Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dzikir kepada Allah merupakan salah satu meditasi komunikasi antara hamba dan Tuhan. Dzikir kepada Allah bernilai tidak lebih besar dibanding ibadah lainnya, sebab dzikir itu sendiri merupakan ibadah dan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Islam, ada berbagai macam cara dan metode untuk melakukan dzikir, sesuai dengan aturan yang telah diberikan oleh sang guru spiritual, hal ini disebabkan Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan suatu aturan atau metode yang khusus tentang tata cara berdzikir, sehingga banyak shahabat, Tabi‟in dan para ulama setelahnya dalam berdzikir tidak terpaku oleh suatu aturan. Rasulullah SAW hanya memberikan gambaran secara global tentang cara berdzikir, sebab dzikir sangat erat kaitannya dengan sisi esoteric, yaitu suatu hal yang berhubungan dengan dunia bathin atau bersifat mistis. Ada tiga jenis orang yang berdzikir. Orang yang berdzikir kepada Allah dengan lisannya sedangkan hatinya lalai, dzikir semacam ini adalah zalim, yang tidak mengetahui apapun tentang dzikirnya, dan tidak mengetahui apapun tentang yang disebutnya madzkur. Orang yang berdzikir yang disertai dengan hadirnya hati, dzikir semacam ini adalah dzikir penuh perhitungan muqtasid. Jenis yang ketiga adalah orang yang berdzikir kepada Allah dengan hatinya, hatinya dipenuhi dengan Allah, dan lisannya tidak mengucapkan apapun. 1 Dunia mistis adalah dunia yang sangat berkaitan dengan pengalaman batin. Pengalaman-pengalaman batin yang dialami beberapa tokoh sufi, agaknya menjadi tanda tanya besar bagi kalangan orang awam, tidak jarang apa yang mereka lakukan sangat menaruh perhatian bagi kalangan ulama syariah adalah melakukan sebuah dzikir dengan tarian yang diiringi oleh musik. Para kaum sufi seringkali melakukan tarian tatkala mereka sedang melakukan sebuah ritual untuk menggapai suatu ekstase. 2 Tarian adalah gerakan- gerakan berirama, yang mulai diperlihatkan, ketika mendengar musik. Biasanya kaum sufi melakukan tarian dengan diiringi oleh musik, tarian ini pertama kali dilakukan oleh seorang ulama sufi besar yang bernama Maulana Jalaludin Rûmi bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau biasa disebut dengan Jalaluddin Rûmi, adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh sekarang menjadi Afganistan pada tanggal 6 Rabi‟ul Awwal tahun 604 Hijriah, atau pada tanggal 30 September 1207 M. Rûmi seorang tokoh yang pertama kali membumikan metode pendekatan seorang hamba untuk menuju Tuhan dengan melakukan sebuah tarian. 3 1 Warisan Sufi Pustaka Sufi Yogyakarta 2002, Cet.I, hal 611 2 Syekh Ibrahim Gajur, Mengungkap misteri besar Mansur Al-hallaj Rajawali pers, Jakarta 1986, Cet. pertama, h. 165 3 Idris syah, Jalan sufi reportase du nia ma‟rifat Risalah gusti 2001, cet II, h. 1 Sebenarnya tarian telah dipraktekan oleh sufi-sufi awal, tetapi bagaimana tarian ini diperaktekan tidak begitu jelas digambarkan oleh sumber-sumber awal, karena sumber-sumber ini lebih banyak membicarakan tentang perdebatan boleh tidaknya tarian menurut syariat. Menurut Ahmad Al-Ghazali, menari, berputar dan melompat, dan masing-masing gerakan tersebut memiliki fungsi sebagai symbol dari realitas spiritual. 4 “Menari,” kata Ahmad Al-Ghazali, “merujuk pada perputaran ruh jiwa di seputar lingkaran benda-benda yang ada ketika menerima pengaruh dari mukasyafah atau pewahyuan, dan ini keadaan mental hal seorang arif. 5 ” Gerakan berputar merujuk kepada berdirinya sang ruh jiwa dengan Allah dalam kerahasiaan sir dan wujudnya. Beda halnya dengan pendapat Syekh Junaid yang menyatakan tarian orang-orang mahir tak mempunyai gerakan-gerakan ritmis berirama zahir, dia hanya mempunyai gerakan-gerakan dalam. Titik Wahdah menjadi keseragaman Khatraat dalam tarinya yang sirkular tak berujung pangkal, tari ini juga adalah dzat dari internaliti dalam proses kun fayakun. Bagaimana dengan tarian yang dilakukan oleh kaum sufi sebagai metode dzikir untuk pendekatan dirinya kepada Tuhan dengan diiringi oleh musik. Dalam hal ini penganut tarekat Maulawiyyah yang melakukan zikir dengan tarian, dan ada juga tarekat lain yang sama persis melakukan zikir dengan tarian, seperti 4 Dr. Mulyadi Kertanegara, Menyelami lubuk Tasawuf, Erlangga, Jakarta, 2006, Cet, pertama, h. 260 5 Ibid tarekat Naqsyabandiyah Haqqoni dalam melakukan ritual dzikir bersama sering memperaktikan tarian-tarian ritmis dengan keyakinan akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Tarekat Naqsyabandiyyah haqqoni adalah Tarekat Naqsyabandiyah yang diperbaharui oleh Syekh Muhammad Nazim Adil ibn al- Sayyid Ahmad ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani bisa disebut dengan Syekh Nazim Haqqoni, Beliau dilahirkan pada tahun 1341 H 1922 M di kota Larnaka, Siprus Qubrus dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tartar. Sebenarnya Tarekat Naqsyabandiyyah sudah ada, dan didirikan oleh Syekh Bahauddin Annaqsyabandi 6 . Akan tetapi dalam pembahasan ini penulis akan membahas tarian sufi yang dilakukan dalam tradisi Tarekat Maulawi. Banyaknya polemik tentang peribadatan dikalangan umat Islam pada umumnya sangat ketat sekali menyikapi permasalahan ibadah apalagi yang sudah berkenaan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, para fuqoha banyak yang menentang landasan argumentasi yang digunakan oleh kaum sufi dalam melakukan ritual dzikir kepada Allah dengan menggunakan tarian, fuqoha menganggap bahwa tidak ada riwayat rajih yang membahas tentang bolehnya melakukan tarian disaat melakukan pendekatan diri kepada Tuhan 7 . Tatkala seseorang dalam melakukan dzikir ada sebuah adab di dalamnya. yaitu melakukan zikir dalam keadaan khusu, dengan duduk berdiam sambil 6 Karisman Aqib, Teosofi Tarekat Qodariyah wa Naqsyabandiyyah, al-Hikmah, Surabaya, 1998, cet I, h. 49 7 Ensiklopedi tasawuf disusun oleh tim penulis UIN syarif hidayatullah Angkasa Bandung 2008, cet I, Jilid III, h. 1077 melafazkan kalimat-kalimat toyibah. karena esensi dalam berzikir adalah mengingat Allah. Akan tetapi para sufi menyadari bahwa argumentasinya kepada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan kepada Ja‟far Ibn Abi Thalib, bahwa diantara semua keluarganya yang menyerupai ia dalam banyak hal adalah Ja‟far Ibn Abi Thalib. “kau adalah seperti aku dalam air muka maupun dal am sifat” mendengar ucapan itu tak terkira senangnya dan dia menari-nari dihadapan Nabi SAW 8 . Demikian pula tari tarian yang pernah dilakukan oleh utusan habsy, di hadapan Nabi SAW di depan masjid Madinah. Sebagian besar tradisi religius telah memandang tarian sebagai suatu jalan melepaskan seseorang dari kecondongan terikat pada dunia sehingga dapat menyatu dengan dunia ruhaniyah. Kaum sufi menganggap hal yang seperti itu sebagai usaha pencapaian yang tertinggi dengan bisa melebur kedalam sifat-sifat Tuhan yang Maha Agung, walupun metode yang digunakan dengan cara menari. Akan tetapi ulama fuqaha lebih menekankan adanya tata cara untuk bisa mendekatkan diri dengan Tuhan sesuai yang diajarkan oleh Rosulullah SAW, tidak diperbolehkan seorang membuat sebuah dzikir yang tidak dicontohkan Rasulullah dan menjadikannnya sebagai ibadah ritual yang dilakukan oleh manusia secara rutin seperti rutinitas sholat lima waktu. Ini jelas kebid ‟ahan dalam agama yang tidak diperkenankan Allah, Adapun mengambil wirid-wirid 8 Ibid ma’tsurat yang tidak disyariatkan dan membuat-buat dzikir yang tidak syar‟i maka ini terlarang. Sudah demikianpun, dzikir syar‟i berisi permintaan yang agung lagi benar. Tidak meninggalkannya dan beralih kepada dzikir- dzikir bid‟ah yang dibuat-buat kecuali orang bodoh atau lemah atau melampaui batas Majmu‟ Al fataawa Ibnu Taimiyah, juz 22 510-511]. 9 Oleh karena itu dzikir-dzikir yang telah diajarkan Rasulullah adzkaar nabawiyah memiliki kedudukan dan arti penting yang tinggi dalam diri seorang muslim, sehingga banyak ditulis kitab dan karya tulis yang beraneka ragam tentang permasalahan ini. Namun seorang muslim diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang telah disyari‟atkannya, karena dzikir adalah bagian dari ibadah dan ibadah dibangun di atas dasar tauqifiyah berdasar kepada dalil wahyu dan ittiba‟ mencontoh Rasulullah, tidak menurut hawa nafsu dan kehendak hati semata. Mengingat ketertarikan penulis mengenai uraian di atas, dan melihat belum adanya yang membahas tentang konsep dzikir dengan menggunakan tarian, maka penulis mencoba untuk mengangkat sebuah judul dalam sebuah karya ilmiah tentang “PRAKTIK DZIKIR SUFI TAREKAT MAULAWIYYAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ” 9 httpwww.adab dzikir.comDiakses Pada Tanggal 09 Maret 2010

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah