C. Struktur Sosial Bangsa Mongol
Bangsa  Mongol  terbagi  ke  dalam  dua  kelompok  besar  yakni  1  suku Mongol yang mendiami kawasan stepa dan 2 mereka yang bertempat tinggal di
dalam  hutan.  Suku  Mongol  yang  tinggal  di  stepa,  sebagaimana  telah  disinggung sebelumnya,  berprofesi  sebagai  penggembala  sedangkan  yang  tinggal  di  hutan
umumnya  menggantungkan  hidup  pada  berburu  dan  menangkap  ikan  di  sungai. Kedua  golongan  ini  menjalin  hubungan  yang  baik  dan  saling  menguntungkan.
Suku  Mongol  hutan  memasok  kebutuhan  bulu  bagi  suku  Mongol  stepa  yang nantinya  digunakan  sebagai  penghangat  ketika  musim  dingin  datang.  Sedangkan
suku  Mongol  stepa  ada  pula  yang  membiasakan  diri  menempa  besi  menjadi
senjata yang selain digunakan sendiri juga didistribusikan ke suku Mongol hutan.
Masyarakat bangsa Mongol terbagi ke dalam sejumlah komunitas pengguna bahasa  Turki-Altaic  serta  membentuk  suatu  sistem  sosial  yang  memiliki  unsur
patrilineal  berhubungan  dengan  garis  dari  ayah.  Warga  padang  rumput  ini kemudian  membentuk  satuan  keluarga,  klan,  maupun  konfederasi  gerombolan.
Klan  sendiri  berfungsi  menjadi  unit  dasar  pengumpul  pajak,  pengorganisasian militer,  penengah  perselisihan,  serta  beragam  kegiatan  politik  lainnya.  Ketika
beberapa  kelompok  kecil  didasarkan  pada  garis  keturunan,  maka  suatu  konsep politik  atau  teritorial  menginspirasi  pembentukan  beberapa  peringkat  organisasi
yang lebih tinggi. Sistem  patrineal  ternyata  memiliki  pengaruh  yang  besar  dalam  dinamika
sosial  bangsa  Mongol.  Menurut  Ignatius  Erik,  sistem  sosial  masyarakat  Mongol pada  abad  12  malah  didasarkan  pada  sistem  patrineal.  Pola  perkawinan  yang
dilakukan  orang  Mongol  bersifat  eksogami,  yakni  pernikahan  dengan  sesama anggota  suku  dilarang,  pernikahan  baru  bisa  dilaksanakan  dengan  anggota  suku
lain. Laki-laki diperbolehkan berisitri lebih dari satu poligami. Pada praktiknya, pola  pernikahan  seperti  ini  kerapkali  menimbulkan  pertikaian  antarsuku,  oleh
karena seringnya terjadi kasus penculikan istri. Guna mencegah kasus tersebut, beberapa suku membuat perjanjian bersama
untuk  menikahkan  anak  mereka.  Setiap  orang  Mongol  diajarkan  tentang  silsilah suku  serta  relasi  antarsuku  sejak  umur  belia.  Ilmu  pengetahuan  ini  disakralkan
oleh  orang  Mongol  dan  wajib  diwariskan  secara  turun-temurun.  Persatuan  suku tidak  hanya  diikat  melalui  hubungan  darah  melainkan  juga  hubungan  spiritual.
Bagi  setiap  suku,  baik  anggotanya  masih  ada  atau  telah  mangkat,  mulai  nenek moyang hingga keturunannya merupakan grup relijius yang independen mandiri
dan dianggap abadi keberadaannya. Pada wilayah keluarga, ikatan tersebut dapat senantiasa dihidupkan melalui suatu ritual.
31
Dalam  pernikahan,  binatang  peliharaan  seperti  kuda,  unta,  kambing,  dan domba  memiliki  nilai  tersendiri.  Ketika  seorang  laki-laki  menginginkan  isteri,
maka  ia  menebusnya  sebagai  mas  kawin  dengan  binatang  atau  hak menggembala.
32
Kepercayaan  yang  dianut  oleh  bangsa  Mongol  adalah Syamanisme,  yakni  praktik  menyembah  bintang  dan  sujud  ketika  matahari
terbit.
33
Baru ketika di bawah Jengis Khan berkuasa, agama Budha dan kepercayaan Tibet  Lama  telah  banyak  dianut  bangsa  Mongol.  Ketika  jengis  Khan  mangkat,
31
Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.14.
32
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 25.
33
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Islam, jilid IV, hlm. 133.
banyak  pengikutnya  yang  kembali  ke  kepercayaan  semula.  200  tahun  kemudian, agama  Budha  dan  kepercayaan  Tibet  Lama  diperkenalkan  kembali  berbarengan
dengan  munculnya  suatu  kepercayaan  neo-Syamanisme.  Kepercayaan  ini  dianut oleh  bangsa  Mongol  hingga  timbulnya  komunisme  di  Cina  pada  abad  20  yang
menerapkan kebijakan anti-agama disertai pembunuhan besar-besaran para biksu dan penghancuran rumah-rumah ibadah.  Ketika bangsa Mongol masuk ke negeri-
negeri Islam, seperti Persia, banyak di antara mereka yang menjali Muslim.
34
Pembagian strata sosial bangsa Mongol terdiri atas anggota ksatria Mongol yang disebut bagatur atau sechen. Pemimpin dari golongan ksatria ini dinamakan
noyan.
35
Kelompok  orang  kebanyakan  atau  penduduk  biasa  dinamakan  karachu, dan di bawahnya lagi adalah golongan budak. Ketika bangsa Mongol sudah mulai
berhubungan  dengan  Dinasti  Jin  dari  Cina  yang  mengakui  entitas  keberadaan Mongol sebagai suatu vassal atau negeri bawahan. Beberapa  di antara noyan ada
yang  diberi  gelar  mengikuti  struktur  pemerintahan  Dinasti  Jin,  seperti  taishi gubernur dan  wang  raja.
36
Hubungan antara warga pastoral  dan perkotaan ini dapat  terjalin  dimulai  ketika  seorang  khan  Mongol,  Ambaghi  Khan,  ditaklukan
oleh  suku  Tatar  yang  dibantu  oleh  pasukan  Dinasti  Jin.  Dinasti  Jin  sendiri memiliki  agenda  terselubung  untuk  mencegah  persatuan  suku-suku  Mongol,
sehingga  dalam  upayanya  itu  ia  bermitra  dengan  suku  Tatar.  Sematan  khan merupakan gelar yang disandang oleh seorang pemimpin suku Mongol.
37
34
Gulugjab Tagghudai, “General Concept in Mongol persona”, hlm. 6.
35
George  Vernadsky,  Mongol  and  Russia,  hlm.  15;  lihat  juga  Ignatius  Erik,  Peranan Mongol, hlm.15.
36
George  Vernadsky,  Mongol  and  Russia,  hlm.  15;  lihat  juga  Ignatius  Erik,  Peranan Mongol, hlm.15.
37
Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.15.