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan pektin. Komponen selulosa menempati sekitar 40-45 bagian dinding sel tanaman berkayu maupun bertangkai, komponen lignin menempati sekitar 40 bagian dinding sel tanaman, selebihnya merupakan komponen hemiselulosa dan pektin Sjostrom 1995, Fengel dan Wegener 1995. Hal ini menyebabkan kadar IDF di dalam sayuran yang dimakan beserta tangkainya lebih besar dibandingkan kadar SDF di dalamnya. Gambar 17. Struktur dinding sel tanaman IPPA 2002 Besarnya kadar IDF ini merupakan keunggulan sayuran kolesom sebab konsumsi serat sebesar 13 ghari dapat menurunkan resiko timbulnya kanker kolon Howe 1992. Kemampuan serat pangan dalam menurunkan resiko penyakit kanker kolon ini berkaitan erat dengan sifat IDF yang mampu menurunkan waktu transit makanan di dalam usus dan memperbesar volum feses Southgate dan Penson 1983. Selain itu, kadar IDF di dalam daun kolesom juga lebih tinggi dibandingkan kadar IDF dari berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan yang sudah diketahui nilainya. Rata-rata TDF dan IDF kolesom, baik yang mengalami perlakuan secara organik maupun anorganik, menunjukkan angka yang tinggi. Penelitian ini menunjukkan daun kolesom mengandung 6-6,5 gram TDF di dalam 100 gram kolesom segar. Artinya untuk memenuhi kecukupan serat sebesar 28-30 ghari, manusia perlu memakan sekitar 400 gram kolesom segar. Atau dengan kata lain, konsumsi 100 gram kolesom per hari mampu mencukupi hampir 25 kebutuhan serat harian manusia. Konsumsi daun kolesom yang disarankan adalah sebesar 200-250 gram atau dua cangkir per hari. Porsi ini dapat memenuhi sekitar 50 kebutuhan serat harian. Untuk mencapai 100 pemenuhan kebutuhan serat harian, perlu dikombinasikan dengan bahan pangan lain yang juga tinggi kadar serat pangannya. Kadar TDF dan IDF sayuran kolesom lebih tinggi dibandingan dengan berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan. Menurut Giese 1973, daun memiliki jaringan parenkim yang membentuk lapisan sel palisade pada permukaan daun. Pada daun juga terdapat tangkai yang merupakan jaringan meristematis yang selalu membelah dan terkomposisi sebagai jaringan yang sangat muda. Kedua jaringan ini memiliki sel-sel yang tipis dan tidak terlignifikasi. Hal ini menyebabkan sayuran daun seperti kolesom memiliki kadar serat pangan yang lebih tinggi daripada jenis sayuran lain sebab sayuran daun tidak hanya dimakan daunnya tetapi juga sebagian tangkainya yang masih muda sebagai edible portion . 25 Tabel 4. Kadar serat pangan pada beberapa jenis sayuran dan kacang-kacangan Jenis sayuran Nama latin Metode Serat Pangan g100 g basis kering TDF IDF SDF Kacang tanah a Arachis hypogaea L. Asp, 1995 10,91 ± 2,84 9,63 ± 2,50 1,18 ± 0,24 Kacang polong b Pisum sativum Asp, 1983 13,17 ± 1,64 11,31 ± 1,51 1,86 ± 0,86 Wortel c Daucus carota L. AOAC, 1990 26,78 ± 1,13 10,46 ± 1,26 16,32 ± 4,79 Tomat hijau d Solanum lycopersicum Asp, 1983 32,84 ± 0,23 25,22 ± 0,47 7,62 ± 0,24 Genjer d Limnocharis flava Asp, 1983 39,38 ± 1,29 31,74 ± 0,94 7,62 ± 0,35 Kacang kedelai 1 e Glycine max L. Asp, 1992 35,22 ± 0,23 30, 43 ± 0,25 4,36 ± 0,04 Daun jambu mete d Anacardium occidentale L. Asp, 1983 45,64 ± 1,29 39,98 ± 0,20 5,66 ± 1,09 Daun ubi jalar d Ipomoea batatas Asp, 1983 46,66 ± 1,41 39,82 ± 0,28 6,82 ± 0,56 Paria d Momordica charantia Asp, 1983 49,34 ± 1,09 42,96 ± 0,35 6,38 ± 0,42 Kemangi d Ocinum bassilicum ferina citratum Asp, 1983 50,63 ± 0,89 43,51 ± 2,00 7,12 ± 1,11 Daun singkong d Manihot utilissima Asp, 1983 52,26 ± 2,72 43,03 ± 2,74 9,23 ± 0,01 Daun melinjo d Gnetum gnemon Asp, 1983 57,45 ± 0,16 48,69 ± 0,25 876 ± 0,09 Daun pepaya d Carica papaya Asp, 1983 57,46 ± 2,26 48,75 ± 0,35 8,71 ± 0,49 Kacang kedelai 2 e Glycine max L. AOAC, 1999 59,42 ± 0,10 57,65 ± 0,23 1,31 ± 0,02 Pakis d Cycas rumphii Asp, 1983 60,97 ± 0,52 53,64 ± 0,81 7,33 ± 0,25 Poh-pohan d Pilea trinervia Asp, 1983 67,03 ± 0,44 57,04 ± 0,25 9,99 ± 0,15 Beluntas d Pluchea indica Asp, 1983 70,26 ± 1,06 67,29 ± 1,09 2,97 ± 0,03 Daun kolesom organic Talinum triangulare Jacq. Willd AOAC, 1999 77,78 ± 8,32 70,95 ± 8,47 6,83 ± 0,46 Daun kolesom anorganik Talinum triangulare Jacq. Willd AOAC, 1999 85,54 ± 3,22 77,94 ± 3,08 7,60 ± 0,64 a Kutoz et al. 2003 b Stoughton-Ens et al. 2009 c Englyst dan Hudson 1996 d Desminarti 2001 e Jelita 2011 Faktor lain yang menyebabkan munculnya angka yang tinggi hasil analisis serat pangan pada sayuran daun kolesom adalah karena perbedaan metode analisis yang digunakan. Beberapa sayuran dianalisis kadar serat pangannya menggunakan metode AOAC, sementara beberapa sayuran yang lain menggunakan metode Asp. Perbedaan hasil analisis serat pangan dengan kedua metode terlihat pada kacang kedelai. Kacang kedelai yang dianalisis serat pangannya menggunakan metode Asp menunjukan hasil kadar TDF sebesar 35,22, sementara kacang kedelai yang dianalisis menggunakan metode AOAC menunjukkan hasil kadar TDF sebesar 59,42. Perbedaan keduanya hampir 20. Perbedaan metode analisis serat pangan AOAC dan Asp terletak pada enzim yang digunakan. Enzim yang digunakan pada metode AOAC untuk menghidrolisis pati ialah amiloglukosidase, sementara pada metode Asp digunakan enzim pankreatin Uhlig 1998. Selain enzim yang digunakan untuk menghidrolisis pati, perbedaan lainnya antara metode AOAC dan metode Asp ialah penggunaan enzim untuk menghidrolisis protein. Metode AOAC menggunakan enzim protease, sementara metode Asp menggunakan enzim fisiologis, yaitu pepsin dan pakreatin Asp 2001. Pendekatan yang 26 digunakan pada metode AOAC adalah penghilangan semua komponen pangan selain serat pangan sehingga yang terhitung sebagai residu hanya serat pangan, sementara metode Asp dilakukan seperti yang terjadi di dalam tubuh manusia. Penggunaan enzim pada metode Asp ini didasarkan pada definisi serat pangan sebagai komponen yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia Trowell 1974. Metode Asp menghasilkan angka yang lebih kecil sebab hidrolisis protein terjadi dua kali, yaitu saat menggunakan enzim pankreatin dan pepsin. Sayuran dan kacang-kacangan pada tabel di atas yang dianalisis menggunakan metode AOAC hanya kacang polong, wortel, kacang kedelai 2, daun kolesom, selebihnya menggunakan metode Asp. Sayuran daun yang dianalisis menggunakan metode AOAC hanya kolesom. Oleh karena itu hasil analisis serat pangan sampel kolesom lebih tinggi dibandingkan sayuran daun lainnya. Selain mengandung TDF dan IDF dalam kadar yang tinggi, daun kolesom juga menunjukkan kadar SDF yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SDF pada berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan di atas. Kadar SDF pada daun kolesom organik lebih tinggi dibandingkan kadar SDF pada kacang tanah, kacang polong, daun jambu mete, kacang kedelai 2, daun ubi jalar, paria, dan beluntas. Sedangkan kadar SDF pada daun kolesom anorganik lebih tinggi dibandingkan kacang tanah, kacang polong, daun jambu mete, kacang kedelai 2, daun ubi jalar, kemangi, paria, pakis, dan beluntas. Kadar SDF kolesom tampak jauh lebih rendah dari kadar SDF wortel. Hal ini dikarenakan kolesom merupakan sayuran daun yang dimakan beserta bagian batangnya yang masih muda. Namun demikian, SDF kolesom memiliki kelebihan dilihat dari besarnya kadar substansi pektin. Tabel 5. Kadar pektin pada beberapa jenis buah dan sayuran dengan metode kolorimetrik Sumber Nama Latin Kadar pektin dalam bentuk asam anhidro galakturonat g100g basis kering Rujukan Lengkeng Dimocarpus longan 0,34 Voragen et al. 1983 Rasberi Rubus idaeus 0,34 Voragen et al. 1983 Kolesom anorganik Talinum triangulare Jacq. Willd 0,35 Kolesom anorganik Talinum triangulare Jacq. Willd 0,40 Apel Pyrus malus 0,39-0,49 Ross et al. 1985 Kacang-kacangan Legumoniceae 0,43-0,63 Ross et al. 1985 Jeruk orange Citrus sinensis 0,57 Ross et al. 1985 Ubi jalar Ipomoea batatas 0,61 Vollendorf dan Marlett 1993 Jeruk lemon Citrus limon 0,63 Vollendorf dan Marlett 1993 Grapefruit Citrus x paradise 0,65 Graumlich 1981 Anggur Vitis vinifera 0,7-0,8 Morrison 1990 Wortel Daucus carota L. 0,72-1,01 Ross et al. 1985 Baker 1997 27 Kadar pektin di dalam kolesom lebih rendah dibandingkan dengan kadar pektin pada berbagai jenis buah dan sayur, kecuali lengkeng dan rasberi. Namun, diperkirakan kadar pektin pada kolesom akan lebih tinggi jika hanya dihitung berdasarkan basis bobot daun saja, bukan bobot edible portion . Sebab, edible portion sayuran kolesom terdiri atas daun dan tangkai yang masih muda. Rendahnya kadar pektin pada sayuran kolesom dibandingkan berbagai buah dan sayuran di atas disebabkan karena protopektin di dalamnya tidak banyak diubah menjadi pektin seperti yang terjadi pada sebagian besar buah-buahan maupun sayuran dengan kadar gula yang mengalami pematangan. Proses pengubahan protopektin menjadi pektin terjadi pada saat buah-buahan dan sebagian sayuran mengalami pematangan sehingga terasa lebih manis dan empuk ketika dikonsumsi Bartley 1982. Namun sayuran daun kolesom tidak perlu mengalami pematangan pada saat dikonsumsi, sehingga kandungan protopektinnya lebih tinggi dibandingkan kandungan pektinnya. Protopektin tidak larut dalam etanol sehingga tidak dapat lolos ketika dilakukan penyaringan pada metode analisis yang digunakan Stasse-Wolthuis 1980. Namun demikian kandungan pektin di dalam kolesom sebesar 0,35-0,40 g100 g ini cukup besar dan memiliki manfaat fungsional untuk kesehatan manusia. Kemampuan pektin ini dibuktikan oleh penelitian Baker 1994 yang menyatakan bahwa pektin sebesar 0,23 g100 g dari kulit buah jeruk orange yang dicampurkan ke dalam ransum dapat menurunkan kadar LDL tikus percobaan hingga 5 serta menurunkan respon glukosanya.

D. Pengaruh Pemupukan