Masa Disintegrasi Abbasiyah SERBUAN BANGSA MONGOL KE BAGHDAD
                                                                                apa yang mereka perbuat luput dari perhatian khalifah. Badri Yatim memiliki dua alasan  mengapa  khalifah  terkesan  abai  terhadap  negeri-negeri  bawahannya.
Pertama,  kemungkinan  para  khalifah  tidak  memiliki  wibawa  yang  disegani  dan cukup  kuat  untuk  membuat  bawahannya  tunduk  kepadanya.  Kedua,  penguasa
Dinasti  Abbasiyah  pada  era  keemasannya  lebih  memperhatikan  pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang wilayah politik dan ekspansi.
88
Selain  itu,  hal  lain  yang  tidak  kalah  penting  berkaitan  dengan  gaya  hidup glamor  yang  ditunjukkan  khalifah.
89
Kendati  hal  ini  bukanlah  menjadi  masalah utama,  namun  cukup  menjadi  penyebab  mengapa  sendi-sendi  penting  di  istana
menjadi  longgar,  sehingga  dengan  mudah  dapat  disusupi  oleh  beragam  oknum dalam  hal  ini  para  pemuka  bangsa  Arab,  Persia,  atau  Turki  yang  membawa
agenda tertentu yang tentu saja demi kepentingan golongannya. Khalifah menjadi percaya  begitu  saja  dengan  orang-orang  terdekatnya  sehingga  dengan  mudah
menyerahkan  persoalan  politik  yang  juga  berarti  masalah  tulang  punggung kerajaan  kepada  kelompok  yang  memiliki  maksud  pribadi  untuk  memperkuat
posisinya di tataran istana. Akibat  dari fokus khalifah terkait upaya mengembangkan peradaban, ilmu,
serta kebudayaan membuat daerah-daerah merasa memiliki kekuatan politik untuk tidak  mengakui  kekuasaan  khalifah  secara  sebenar-benarnya.  Bisa  diibaratkan,
pengakuan  hanya  sampai  pada  tataran  lisan  bukan  diresapi  hingga  sampai  hati serta  pemikiran  para  raja-raja  kecil  itu  dan  menyatakan  lepas  dari  pemerintah
pusat.  Hal  ini  bisa  terjadi  serta  diupayakan  dalam  dua  cara,  yakni;  1  seorang
88
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007 hlm.85.
89
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 85.
pemimpin  lokal  memimpin  suatu  pemberontakan  dan  berhasil  memperoleh kemerdekaan  penuh,  seperti  Dinasti  Umayyah  II  di  Spanyol  dan  Idrisiyah  di
Marokko;  2  seseorang  yang  ditunjuk  menjadi  gubernur  oleh  khalifah, kedudukannya  semakin  bertambah  berpengaruh,  seperti  Diinasti  Aghlabiyah  di
Tunisia dan Dinasti Thahiriyah di Khurasan.
90
Kecuali Dinasti Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko, provinsi- provinsi itu awalnya menunjukkan kepatuhannya dengan membayar upeti selama
mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah sanggup meredam pergolakan- pergolakan yang muncul. Namun, ketika wibawa khalifah kian terbenam, mereka
perlahan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menguasai sedikit  demi  sedikit  wilayah  kekhalifahan,  di  antara  mereka  ada  pula  yang  ingin
menguasai khalifah itu sendiri. Beberapa dinasti yang memisahkan diri dari Abbasiyah adalah:
1. Yang berbangsa Persia: a.
Thahiriyah di Khurasan, 205-259 H820-872 M. b.
Shafariyah di Fars, 254-290 H869-901 M. c.
Samaniyah di Transoxania, 261-389 H873-998 M d.
Sajiyah di Azerbaijan, 266-318 H878-930 M e.
Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad, 320-447 H932-1055 M 2. Yang berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir, 254-292 H837-903 M
b. Ikhsyidiyah di Turkistan, 320-560 H932-1189 M
90
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 64.
c. Ghaznawiyah di Afghanistan, 351-585 H962-1189 M
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1 Seljuk Besar atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib
Tuqhrul  Bek  bin  Mikail  bin  Seljuk  bin  Tuqaq.  Seljuk  ini  menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun 429-522 H1037-1127
M 2
Seljuk Kirman di Kirman, 433-583 H1040-1187 M 3
Seljuk Syria atau Syam di Syria, 487-511 H1094-1117 M. 4
Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, 511-590 H1117-1194 M 5
Seljuk Rum atau Asia Kecil di Asia Kecil, 470-700 H1077-1299 M. 3. Yang berbangsa Kurdi:
a. al-Barzuqani, 348-406 H959-1015 M.
b. Abu Ali, 380-489 H990-1095 M.
c. Ayubiyah, 564-648 H1167-1250 M.
4. Yang berbangsa Arab: a.
Idrisiyyah di Marokko, 172-375 H788-985 M. b.
Aghlabiyah di Tunisia, 184-289 H800-900 M. c.
Dulafiyah di Kudistan, 210-285 H825-898 M. d.
Alawiyah di Tabaristan, 250-316 H864-928 M. e.
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, 317-394 H929-1002 M. f.
Mazyadiyyah di Hillah, 403-545 H1011-1150 M. g.
Ukailiyah di Maushil, 386-489 H996-1095 M. h.
Mirdasiyah di Aleppo, 414-472 H1023-1079 M.
1. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a. Umawiyah Umayyah di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir.
Dari uraian di  atas nampak jelas adanya persaingan antar bangsa, terutama antara  Arab,  Persia,  dan  Turki  untuk  berlomba-lomba  membangun  dinasti  yang
besar. Di samping dilatarbelakangi motif kebangsaan, kemunculan dinasti-dinasti tersebut juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang memiliki corak Sunni
maupun  Syiah.  Terdapat  beberapa  faktor  yang  menjadi  alasan  mengapa  banyak provinsi di Dinasti Abbasiyah yang memerdekakan diri, antara lain:
91
1.  Luasnya  wilayah  kekuasaan  Dinasti  Abbasiyah  membuat  komunikasi  antara daerah  dengan  pusat  menjadi  tersendat.  Di  samping  itu,  secara  berangsur-
angsur  tingkat  kepercayaan  di  kalangan  para  pejabat  maupun  pegawai pemerintahan menurun kian tajam.
2.  Pembentukan  tenaga  militer  profesional  membuat  ketergantungan  khalifah akan mereka amat tinggi.
3.  Besarnya  biaya  persediaan  militer  utamanya  gaji  untuk  tentara,  membuat persediaan  harta  kerajaan  semakin  berkurang.  Di  sisi  lain,  khalifah  tidak
mempunya  wibawa  yang  besar  untuk  memaksa  daerah-daerah  bawahannya mengirim upeti dalam jumlah yang dikehendakinya.
Dalam  beberapa  kasus,  pemerintah  Baghdad,  yang  semakin  sibuk  dengan intrik  politik  internal,  tidak  mampu  untuk  menerbitkan  tokoh-tokoh  lokal  yang
berusaha  keluar  dari  pengaruh  Dinasti  Abbasiyah.  Bahkan,  pemerintah  pusat
91
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 65-67.
malah merelakan beberapa kerajaan lain untuk memerdekakan diri dari khalifah di Baghdad.  Salah  satu  contohnya  terjadi  pada  tahun  800  M,  di  mana  khalifah
Dinasti  Abbasiyah  bersedia  melepaskan  pengaruhnya  di  daerah-daerah  Afrika Utara.  Khalifah  membiarkan  begitu  saja  para  penguasa-penguasa  lokal
mengangkat diri layaknya seorang raja dan mengadakan pemerintahan independen asal  saja  tetap  membayar  upeti  ke  Baghdad.  Peristiwa  inilah  yang
melatarbelakangi berdirinya kerajaan lokal Dinasti Aghlabiyah.
92
Di ibu  kota sendiri, terdapat  permasalahan lain  yang jauh lebih besar, oleh karena  mengancam  keberlangsungan  eksistensi  Dinasti  Abbasiyah  di  era
selanjutnya.  Kondisi  kerajaan  pada  periode  kedua  dipenuhi  oleh  campur  tangan bangsa  Turki.  Terjadi  perubahan  yang  signifikan  ketika  Dinasti  Abbasiyah
memasuki  periode  ketiga  334-447  H945-1055.  Pada  periode  itu,  dunia  Islam dihebohkan dengan kemunculan Dinasti Buwaihi yang berpusat di Syiraz. Dinasti
ini dipimpin oleh tiga bersaudara yang bernama Ali, Hasan, dan Ahmad. Dengan cepat  mereka  mulai  menguasai  daerah-daerah  penting  di  Persia  seperti  Rayy,
Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali  berhasil  meneror  khalifah  Abbasiyah,  al-Radhi  Billah,  guna
menyerahkan  legalitas  kekuasaannya.  Iring-iringan  pengikut  mereka  kemudian melakukan  ekspansi  ke  Irak,  Ahwaz,  dan  Wasith  lalu  diteruskan  hingga  ke
Baghdad.  Setelah  meredam  beberapa  intrik  istana,  Dinasti  Buwaihi  akhirnya menguasai  Baghdad,  ibukota  Dinasti  Abbasiyah,  dan  khalifah  pada  akhirnya
hanya tinggal sebutan jabatan saja.
92
Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 105-106.
Dinasti  Buwaihi  pun  nyatanya  tidak  berhasil  menciptakan  basis  kekuatan politik  yang  kuat.  Para  petinggi  Dinasti  Buwaihi  terlibat  dalam  pertikaian
perebutan  jabatan  yang  berlarut-larut  sehingga  tidak  memikirkan  lagi  jalannya roda  pemerintahan  Dinasti  Abbasiyah.  Melihat  ibukotanya  dikoyak-koyak  oleh
api  pertikaian,  membuat  khalifah  mengambil  langkah  sepihak  dengan mengundang  Dinasti  Saljuk  untuk  masuk  ke  Baghdad  dan  membersihkan  semua
unsur-unsur  Dinasti  Buwaihi.  Pada  tanggal  18  Desember  1055  M,  pasukan Dinasti Saljuk memasuki ibukota dipimpin oleh Tughrul Bek.
Dinasti Saljuk sebenarnya merupakan kumpulan dari beberapa kabilah kecil rumpun  suku  Ghuz  yang  berdiam  di  wilayah  Turkistan.  Mereka  semua
dipersatukan oleh Saljuk bin Tuqaq yang setelahnya namanya diabadikan sebagai identitas  mereka,  yakni  orang-orang  Saljuk.  Selama  beberapa  waktu  mereka
malang melintang mengembara, menjadi pasukan bayaran di wilayah Asia Tengah dan  sekitarnya  hingga  masa  kepemimpinan  Tughrul  Bek,  bangsa  ini
memproklamirkan  kemerdekaannnya.  Sebelum  memasuki  Baghdad,  bangsa Saljuk  telah  berhasil  menguasai  Merv  Marwa,  Nisapur,  yang  sebelumnya
merupakan  kekuasaan  Dinasti  Ghaznawiyah,  Balkh,  Jurjan,  Tabaristan, Khawarizm, Rayy, dan Isfahan.
Posisi  khalifah  tidak  kunjung  membaik,  karena  hanya  diberikan  kekuasaan dalam  bidang  agama.  Sebelumnya,  oleh  karena  Dinasti  Buwaihi  beraliran  Syiah
dan  khalifah  Dinasti  Abbasiyah  beraliran  Sunni,  wibawa  khalifah  di  bidang keagamaan  diberagus  dan  Syiah  ditetapkan  menjadi  agama  kerajaan.  Namun
begitu  Turki  datang,  legitimasi  keagamaan  Ahlussunnah  dikembalikan  ke khalifah.
93
Masuknya  pengaruh  Turki  Saljuk membuat  pertikaian  antarbangsa,  agama, dan politik kembali  memanas. Orang-orang Persia  yang  notabene  bisa dikatakan
pribumi  Baghdad  tidak  rela  jika  jabatan-jabatan  strategis  dengan  semena-mena diduduki  orang-orang  Dinasti  Saljuk.  Pun  dengan  orang  Arab  yang  masih
berkerabat  dengan  khalifah  juga  tidak  begitu  saja  sepakat  dengan  masuknya pendatang  baru  tersebut.  Di  ranah  agama,  pertikaian  yang  terjadi  tidak  kalah
sengitnya.  Munculnya  kelompok-kelompok  baru  seperti  Qaramithah,  Ismailiyah, Hasyasyin dan semacamnya semakin memperkeruh konflik keagamaan yang juga
dibalut  konflik  politik.  Konteks  persatuan  keummatan,  sebagaimana  yang didengungkan  zaman  nabi  Muhammad  saw  dan  empat  khalifahnya  tidak  lagi
mampu menyatukan negeri-negeri Muslim. Di samping itu, kondisi perekonimian Dinasti Abbasiyah pun menunjukkan
angka  penurunan  yang  mengkhawatirkan.  Pembebanan  pajak  dan  pengaturan wilayah-wilayah  provinsi  demi  keuntungan  kelas  penguasa  telah  melumpuhkan
bidang  pertanian  dan  industri.  Ketika  penguasa  semakin  kaya,  rakyat  justru semakin miskin. Di daerah-daerah terdapat banyak catatan kriminal para penguasa
yang menipu rakyatnya. Konflik antarbangsa dan agama juga menyeret langkanya jumlah manusia  yang mengurusi lahan pertanian. Bencana alam berupa banjir di
dataran  rendah  Mesopotamia  yang  terkadang  membawa  malapetaka  kelaparan menjadi  bukti  betapa  alam  mengutuk  perilaku  para  pejabat  istana  di  Baghdad.
93
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 71-74.
Tidak  jarang,  wabah  penyakit  yang  menjangkiti  lingkungan  masyarakat  Dinasti Abbasiyah  seperti  pes,  cacar,  dan  malaria  telah  membawa  kematian  di  beberapa
wilayah  kerajaan.  Menurut  Phillip  K.  Hitti  kurang  lebih  sebanyak  40  jenis penyakit  rajin  menghampiri  penduduk.  Kemunduran  di  bidang  ekonomi
membawa dampak buruk di bidang kesejahteraan yang berarti kekeringan pula di bidang  ilmu  pengetahuan.  Sulitnya  mencari  penghidupan  ikut  menyumbat  para
ilmuwan  dan  pemikir  untuk  menghasilkan  suatu  sajian  ilmu  pengetahuan  yang baru.
94
                