Data Nasabah Perlindungan Hukum Data Nasabah Dalam Internet Banking (Tinjauan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan)

2. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip Negara hukum. Oleh karena itu terhadap lembaga perbankan perlu diberikan landasan gerak yang kokoh dan mampu menampung tuntutan perkembangan jasa perbankan lebih mampu melaksanakan fungsinya secara efisien, sehat, dan wajar. 11

B. Data Nasabah

Perlindungan hukum terhadap nasabah bank atas kerusakan elektronik banking dihubungkan dengan undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. 12 Dengan disahkannya UUPK tersebut pada tanggal 20 April 1999, masalah perlindungan konsumen telah dijadikan sebagai hal yang penting, artinya kehadiran Undang-Undang tersebut tidak saja memberikan posisi tawar yang kuat pada konsumen untuk menegakkan hak-haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main yang lebih fair bagi semua pihak. Dalam penjelasan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa piranti hukum yang melindungi 11 Direktorat Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penelitian Hukum Tentang Aspek Hukum Pertanggung jawaban Bank Terhadap Nasabah Jakarta : Direktorat Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1995, h. 21. 12 Ronny Prasetya, Pembobolan Atm Tinjauan Hukum Perlindungan Nasabah Korban Kejahatan Perbankan Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010, h. 58 konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, perlindungan konsumen akan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas. Konsumen dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia; 1. pemakai barang hasil produksi bahan pakaian, makanan, dsb: kepentingan pun harus diperhatikan; 2. penerima pesan iklan; 3. pemakai jasa pelanggan dsb. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK No. 8 Tahun 1998. UUPK menyatakan, bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 13 Hal ini kemudian diakomodasi dalam Pasal 1 angka 2 UUPK, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi, konsumen dalam pengertian ini merupakan pemakai akhir, dan bukan konsumen antara. Konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Artinya, 13 Ahmad Miru Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2011, hal. 4. dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu dilandasi privity of contract hubungan kontraktual. Namun demikian, posisi konsumen pada umumnya lemah dibandingkan pelaku usaha. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat kesadaran akan haknya, kemampuan finansial, dan daya tawar bargaining position yang rendah, padahal tata hukum tidak bisa mengandung kesenjangan. Tata hukum harus memosisikan pada tempat yang adil, di mana hubungan konsumen dengan pelaku usaha berada pada kedudukan yang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi satu dengan yang lain. Terhadap posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah berikan perlindungan pengayoman kepada masyarakat. Perlindungan kepada masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen. Implikasi hukum terhadap pemahaman mengenai aspek perlindungan konsumen dalam sistem hukum Indonesia menempatkan posisi hukum perlindungan konsumen sebagai bagian dari bidang hukum publik, terutama bidang hukum pidana dan hukum administrasi Negara. Sebelumnya pandangan hukum perlindungan konsumen hanya berkaitan dengan bidang hukum perdata dalam arti luas. Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman mengenai hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha yang bersifat kontraktual saja. Dasar hubungan hukum antara bank dengan para nasabah adalah hubungan kontraktual. Begitu seorang nasabah menjalin kontraktual dengan bank, maka perikatan yang timbul adalah perikatan atas dasar kontrak perjanjian. Hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah merupakan suatu kontrak campuran, yang menampakkan ciri-ciri perjanjian pemberian kuasa lastgeving sebagaimana diatur oleh Pasal 1792, dan juga dalam bentuk perjanjian penitipan barang Pasal 1694. 14 Perkembangan ilmu teknologi yang semakin maju kemudian membawa perubahan juga terhadap arah perlindungan konsumen. Talcott Parsons, sebagaimana diuraikan oleh Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa “… penemuan di bidang teknologi merupakan penggerak perubahan sosial sebab penemuan yang demikian itu menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang berantai sifatnya.” Pemahaman terhdap hukum pun akan berubah. Hukum tidak sekedar pasif menunggu adanya perubahan namun aktif menciptakan perubahan di mana peranan hukum dalam pembangunan adalah justru untuk mendirikan insfrastruktur bagi tercapainya perubahan politik, perubahan ekonomi, dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Dalam pasal 2 UUPK, dinyatakan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 lima prinsip dalam pembangunan nasional, yaitu: 14 Marulak Pardede, Likuidasi Bank Perlindungan Nasabah Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, Cet. Pertama, h. 59. 1. Prinsip manfaat. Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaran perlindungan hukum bagi konsumen harus memberi manfaat sebesarnya-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; 2. Prinsip keadilan. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil; 3. Prinsip Keseimbangan. Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah; 4. Prinsip Keamanan dan keselamatan konsumen. Dimaksudkan untuk memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang digunakan; 5. Prinsip Kepastian Hukum. Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen, di mana negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut. Dalam praktiknya saat ini perlindungan hukum atas privasi data informasi pribadi dalam transaksi online di internet dapat diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu misalnya Undang-Undang Perlindungan Data atau Undang-Undang lainnya yang mengatur pula mengenai perlindungan privasi data pribadi. Selain itu, perlindungan hukum atau juga dapat diperoleh berdasarkan peraturan yang dibuat oleh situs misalnya kebijakan privasi privacy policy, privacy notice, privasi statement maupun ketentuan-ketentuan pelayanan situs. Dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi tersebut diatur mengenai siapa yang dimaksud dengan subjek data, pengguna data, hak dan kewajiban para pihak, lembaga pengawas pelaksanaan dan penyelesaian sengketa mengenai perlindungan data, prinsip-prinsip perlindungan data dan lain-lain. Prinsip-prinsip tersebut jika mengacu pada Data Protection Act Inggris 1998 yaitu sebagai berikut. 1. Data pribadi harus diperoleh secara jujur dan sah. 2. Data pribadi harus dimiliki hanya satu tujuan atau lebih yang spesifik dan sah, dan tidak boleh diproses lebih lanjut dengan cara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut. 3. Data pribadi harus layak, relevan, dan tidak terlalu luas dalam hubungannya dengan tujuan atau tujuan-tujuan pengolahannya. 4. Data pribadi harus akurat dan jika perlu selau up-to-date. 5. Data pribadi harus diproses sesuai dengan tujuannya dan tidak boleh dikuasai lebih lama dari waktu yang diperlukan untuk kepentingan tujuan atau tujuan- tujuan tersebut. 6. Data pribadi harus diproses sesuai dengan hak-hak dari subjek data sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini. 7. Tindakan-tindakan pengamanan yang memadai harus diambil untuk menghadapi kegiatan pemrosessan data pribadi yang tidak sah serta atas kerugian yang tidak terduga atau kerusakan dari data pribadi. 8. Data pribadi tidak boleh dikirim ke Negara atau wilayah lain di luar Wilayah Ekonomi Eropa kecuali jika Negara atau wilayah tersebut menjamin dengan suatu tingkat perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan subjek data sehubungan dengan pemrosesan data pribadi. 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 76PBI2005 juga menjelaskan pengertian Data Pribadi Nasabah yaitu identitas yang lazim disediakan oleh Nasabah kepada Bank dalam rangka melakukan transaksi keuangan dengan Bank. Perlindungan hukum terhadap nasabah dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu: a. Perlindungan secara implisit implicit deposit protection, yaitu perlindungan yang dihasilkan olrh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh melalui: 1 Peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, 15 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, h. 187. 2 Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, 3 Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, 4 Memelihara tingkat kesehatan bank, 5 Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, 6 Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan 7 Menyediakan informasi resiko pada nasabah. 16 Perlindungan ini adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana secara langsung terhadap kemungkinan timbulnya resiko kerugian dari kegiatan yang dilakukan oleh bank. Perlindungan langsung terdapat dalam ketentuan sebagai berikut: a. Perlindungan secara eksplisit explicit deposit protection, yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum. 16 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta:Kencana, 2005, h. 133 2. Sistem Perlindungan Nasabah Penyimpan deposit protection system. Di seluruh dunia, industri perbankan adalah salah satu cabang industri yang paling banyak diatur oleh Pemerintah karena stabilitas sistem perbankan dan keuangan merupakan prasyarat mutlak bagi pertumbuhan dan stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Alasan intervensi Pemerintah tersebut adalah; Pertama, menjaga keamanan dan kesehatan lembaga perbankan maupun sistem keuangan secara keseluruhan. Tanpa adanya lembaga perbankan dan sistem keuangan yang terpercaya tidak mungkin masyarakat bersedia menerima uang sebagai alat tukar, sebagai ukuran nilai, sebagai alat penyimpan kekayaan, maupun sebagai alat penyelesaian hubungan utang piutang di kemudian hari deferred payments. Kedua, untuk dapat mengontrol jumlah uang beredar dalam menjaga stabilitas tingkat harga. Semakin maju suatu perekonomian, semakin kecil peranan uang kertas dan uang logam yang beredar karena semakin besar peranan surat utang yang dikeluarkan oleh lembaga perbankan sebagai pengganti uang kertas dan logam. Ketiga, industri perbankan dianggap sebagai industri yang sangat strategis dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi untuk mewujudkan berbagai sasaran pembangunan. Dengan perkataan lain, lembaga keuangan seolah-olah dianggap sebagai semi perusahaan negara yang dapat digunakan oleh Pemerintah sebagai instrumen untuk mewujudkan sasaran kebijaksanaannya. Keempat, untuk memelihara persaingan yang sehat dalam industri keuangan. Melalui persaingan yang sehat, lembaga keuangan berlomba untuk memobilisir dana masyarakat, berlomba untuk menurunkan biaya intermediasi, dan lomba menurunkan piutang ragu-ragu karena adanya kredit macet. 17 Untuk mencapai hal-hal diatas, kepada nasabah bank juga perlu diberikan perlindungan. Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap nasabah bank tersebut setidaknya terdapat enam pilihan kebijakan yang dapat dilakukan yaitu: a. Secara tegas menyatakan, bahwa pemerintah tidak memberikan perlindungan terhadap simpanan nasabah; b. Simpanan nasabah tidak diberikan perlindungan akan tetapi nasabah penyimpan diberi hak prioritas dalam proses likuidasi bank; c. Cakupan jaminan yang tidak tegas; d. Jaminan terselubung; e. Jaminan terbatas yang dinyatakan secara eksplisit; f. Jaminan menyeluruh yang dinyatakan secara tegas. 18 17 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2002, h. 140. 18 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, h. 141. 33 BAB III INTERNET BANKING

A. Perbankan

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 4 71

DESKRIPSI KEDUDUKAN DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

0 14 44

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN TERHADAP BANK SYARIAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

8 98 57

Tinjauan Hukum Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Penerapan Klausula Baku Dalam Transaksi Kredit Sebagai Upaya Untuk Melindungi Nasabah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

6 14 41

TINJAUAN YURIDIS PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR PASAR MODAL.

0 3 10

PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH PERBANKAN DAN TINJAUAN ASAS KEADILAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.

0 0 1

KEWENANGAN BANK INDONESIA SETELAH DISAHKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.

0 0 16

INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA (BERDASARKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN).

0 0 13

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI HAK-HAK NASABAH BANK SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 2

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN (“UNDANG-UNDANG OJK”)

0 0 68