Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

2 beribadah menuntut kesalehan ritual dan mengamalkannya dalam bentuk kesalehan yang aktual, yaitu bentuk kesalehan yang selain menumbuhsuburkan iman dan takwa, juga sebagai penyemai benih-benih tenggang rasa yang akan melahirkan kesetiakawanan dengan misi utama tegaknya wahdah al-aqîdah dengan pendekatan sistem kemasyarakatan pada wahdah al-gâyah persamaan tujuan yang selanjutnya akan melahirkan wahdah al- syu‟ûr persamaan rasa. Individu dalam komunitas sosial seperti ini akan lebih banyak memberi manfaat dari pada menuntut dan menghujat, lebih banyak berkorban dari pada menerima pertolongan orang lain, lebih banyak menebar kebajikan dari pada menebar fitnah dan permusuhan. 2 Agama sebagai jalan hidup manusia tentunya harus mampu memenuhi kebutuhan, baik yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual. Itu artinya disamping mengajarkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, agama juga dituntut mengajari manusia bagaimana cara melakukan hubungan dengan Allah SWT. hubungan dengan Allah SWT inilah yang disebut dengan sisi batin agama atau spiritualitas agama. 3 Di dalam Islam, manusia adalah sentral sasaran ajarannya, baik hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antar sesama manusia, dan antar manusia dengan alam. Yang paling komplek adalah hubungan nomor dua, yaitu hubungan antar sesama manusia. Untuk itu, Islam mengajarkan konsep-konsep mengenai kedudukan, hak dan kewajiban, serta tanggung 2 Robitoh Widi Astuti, “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah al- Mâ‟ûn,”Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, h. 1-2. 3 Jefry Noer, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Bermoral Melalui Shalat yang Benar Jakarta: Kencana, 2006, h. 155-156. 3 jawab manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia bukan saja mempunyai nilai dan konsekuensi di dunia, namun juga sekaligus di akhirat kelak. 4 Untuk menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhannya, manusia dituntut untuk dapat benar-benar memahami dan menjiwai makna dari pengabdiannya. Suatu pengabdian yang dibangun bukan atas dasar sekedar rasa takut akan siksaan, sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi pengabdian yang dibangun atas dasar kebutuhan manusia akan “kehadiran” Allah dalam hatinya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah orang yang saleh secara ritual-spiritual dimensi vertikal benar-benar dapat memaknai arti dari ibadahnya, ataukah hanya sekedar ibadah fisik yang tanpa makna?. Dan apakah kesalehan ritual tersebut juga diiringi dengan kesalehan sosial dimensi horizontal, sehingga terketuk rasa prihatinnya terhadap umat yang patut mendapat uluran tangan?. Jika tidak, maka ada yang salah dalam memahami ajaran agama. 5 Akan tetapi, itulah realita yang terjadi dalam kehidupan kita. Ketidak pedulian terhadap sesama sering kita temukan dalam kehidupan masyarakat, acuh terhadap problematika kehidupan yang dialami kaum lemah khususnya anak yatim yang sangat membutuhkan perhatian, mengingat mereka sebagai generasi penerus bangsa mempunyai posisi yang strategis dalam estafet perjuangan da‟wah Islam dan perjuangan bangsa, keberadaannya merupakan aset yang tidak dapat diabaikan begitu saja. 4 A. Qodry Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam; Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 160. 5 Astut i, “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah al-Mâ‟ûn”, h. 3. 4 Ketidak perdulian terhadap kaum lemah masih sangat melekat oleh sebagian orang, mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, enggan untuk mendonasikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, mereka lupa bahwasannya setiap harta yang dimilikinya merupakan titipan sementara dari Allah SWT dan dari harta tersebut terdapat hak-hak fakir miskin. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi sosial dengan manusia lain. Interaksi sosial bukan saja hanya dengan menjalin hubungan kemasyarakatan lebih dari itu diperlukan untuk saling perduli terhadap sesama, saling membantu, tidak segan untuk menolong dan menolong orang lain tidak melihat dari strata sosialnya. Dalam al- Qur‟ân pun ditegaskan bahwa kita diharuskan untuk saling tolong menolong terhadap sesama namun dinamikanya berbeda masih banyak orang-orang yang mengabaikan perintah tersebut. Sebagaimana diimpikan oleh banyak orang bahwa untuk menanggapi persoalan umat, sudah saatnya al- Qur‟ân dan al-Sunnah dijadikan sebagai jawaban atas persoalan umat, al- Qur‟ân sejak semula menegaskan bahwa perlunya pembinaan kualitas manusia di kalangan umat Islam melalui kreativitas berfikir dan berkarya secara Qur‟ani. Penataan kualitas umat tentu saja harus dimulai dari kualitas diri yang unggul insân kâmil,yakni keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal. Beriman tidaklah identik dengan pengucapan bentuk rutinisme keagamaan yang tidak mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat. 6 6 Umar Syihab, Kontekstualisasi al- Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam al- Qur‟ân Jakarta: Penamadani, 2005, h. 41. 5 Demikian pula amal saleh tidak identik dengan bentuk lahiriah keagamaan semata, tetapi seberapa jauh amal itu dapat mengarahkan pelakunya ke dalam kecenderungan individu yang selalu baik dan benar dalam segala tindakan sosialnya sehari-hari, terutama demi mencapai tujuan-tujuan sosial. 7 Tindakan menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, lalai terhadap shalatnya, riya, enggan memberikan bantuan merupakan sifat-sifat rendah yang tengah dibahas dalam sûrah pendek Sûrah al- Mâ‟ûn ini merupakan tanda-tanda kekufuran dan kesia-siaan pada siapapun yang memilikinya. Semua sifat atau karekteristik itu merupakan cabang dari penolakan pada kebenaran hari akhirat yakni Hari Pembalasan atau Perhitungan. 8 Sûrah Mâ‟ûn ini diawali dengan kalimat Tanya untuk menarik perhatian pembacanya. Kemudian Allah sendiri yang menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Tujuannya ialah agar pembaca benar-benar memperhatikan dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Biasanya setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai yang sangat penting untuk segera dipahami dan sekaligus diamalkan. 9 Pada akhirnya, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji al- Qur‟ân sûrah al-Mâ‟ûn guna untuk menggalih nilai-nilai yang terkandung 7 Umar Syihab, Kontekstualisasi al- Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam al- Qur‟ân, h. 42. 8 Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsîr Nûrul Qur‟ân: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al- Qur‟ân, vol. XX Jakarta: al-Huda, 2006, h. 355. 9 T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah- sûrah dalam Juz „amma Jakarta: Bale Kajian Tafsîr al- Qur‟ân, 2001, h. 131. 6 dalam sûrah tersebut agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Penulis akan membahasnya dengan lebih dalam dan mendetail.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa makna mendustakan agama? 2. Sejauhmana perlakuan yang dianggap meninggalkan anak yatim? 3. Apa batasan tidak menggalakkan pemberian kepada fakir miskin? 4. Apa kaitan riya dengan shalat? 5. Apa nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn?

C. Pembatasan Masalah

Dari sekian banyak masalah yang dipaparkan karena keterbatasan penulis dalam pengalaman menulis disamping keterbatasan waktu maka penulis membatasi pembahasan skripsi ini pada masalah yang terakhir yaitu apa saja nilai-nilai sosial yang bisa digali dari sûrah al- Mâ‟ûn?

D. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah skripsi ini adalah “Nilai Sosial dalam Sûrah al- Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim”?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mempunyai beberapa tujuan terkait pengambilan tema “Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim ”,yaitu: 7 1. Di tengah hedonisme kehidupan masyarakat lewat karya ini semoga dapat menjadi alat penggugah kesadaran antar sesama manusia untuk menanamkan sifat kepedulian sosial dengan memperhatikan nasib kaum lemah khususnya anak yatim 2. Manfaatnya untuk menambah Khazanah keilmuan yang ada di Fakultas Ushuluddin, khususnya dalam bidang Tafsir Hadis 3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan jenjang strata I S I di jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Tinjauan Pustaka

Mengenai tema ini sudah ada beberapa yang membahasnya. Berikut ini diantara para peneliti yang membahas kajian ini sejauh penulis ketahui, diataranya adalah: Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Robitoh Widi Astuti yang berjudul “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân” studi atas sûrah al-Mâ‟ûn” Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2009. Skripsi tersebut menjelaskan tentang pengertian pendusta agama dan perbuatan-perbuatan yang menjadi karakteristik pendusta agama. Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Nur Baiti yang berjudul “Ciri utama orang munafik menurut perspektif al-Qur‟ân sûrah al-Mâ‟ûn ayat 1-7 menurut Tafsîr fi Zhilal al- Qur‟ân” Jurusan Tafsir Hadis Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2003. Skripsi tersebut menjelaskan tentang ciri