Sholat Parameter Keimanan yang Mendalam

60 mereka yang kewajiban shalatnya telah gugur, seperti orang yang hilang akal , serta wanita haid dan nifas. Sholat wajib dilakukan baik oleh orang sakit, sehat, fakir, kaya, dalam kondisi takut, aman, dan lain sebagainya. 112 Kalaulah umat islam menghargai shalat dengan sebenarnya dan melaksanakannya secara sempurna, niscaya ia akan menjadi sebab terbesar untuk memperbaiki ketimpangan hidup dan kondisi mereka. Sesungguhnya shalat adalah sebagimana yang Allah swt firmankan:                         Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-kitab al- Quran dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan- perbuatan keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah shalat adalah lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S. al- „Ankabût [29]: 45 Dasar kekurangan dan rahasia ketidakseimbangan tersebut adalah banyaknya orang yang menunaikan bahkan kebanyakan dari mereka shalat hanya sebagai potret dan bentuk rutinitas tanpa esensi. Hal itu bisa dalam bentuk meremehkan setiap apa yang berhubungan dengan sholat atau menganggapnya hanya sebagai kebiasaan. Dengan demikian spirit shalat tidak dapat dihayati, kekhusyukan tidak bisa raih, dan hakikat shalat sebagai medium komunikasi antara hamba dan Rabb-nya tak mampu pula dipahami. Shalat seperti itu tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Bahkan terkadang, keluar dari masjid justru langsung melakukan kemaksiatan, 112 Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam, h. 686. 61 terjerembab dalam perbuatan haram, atau berusaha untuk melakukan pekerjaan yang dimurkai Allah swt. 113 Untuk itu, yang wajib bagi setiap muslim adalah memahami hakikat shalat, beruasaha mengerti rahasia-rahasianya, mewujudkan spriritnya, menghidupkan shalat sebagaimana mestinya dan beretika dengan etika shalat guna meraih buah yang terkandung dalam ibadah ini. Karena sesungguhnya sholat merupakan suatu parameter dari keimanan seseorang. 114 1. Shalat suatu rangka pokok dari iman Di dalam al- Qur‟ân Tuhan telah menegaskan bahwa “shalat” adalah suatu rangka pokok dari iman, dengan beberapa firman-Nya, diantaranya Ayat-ayat yang dibawah ini :                               Alif laam miin. Kitab al-Qur ‟ân ini tidak ada keraguan padanya: petunjuk bagi mereka yang bertaqwayaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab al-Qur ‟ân yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab- Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Q.S. al-Baqarah [2]: 1-4 Ayat ini menegaskan, bahwa: “orang-orang yang muttaqien mukminin, „ialah: “ mereka yang beriman akan “yang ghaib”, yang tidak kelihatan pada pandangan matanya: mendirikan sholat dan mengeluarkan 113 Muhammad Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim Berperilaku, h. 686. 114 Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam, h. 686. 62 sebahagian hartanya untuk kemaslahatan umum kemaslahatan masyarakat, yang dinamai: “jalan Allah.” Juga menegaskan, bahwa: “mengerjakan shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut, adalah hasil dari dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa.” Lihatlah susunan Ayat. Tuhan meletakkan perkataan “dan mendirikan sholat,” sesudah perkataan „beriman akan yang ghaib”, dan tuhan meletakkan perkataan “dan mengeluarkan sebahagian harta untuk kemaslahatan umum,” sesudah perkataan “mendirikan sholat.” Susunan ini memberi pengertian, bahwa : iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa, menarik kepada sholat. Sholat yang ditegakkan dengan sempurna dengan khusyu‟ yang menjadi spiritnya rohnya, membawa kepada rela mengorbankan sebahagian harta untuk kepentingan pergaulan hidup bersama. 2. Shalat, syarat diterima iman dan amal “Tiada diterima sesuatu amal dari seseorang, melainkan dia mengerjakan shalat.” Bersabda Nabi SAW: permulaan amalan yang diperiksa dari amalan seseorang hamba pada hari kiamat, ialah: shalatnya. Diperhatikan benar-benar shalatnya. Maka jika betul urusan shalatnya, mendapat kemenanganlah dia. Jika tidak betul urusan shalatnya, rugi dan sia-sialah urusannya. H.R. al- Thabarany dari Anas r.a., al-Targhib l: 210. Orang yang memudah-mudahkan shalat, mengenteng- entengkannya, berarti memudah-mudahkan dan mengenteng-entengkan 63 Islam. Peruntungan seorang manusia dalam Islam adalah menurut peruntungan yang mereka peroleh dari shalat: kegemaran mereka kepada Islam, adalah menurut kegemaran mereka kepada shalat. 3. Tidak ada iman tanpa shalat Seseorang yang mengaku bahwa dirinya beriman tapi tdak mengerjakan sholat maka keimanannya tersebut tidak dibenarkan oleh syara‟. Karena seseorang yang berimana akan senantiasa mengerjakan segala perintah Allah swt termasuk shalat karena shalat merupakan tolak ukur kepribadian seseorang jika shalatnya benar tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perbuatan baik lainnya. 115 Dalam hal mematuhi ketentuan-ketentuan-Nya, kita sering kali lupa bahwa ketentuan-ketentuan-Nya adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Ia juga bisa menjadi media pemeliharaan diri kepada-Nya. Ia juga bisa menjadi media pemeliharaan diri dari dosa dan pelanggaran sekaligus prasyarat bagi lahirnya kemaslahatan pribadi dan masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu memiliki bentuk formal yang tidak boleh diabaikan, tetapi pada saat yang sama memiliki substansi yang harus selalu menyertainya. Tanpa substansi itu, maka pelaksanaan perintah-Nya tidak memberi bekas di dalam jiwa. Shalat, misalnya, dalam pandangan hukum agama Islam adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tetapi ia juga memiliki substansi yang bila diabaikan, maka pelakunya terancam dengan kecelakaan. 115 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Sholat Jakarta: Bulan Bintang, 1983, h. 45. 64 Substansi Sholat adalah perwujudan makna kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah. Subtansi itu juga menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya, yang jika bisa bergabung dalam jiwa manusia, ia memeroleh kekuatan yang bersumber dari-Nya. Kalau subtansi shalat seperti itu adanya, wajarlah manusia bermuka dua ketika melakukannya? Mereka yang berbuat demikian berarti tidak menghayati arti shalatnya dan lalai dari tujuannya. Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya karena sholat berarti do ‟a kalau demikian wajarkah yang butuh ini, menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika dia memiliki kemampuan? Tidakkah dia mengukur dirinya dan kebutuhannya kepada Tuhan? Jika dia enggan memberi pertolongan, maka pada hakikatnya dia tidak menghayati arti dan tujuan shalat, seperti yang diuraikan di atas. 116 Berdasarkan redaksinya, perintah shalat selalu menggunakan ungkapan “dirikan atau tegakkan aqîmu”, sehingga menurut Sayyid Quthb maknanya jelas “Hanya shalat yang ditegakkan dengan benar yang akan mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, karena shalat itu merupakan hubungan dengan Allah yang di dalamnya orang akan malu jika ia membawa dosa-dosa besar dan perbuatan keji ketika ia berhadapan dengan Allah SWT ”. padahal, shalat itu merupakan ritual untuk 116 M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi: al- Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, h. 25-26. 65 membersihkan diri dan menyucikannya sehingga tidak sesuai dan bertentangan dengan kotoran perilaku keji dan kemungkaran. 117 Kalau kita memerhatikan perintah shalat dalam al- Qur‟ân, kita akan menemukan bahwa perintah shalat selalu dimulai dengan kata aqimu kecuali dua ayat, atau bahkan Cuma satu ayat. Kata aqîmu biasa diterjemahkan dengan “mendirikan”, meskipun sebenarnya terjemahan tersebut tidak tepat. Karena, seperti kata mufasir al-Qurthubiy dalam tafsirnya, aqîmu bukan terambil dari kata qâma yang berarti “berdiri”, tetapi kata itu berarti “bersinambung dan sempurna”. Sehingga perintah tersebut berarti “melaksanakannya dengan baik, khusyuk dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan sunnah nya”. 118 Kalau demikian, banyak yang shalat, tapi tidak melaksanakannya. Yang shalat dengan sempurna rukun, syarat, dan sunnahnya pun tidak sedikit yang tidak menghayati arti dan tujuan shalatnya. Celakalah orang-orang yang shalat, tetapi lalai akan ma kna shalat mereka, yakni mereka yang riya‟ dan menghalangi pemberian bantuan Q.S. al- Mâ‟ûn ayat 4-7. 119 Menurut Ibnu Katsir Shalat yang benar adalah harus menghasilkan dua hal: meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, serta membangun komunikasi “zikir” yang berkesinambungan dengan Allah SWT seperti yang tertuang dalam pernyataan ayat secara berurutan. Abul Aliyah mengemukakan bahwa dalam shalat yang benar terangkum tiga karakter: keikhlasan yang menyuruh 117 Atabik Luthfi. Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati Jakarta: Gema Insani, 2009, h. 125. 118 M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan Bandung: Mizan , 2008, h. 132. 119 M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan, h. 132. 66 berbuat yang ma‟ruf, kekhusyuan, dan ketundukan yang menuntut untuk menghindari perbuatan yang mungkar, serta zikrullah yang mengharuskan mengikuti aturan-Nya dalam perintah dan larangan. 120 Demikian makna sosial yang diisyaratkan dari ayat di atas yang secara korelasi memiliki hubungan dengan surah Hûd ayat 87.                      M ereka kaum Syu‟aib berkata, „Apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami dan apa yang kami perbuat dengan harta kami sesuka hati kami. Q.S. Hûd ayat 87. Ternyata shalat yang selalu m ewarnai kehidupan Nabi Syu‟aib A.S. itulah yang menjadi motivasi dia untuk menegakkan a mar ma‟ruf dan nahi mungkar ditengah-tengah kaumnya. Sungguh satu penegasan sekaligus peringatan Allah SWT bagaimana seluruh ibadah yang diperintahkan-Nya turut memberi warna dan nilai yang luhur dalam kehidupan sehari- hari. Sa‟id Hawwa menyimpulkan bahwa semua ibadah yang diperintahkan seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya merupakan obat penyembuh dan suplemen makanan yang layak dijadikan bekal yang mendasar bagi seorang mukmin. Bekal ini harus menjadi prinsip dalam kehidupannya agar bisa hidup sesuai dengan aturan Allah SWT, karena hanya dengan aturan Allah-lah kehidupan ini akan terasa nyaman, indah, damai, dan membawa kebahagiaan bagi semua pihak. 121 120 Atabik Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati, h. 125-126. 121 Atabik Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati, h. 125-126. 67 Rasulullah SAW bersabda: “Menyebut seseorang yang tidak mampu menjaga perilaku sosialnya sebagai seorang yang muflis yang akan dijerumuskan ke dalam neraka, meskipun ia shalat, puasa dan berzakat. ” HR Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad. Sudah saatnya shalat kita yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, kita beranjak dari dimensi ritual teoretis menuju dimensi sosial aplikatif yang memberi kebaikan bagi semua. Saatnya menjadikan shalat sebagai solusi efektif dalam menghadapi berbagai problematika sosial. Saatnya menjadikan shalat sebagai upaya menegakkan amar ma‟ruf dan nahi mungkar sehingga terbangun keseimbangan antara mutu internal shalat dengan dampak eksternalnya. Inilah makna sosial dari ayat, “ … dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. ” 122 Sholat merupakan suatu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh ummat islam Allah swt menyebut bahwasannya setelah keimanan kita kepada yang ghaib kita diperintahkan untuk melaksanakan sholat begitu pentingnya shalat sehingga perintah sholat dicantumkan setelah perintah beriman kepada yang ghaib. Sholat merupakan suatu syarat diterimanya iman dan amal, karena dengan melaksanakan sholat berarti kita telah beriman kepada Allah dengan demikian kita akan melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangannya serta merasa takut apabila melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Sebanyak apapun amal yang telah diperbuat apabila sholatnya rusak maka amal tersebut tidak diterima oleh 122 Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati, h. 125-126. 68 Allah karena ketika sholat sudah benar maka iman dan amalpun akan benar pula. Keimanan seseorang dapat terlihat dari sholatnya jika beriman tapi tidak melaksanakan sholat maka orang tersebut tidak dikatakan beriman karena tidak ada iman tanpa sholat karena iman bukan hanya diartikan sebagai pembenaran dalam hati akan tetapi lebih jauh diartikan sebagai melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah swt. Banyak yang melaksanakan sholat akan tetapi tidak mengetahui subtansi sholatnya, mereka tidak memahami apa yang diperintahkan oleh Allah ketika melihat orang yang sedang membutuhkan pertolongan mereka tidak perduli karena mereka hanya sekedar mengerjakan sholatnya saja akan tetapi tidak mengerti apa subtansi sholat tersebut Sudah saatnya sholat memberikan dampak positif bagi sosial dengan perduli terhadap sesama dan dengan demikian sempurnalah keimanan seseorang karena bukan saja melaksanakan sholat akan tetapi mengetahui subtansinya dan melaksanakannya.

E. Tolong-menolong

Secara umum, al- Qur‟ân memerintahkan kepada manusia untuk saling bekerja sama dan tolong menolong dalam mengatasi masalah-masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Firman Allah dalam sûrah al- Mâ‟idah [5]: 2.                   . Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. Q.S. al- Mâ‟idah ayat 2. 69 Ayat ini dapat dipahami sebagai perintah kepada semua orang Islam dalam kehidupan setiap saat, yaitu supaya dalam perilaku sehari-hari, selalu bekerja sama. 123 dan tolong menolong dalam hal kebaikan. 124 Termasuk melaksanakan tanggung jawab dalam mengatasi masalah-masalah sosial di masyarakat, karena permasalahan sosial sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Orang islam diminta peduli kepada orang lain, dengan cara memberikan atensi atau perhatian, dan solusi, yaitu penyelesaian terhadap problem di masyarakat, seperti memberikan bantuan yang diperlukan, atau menyampaikannya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penyelesaian masalah tersebut, ataupun memberikan pemikiran tentang jalan dan cara-cara menyelesaikan masalah sosial tersebut. 125 Ayat ini juga melarang umat islam untuk tolong menolong dalam hal kejelekan, yang bukan hanya tidak membantu penyelesaian masalah sosial tersebut tetapi bahkan menciptakan dan menambah masalah sosial baru dimasyarakat. Oleh karena itu tolong menolong harus selalu dipupuk dengan baik dalam kehidupan masyarakat luas agar terjalin hubungan yang harmonis antar sesama masyarakat. 126 Tolong menolong dalam persaudaraan harus menjadi sifat seorang mukmin dalam hidup bermasyarakat juga diisyaratkan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 71. 123 Departemen Agama, Tafsîr al- Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial Jakarta: Departemen Agama, 2008, h. 142. 124 UII, al- Qur‟ân dan Tafsîrnya, vol. XXX Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990, h. 203. 125 Departemen Agama, Tafsîr al- Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial, h. 143. 126 Departemen Agama, Tafsîr al- Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial, h. 143.