UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2 PEMBAHASAN
Pada penelitian uji efek antiinflamasi digunakan ekstrak kental etanol dari lumut hati Mastigophora diclados, lumut tersebut diperoleh dari Gunung Slamet
Purwokerto pada ketinggian 800 m blok 55 yang hidup di batang pinus dan batang agathis. Sebelum dilakukan uji, lumut hati Mastigophora diclados terlebih dahulu
dilakukan determinasi untuk mengidentifikasi kebenaran simplisia, dan hasilnya menunjukkan bahwa simplisia yang digunakan adalah lumut hati jenis
Mastigophora diclados Bird. ex Web. Nees dari suku Mastigophoraceae Lampiran 4.
Proses pembuatan ekstrak kental lumut hati Mastigophora diclados Bird. ex Web. Nees dilakukan dengan metode maserasi yaitu dengan cara merendam
serbuk simplisia menggunakan pelarut organik etanol 70 yang disimpan di tempat yang gelap dan sesekali digoyang-goyangkan. Pelarut diganti setiap 3 hari
sampai diperoleh filtrat yang bening. Kemudian filtrat disaring dan dipekatkan menggunakan vakum rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak. Metode ini
digunakan karena metode yang sederhana, mudah dilakukan, dan metode yang umum digunakan dalam proses ekstraksi. Karena ekstrak yang dihasilkan belum
terlalu kental masih terdapat kandungan air didalamnya maka dilakukan freeze drying, tujuan dilakukan freeze drying yaitu untuk menghilangkan pelarut air dari
padatan terlarut dengan tetap mempertahankan senyawa yang ada. Pemakaian etanol 70 hasil destilasi sebagai pelarut karena etanol 70
dapat melarutkan senyawa organik dalam tumbuhan baik yang bersifat polar, semi polar, maupun non polar. Disamping itu etanol 70 mempunyai titik didih yang
rendah 78,4 C sehingga mudah diuapkan, mempunyai harga yang relatif rendah,
aman digunakan dan mudah mendapatkannya. Metode yang digunakan dalam pengujian antiinflamasi adalah
pembentukan udem buatan pada telapak kaki kiri belakang tikus putih jantan dengan menggunakan karagenan sebagai induktor udem. Metode ini dipilih
karena merupakan metode paling umum digunakan dalam penelitian uji antiinflamasi, murah, dan sederhana dalam pengerjaannya serta hasil yang
diperoleh valid. Karagenan dipilih karena merupakan induktor udem yang paling
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
peka dibandingkan dengan induktor lain pada metode pembentukan udem buatan, selain itu pembentukan udem dengan karagenan tidak menimbulkan kerusakan
permanen pada jaringan sekitar inflamasi. Induktor udem ini akan menginduksi cedera sel melalui pelepasan mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada
awalnya masih terjadi adaptasi untuk melepaskan mediator inflamasi. Pada tahap ini pelepasan mediator masih belum maksimal. Pada saat terjadi pelepasan
mediator maksimal, volum udem mencapai maksimal dan keadaan ini dapat bertahan sampai 6 jam dan berangsur berkurang dalam 24 jam Siswanto dan
Nurlita, 2005. Dalam penelitian ini menggunakan 0,2 mL suspensi karagenan 1 pada telapak kaki tikus secara intrakutan Rustam, et al, 2007, karena lebih
terlihat volum udem yang terbentuk pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi. Pada saat pengukuran volume udem menggunakan alat pletismometer hal-hal
yang harus diperhatikan adalah volume air raksa harus sama pada setiap kali pengukuran, tanda pada pergelangan kaki tikus harus jelas dan dipastikan pada
saat mencelup telapak kaki tikus harus tercelup sempurna sampai tanda batas yang telah ditentukan, serta ketelitian saat pengukuran pada alat pletismometer . Hal ini
bertujuan agar mendapatkan data pengukuran yang selalu konstan pada tiap waktu dan dalam kondisi yang sama.
Hewan yang digunakan adalah tikus putih jantan Strain Sprague Dawley Green et al, 1999, dengan berat badan 200-250 gram dengan usia 2-3 bulan.
Pemilihan jenis kelamin jantan lebih didasarkan pada pertimbangan hewan tikus jantan tidak memiliki hormon estrogen, kalaupun ada hanya dalam jumlah yang
relatif sedikit serta kondisi hormonal pada jantan relatif stabil jika dibandingkan dengan betina karena pada tikus betina mengalami perubahan hormonal pada
masa-masa tertentu seperti pada masa siklus estrus, masa kehamilan dan menyusui dimana kondisi tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis hewan
uji tersebut. selain itu tingkat stress tikus betina lebih tinggi dibandingkan dengan tikus jantan yang mungkin dapat mengganggu saat pengujian Suhendi, et al,
2011. Perlakuan hewan dimulai dengan aklimatisasi terlebih dahulu selama 3 minggu agar hewan bisa beradaptasi dengan lingkungan. Kemudian tikus
dikelompokkan menjadi 7 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok kontrol negatif diberi 2mL200 gBB Na CMC 0,5 per
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
oral. Kelompok kontrol positif diberi pembanding suspensi asetosal per oral dengan dosis 135mgKgBB. Kemudian dilakukan uji pendahuluan pada kelompok
dosis rendah 10 mgKgBB, dosis sedang 100 mgKgBB, dan dosis tinggi 1000 mgKgBB. Karena hasil persen inhibisi dari ketiga dosis tersebut tidak
terdapat perbedaan yang bermakna yang telah di analisa secara statistik pada taraf 0,05 ρ≥0,05, maka dilakukan lagi uji dengan pengecilan dosis diperkecil
dibawah dosis rendah 10 mgKgBB yaitu dosis 1 mgKgBB dan dosis 0,1 mgKgBB.
Kontrol positif sebagai pembanding yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal obat ini dipilih
karena merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik dan antiinflamasi dan digolongkan kedalam obat bebas, serta pada
pemberian oral sebagian salisilat dapat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh dilambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai
kira-kira 2 jam setelah pemberian Gunawan, 2008. Pengukuran volume udem pada telapak kaki kiri tikus dilakukan setiap 1
jam selama 6 jam setelah telapak kaki kiri belakang tikus diberikan induksi karagenan Lampiran 13. Persentase udem dihitung sesuai dengan data volume
udem yang terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan Lampiran 16. Persentase penghambatan udem dihitung juga sesuai dengan persen radang yang
terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan Lampiran 16. Pada penelitian ini, volume udem maksimal telapak kaki belakang tikus rata-rata terjadi
pada jam ke 4 dan kemudian berangsur menurun pada jam ke 5 dan ke 6 setelah diinduksi karagenan 1 sebanyak 0,2 mL. Hal ini mungkin disebabkan karena
absorbsi karagenan cepat dalam tubuh sehingga efek radang sudah mulai menurun.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima variasi dosis ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados yang digunakan mampu menghambat
pembentukan udem dan secara umum maksimal terjadi pada jam ke 6. Pada dosis 1000 mgKgBB menunjukkan kemampuan menghambat udem terbesar 76,94
pada jam keenam. Dosis 100 mgKgBB kemampuan menghambat udem terbesarnya yaitu 79,55 pada jam keenam. dan Dosis 10 mgKgBB
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menunjukkan kemampuan dalam menghambat udem terbesar pada jam keenam yaitu 76,60 . Dari ketiga dosis yang telah diuji kemampuan dalam menghambat
udem ketiganya belum terdapat perbedaan yang bermakna antara ketiga dosis tersebut, maka selanjutnya dilakukan uji dengan memperkecil dosis dibawah dosis
10 mgKgBB yaitu dosis 1 mgKgBB dan 0,1 mgKgBB. Dosis 1 mgKgBB mampu menghambat udem sebesar 62,85 pada jam keenam, sedangakan pada
dosis 0,1 mgKgBB menunjukkan kemampuan menghambatnya sebesar 45,09 pada jam keenam. Dikarenakan dari semua ke 5 dosis uji sudah terlihat adanya
perbedaan yang bermakna untuk masing-masing dosis, kontrol positif, dan kontrol negatif pada persen hambat udem maka tidak dilakukan penyempitan dosis lagi.
Bila dilihat secara keseluruhan kelompok kontrol positif hanya mampu menunjukkan persen hambat udem terbesar 50,39 yang kemampuan
menghambat udem berada dibawah atau lebih kecil dari dosis uji 1 mgKgBB akan tetapi daya hambat kontrol positif lebih besar dari dosis 0,1 mgKgBB.
Dari semua dosis uji yang digunakan menghasilkan kemampuan dalam menghambat udem mulai dari dosis 0,1 mgKgBB sampai dosis 100 mgKgBB
menunjukkan peningkatan persen hambat udemnya, terlihat jelas bahwa ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados dosis 100 mgKgBB memiliki nilai
persen penghambatan udem yang paling tinggi dari pada perlakuan yang lainnya, kemudian diikuti oleh dosis 1000 mgKgBB. Seharusnya dengan meningkatnya
dosis atau konsentrasi, maka aktivitas antiinflamasi akan menunjukkan adanya peningkatan. Tetapi ternyata pada dosis 1000 mgKgBB justru terjadi penurunan
aktivitas antiinflamasinya. Hal tersebut disebabkan memang terdapat beberapa jenis obat dalam dosis tinggi justru menyebabkan pelepasan histamin secara
langsung dari mast cell sehingga mengakibatkan pembuluh darah menjadi permeabel terhadap cairan plasma dan menimbulkan proses peradangan Fitriyani,
et al, 2011. Maka dimungkinkan pada ekstrak lumut hati Mastigophora diclados ini mengandung senyawa yang mampu mengakibatkan hal tersebut.
Data yang diperoleh dalam uji antiinflamasi dianalisa secara statistik menggunakan uji ANOVA untuk melihat nyata atau tidaknya perbedaan dari
masing-masing kelompok. Dalam uji ANOVA ini harus memenuhi persyaratan- persyaratannya seperti syarat normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan dengan menggunakan metode kolmogorov smirnovz untuk melihat distribusi data persen penghambatan udem telapak kaki belakang tikus pada jam
ke 1, jam ke 2, jam k 3, jam ke 4, jam ke 5 dan jam ke 6 Lampiran 17, menunjukkan semua kelompok perlakuan terdistribusi normal, terkecuali pada
perlakuan jam ke 2 tidak terdistribusi normal. Kemudian dilanjutkan uji homogenitas dengan metode leneve untuk melihat data persen penghambatan
udem telapak kaki belakang tikus homogen atau tidaknya, hasilnya menunjukkan bahwa data seluruh kelompok uji tidak homogen ρ ≤ 0,05 . Karena syarat
ANOVA tidak terpenuhi maka dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. dan dilanjutkan kembali uji BNT beda nyata terkecil dengan metode LSD Lampiran
17. Pada jam ke 1, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan
kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ≤0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara
bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mgKg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05.
Kelompok dosis 1 mgKg tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05 ρ≥0,05. Dosis 10 mgKgBB tidak berbeda
bermakna dengan dosis 1, 100,dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05. Dosis 100 mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mgKg. Dosis 1000
mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 10, dan 100 mgKgBB pada taraf uji 0,05.
Pada Jam kedua, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100,
1000 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ≤0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok
dosis 1 mgKg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 1mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif dan
dosis 10,100 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 10 mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100, dan 1000 mgKgBB pada
taraf uji 0,05. Kelompok dosis 100 mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada jam ketiga, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100,
1000 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ≤0,05. Kelompok dosis 1 mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05.
Kelompok dosis 10 mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 100 mgKgBB tidak berbeda
bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 1000 tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 10 dan 100 mgKgBB pada
taraf uji 0,05 Pada jam keempat, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna
dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mgKg pada taraf uji 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara
bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mgKg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05.
Kelompok dosis 1 mgKgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10,100 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 10 mgKgBB tidak berbeda
bermakna dengan dosis 1, 100 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05 Pada jam kelima, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna
dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mgKg pada taraf uji 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara
bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 1 mgKg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05. Kelompok
dosis 10 mgKgBB tidak berbeda bermak.na dengan dosis 100 dan 1000 mgKgBB pada taraf uji 0,05.
Pada jam keenam, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100,
1000 mgKg pada taraf uji 0,05 ρ≤0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok
dosis 0,1 mgKg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05 ρ≥0,05. Kelompok dosis 0,1 mgKg tidak berbeda bermakna dengan kontrol
positif pada taraf uji 0,05 ρ≥0,05. Kelompok dosis 1 mgKg berbeda secara
bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji, dan kontrol positif pada taraf 0,05
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ρ≤0,05. Kelompok dosis 10 mgKg tidak berbeda bermakna dengan dosis 100 dan 1000mgKgBB pada taraf uji 0,05 ρ≥0,05.
Pada penelitian uji antiinflamasi ekstrak lumut hati Mastigophora diclados sebagai penghambat antiinflamasi diasumsikan berhubungan dengan kandungan
terpenoid, fenolik, dan saponin serta adanya aktivitas sebagai antioksidan. Telah diketahui dari penelitian sebelumnya bahwa lumut hati Mastigophora diclados
memiliki aktivitas sebagai antioksidan Komala et al, 2010, dimana antioksidan bekerja dapat menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai mediator dari
berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner, inflamsi, diabetes, dan penuaan Ali et al, 2011. Golongan terpenoid yaitu seskuiterpen dilaporkan
Heras et al., 1999 dapat menghambat inflamasi dengan menghambat beberapa faktor transkripsi yang berperan dalam pengaturan ekspresi gen yang terlibat
dalam respon inflamasi. Saponin memiliki mekanisme antiinflamasi yang paling mungkin adalah diduga mampu berinteraksi dengan banyak membran lipid seperti
fosfolipid yang merupakan prekursor prostaglandin dan mediator-mediator inflamasi lainnya Hidayati, et al., 2008, serta dapat menghambat pembentukan
eksudat dan menghambat kenaikan permeabilitas vaskular Fitriyani, et al., 2011. Antioksidan mampu menghambat oksidasi asam arakhidonat menjadi
endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim lipooxygenase. Apabila oksidasi asam arakhidonat dapat dihambat maka tidak terbentuk oksigen reaktif dan
mediator-mediator kimia yang dapat menyebabkan nyeri dan radang. selain itu antioksidan dapat menurunkan aktivitas enzim lipooxygenase sehingga tidak
menyebabkan terbentuknya leukotrien yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan Lieber dan Leo, 1999. Adanya hambatan pada
oksidasi asam arakhidonat menyebabkan lumut hati Mastigophora diclados berefek sebagai antiinflamasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis
penelitian ini terbukti, bahwa lumut hati Mastigophora diclados Bird. ex Web. Nees memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, yang dibuktikan pada pemberian
ekstrak etanol lumut hati dengan dosis 0,1 mgKgBB, 1 mgKgBB, 10 mgKgBB, 100 mgKgBB, dan 1000 mgKgBB dapat menghambat udem pada telapak kaki
belakang tikus putih jantan yang telah diinduksi karagenan 1 sebanyak 0,2 ml, dengan daya hambat udem dosis uji di atas daya hambat kelompok asetosal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai kontrol pembanding.
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN