1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari segi geografis, wilayah Asia Tenggara merupakan salah satu tempat yang strategis dalam bidang pelayaran dan perdagangan internasional. Berada
diantara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan menyebabkan wilayah Asia Tenggara sebagai tempat persilangan sistem lalu lintas laut yang menghubungkan
benua Timur dan benua Barat, dengan Selat Malaka sebagai jalur penghubung utama. Hubungan dagang antara para pedagang Asia Tenggara dan para pedagang
internasional, Cina, Arab, dan India, berlangsung sejak abad pertama masehi.
1
Para pedagang asing singgah untuk memperdagangkan barang-barang dari negeri asal maupun dari negeri-negeri yang mereka singgahi, sedangkan para
pedagang pribumi memperdagangkan hasil bumi Asia Tenggara. Pulau-pulau di kawasan Semenanjung Malaya dan Nusantara adalah pusat penghasil kekayaan
bumi, sedangkan pulau-pulau di kawasan Timur Indonesia adalah pusat penghasil rempah-rempah yang dibutuhkan oleh para pedagang asing.
2
Navigasi kelautan bertumpu kepada angin monsoon yang terbagi ke dalam dua angin musim; musim barat atau musim berlayar, dan musim timur atau musim
jeda berlayar. Angin timur dimanfaatkan para pedagang untuk memperbaiki kapal, membuat perkampungan, serta berinteraksi dengan masyarakat setempat, hingga
1 J.C.Van Leur, Indonesian Trade and Society : Essays in Asian Social and Economic History, Holland : Foris Publications, 1983, h. 3.
2
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900; Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta : Gramedia, 1988, h. 1-2.
datang musim berlayar.
3
Interaksi perdagangan para pedagang Muslim membuka jalan ke arah Islamisasi Asia Tenggara. Islamisasi di kepulauan Melayu membuka
jalan ke arah pembentukan kerajaan Muslim Melayu di Nusantara sebagai kota niaga sejak abad ke-13.
Pendirian Kesultanan Malaka pada abad ke-15 didorong keinginan Parameswara untuk membangun pelabuhan bebas bagi pedagang Arab setelah ia
menikah dengan putri dari Kesultanan Samudera Pasai dan masuk Islam.
4
Dapat dipahami bahwa hubungan dagang memberikan dampak perubahan dalam bidang
ekonomi, politik, sosial-masyarakat serta kultural bagi masyarakat lokal. Kesultanan Malaka abad ke-15 adalah pusat perdagangan terbesar dan
ramai di Selat Malaka dan Asia. Kekuatan dagang Malaka dibangun atas jalinan hubungan dengan India, Jawa dan Cina. Malaka adalah pusat ilmu pengetahuan,
ekonomi, serta pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Para guru di Malaka mengajarkan Islam kepada para pelajar yang datang dari berbagai wilayah dan
aktif menyebarkan Islam hingga ke Filipina Selatan. Di Semenanjung Malaya, penguasa Pahang, Kedah, dan Patani menganut Islam pada tahun 1474; sedangkan
di Sumatera, Islam tersebar ke Rokan, Kampar, Siak, dan Indragiri.
5
Kemajuan Malaka adalah faktor penggerak bagi perkembangan berbagai wilayah di perairan Selat Malaka, terutama Semenanjung Malaya, sebagai wilayah
vassal Malaka. Posisi Malaka sebagai emporium perdagangan internasional turut memperkuat peranan orang-orang Melayu dalam perdagangan internasional.
3 Sartono, Pengantar Sejarah, h. 5-7. 4 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Pekembangan Kota-kota Muslim di Indonesia,
Kudus : Menara Kudus, 2000, h. 8 5 Ira. M. Lapidus., Sejarah Sosial Ummat Islam; Bag : I II terj, Jakarta : Rajawali
Pers, 2000, h. 721-22.
Sejak abad ke-15, intensitas kedatangan para pedagang internasional dalam jumlah besar; Arab, Persia, Turki, Cina, India, dan Jepang, menyebabkan
para pedagang Melayu berperan penting dalam perdagangan regional. Kapal-kapal perniagaan Melayu bermuatan besar mendominasi jalur perdagangan regional
sebagai perantara pembelian komoditi dagang dari kawasan Timur Indonesia. Dari abad ke-15 hingga abad ke-17, terdapat sejumlah besar golongan
pedagang Melayu di kota-kota niaga; Malaka, Patani, Ayudhaya, Johor, Aceh, Brunei, Makassar, dan kota-kota pelabuhan di Jawa. Mereka membentuk jaringan
perdagangan yang saling berhubungan antar kota niaga dengan bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan.
6
Orientasi perdagangan Melayu yang berpusat di kota-kota niaga mendominasi perdagangan dan perkapalan antar pulau, disamping
bahasa Melayu menjadi bahasa niaga di kota-kota niaga Asia Tenggara. Aktivitas pelayaran dan perdagangan internasional telah membawa hasil-
hasil bumi Asia Tenggara ke berbagai pelabuhan internasional di dunia, termasuk Eropa. Ekspedisi pelayaran pertama pedagang Eropa ke Asia Tenggara dilakukan
para pedagang Italia abad ke-15; Nicolo d’Conti dan Ludovico di Varthema. Pada abad ke-16, lonjakan permintaan rempah-rempah dan lada di berbagai pelabuhan
internasional Eropa; Venice, Barcelona dan Hanseatic, menyebabkan ramainya pelayaran pedagang Eropa hingga kedatangan Portugis di Malaka sebagai upaya
melakukan kolonialisasi pertama di Asia Tenggara serta memonopoli komoditi lada dan rempah-rempah dari kawasan Timur Indonesia ke Eropa.
7
6
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, terj, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992, h.10
7
D.G.E Hall., Sejarah Asia Tenggara, terj., Jakarta : Usaha Nasional, 1988, h. 197-206
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa berdampak negatif bagi perdagangan internasional di Asia Tenggara. Intervensi Portugis di Malaka pada tahun 1511,
mengacaukan struktur perdagangan internasional, terutama di perairan Selat Malaka. Banyak para pedagang internasional yang menghindari kota Malaka,
terutama para pedagang Muslim, sehingga ekonomi Malaka semakin merosot. Intervensi ini mendorong timbulnya kota-kota niaga baru di Sumatera, Jawa,
Molucca, dan Borneo, serta rute baru para pedagang Muslim yang melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.
8
Perubahan rute pelayaran berdampak kepada berkembangnya penyebaran Islam ke wilayah Asia Tenggara lainnya. Pada abad ke-17 terdapat tiga pusat
kekuasaan pengganti dari kesultanan Malaka, sebagai pusat politik dan kultural Muslim; kesultanan Aceh, kesultanan yang berada di Semenanjung Malaya, dan
kerajaan-kerajaan Muslim Jawa.
9
Kesuksesan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di pasaran Eropa, menyebabkan bangsa-bangsa Eropa lain; Spanyol, Belanda, dan Inggris,
berusaha melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah. Organisasi dagang Eropa yang dilengkapi kemiliteran adalah kekuatan utama dalam mengukuhkan
dominasi terhadap monopoli perdagangan Asia Tenggara.
10
Persaingan hegemoni perdagangan yang terjadi antar bangsa Eropa maupun dengan kesultanan dan
kerajaan lokal, menciptakan berbagai konflik peperangan yang berakibat kepada penguasaan wilayah dan kolonialisasi.
8
Anthony Reid., Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, terj., Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999, h. 86-7
9 Lapidus, Sejarah Sosial, h. 723.
10
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta : Pustaka LP3ES, 2004, h. 11.
Pada abad ke-17 hingga abad ke-19, Belanda dan Inggris merupakan dua kekuatan Eropa yang berpengaruh dalam persaingan hegemoni. Organisasi dagang
Belanda VOC mengukuhkan dominasinya dengan mengalahkan Portugis di Malaka. Dominasi Belanda dalam monopoli perdagangan rempah-rempah terjadi
dari perjanjian dagang dengan raja-raja lokal di kepulauan Timur Indonesia. Organisasi dagang Inggris EIC mulai berkembang dan berpengaruh di Hindia
Timur pada abad ke-17. Keberadaan pos perdagangan di Masulipatam pada pelayaran Globe telah membuka hubungan perdagangan dengan wilayah-wilayah
di Samudera Hindia; Cina, Jepang, Siam, Burma serta Nusantara.
11
Konflik perdagangan antara Inggris dan Belanda berawal dari kontak perdagangan rempah-rempah antara Inggris dengan raja-raja lokal di kepulauan
Timur. Monopoli perdagangan Belanda yang merugikan penduduk pribumi, menyebabkan raja-raja lokal melakukan perdagangan dengan para pedagang asing
selain Belanda. Dalam perkembangannya, konflik tersebut berpengaruh terhadap kesulitan dalam mengembangkan perdagangan Inggris di Nusantara.
12
Kegagalan dalam membuat pos-pos perdagangan di Nusantara, menyebabkan Inggris
mengalihkan perhatian kepada pulau-pulau di Semenanjung Malaya. Di Semenanjung Malaya, kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa
Eropa telah merebut kekuasaan atas Selat Malaka yang telah dikuasai oleh kesultanan di Semenanjung Malaya sejak abad ke-15. Suksesi kekuasaan Melayu
sejak kejatuhan Malaka tahun 1511 di pegang oleh kesultanan Johor 1512-1812 sebagai kesultanan terbesar yang merupakan sebuah wilayah kewenangan yang
diperintah oleh beberapa penguasa dari dinasti berbeda dan menerapkan sistem
11
Hall., Sejarah Asia Tenggara, h. 257-8
12
Hall., Ibid, h. 260-3
desentralisasi pemerintahan. Wilayah kesultanan Johor diperintah administrator yang bertindak sebagai kepala daerah; Temenggong di Johor dan Bendahara di
Pahang.
13
Kesultanan Johor berperan besar dalam membantu mengembangkan pengaruh Belanda dan Inggris di Semenanjung Malaya.
Pada abad ke-17, hegemoni perdagangan VOC di Semenanjung Malaya bersama alliansi kesultanan Johor, menyebabkan Belanda mengendalikan sistem
politik dan monopoli perdagangan di Selat Malaka dan Semenanjung Malaya. Pengaruh Inggris di Semenanjung Malaya semakin kuat setelah menguasai
Penang pada tahun 1786, dan Singapura di tahun 1819. Raffles, Letnan-Gubernur Inggris di Bengkulu berperan besar dalam menemukan Singapura sebagai tempat
yang strategis bagi pelabuhan dan pusat perdagangan Inggris. Kepemilikan Inggris atas Singapura merupakan hasil kerjasama Inggris dengan Sultan Hussein,
putra sulung Sultan Mahmud III, dalam mengembalikan tahta Johor kepadanya.
14
Dipandang dari sisi historis, Singapura merupakan tempat yang strategis sebagai kota dagang, karena telah menjadi sebuah pos perdagangan sejak masa
kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada masa kesultanan Malaka dan Johor, Singapura merupakan vassal yang menyediakan tempat persinggahan
di pantai selatan Semenanjung Malaya. Sehingga tidak mengherankan bila Inggris menjadikan Singapura sebagai pusat perdagangan mereka pada abad ke-19.
Penguasaan Inggris atas pulau-pulau di Semenanjung Malaya sebagai hasil perjanjian London tahun 1824 dengan Belanda, membawa perubahan dalam segi
kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Muslim Melayu. Kekuasaan Inggris melalui
13
L. A. Mills, British Malaya 1824-67; Singapore 1819-1826, JMBRAS : 33,no.4, 1960, h. 69
14
Ibid., h. 70
kebijakan-kebijakan yang berbeda dari masa kesultanan, membuat masyarakat Muslim Melayu di Singapura beradaptasi dengan kebijakan tersebut. Terutama
dalam bidang pelayaran dan perdagangan, sebagai mata pencaharian utama. Dengan memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka dalam
skripsi ini penulis mencoba untuk melihat permasalahan-permasalahan dalam proses perubahan dan adaptasi masyarakat Muslim Melayu Singapura terhadap
pendudukan Inggris dalam kurun waktu tahun 1800 sampai tahun 1824. Tahun 1800 yaitu masa dimana Inggris pertama kali menguasai Penang dan Singapura,
sedangkan tahun 1824 yaitu masa sebelum masa strait settlement yang diterapkan Inggris terhadap pulau-pulau di Semenanjung Malaya, khususnya dalam bidang
pelayaran dan perdagangan, dengan judul “AKTIVITAS PELAYARAN DAN PERDAGANGAN MASYARAKAT
MUSLIM MELAYU SINGAPURA TAHUN 1800-1824”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah