Persesuaian Dzikir Menggunakan Tarian Sufi Dengan Nash Al-Qura’n dan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG DZIKIR

DENGAN TARIAN SUFI Sama’

A. Persesuaian Dzikir Menggunakan Tarian Sufi Dengan Nash Al-Qura’n dan

Hadist Di dalam Al-Quran tidak disebutkan secara implisit tarian yang dilakukan para kaum sufi khususnya dalam tradisi tarekat Maulawi sebagai mediasi zikir, akan tetapi para sufi bersandar kepada dalil Al-Quran surat Ali Imran ayat 190- 191, didalamnya Allah berfirman:                                   Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. QS. Ali Imran: 190-191 Menurut Muhammad Jamalludin al-Qishi dalam kitab Tafsirnya mempunyai dua pendapat. Pertama berpendapat bahwasanya berzikir kepada Allah tidak melihat waktu dan tempat akan tetapi pada waktu zikir dihati menghadirkan kehadiran Allah dengan adanya rasa kedekatan antara seoarang hamba dengan Tuhan pada waktu berzikir. 92 Lalu pendapat kedua tentang ketentuan waktu, yaitu adanya keterikatan antara tempat dan waktu, yaitu Maksud terikat tempat dan waktu ialah untuk menghilangkan kelalaian untuk mengingat Allah, oleh karenanya ada pengkhususan waktu yang terikat dengan zikir mengingat Allah. Menurut Abi Farr aj Jamalludin „Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al- Baghdadi, beliau berpendapat bahwa dalam surat al-Imran ayat 191 menjelaskan bahwasanya zikir yang dimaksud ialah keadaan zikir dalam shalat, apabila tidak mampu dengan berdiri maka boleh bersandar. 93 Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam tafsir Munir, berpendapat maksud ayat ini orang yang tidak pernah lalai kepada Allah dalam setiap waktunya untuk menenangkan hatinya dengan berzikir, yang dimaksud zikir disini mutlak hanya untuk Allah, sama seperti halnya dari segi Dzat maupun sifat-Nya 94 dan perbuatan-Nya. Sama halnya perbedaan zikir dengan lisan atau tidak di khususkan dalam keadaan tertentu dalam berzikir, dalam artian tidak ada bentuk pengkhususan tertentu waktu berzikir, karena keadaan teertentuan suatu kebiasaan yang tidak terlepas oleh lisan yang lalai. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda : 92 Muhammad Jamalludin al-Qishi , Tafsir al-Qoshi, Baerut: daar el-fikr, 1978, Juz. 2, h. 322 93 Farraj Jamalludin „Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Zaad al-Musayyar fii Ilmi al-Tafsir,Baerut daar el-fikr, 1987, Juz, 2, h. 72 94 Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi, Tafsir an-Nawawi, Baerut Daar el-fikr, t.th, Juz 1, h. 135 Artinya : Barang siapa yang cinta dalam mendapatkan surga-Nya Allah maka perbanyaklah zikir kepada Allah. 95 Menurut Rasyid Ridha, zikir yang dimaksud dalam ayat di atas adalah zikir hati, yaitu menghadirkan Allah SWT di dalam dirinya, serta memikirkan hukum, keutamaan, dan kenikmatan dari-Nya dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Seorang hamba yang tidak terlepas dari tiga keadaan berzikir tadi akan mendapat langit dan bumi bersamanya tidak terpisahkan. Dan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di langit dan di bumi hanya tampak bagi ahli zikir. 96 Melihat dari sebagian ulama salaf yang menafsirkan ayat diatas bisa dijadikan sebuah hujjah dalam mengambil hukum bahwa berzikir dapat dilakukan dalam berbagai kondisi. Dan juga dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiallahuanha pernah melaporkan bahawa “Rasulullah SAW berzikrullah berzikir kepada Allah dalam semua keadaan. Sedang berjalan, menaiki kenderaan, berbaring, duduk, dan bermacam-macam lagi pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW ”. 97 Dan juga sebagaimana yang telah disebutkan dalam pemaparan pada bab sebelumnya bahwa kaum sufi yang melakukan ritual, bersandar juga pada hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya dan al-Hafiz al- 95 Ibid 96 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut, Darul Fikr, t.th, cet. Ke-3, Jilid 4, h.298-299 97 http:www.al-amindaud.blogspot.comDiakses Pada Tanggal 09 Oktober 2010 Maqdisi dengan rijal sahih dari hadis Anas Radiallahu Anhu telah berkata: “orang habsyah berjoget atau menari di hadapan Rasulullah SAW dan sambil mereka berkata Muhammad hamba yang soleh. Bertanya Rasulullah SAW: Apa yang mereka katakan? maka dikatakan kepada Rasulullah SAW sesungguhnya mereka berkata Muhammad hamba yang soleh. ketika Rasulullah melihat mereka dalam keadaan itu Rasulullah tidak mengingkari mereka dan membenarkan perkara tersebut”. 98 Diriwayatkan oleh Syaikh Hisyam Kabbani. “Pada suatu hari saat Rasullullah SAW khutbah Jum‟at, datanglah seorang baduy seraya bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasullullah, kapankah kiamat itu datang?”. Rasulullah tidak menjawab, beliau hanya diam. Baduy itu terus bertanya sampai 3 kali sehingga Jibril datang menghadap Rasul lah dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah bekal yang dia bawa untuk menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Rasulullah menyampaikannya dan orang baduy arab itu menjawab, “Bukankah aku memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah.” Dan Rasulullah berkata, “Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang engkau cintai seperti dua jari yang berdekatan.” Dan seketika itu juga orang baduy Arab itu pergi tanpa mengikuti shalat jum‟at. Saat mendengar percakapan itu, Abu bakar yang selama ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah cukup hanya dengan Cinta?”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Syarat yang 98 Ibid utama adalah Cinta”. Mendengar jawaban itu hati Abu bakar sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar dengan jubahnya. Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi sebagai metode zikir, yang disebut sebagai Whirling Dervishes. 99 Imam As-Saadah As-Syafiiyyah di Makkah, Al-Allamah Al-Kabir Ahmad Zaini Dahlan Rahimahullah menyebut di dalam kitabnya yang masyhur yaitu As-Sirah An-Nabawiyyah wal Aasar Al-Muhammadiyyah hadis yang dirawayatkan oleh Imam Bukhari di dalam sahihnya pada حلصلا تك : bahwa Ja‟far bin Abi Thalib seusai pulang dari fath khaibar kembali dari habsyah, Ja‟far Bin Abi Tolib dan bersamanya dengan kaum muslimin yang lain. Nabi SAW menemui Ja‟faar dan mengucup dahinya dan memeluknya. Rasulullah berdiri kepada So fwan bin Umayyah dan „Udayy bin Hatim Radiallahu „Anhuma dan Rasulullah SAW bersabda : Aku tidak tahu dengan dua sebab aku gembira, apa sebab fath khaibar ataupun dengan karena kepulangan Ja‟faar? Dan bersabada Nabi SAW kepada Ja‟faar : Kamu yang paling mirip denganku dan akhlakku. Maka Ja‟far menari dengan kelazatan perkataan Nabi SAW kepadanya. 100 Ayat dan riwayat hadist diatas menyebutkan bahwa orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri atau duduk atau dalam keadaan 99 http:www.haqqanirabbani.asiahome-id.htmlDiakses Pada Tanggal 15 November 2010 100 http:www.al-amindaud.blogspot.comDiakses Pada Tanggal 09 Desember 2010 berbaring, dapat dilakukan, para sufi sering melakukan zikir dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah yang di riwayatkan oleh „Aisyah radiyallahuanha, yang mepraktikan zikir dalam keadaan apapun, dan para sufi mempraktekannya, selagi zikir itu bisa menghantarkan dirinya pada Tuhannya. 101 Segolongan kaum sufi ketika mereka mendapat kelazatan yang dirasakan pada waktu di dalam majlis zikir dan mereka menari-nari dengan sebab sesuatu rasa nikmat yang dirasakan pada waktu zikir yang timbul dalam hati-hati mereka ketika mengingati Allah. Pada prinsipnya kaum sufi melakukan seluruh praktek zikir bermuara kepada ke Hadirat Ilahi, Perbedaan terletak pada metode dan sikap dalam merefleksikan kebutuhan pengakomodasian keanekaragaman para murid dalam mempraktekan zikir.

B. Pandangan Ulama Terhadap Praktek Dzikir Dengan Tarian Sufi sama’