C. Respon Masyarakat Muslim Melayu Singapura Terhadap Kebijakan
Inggris
Supremasi kekuasaan Inggris di Singapura menimbulkan respon dari pihak masyarakat Muslim Melayu Singapura dibawah kepemimpinan Temenggong dan
Sultan Johor. Respon ini mengarah kepada sikap pengambil-alihan otoritas Inggris atas Singapura, yang didorong oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
disebabkan posisi Singapura sebagai wilayah kekuasaan kesultanan Johor sebelum pendirian basis perdagangan Inggris di tahun 1819. Faktor eksternal disebabkan
oleh kemajuan Singapura sebagai pelabuhan bebas. Kondisi pulau Singapura hingga kedatangan Inggris di tahun 1819, adalah
sebagai wilayah kekuasaan dan pos perdagangan kesultanan Melayu; Malaka dan Johor. Singapura merupakan wilayah perkampungan nelayan yang didomisili oleh
suku Orang Laut. Hukum yang berlaku di Singapura berada di bawah hukum yang tertuang dalam dalam dua sistem, yaitu; Adat Perpateh dan Adat Temenggong.
27
Kombinasi tradisi Melayu dan adat telah membentuk dasar bagi sistem hukum awal yang berlaku bagi penduduk Singapura.
Situasi Singapura dibawah otoritas Inggris sejak tahun 1819 berkembang dalam bentuk yang berbeda dari masa kesultanan Melayu. Fondasi utama otoritas
Inggris terletak kepada penetapan kebijakan Inggris. Posisi Singapura sebagai pelabuhan bebas lebih menitik-beratkan kepada kepentingan perdagangan para
pedagang multirasial. Perluasan otoritas Inggris diimplementasikan dalam berbagai perjanjian
dengan Temenggong Abdul Rahman dan Sultan Hussein sebagai penguasa sah
27
Trocki, Prince of Pirates, h. 3
Singapura. Perjanjian pertama pada tanggal 30 Januari 1819 dengan Temenggong dan tanggal 6 Februari 1819 dengan Sultan tentang pemberian hak pendirian basis
perdagangan di wilayah selatan Singapura sebagai langkah awal pembentukan otoritas Inggris. Perjanjian kedua pada tanggal 26 Juni 1819, mengarah kepada
pengembangan daerah territorial dan pemerintahan Inggris. Perjanjian ketiga pada tanggal 7 Juni 1823 sebagai perwujudan kebijakan perencanaan kota Singapura.
Perjanjian keempat pada tanggal 3 Agustus 1824 merupakan langkah pengambil- alihan kepemilikan seluruh wilayah Singapura sebagai daerah koloni Inggris.
28
Kesepakatan berbagai perjanjian dengan Inggris mempunyai arti penting bagi Temenggong dan Sultan Hussein dalam mengkukuhkan otoritas kesultanan
Johor di Singapura tanpa gangguan dominasi Bugis. Perjanijan pertama bertujuan menyaingi kemajuan kepulauan Riau, dibawah pengaruh Bugis dan Belanda.
Namun dalam perjanjian kedua hingga keempat terjadi pembatasan ruang gerak otoritas Temenggong dan Sultan yang mengarah kepada disposisi kekuasaan.
Pertumbuhan pesat perdagangan Inggris di Singapura sebagai faktor utama terjadinya kesepakatan perjanjian kedua. Dalam perjanjian ini, pihak Sultan dan
Temenggong memperoleh hak jaminan untuk menjalankan hukum Melayu dalam perkampungan Melayu. Perkampungan Temenggong beserta pengikutnya terletak
di tepi timur Sungai Singapura. Perkampungan Sultan dan pengikutnya terletak di Kampong Glam, beberapa mil dari tepi timur Sungai Singapura.
29
Pencapaian kemajuan perdagangan Inggris membuka pandangan Sultan dan Temenggong akan posisi penting Singapura dalam perdagangan internasional.
Mereka berhasrat membangkitkan kembali kejayaan kesultanan Melayu dengan
28
Wake, Raffles, h. 60-8
29
L. A. Mills, British Malaya 1824-67; Singapore 1819-1826, JMBRAS : 33, no.3, 1960,
menjadikan Singapura sebagai pusat kekuasaan. Situasi perpolitikan di Singapura hingga tahun 1823, terpusat kepada tiga kekuatan politik yaitu Inggris, Sultan dan
Temenggong.
30
Kemajuan Singapura sebagai pelabuhan bebas Inggris hingga tahun 1823 mendorong perluasan pengaruh Sultan dan Temenggong, yang berdampak kepada
peningkatan pendapatan mereka. Pendapatan ini diperoleh dari penerimaan pajak kapal-kapal dagang yang berlabuh dan pajak yang diberikan oleh Syahbandar
pelabuhan. Pajak juga diperoleh dari kapten kapal-kapal Cina yang melintasi kampung Melayu sebagai jalur perlintasan Cina–Singapura. Pendapatan lain juga
diperoleh dari pengolahan lahan perkebunan; gambir, getah perca dan kopra, dalam perkampungan Melayu.
31
Perluasan otoritas kekuasaan Sultan dan Temenggong dalam perdagangan, menimbulkan kekhawatiran Raffles terhadap perkembangan pelabuhan Inggris di
Singapura. Raffles menawarkan hak-hak istimewa bagi Sultan dan Temenggong dalam perjanjian ketiga di tahun 1823. Disisi lain, hal ini bertujuan sebagai bentuk
pengambil-alihan otoritas penguasa Melayu ke dalam otoritas Inggris. Dalam perjanjian ini, Inggris memberikan pajak hasil pelabuhan per-bulan
sebesar 1500 dollar kepada Sultan dan 800 dollar kepada Temenggong. Sebagai imbalan, Sultan dan Temenggong dilarang melakukan penarikan pajak terhadap
kapal-kapal dagang yang datang dan berlabuh di Singapura.
32
Selain itu, Inggris juga menetapkan suatu kebijakan perelokasian pemukiman Melayu ke daerah
Tanjong pagar hingga Teluk Belanga.
30
Trocki, Prince of Pirates, h. 47
31
Wake, Raffles, h. 65
32
Trocki, Prince of Pirates, h. 54
Kesepakatan terhadap isi perjanjian ketiga berdampak kepada disposisi sosio-politik masyarakat Melayu Singapura. Letak pemukiman yang jauh dari rute
perdagangan utama di Singapura berdampak kepada hilangnya otoritas serta pendapatan masyarakat Melayu dalam perdagangan. Disamping itu, otoritas
kekuasaan penguasa Melayu hanya berlaku dalam perkampungan Melayu.
33
Perjanjian London antara Inggris dengan Belanda serta perjanjian keempat antara Inggris dengan Sultan Hussein dan Temenggong di tahun 1824, memberi
keleluasaan untuk mengembangkan Singapura sebagai wilayah koloni Inggris. Disisi lain, hal ini berdampak kepada hilangnya seluruh legitimasi dan kekuasaan
politik penguasa Melayu di Singapura.
34
Otoritas dan kebijakan Inggris dalam perdagangan telah menutup peran masyarakat Melayu Singapura, terutama suku Orang Laut, dalam perekonomian
selat sejak zaman Sriwijaya. Hal ini berdampak kepada hilangnya kemakmuran dalam kesejahteraan hidup, sehingga menimbulkan respon yang mengarah kepada
sikap reaksi pertentangan terhadap dominasi Inggris. Bentuk pertentangan ini diimplementasikan dalam aktivitas pembajakan yang dijalankan oleh Orang Laut
terhadap kapal-kapal dagang yang melintas di sekitar selat.
35
33
Trocki, Prince of Pirates, h. 54
34
Ibid., h. 55
35
Ibid., h. 56-7
62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan