Menyantuni Fakir Miskin NILAI-NILAI SOSIAL SURAH AL-

58 Cara Mengentaskan Kemiskinan: Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, al- Qur‟ân menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok. 1. Kewajiban setiap individu. Jalan pertama dan utama yang diajarkan al- Qur‟ân untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibakannya atas setiap individu yang mampu. Contoh: Jika ditempat yang satu tidak ditemukan lapangan pekerjaan, al- Qur‟ân menganjurkan kepada orang tersebut untuk berhijrah mencari tempat lain sampai ia mendapatkan pekerjaan itu. Sebagaimana firman Allah SWT.             Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Q.S. al- Nisa‟ [4]: 100 2. Kewajiban orang lain atau masyarakat. Kemiskinan merupakan persoalan yang tidak boleh dianggap sepele karena tanpa adanya pihak yang bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut akan menimbulkan dampak yang buruk yaitu kelaparan dan kematian. Agar tidak terjadi hal seperti itu hendaklah setiap orang untuk mau memperhatikan dan membantu dalam hal penyelesaian 59 kemiskinan. karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk membantu saudaranya yang kekurangan. 3. Kewajiban pemerintah. Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal penyelesaian kemiskinan yaitu dengan mengatur uang pajak dengan baik dan benar agar dapat digunakan untuk kepentingan Negara salah satunya dalam hal penyelesaian masalah kemiskina. 110 Tanpa adanya keperdulian dari pihak-pihak lain terhadap masalah kemiskinan maka persoalan kemiskinan akan lebih menimbulkan masalah- masalah lain yaitu jiwa yang akan tergoncang sehingga ada keinginan untuk bunuh diri. Sudah saatnya keluarga terdekat, masyarakat dan pemerintah untuk benar-benar menyelesaikan kemiskinan yaitu dengan menyantuninya dan menyiapkan lapangan pekerjaan untuk mereka.

D. Sholat Parameter Keimanan yang Mendalam

Sesungguhnya shalat merupakan rukun amal Islam terbesar yang absolut. Ia merupakan syiar amali agama Islam yang teragung dan menyatukan setiap ibadah-ibadah lain, termasuk di dalamnya puasa, zakat, haji, jihad, tilawah al- Qur‟ân, dzikir kepada Allah dan lain sebagainya. 111 Karena besarnya kedudukan dan posisi shalat, maka ia tidak boleh ditinggalkan oleh seorang Muslim bagaimanapun kondisinya, kecuali bagi 110 M. Quraish Shihab, wawasan al- Qur‟an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat Bandung: Mizan, 2007, h. 597-604. 111 Muhammad Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim Berperilaku Jakarta: Maghfirah, t.t., h. 686. 60 mereka yang kewajiban shalatnya telah gugur, seperti orang yang hilang akal , serta wanita haid dan nifas. Sholat wajib dilakukan baik oleh orang sakit, sehat, fakir, kaya, dalam kondisi takut, aman, dan lain sebagainya. 112 Kalaulah umat islam menghargai shalat dengan sebenarnya dan melaksanakannya secara sempurna, niscaya ia akan menjadi sebab terbesar untuk memperbaiki ketimpangan hidup dan kondisi mereka. Sesungguhnya shalat adalah sebagimana yang Allah swt firmankan:                         Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-kitab al- Quran dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan- perbuatan keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah shalat adalah lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S. al- „Ankabût [29]: 45 Dasar kekurangan dan rahasia ketidakseimbangan tersebut adalah banyaknya orang yang menunaikan bahkan kebanyakan dari mereka shalat hanya sebagai potret dan bentuk rutinitas tanpa esensi. Hal itu bisa dalam bentuk meremehkan setiap apa yang berhubungan dengan sholat atau menganggapnya hanya sebagai kebiasaan. Dengan demikian spirit shalat tidak dapat dihayati, kekhusyukan tidak bisa raih, dan hakikat shalat sebagai medium komunikasi antara hamba dan Rabb-nya tak mampu pula dipahami. Shalat seperti itu tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Bahkan terkadang, keluar dari masjid justru langsung melakukan kemaksiatan, 112 Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam, h. 686.