Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel (Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Mengenai Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel Indiana Chronicles “Blues” Karya Clara Ng)

(1)

REPRESENTASI GAYA HIDUP WANITA METROPOLIS DALAM NOVEL (Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Mengenai Representasi Gaya Hidup Wanita

Metropolis Dalam Novel Indiana Chronicles “Blues” Karya Clara Ng)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh : KHAIRIA RAHMATIKA

060904020

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Khairia Rahmatika

NIM : 060904020

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam

Novel (Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Mengenai Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel Indiana Chronicles “Blues” Karya Clara Ng)

Medan, Juni 2010

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Lusiana A. Lubis, M.A

NIP. 196704051990032002 NIP.195102191987011001 Drs. Amir Purba, MA

Dekan FISIP USU a.n Pembantu Dekan I

NIP. 195908091986011002 Drs, Humaizi MA


(3)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Representasi Gaya Hidup Wanita Dalam Novel” (Analisis Wacana Teun A. van Dijk Mengenai Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel Indiana Cronicle Blues Karya Clara Ng). Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Kebutuhan akan status dan terpaan budaya asing ini mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung permisif dan mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Khususnya, para wanita yang hidup di kota besar dan mengikuti perkembangan zaman. Tuntutan penampilan, pergaulan, dan pola adaptasi menggeser jati diri kebanyakan para wanita. Novel Indiana Cronicle Blues dipilih karena peneliti merasa novel ini lebih menunjukkan citra wanita metropolis dibandingkan dengan dua novel setelahnya. Dalam novel ini tokoh Indiana digambarkan sebagai wanita yang masih labil dan sedang mencari jati diri di tengah kerasnya kehidupan metropolitan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui wacana yang dipakai dalam menyampaikan representasi gaya hidup wanita metropolis dan mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Imperialisme Budaya, Representasi, Ideologi, Analisis Wacana kritis, Analisis Wacana Teun A. van Dijk.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, praanggapan, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali sehingga dapat disimpulkan ideologi yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Indiana Cronicle Blues.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa Makna yang terkandung pada tiap teks yang ada dalam novel Indiana Cronicle Blues menunjukkan bagaimana realita yang ada dalam kehidupan wanita metropolis pada zaman sekarang yang dikemukakan secara gamblang serta dikemas dengan sangat baik oleh pengarang. Serta terdapat pula ideologi dari pengarang yang ingin memberikan sudut pandang yang baru, pencerahan dan cara berfikir yang kreatif buat pembaca.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan Ridho-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel” (Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Mengenai Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel Indiana Chronicles “Blues” Karya Clara Ng).

Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada universitas Sumatera Utara untuk memeperoleh gelar Sarjana Sosial dari Departemen Ilmu Komunikasi.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini mengingat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas peneliti menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga kelak akan lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.

Dalam penyelesaian skripsi ini peneliti banyak mendapat bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Pertama sekali peneliti mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Papa, H.Zainal Abidin dan Mama, Hj. Nuriah yang tidak putus-putusnya memberikan dukungan, doa, serta cinta kasihnya yang amat besar sehingga peneliti mampu menjalani masa pendidikan ini dengan baik. Terimakasih pula peneliti haturkan pada kedua kakak peneliti, Ceuceuk Lili dan Mbak Yeyen tempat peneliti berbagi cerita dan yang selalu memberikan dukungan serta motivasi untuk segera menyelesaikan perkuliahan ini. Dan tak lupa juga peneliti menyampaikan terima kasih kepada abang ipar peneliti Bang Ikli dan calon abang ipar peneliti Bang Udi yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti. Juga buat keponakan- keponakan peneliti, Babang, Dara, Dira dan Azkiya yang sangat peneliti sayangi.


(5)

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti tidak hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak pihak yang memberi kontribusi, baik berupa materi, pikiran, maupun dorongan semangat dan motivasi. Oleh karena itu melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr. M.Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA dan Ibu Dra.Dewi Kurniawati, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra.Lusiana A. Lubis, MA selaku dosen pembimbing peneliti yang telah banyak memberi motivasi dan membimbing peneliti selama penulisan skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya atas waktu, nasehat, kesabaran, dan pemikiran yang telah diberikan kepada peneliti

4. Ibu Yovita Sabarina Sitepu, S.sos selaku dosen wali yang telah banyak membimbing peneliti selama masa perkuliahan.

5. Bapak/Ibu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada umumnya dan dosen Ilmu Komunikasi pada khususnya yang telah memberikan bekal pengetahuan selama masa perkuliahan

6. Kak Icut, Kak Ros, Kak Maya, dan Kak Rotua dan seluruh staf yang ada yang telah membantu peneliti selama ini.

7. Sahabat-sahabat peneliti, Abi, Adis, Aghi, Carol, Mira, Teguh, Soya. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertemanan kita selama ini yang telah dipenuhi oleh banyak cerita. Terima kasih atas semua bantuan dan semangat yang telah diberikan, bersama-sama melewati suka dan duka yang ada.


(6)

8. Teman- teman sepermainan peneliti, Dina, Wia, Time, Rara, Wulan, Ghasi, maydop,

9. Bayu Handika , yang telah banyak memberikan bantuan kepada peneliti selama ini. Terima kasih sebesar-besarnya atas semua doa, semangat dan bantuan yang telah diberikan.

10. Adistia Tasya dan keluarga, yang telah peneliti anggap sebagai kakak sendiri, yang banyak memberikan bantuan kepada peneliti. Tempat peneliti bercerita, berkeluh- kesah dan motivator peneliti dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Serta rela untuk menjadikan peneliti sebagai penghuni tidak tetap rumah mereka, terima kasi banyak ya Om dan Tante..

11. Keluarga besar Anwar yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu, terima kasih untuk dukungan dan semangat yang diberikan selama ini.

12. Teman-teman Komunikasi 2006 yang telah sama-sama berjuang dari awal kuliah hingga sekarang. Tak lupa juga seluruh senior-senior yang telah banyak memberikan saran dan bantuan.

13. Semua pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan dapat membuka khazanah berpikir kita.

Medan, Juni 2010 Peneliti


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI……… .. i

KATA PENGANTAR………. .. ii

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR TABEL……….. ix

BAB 1 PENDAHULUAN……….. 1

I.1 Latar Belakang………. 1

I.2 Perumusan Masalah………. 6

I.3 Pembatasan Masalah………... 6

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 7

I.4.1 Tujuan Penelitian……….. 7

I.4.2 Manfaat Penelitian……… 7

I.5 Kerangka Teori……… 7

I.5.1 Imperialisme Budaya……… 8

I.5.2 Representasi……….. 9

I.5.3 Ideologi...…………. 11

I.5.4 Analisis Wacana Kritis... 13

I.5.5 Analisis Wacana Teun A.Van Dijk... 14

I.6 Kerangka Konsep……… 15

I.7 Operasionalisasi Konsep………... 16

BAB II URAIAN TEORITIS………. 18

II.1 Imperialisme Budaya………. 18

II.2 Representasi...………... .. 22

II.3 Ideologi...……….. 26

II.4 Analisis Wacana Kritis……….. 30

II.5 Analisis Wacana Teun A. Van Dijk... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………. 44

III.1 Deskripsi Objek Penelitian…...……….. 44

III.2 Tipe Penelitian………... 45

III.3 Subjek Penelitian...……… 46

III.4 Unit dan Level Analisis..………... . 46

III.5 Teknik Pengumpulan Data………. 47

III.6 Teknik Analisis Data... 47


(8)

IV.1 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues... 50

IV.2 Diskusi dan Pembahasan………. 155

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 161

V.1 Kesimpulan……… 161

V.2 Saran……….. 162

DAFTAR PUSTAKA……….. 163 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel III.1 Struktur Wacana Van Dijk……….. 48 Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab I…... 56 Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab II….. 65 Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab III…. 71 Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab IV… 79 Tabel IV.1.5 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab V... 86 Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab VI… 91 Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab VIII 96 Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab IX... 100 Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab X... 104 Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XI.... 110 Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XII... 116 Tabel IV.1.12 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XIII.. 120 Tabel IV.1.13 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XIV… 126 Tabel IV.1.14 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XV... 131 Tabel IV.1.15 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XVI.... 136 Tabel IV.1.16 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XVII... 142 Tabel IV.1.17 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XVIII 145 Tabel IV.1.18 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XIX 149 Tabel IV.1.19 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues Bab XX 153


(10)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Representasi Gaya Hidup Wanita Dalam Novel” (Analisis Wacana Teun A. van Dijk Mengenai Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel Indiana Cronicle Blues Karya Clara Ng). Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Kebutuhan akan status dan terpaan budaya asing ini mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung permisif dan mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Khususnya, para wanita yang hidup di kota besar dan mengikuti perkembangan zaman. Tuntutan penampilan, pergaulan, dan pola adaptasi menggeser jati diri kebanyakan para wanita. Novel Indiana Cronicle Blues dipilih karena peneliti merasa novel ini lebih menunjukkan citra wanita metropolis dibandingkan dengan dua novel setelahnya. Dalam novel ini tokoh Indiana digambarkan sebagai wanita yang masih labil dan sedang mencari jati diri di tengah kerasnya kehidupan metropolitan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui wacana yang dipakai dalam menyampaikan representasi gaya hidup wanita metropolis dan mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Imperialisme Budaya, Representasi, Ideologi, Analisis Wacana kritis, Analisis Wacana Teun A. van Dijk.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, praanggapan, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali sehingga dapat disimpulkan ideologi yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Indiana Cronicle Blues.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa Makna yang terkandung pada tiap teks yang ada dalam novel Indiana Cronicle Blues menunjukkan bagaimana realita yang ada dalam kehidupan wanita metropolis pada zaman sekarang yang dikemukakan secara gamblang serta dikemas dengan sangat baik oleh pengarang. Serta terdapat pula ideologi dari pengarang yang ingin memberikan sudut pandang yang baru, pencerahan dan cara berfikir yang kreatif buat pembaca.


(11)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Globalisasi yang diikuti dengan kemajuan teknologi telah menyentuh hampir semua bidang kehidupan manusia. Arus informasi dari suatu tempat ke tempat lain dapat diterima dengan cepat dan lengkap. Bersamaan dengan itu media komunikasi mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dalam segi konten berita maupun dalam segi variasi segmen, dan semakin dominan dalam menentukan corak dan warna manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Kehadiran teknologi pada dasarnya didorong oleh obsesi manusia untuk mengatasi jarak dan ruang, serta sebagai pemuas kebutuhan manusia akan informasi.

Revolusi teknologi informasi ini telah meledakkan serpihan budaya Barat sampai tak terbendung mengalir dan merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat perkotaan yang memiliki kemudahan akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global.

Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi.


(12)

Terpaan budaya global ini lambat laun mengakibatkan perubahan sosial budaya, yaitu sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan ini merupakan hal yang umum terjadi, seiring berkembangnya zaman dan sesuai dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah. Perubahan ini mencakup banyak aspek dari hidup manusia, termasuk perubahan peradaban dan gaya hidup.

Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Individu yang hidup dalam masyarakat modern menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Hal ini adalah suatu pola tindakan yang membedakan antara satu individu dengan invidu lain. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.

Konsep gaya hidup seringkali dikacaukan dengan konsep subkultur. Pandangan gaya hidup yang sinonim dengan subkultur membuat deskripsi gaya hidup menjadi statis, selain memberi arti yang sempit bagi konsep tersebut. Menurut Nas dan v.d. Sande gaya hidup lebih luas dari konsep subkultur karena pendeskripsiannya juga mencakup pemilik kultur dominan, dan lebih dinamis dari konsep subkultur karena dideskripsikan dari sudut pandang individu (Sobur,2003:168).

Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya.

Status pada dasarnya mengarah pada posisi yang dimiliki seseorang di dalam sejumlah kelompok atau organisasi dan prestise melekat pada posisi tersebut. Status merupakan kekuatan yang besar di dalam masyarakat yang digunakan untuk mengendalikan


(13)

orang dengan cara yang halus. Status juga kerap dianggap sebagai simbol dari kesuksesan hidup. Menurut Susanne K. Langer (Mulyana,2000:83) salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Simbol-simbol ini digunakan untuk merefleksikan status dan gaya hidup yang dianut, yang sangat berpengaruh dalam perilaku konsumsi pemakainya.

Kebutuhan akan status dan terpaan budaya asing ini mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung permisif dan mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh. Gaya hidup ini semakin lama berkembang menjurus ke arah hedonisme dimana kesenangan pribadi menjadi hal yang utama. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan, budaya asli, materialisme, dan rendahnya kepekaan sosial semakin lumrah terlihat.

Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Khususnya, para wanita yang hidup di kota besar dan mengikuti perkembangan zaman. Tuntutan penampilan, pergaulan, dan pola adaptasi menggeser jati diri kebanyakan para wanita. Awalnya, para wanita modern memandang bahwa aktualisasi diri merupakan pencarian yang tidak bisa dihindari. Mereka ingin berbeda dengan wanita biasa, tetapi kenyataannya, pilihan beraktivitas lebih banyak porsinya pada sesuatu yang bersifat materil duniawi.

Gaya hidup seperti ini pun sudah lazim tergambar di media. Dapat kita lihat dengan jelas gaya hidup metropolis digambarkan secara gamblang dalam film-film dan sinetron Indonesia yang setiap hari kita saksikan di layar televisi, dan menjadi topik yang seringkali kita baca di media cetak.

Begitu pula yang tercermin pada karya sastra Indonesia. Karya sastra merupakan tanggapan penciptanya (pengarang) terhadap dunia dan merupakan ekspresi kehidupan manusia. Karya sastra lahir di tengah-tengah mayarakat sebagai hasil dari imajinasi


(14)

pengarang serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.

Karya sastra yang baik tidak hanya merekam kenyataan yang ada dalam masyarakat, tetapi juga merekam dan melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun sebuah karya sastra mencerminkan masyarakat dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan pada zamannya. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan suatu proses yang hidup. Sastra tidak mencerminkan realitas seperti fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas.

Hal ini pula yang tergambar dalam novel sebagai hasil karya sastra modern. Novel di Indonesia berkembang dengan sangat cepat pada beberapa tahun terakhir. Semakin banyak novelis muda bermunculan dengan gaya dan genrenya tersendiri, yang menggambarkan dunia dari sudut pandang mereka.

Salah satu novelis Indonesia yang karya-karyanya banyak mencerminkan realitas sosial adalah Clara Ng, di dalam karya-karyanya ia banyak mengambarkan kehidupan wanita secara gamblang dan jelas. Novel-novel Clara Ng mencerminkan realitas yang terjadi di zaman ini, terutama bagi kaum wanita. Ketika gaya hidup wanita semakin berkembang dan memasuki berbagai aspek kehidupan.

Hal inilah yang tergambar dengan jelas dalam novelnya, Indiana Chronicle, yang merupakan novel berseri yang terdiri dari tiga buku, yaitu Blues, Lipstick, dan Bridesmaid. Ketiga novel ini menceritakan tentang kehidupan pribadi tokoh Indiana, seorang wanita metropolitan yang mengalami banyak intrik dalam kehidupannya. Novel ini bukan hanya sebagai novel yang menghibur, namun juga menggambarkan gaya hidup wanita metropolis


(15)

dengan baik. Melalui novel ini kita dapat mengetahui gaya hidup wanita metropolis yang semakin berkembang dan melihat gambaran sisi-sisi kehidupan yang mungkin belum kita pahami secara jelas.

Diantara sekian banyak novel yang menceritakan mengenai kehidupan wanita-wanita metropolis, peneliti memilih menggunakan novel Indiana Chronicle karena novel ini menggambarkan sisi kehidupan metropolis yang realistis dan sesuai dengan perkembangan zaman, karakter tokohnya adalah tipikal gadis lajang metropolitan yang hidupnya diwarnai dengan berbagai masalah. Tidak seperti novel-novel lainnya yang terlalu banyak dibumbui dengan imajinasi pengarang sehingga menghasilkan novel yang tidak dapat menggambarkan kehidupan wanita metropolis yang sebenarnya.

Dari trilogi Indiana Chronicle ini, peneliti memilih novel yang pertama yaitu Blues karena peneliti merasa novel ini lebih menunjukkan citra wanita metropolis dibandingkan dengan dua novel setelahnya. Dalam novel ini tokoh Indiana digambarkan sebagai wanita yang masih labil dan sedang mencari jati diri di tengah kerasnya kehidupan metropolitan. Dibandingkan dengan dua novel setelahnya, pada novel pertama ini, Indiana lebih digambarkan sebagai wanita metropolis sejati yang mempunyai pola pikir dan berperilaku selayaknya seorang metropolis.

Berdasarkan uraian- uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai representasi gaya hidup wanita metropolis dalam novel Indiana Chronicle Blues karya Clara Ng.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah gaya hidup wanita metropolis direpresentasikan dalam novel Indiana


(16)

I.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah diajukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah, sehingga tidak perlu mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Penelitian ini menggunakan analisis wacana Teun A.Van Dijk.

2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang ada di balik penyajian tata bahasa dan tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut.

I.4 Tujuan dan Manfaat penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya. I.4.2 Manfaat Penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya mengenai kajian media (novel) yang diteliti dengan analisis wacana.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media.

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.


(17)

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun,1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut makna masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi,1995:40). Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah :

I.5.1 Imperialisme Budaya

Imperialisme budaya adalah tergusurnya nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi kebudayaan global. Proses ini tidak terlepas dari dunia Barat yang mendominasi media di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Media barat menimbulkan kesan yang mendalam bagi media di negara berkembang, sehingga mereka ingin meniru budaya yang tercermin dalam media tersebut. Dalam perspektif teori yang pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973 ini, ketika terjadi proses peniruan media oleh negara berkembang terhadap negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara berkembang.

Dominasi terjadi ketika negara maju memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai uang yang dapat mendanai produksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis, dengan kata lain media sudah dikembangkan menjadi industri yang mementingkan laba. Selain uang mereka mempunyai teknologi yang memungkinkan sajian media massa diproduksi dengan sangat baik.

Oleh karena itu, negara berkembang tertarik untuk membeli produk barat tersebut. Terlebih lagi membeli jauh lebih murah dibanding dengan memproduksi sendiri. Sangat


(18)

banyak media massa Indonesia yang setiap harinya berlomba-lomba menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan foto-foto kejadian yang berlokasi di Indonesia, yang seharusnya dengan mudah dapat difoto oleh wartawan Indonesia sendiri seringkali berasal dari kantor berita asing.

Kehilangan nilai dalam budaya mengakibatkan kehidupan masyarakat melahirkan sebuah pakem baru yang lebih mengedepankan tampilan atau pencitraan syang jelas-jelas mendangkalkan isi. Tidak hanya berhenti sampai disitu, kemudahan yang ditawarkan oleh budaya instan dan pencitraan dengan cepat menembus sekat-sekat pribadi membuatnya menjadi satu-satunya penguasa gaya hidup dan budaya yang dominan.

I.5.2 Representasi

Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep ini digambarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan.

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”.

Menurut Stuart Hall, representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Representasi adalah jalan dimana makna diberikan kepada hal-hal yang tergambar melalui citra atau bentuk lainnya, pada layar atau pada kata-kata. Hall menunjukkan bahwa sebuah citra akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa citra akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan representasi sebagai konstitutif. Representasi tidak hadir sampai setelah kejadian direpresentasikan, representasi tidak hadir setelah sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri.


(19)

Representasi adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan bisa terjadi dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak representasi tersebut ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Proses ini mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak.

Proses pemilihan fakta juga mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas. Pilihan kata-kata yang dipakai tidak hanya sekeda tekhnik jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masakah tertentu tapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu.

Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi, yaitu ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seorang, suatu kelompok,

suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana mestinya atau apa adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Setiap hari kita mendengar, membaca, atau melihat bagaimana kesalahan representasi itu terjadi.

1. Ekskomunikasi (Excommunication)

Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Disini misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia dianggap bukan bagian dari diri kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak kita, tidak ada kebutuhan untuk mendengar suara dari pihak lain.


(20)

2. Eksklusi (Exclusion)

Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka dipandang buruk dan bukan bagian dari kita. Disini ada suatu sikap yang diwakili oleh wacana yang menyatakan bahwa kita baik, sementara mereka buruk.

3. Marjinalisasi

Praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran yang buruk kepada pihak/kelompok lain. Akan tetapi, berbeda dengan eksklusi/ekskomunikasi, disini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dengan pihak mereka.

4. Delegitimasi

Kalau marjinalisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok digambarkan secara buruk, dikecilkan perannya, maka dalam delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi berhubungan dengan pertanyaan apakah seseorang merasa absah, benar, dan mempunyai dasar pembenar tertentu ketika melakukan suatu tindakan.

I.5.3 Ideologi

Menurut Aart Van Zoest, sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi (Van Zoest, 1991:70 dalam Sobur,2004:60). Setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.


(21)

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa yunani, terdiri dari kata idea dan

logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan logia berasal dari kata

logos yang berarti kata. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti berbicara. Selanjutnya

logia berarti pengetahuan atau teori. Jadi ideology menurut arti kata adalah pengucapan dari

apa yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan ini tidak pernah jelas seluruhnya (Lull,1998:1).

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kolompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikolog yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat, ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominant. Ideologi bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.


(22)

Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu.

I.5.4 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuaantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, perasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dai suatu teks (Eriyanto,2001:15).

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi.

Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk


(23)

jenis-jenis subjek tertentu berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivis.

Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa : batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.

I.5.5 Analisis Wacana Teun A. Van Dijk

Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang diamati. Perlu dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dai wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.

Teks bukan sesuatu yang datang begitu saja, tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tetapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap


(24)

teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut Van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan

(question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk

mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.

I.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Adapun kerangka konsep dalam penelitain ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. Van Dijk.

Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks Van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu:

1. Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dngan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita.

2. Superstruktur, merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh.

3. Struktur Mikro merupakan wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.


(25)

Menurut littlejohn (Eriyanto,2001:226) antara bagian teks dalam model Van Dijk dilihat saling mendukung, dan mengandung arti yang koheren satu sama lain, karena semua teks dipandang Van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu persatu elemen wacana Van Dijk tersebut :

1. Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.

2. Skematik

Skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti.

3. Latar

Bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan, menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

4. Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan penciptaan citra tertentu.

5. Maksud

Menunjukkan bagaimana kebenaran tertentu ditonjolkan secara eksplisit dan secara implisit mengaburkan kebenaran yang lain.

6. Koherensi

Pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.


(26)

7. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak mempengaruhi arti.

8. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan.

9. Pengingkaran

Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit. 10.Bentuk kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, prisnsip kausalitas. Tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu.

11.Kata ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana.

12. Leksikon

Menandakan bagaimana pemilihan kata dilakukan atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang dipakai menunjukan sikap dan idiologi tertentu. 13.Praanggapan

Pernyatraan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

14.Grafis


(27)

15.Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan atau ungkapan. Metafora sebagai ornamen dari suatu berita yang sapat menjadi penunjuk utama untuk mengerti makan suatu teks.


(28)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun,1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut makna masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi,1995:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: Imperialisme Budaya, Representasi, Ideologi, Analisis Wacana Krisis, Analisis Wacana Teun A.Van Dijk.

II.1 Imperialisme Budaya

Kita hidup dalam dalam tatanan dunia baru. Setelah datangnya dominasi politik, ekonomi, dan kekuatan budaya. Tantangan dunia baru yang sedang kita jalani adalah tatanan dunia baru setelah runtuhnya Soviet, dimana gaya hidup dan simbol peradaban berkiblat pada barat. Ada tiga hal yang dapat dibedakan untuk melihat tatanan dunia baru saat ini. Pertama, munculnya globalisasi (ditandai dengan kemenangan kapitalisme dan pasar bebas). Kedua, revolusi informasi (ditandai


(29)

dengan lahirnya revolusi TV, internet dan ponsel). Ketiga, adanya imperialisme budaya.

Imperialisme media ini merupakan bentuk baru penjajahan melalui media. Imperialisme baru dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan politik adalah ‘’sesuatu yang menyeramkan’’, yang kini tengah mengincar jiwa kita. Nilai-nilai hidup, sesuatu yang kita makan, pakaian yang kita pakai, buku yang kita baca, dan tontonan yang kita lihat adalah bukti hadirnya imperialisme.

Beberapa gejala yang menandakan keadaan suatu negara telah terkena imperialisme budaya adalah :

1. Pengalaman negara-negara maju dalam bidang ilmu dan teknologi tentang media massa selama puluhan tahun telah menyebabkan anggapan bahwa hanya ada satu macam arus informasi yang sudah dianggap normal dan yang hanya satu-satunya pembawa pesan yang tidak pernah berubah yang diproduksi oleh segelintir namun diterima oleh semua khalayak, yang dimaksud dengan munculnya upaya-upaya seperti memperbanyak jumlah koran, pesawat penerima, televisi, radio, bioskop, terutama pada negara-negara berkembang tanpa disadarinya.

2. Adanya arus satu arah Dalam komunikasi pada dasarnya adalah pencerminan struktur ekonomi dan politik dunia yang cenderung untuk memelihara dan memperkuat ketergantungan negara miskin kepada negara kaya.

3. Hegemoni dan dominasi tersebut terbukti pada ketidakpedulian media negara maju terutama barat terhadap keluhan dan keinginan negara berkembang. Dasarnya adalah kekuatan teknologi, kultural, industri, dan keuangan yang mengakibatkan hampir semua negara berkembang jatuh menjadi konsumen informasi (Purba Amir Dkk 2006:88-89).

Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan bahwa difusi artefak, citra dan gaya budaya modern ke seluruh dunia yang merupakan bentuk penindasan


(30)

atau imperialisme budaya kontemporer. Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari negara adikuasa.

Imperialisme berarti hegemoni politik, ekonomi, politik, budaya yang dijalankan

suatu bangsa atau bangasa lain. Kata ini biasanya mengacu pada imperialisme budaya atau

imperialisme media. Yang mencerminkan keprihatinan mengenai bagaimana perangkat keras

dan perangkat lunak komunikasi digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk memakasakan nilai dan agenda politik, ekonomi, budaya mereka pada bangsa dan budaya-budaya yang tidak kuat. Imperialisme media merupakan salah satu istilah yang berhubungan dengan imperialisme budaya. Media memainkan peranan penting dalam menghasilkan kebudayaan dan mempunyai peranan yang besar sekali dalam proses imperialisme budaya

Imperialisme budaya adalah tergusurnya nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi kebudayaan global. Proses ini tidak terlepas dari dunia Barat yang mendominasi media di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Media barat menimbulkan kesan yang mendalam bagi media di negara berkembang, sehingga mereka ingin meniru budaya yang tercermin dalam media tersebut.

Teori imperialisme budaya ini pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Gagasan yang mendasari teori ini adalah peranan media dalam pembangunan media dalam pembangunan nasional.

Dominasi terjadi ketika negara maju memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai uang yang dapat mendanai produksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis, dengan kata lain media sudah dikembangkan menjadi industri yang mementingkan laba. Selain uang mereka mempunyai teknologi yang memungkinkan sajian media massa diproduksi dengan sangat baik.


(31)

Oleh karena itu, negara berkembang tertarik untuk membeli produk barat tersebut. Terlebih lagi membeli jauh lebih murah dibanding dengan memproduksi sendiri. Sangat banyak media massa Indonesia yang setiap harinya berlomba-lomba menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan foto-foto kejadian yang berlokasi di Indonesia, yang seharusnya dengan mudah dapat difoto oleh wartawan Indonesia sendiri seringkali berasal dari kantor berita asing.

Kehilangan nilai dalam budaya mengakibatkan kehidupan masyarakat melahirkan sebuah pakem baru yang lebih mengedepankan tampilan atau pencitraan yang jelas-jelas mendangkalkan isi. Tidak hanya berhenti sampai disitu, kemudahan yang ditawarkan oleh budaya instan dan pencitraan dengan cepat menembus sekat-sekat pribadi membuatnya menjadi satu-satunya penguasa gaya hidup dan budaya yang dominan.

Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller (1976), ada beberapa konsep pokok dari imperialisme budaya, yaitu:

1. Sistem dunia modern

Merupakan konsep sederhana yang menunjukkan kapitalisme. 2. Masyarakat

Merupakan konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan.

3. Sistem pusat yang mendominasi

Menunjukkan negara-negara maju atau dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara pusat atau kekuatan barat.

4. Struktur dan nilai

Menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara yang berkuasa ke negara yang sedang berkembang.


(32)

Setelah meninjau seluruh penafsiran yang berbeda dari imperialisme budaya, mka jelas terlihat bahwa intisari dari imperialisme budaya adalah dominasi oleh suatu negara kepada negara lainnya. Hubungannya bisa langsung maupun tidak langsung berdasarkan pengawasan ekonomi politik. Pertukaran informasi antara bangsa-bangsa merupakan manifestasi dari imperialisme budaya

II.2 Representasi

Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep ini digambarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan.

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”.

Menurut Stuart Hall, representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Representasi adalah jalan dimana makna diberikan kepada hal-hal yang tergambar melalui citra atau bentuk lainnya, pada layar atau pada kata-kata. Hall menunjukkan bahwa sebuah citra akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa citra akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan representasi sebagai konstitutif. Representasi tidak hadir sampai setelah kejadian direpresentasikan, representasi tidak hadir setelah sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri.

Representasi adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan bisa terjadi dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak representasi tersebut ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Proses ini mau tidak


(33)

mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak.

Proses pemilihan fakta juga mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Pilihan kata-kata yang dipakai tidak hanya sekedar tekhnik jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kata-kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masakah tertentu tapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu.

Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi, yaitu ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seorang, suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana mestinya atau apa adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Setiap hari kita mendengar, membaca, atau melihat bagaimana kesalahan representasi itu terjadi.

1. Ekskomunikasi (Excommunication)

Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Disini misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia dianggap bukan bagian dari diri kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak kita, tidak ada kebutuhan untuk mendengar suara dari pihak lain.

Oleh karena itu, ada dua konsekuensi penting dari ekskomunikasi ini. Pertama, partisipan wacana hanya dibatasi pada pihak sendiri. Pihak lain bukan tidak ditampilkan, tetapi ditampilkan melalui perspektif mereka sendiri. Salah satu strategi


(34)

utama dalam pemberitaan dan bagaimana ekskomunikasi dilakukan adalah dengan penghadiran dan penghilangan (presence and absence) suatu kelompok dan berbagai identitasnya. Kedua, umumnya terjadi penggambaran yang simplisifik dan menggambarkan pihak lain selalu dalam kerangka kepentingan pihak kita.

2. Eksklusi (Exclusion)

Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka dipandang buruk dan bukan bagian dari kita. Disini ada suatu sikap yang diwakili oleh wacana yang menyatakan bahwa kita baik, sementara mereka buruk.

Menurut Foucault, pengucilan suatu kelompok atau gagasan dapat dilakukan melaui berbagai prosedur. Pertama, melakukan pembatasan apa yang bisa dan tidak boleh dibicarakan. Kedua, eksklusi suatu wacana publik juga dilakukan dengan membuat klasifikasi mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bisa diterima dan mana yang tidak isa diterima.

3. Marjinalisasi

Praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran yang buruk kepada pihak/kelompok lain. Akan tetapi, berbeda dengan eksklusi/ekskomunikasi, disini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dengan pihak mereka.

Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi ini. Pertama, penghalusan makna (eufemisme). Kata eufemisme barangkali yang paling banyak dipakai oleh media. Kata ini pertama kali dipakai dalam bidang budaya, terutama untuk menjaga kesopanan dan norma-norma. Kedua, pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme). Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi


(35)

kasar. Ketiga, labelisasi. Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (namun umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Disini, stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif.

4. Delegitimasi

Kalau marjinalisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok digambarkan secara buruk, dikecilkan perannya, maka dalam delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi berhubungan dengan pertanyaan apakah seseorang merasa absah, benar, dan mempunyai dasar pembenar tertentu ketika melakukan suatu tindakan.

Praktik delegitimasi itu menekankan bahwa hanya kelompoknya sendiri yang benar, sedangkan kelompok lain tidak benar, tidak layak dan tidak absah.

II.3 Ideologi

Menurut Aart Van Zoest, sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi (Van Zoest, 1991:70 dalam Sobur,2004:60). Setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.


(36)

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa yunani, terdiri dari kata idea dan

logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan logia berasal dari kata

logos yang berarti kata. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti berbicara. Selanjutnya

logia berarti pengetahuan atau teori. Jadi ideology menurut arti kata adalah pengucapan dari

apa yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan ini tidak pernah jelas seluruhnya (Lull,1998:1).

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kolompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikolog yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat, ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominant. Ideologi bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.


(37)

Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu.

Dalam konsep Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyrakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu. Menurut Hall (Eriyanto, 2001:94) ada tiga bentuk hubungan pembaca dan penulis dan bagaimana pesan itu dibaca oleh keduanya. Pertama, posisi pembaca dominan. Terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang bisa diterima umum, sehingga aka menafsirkan dan membaca pesan atau tanda itu dengan pesan yang sudah diterima umum tersebut. Tidak terjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca disebabkan keduanya mempunyai ideologi yang sama. Kedua, pembacaan yang dinegosiasikan. Tidak ada pembacaan dominan. Yang terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus menerus diantara kedua belah pihak. Ketiga, pembacaan oposisi. Pembaca akan menadakan secara berbeda atau membaca secara berseberangan dengan apa yang ingin disampaiakn oleh khalayak tersebut, karena keduanya memiliki ideologi yang berbeda.

Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Althusser. Ideologi atau suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Salah satu hal penting dalam teori Althusser adalah konsepnya mengenai subjek dan ideologi. Pada intinya, seperti ditulis Hari Cahyadi (Eriyanto,2001:99), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan ideologi. Selain itu ideologi juga menciptakan subjek. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya posisi tertentu dalam suatu relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut.


(38)

Sementara itu, teori Antonio Gramsci tentang hegemoni membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media menjadi sarana dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Seperti dikatakan Raymond William (Eriyanto,2001:104) hegemoni bekerja melalui dua saluran : ideologi dan budaya dimana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditukarkan. Ada beberapa pendekatan dalam mengka ji ideologi :

1. orang dapat melihat ideologi sebagai manifestasi populer filsafat atau tradisi politik tertentu suatu kumpulan, pandangan, ide-ide atau dogma yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok.

2. menelaah ideologi dengan menanyakan “ apakah faktor-faktor pentingnya?”. Apakah kelas, kedudukan sosial atau afiliasi etnis atau agama.

3. pengujian ideologi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan masyarakat yang dipenuhi.

4. ideologi tidak hanya menghubungkan individu dengan masyarakat secara prinsipil, tetapi juga penguasa dengan rakyat. Ideologi merupakan bisnis legitimasi pemakaian kekuasaan yang sah

David D. Apter melukiskan ideologi itu berada pada perpotongan antar primsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual serta nilai-nilai umum dan khusus.

Menurut Teun A. Van Dijk (Eriyanto,2001:13-14) ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, danmemberinya kontribusi dalam membentuk


(39)

solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual : ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share-kan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk emmbentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap.

Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya. Dalam proses itu, konstelasi-konstelasi ide yang terpilih memperoleh arti penting yang terus menerus meningkat, dengan memperkuat makna semula dan memperluas dampak sosialnya (Lull.1998:4).

II.4 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuaantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, perasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dai suatu teks (Eriyanto,2001:15).

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki


(40)

hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran in adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka. Konstuktivis menganggap subjek adalah faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivis.

Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa : batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.

Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa disini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi


(41)

Dalam Eriyanto (2001:8-13) mengutip Fairclough dan Wodak, Analisis Wacana Kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada, saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Karakteristik Analisis Wacana Kritis menurut Teun A. van Dijk, Fairclough dan Wodak adalah :

1. Tindakan

Wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Wacana tidak ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Ada beberapa konsekuensi yang harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan. Apakah untuk mempengaruhi, membujuk, merayu, mendebat, bereaksi. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali.

2. Konteks

Analisis Wacana Kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi; siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk masing-masing pihak. Ada 3 hal sentral yang harus ada dalam wacana teks, konteks dan wacana.


(42)

Salah satu aspek penting untuk mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu dimana wacana itu diciptakan. Pemahaman akan wacana isi teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberi konteks historis dimana teks itu diciptakan.

4. Kekuasaan

Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan berhubungan dengan kontrol kekuasaan. Dapat berupa kontrol atas teks atau mengontrol struktur wacana.

5. Ideologi

Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara

taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai

medium melalui kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar.

Menurut Eriyanto (2001: 15-17), ada beberapa pendekatan dalam analisis wacana kritis, yaitu :


(43)

Critical linguistik ini dibangun oleh sekelompok pengajar di Universitas East Anglia

tahun 1970-an. Memusatkan analisis wacana pada bahasa dan menghubungkan nya dengan ideologi. Inti dari gagasan Critical Linguistik adalah melihat gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Artinya aspek ideologi diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur bahasa yang digunakan.

2. Analisis Wacana Pendekatan Prancis ( French Discourse Analysis)

Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi Althusser dan teori wacana Foucolt. Dalam pandangan Pecheux, bahasa dan ideologi bertemu dalam pemakaian bahasa, dan materialisasi bahasa pada ideologi. Keduanya, kata yang digunakan dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya.

3. Pendekatan Kognisi Sosial

Dikembangkan oleh pengajar di Universitas Amsterdam Belanda dengan tokohnya Teun A.van Dijk. Wacana disini dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Proses wacana ini menyertakan suatu proses yang disebut kognisi sosial.

4. Pendekatan Perubahan Sosial (Social Cultural Change Approach)

Analisis wacana memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Farclough banyak dipengaruhi oleh Foucoult dan pemikiran intelektualitas Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana disini dipandang sebagai praktek sosial, ada hubungan dialektis antara praktek diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial. 5. Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approach)

Dikembangkan oleh sekelompok pengajar di Vienna dibawah Ruth Wodak. Penelitian ini terutama ditujukan untuk menunjukkan bagaimana wacana seksisme, antisemit,


(44)

rasialisme dalam masyarakat kontemporer. Menurut Wodak, wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu realitas digambarkan. Selain itu Fairclough mensyratkan beberapa hal penting dalam analisis wacana kritis. Pertama, analisis wacana membutuhkan analisis yang multidimensi. Kedua, dengan model multidimensi, analisis wacana kritis butuh analisis yang multifungsi. Ketiga, membutuhkan metode untuk analisis historis. Dan keempat, membutuhkan metode kritis (Dina Listiorini dalam Birowo, 2004:68)

II.5 Analisis Wacana Teun A. Van Dijk

Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang diamati. Perlu dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong. Sebaliknya dia adalah bagian kecil dari struktur masyarakat.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dai wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2001:222-224)

Teks bukan sesuatu yang datang begitu saja, tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tetapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap


(45)

teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut Van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan

(question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk

mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.

Model analisis van dijk digambarkan sebagai berikut :

a. teks

Teks terdiri dari beberapa struktur dan tingkatan yang saling mendukung. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam suatu berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, frase dan gambar.

Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat dan preposisi yang dipakai. Pernyataan tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu. Kita tidak hanya mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga

Konteks

Kognisi Sosial


(46)

elemen yang memebentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan preposisi. Kalau digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut :

Tabel II.1 Struktur Teks Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks

Superstruktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks

Pemakaian kata, kalimat, proposisi tertentu oleh media dipahami Van Dijk sebagai bagian dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik berkomunikasi, suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi dan menyingkirkan lawan atau penantang.

b. Kognisi Sosial

Dalam kerangka analisis Teun A. Van Dijk, perlu ada penelitian mengenai kognisi sosial : kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Peristiwa dimengerti dan dipahami didasarkan pada skema. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental dimana tercakup didalamnya bagaimana kita memandang manusia, peranan sosial dan peristiwa. Skema menunjukkan bahwa kita menggunakan struktur


(47)

mental untuk menyeleksi dan memproses informasi yang datang dari lingkungan. Skema bekerja secara aktif untuk mengkonstruksi realitas. Membantu kita untuk memandu apakah yang harus kita pahami, maknai dan ingat tentang sesuatu (Eriyanto,2001:261).

Ada beberapa macam skema/model yang dapat digambarkan dalam tabel berikut ini : Tabel II.2 Macam-macam skema atau model

Skema Person ( Person Shemas ). Skema ini adalah bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain.

Skema Diri ( Person Schemas ). Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang.

Skema peran ( Role Schemas ). Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat.

Skema Peristiwa ( Events Schemas ). Skema ini barangkali yang paling banyak dipakai, karena hampir setiap hari kita selalu melihat dan mendengar peristiwa yang lalu lalang. Dan setiap peristiwa selalu kita tafsirkan dan maknai dalam skema tertentu. Umumnya skema peristiwa inilah yang paling banyak dipakai wartawan.

Wartawan menggunakan model/skema dalam memahami peristiwa yang diliputnya. Model itu memasukkan opini, sikap, perspektif dan informasi lainnya. Menurut Van Dijk, ada beberapa strategi yang dilakukan. Pertama, seleksi yaitu


(48)

menunjukkan bagaimana sumber, peristiwa, informasi diseleksi oleh wartawan untuk ditampilkan kedalam berita. Kedua, reproduksi yaitu yang berhubungan dengan apakah infomasi yang ditampilkan dikopi, digandakan atau tidak dipakai sama sekali oleh wartawan. Ketiga, penyimpulan yaitu strategi besar dalam memproduksi berita yang berhubungan dengan mental wartawan adalah penyimpulan atau peringkasan informasi (Eriyanto, 2001:269)

c. Analisis Sosial

Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam suatu masyarakat. Titik penting dari analisis ini adalah untuk menunjukkan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut Van Dijk, dalam analisis mengenai masyarakat ini, menyangkut dua hal penting, yaitu : kekuasaan dan akses.

Praktik kekuasaan berhubungan dengan kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok. Satu kelompok untuk mengontrol kelompok lain. Biasanya didasarkan atas pemilikan sumber-sumber yang bernilai. Sedangkan akses menunjukkan bagaimana kelompok yang berkuasa memiliki akses yang lebih besar terhadap media dan kesempatan yang lebih besar untuk mempengaruhi khalayak.

Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks Van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu:

4. Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dngan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita.


(49)

5. Superstruktur, merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh.

6. Struktur Mikro merupakan wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

Menurut Van Dijk, meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut mempunyai satu kesatuan, saling berhubungan, dan saling mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Berikut akan diuraikan elemen wacana Van Dijk tersebut.

6. Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.

7. Skematik

Skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti.

8. Latar

Bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan, menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

9. Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan penciptaan citra tertentu.

10. Maksud

Menunjukkan bagaimana kebenaran tertentu ditonjolkan secara eksplisit dan secara implisit mengaburkan kebenaran yang lain.


(50)

Pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. 12. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak mempengaruhi arti.

13. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan.

14. Pengingkaran

Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit.

15. Bentuk kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, prisnsip kausalitas. Tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu.

16. Kata ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana.

17. Leksikon

Menandakan bagaimana pemilihan kata dilakukan atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang dipakai menunjukan sikap dan idiologi tertentu. 18. Praanggapan


(51)

Pernyatraan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

19. Grafis

Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau ditonjolkan. 20. Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan atau ungkapan. Metafora sebagai ornamen dari suatu berita yang sapat menjadi penunjuk utama untuk mengerti makan suatu teks.


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Objek Penelitian

Novel Indiana Chronicle “ Blues” karangan Clara Ng terdiri atas 20 bab cerita, 303 halaman, panjang buku 20 cm. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua Februari tahun 2005 yang diterbitkan oleh Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Novel Indiana Chronicle merupakan trilogi, yang terdiri dari , “Blues”, “Lipstick”, dan “Bridesmaid”. Ketiga novel ini menceritakan tentang kehidupan pribadi tokoh Indiana Lesmana, seorang wanita metropolitan yang mengalami banyak intrik dalam kehidupannya.

Melalui novel ini kita dapat mengetahui gaya hidup wanita metropolis yang semakin berkembang dan melihat gambaran sisi-sisi kehidupan yang mungkin belum kita pahami secara jelas.

Diantara sekian banyak novel yang menceritakan mengenai kehidupan wanita-wanita metropolis, peneliti memilih menggunakan novel Indiana Chronicle karena novel ini menggambarkan sisi kehidupan metropolis yang realistis dan sesuai dengan perkembangan zaman, karakter tokohnya adalah tipikal gadis lajang metropolitan yang hidupnya diwarnai dengan berbagai masalah. Tidak seperti novel-novel lainnya yang terlalu banyak dibumbui dengan imajinasi pengarang sehingga menghasilkan novel yang tidak dapat menggambarkan kehidupan wanita metropolis yang sebenarnya.


(53)

Dari trilogi Indiana Chronicle ini, peneliti memilih novel yang pertama yaitu “Blues” karena peneliti merasa novel ini lebih menunjukkan citra wanita metropolis dibandingkan dengan dua novel setelahnya. Dalam novel ini tokoh Indiana digambarkan sebagai wanita yang masih labil dan sedang mencari jati diri di tengah kerasnya kehidupan metropolitan. Dibandingkan dengan dua novel setelahnya, pada novel pertama ini, Indiana lebih digambarkan sebagai wanita metropolis sejati yang mempunyai pola pikir dan berperilaku selayaknya seorang metropolis.

Dalam novel ini, Indiana digambarkan sebagai seorang wanita lajang khas kota metropolitan yang tinggal jauh dari orang tua, berusaha mencari kehidupan yang lebih baik. Bekerja di sebuah perusaaan besar di Jakarta sebagai Seorang Head Hunter. Tetapi permasalahan yang dihadapinya sangat beragam dan dengan tingkat kompleksitas yang bergam pula. Mulai dari masalah percintaan, karier yang mandek, bos yang menyebalkan dan penuntut, tas kantor yang tidak trendi, gaji yang selalu kurang, sampai mobil yang selalu mogok dan keluar masuk bengkel. Kurang lebih seperti itulah gambaran kehidupan seorang Indiana Lesmana, sang wanita metropolis.

III.2 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisi media. Dikategorikan dalam penelitian interprentatif dan bersifat subjektif. Metode penelitian ini memakai pisau analisis wacana versi Teun. A. Van Dijk pada level teks.

Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, superstruktur, dan mikro. Dengan analisis wacana model van Dijk ini akan mengungkapkan bagaiman bahasa digunakan untuk membentuk realitas media.


(54)

Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel Indiana Chronicle “Blues” karya Clara Ng, yang terdiri atas 303 halaman, 20 bab dengan panjang buku 20 cm. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Februari 2005 yang diterbitkan oleh penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Tetapi setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, ternyata hanya 19 bab yang berkaitan dengan gaya hidup wanita metropolis. Penjabaran dari cerita 19 bab dari novel tersebut akan dibahas dalam unit dan level analisis.

III.4 Unit dan Level Analisis

Unit yang akan dianalisis adalah teks dari seluruh isi cerita dalam novel. Analisis hanya dilakukan pada level teks saja, antara lain seperti dalam bab 1 yang bercerita tentang bagaimana Indiana menghadiri meeting dengan bos serta rekan kerjanya dan dia mengalami berbagai kesialan yang bertubi-tubi dalam sehari penuh. Sedangkan dalam bab 2 bercerita tentang kegiatan seorang Indiana yang sedang menikmati akhir pekannya di rumah dengan bersantai setelah melewati hari kerja yang berat. Atau dalam bab 3, ada cerita tentang Indiana yang sedang memikirkan bagaimana caranya menjelaskan kepada orangtuanya apabila Ibu Sara yang memergokinya sedang bercinta di kamar mandi dan ada pula cerita bagaimana Francis melamarnya. Dalam bab 5 diceritakan tentang Indiana yang bertemu dengan kedua orangtua Francis di sebuah restoran mewah untuk makan malam sambil merencanakan pernikahan mereka. Begitu seterusnya sampai bab 20. Di sini akan membahas tentang bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut :

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks Super Struktur


(1)

Hanya terdapat unsur latar dalam wacana dalam Bab XIVyang bercerita tentang latar dari sebuah restoran mewah yang ada di Jakarta dengan desain bergaya oriental yang dilengkapi dengan lampion dan warna merah dan emas yang mendominasi.

Sedangkan dalam Bab XV didukung oleh elemen semnatik yakni detil, maksud dan pengingkaran yang terdapat pada saat bos Indiana memecatnya. Kata- kata yang diucapkannya adalah pengingkaran dari pembelaan Indiana agar dia tidak dipecat.

Hanya terdapat unsur detil dalam Bab XVI wacana ini yang menunjukkan bagaimana Indiana mengalami kejadian buruk berturut- turut dari mulai dipecat dari pekerjaan sampai pambatalan rencana pernikahannya dengan Francis.

Hanya terdapat unsur pranggapan dalam wacana di Bab XVII, yang bercerita tentang Indiana yang merasa menjadi pengangguran sampai harus meminjam laptop Sara untuk mengerjakan syarat untuk mendapatkan pekerjaan yang baru.

Dalam wacana di Bab XVIII elemen yang mendukung adalah detil dan maksud. Tetapi juga terdapat komentar yang dapat melengkapi kesingkronan cerita dari wacana ini.

Bab XIX terdapat elemen sintaksis yaitu koherensi yang bercerita tentang karakter dari tokoh Indiana sebagai wanita kuat dan tidak dapat merubah keputusannya dengan mudah, sekalipun orang yang memintanya memikirkan kembali keputusan yang sudah dibuatnya adalah orang yang sangat dicintainya.

Sedangkan pada Bab XX, elemen yang terdapat pada wacana ini adalah semantik yang diwakili oleh latar dan detil.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V. 1. Kesimpulan

1. Makna yang terkandung pada tiap teks yang ada dalam novel Indiana Cronicle

Blues menunjukkan bagaimana realita yang ada dalam kehidupan wanita metropolis pada

zaman sekarang. Pengarang dengan gamblang menceritakan tentang kehidupan sehari- hari dari sosok seorang wanita muda lajang yang bergelut dalam kerasnya kehidupan kota metropolitan dan mendapat label sebagai wanita metropolis. Realita dari kehidupan wanita metropolis ini sendiri dirangkum dan dikemas secara baik oleh pengarang sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh banyak kalangan wanita metropolis.

2. Dalam novel Indiana Cronicle Blues akan dapat dilihat ideologi yang bermain di dalamnya. Ideologi Clara Ng menulis novel ini sebenarnya sama dengan idealisme yang Clara miliki sebagai penulis. Idealisme nya adalah untuk memberikan sudut pandang baru, pencerahan dan cara berfikir yang kreatif buat pembaca, agar setiap pembaca yang sudah selesai membaca karya- karya nya dapat terhibur dan tentunya terinspirasi.

V. 2 Saran

1. suatu wacana tidak ada yang benar- benar netral, karenanya sangat diharapkan kepada khalayak untuk memiliki pemikiran yang kritis dalam melihat suatu wacana. Setidaknya khalayak sudah memiliki pengetahuan tentang media yang dibacanya sehingga


(3)

ketika menerjemahkan isi pesan dapat menumbuhkan pemahaman yang benar terhadap suatu realitas dan tidak mudah terpancing dengan isu- isu terutama yang berkaitan dengan gaya hidup.

2. peneliti menyadari bahwa penelitian yang bersifat analisis wacana kritis dapat membuat peneliti memasukkan subjektifitasnya. Sehingga dapat terjadi perbedaan pandangan antara peneliti dan orang lain dalam melihat suatu teks. Inilah yang menjadi kelemahan penelitian ini karena teks dapat diartikan secara berbeda tergantung bagaimana orang mengartikannya. Penelitian yang bersifat kualitatif pada umumnya tidak mempunyai ukuran tentang batas antara benar dan salah karena semua tergantung pada mora, nilai dan etika yang dimiliki oleh peneliti. Peneliti juga menyarankan bagi yang berminat untuk meneliti analisis wacana dan memiliki suatu batasa yang pasti, ada baiknya memakai suatu undang- undang tertentu yang sesuai dengan apa yang ingin diteliti sebagai tolak ukurnya, karena dalam kode etik jurnalistik sendiri belum dapat memberikan batasan yang luas.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yogyakarta : Andi. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS

Lull, James. 1998. Media Komunikasi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

__________.2004. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Singarimbun, Masridan Sofian Efendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta : PT. Pustaka LP3ES Indonesia.

Stokes, Jane. 2003. How To Do Media and Cultural Studies Panduan Untuk Melaksanakan

Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta : Bentang.

Sumber Lain : Internet

(diakses tanggal 10 Februari 2010)


(5)

(diakses tanggal 11 Februari2010)

(diakses tanggal 13 Februari 2010)


(6)

BIODATA PENELITI

Nama/ NIM : KHAIRIA RAHMATIKA / 060904020 Tempat/ Tanggal Lahir : Banda Aceh / 30 MARET 1988

Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU

Alamat : Jl. Krueng Woyla No.3, Geuceu Komplek, Banda Aceh

Alamat E-mail : inidyc_tika@yahoo.com Anak : Ke 3 dari 3 bersaudara Orang Tua

Bapak : H. ZAINAL ABIDIN

Ibu : Hj. NURIAH ZAINAL

Pendidikan :

 SD Negeri 50 Banda Aceh 1994 – 2000

 SLTP Negeri 7 Banda Aceh 2000 – 2003

 SMU Negeri 1 Banda Aceh 2003– 2004

 SMU Negeri 1 Medan 2005-2006

Saudara : LIANA RAHMAYANI

YENNY RAHMAYATI