Beberapa Tuntunan al-Qur’ân menyangkut anak yatim

25 Perlu diketahui bahwa periode Mekkah adalah periode peletakan dasar tuntunan agama dan uraian menyangkut akidah, sedang periode Madinah lebih banyak merupakan penerapan syariat agama, karena itu uraian-uraian pada periode Mekkah sangat esensial dan sangat penting untuk diperhatikan. 56 Ayat pertama yang Nabi saw. Terima dalam konteks uraian tentang anak-anak yatim dan yang merupakan wahyu kesepuluh yang beliau terima adalah firmannya-Nya dalam sûrah al-Fajr [89]: 17, yang mengecam mereka yang tidak memberi perhatian terhadap anak-anak yatim:       . sekali-kali tidak demikian, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. Allah telah menganugerahi mereka dengan harta benda yang banyak, tetapi mereka tidak mau melakukan kewajiban menolong anak yatim dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah terkena racun dunia. 57 Setelah wahyu kesepuluh ini, wahyu tidak kunjung turun kepada Nabi saw. Namun, setelah selang beberapa waktu, wahyu kesebelas turun, yakni surah adh-Dhuha [93]: 9 yang merupakan tuntunan kedua yang berkaitan dengan anak-anak yatim. 56 M. Quraish Shihab, Membumikan al- Qur‟ân jilid 2 Jakarta: Lentera Hati, 2011, h. 182. 57 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXXSemarang: Toha Putra Semarang, 1986, h. 266. 26      . Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim dengan menindas dan menghinanya. Tetapi angkatlah dirinya dengan budi pekerti yang santun dan didiklah ia dengan akhlak mulia, agar ia menjadi anggota masyarakat yang baik dan bermanfaat. Sehingga ia tidak akan menjadi sampah masyarakat yang menularkan penyakit pada lingkungannya. 58 Selanjutnya, wahyu ketiga yang dalam konteks anak yatim adalah firman-Nya dalam Q.S. al-Balad [90]: 11-16.    .     .   .       .    .     . Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. yaitu melepaskan budak dari perbudakan. atau memberi Makan pada hari kelaparan,. kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat. atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Pada ayat-ayat selanjutnya Allah menjelaskan bahwa seharusnya mereka bersyukur atas segala karunia tersebut. Kemudian memilih jalan yang baik dan lebih mengutamakan jalan yang bisa mengantarkannya kepada kebahagiaan. Dengan demikian mereka bisa memanfaatkan kelebihan karunia nikmat tersebut untuk membebaskan budak-budak belian, 58 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX Semarang: Toha Putra Semarang, 1986, h. 329. 27 agar perbudakan bisa dihapuskan. Atau untuk menyantuni anak-anak yatim yang membutuhkan makanan dan pakaian karena ditinggal mati oleh orang tuanya. Atau memberi makan para fakir miskin yang tidak mampu lagi berusaha mencari sesuap nasi karena faktor ketuaan atau invalid. 59 Wahyu berikut tentang anak yatim yang diterima Nabi saw. Di Mekkah adalah firman-Nya: Q.S. al- An‟âm [6]: 152.                                         . dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan peringatan serupa ditemukan dalam Q.S. al- Isrâ‟ [17]: 34.                    dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik bermanfaat sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. 59 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX Semarang: Toha Putra Semarang, 1986, h. 286. 28 Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim apabila kamu mengelola urusannya atau bermuamalat dengannya, sekalipun dengan perantaraan wali atau orang yang menerima wasiat darinya, kecuali dengan perlakuan yang sebaik-baiknya dalam memelihara harta dan mengembangkannya, serta lebih mementingkan kemaslahatan dan membelanjakan harta itu untuk kepentingan pendidikan dan pengajarannya. Dengan itu diharapkan akan dapat memperbaiki kehidupannya di dunia maupun di akhirat. 60 Ar-Arsyud, adalah masa seseorang mencapai pengalaman dan pengetahuan. Untuk mencapai masa balignya, ada dua batasan, minimal jika dia telah bermimpi keluar mani yang merupakan permulaan umur dewasa, ketika itu ia menjadi kuat, sehingga keluar dari keadaannya sebagai anak yatim, atau ia termasuk safih tidak sempurna akal atau da‟if lemah. Maksimal, adalah umur empat puluh tahun. Namun yang dimaksud di sini ialah yang pertama. Yaitu batas minimal, sebagimana dikatakan oleh Asy- Sya‟bi, Malik dan lainnya hal itu biasanya antara umur 15 sampai 18 tahun. 61 larangan “mendekati” semacam ini hanya ada dalam larangan tentang harta anak yatim dan dalam wasiat larangan mengerjakan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Sedangkan selain dua masalah tersebut, larangan itu langsung ditujukan kepada perbuatan yang dimaksud, bahkan larangan menyekutukan Allah. Umpamanya: lâ tusyriku, 60 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX Semarang: Toha Putra Semarang, 1986, h. 329. 61 al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, h. 118. 29 lâ taqtulû aulâdakum, wa lâ taqtulû nafsal latî harramallâhu dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan tingkat perhatian Allah terhadap anak yatim dan perkaranya. menganiaya yatim setarap dengan melakukan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. 62 Namun demikian Allah swt memberikan pengecualian, yaitu apabila untuk pemeliharaan harta itu diperlukan biaya, atau dengan maksud untuk mengembangkan dan memberdayakannya, maka diperbolehkan bagi orang yang mengurus anak yatim untuk mengambilnya sebagian dengan cara yang wajar. Oleh sebab itu, diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk mengurus harta anak yatim. Wali atau lembaga sangat diperlukan untuk mengurusi harta anak yatim dan hendaknya diawasi aktivitasnya oleh pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan terhadap harta anak yatim tersebut. 63 Selanjutnya, sûrah al-Kahfi [18]: 82 berbicara tentang dua anak yatim yang dipelihara Allah harta peninggalan ayahnya, karena sang ayah merupakan orang saleh. 64                                      62 Mahmud Syaltût, Tafsîr al- Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al- Qur‟ân, h. 350. 63 Departemen Agama, Tafsîr al- Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum D huafâ‟, h. 227-228. 64 M. Quraish Shihab, Membumikan al- Qur‟ân jilid 2 Jakarta: Lentera Hati, 2011, h. 184. 30 Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Perode Madinah. Tuntunan al- Qur‟ân dalam periode ini sangat rinci. Pada periode Madinah ditemukan juga penekanan tentang perlunya menjaga perasaan anak-anak yatim dan kaum lemah lainnya. Q.S. al-Nisâ ‟ [4]: 8              . dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik Dalam periode ini juga turun tuntunan kepada para wali atau pengurus harta anak yatim agar mengembangkan harta siapa pun yang belum mampu mengurusnya, antara lain anak-anak yatim dan yang berada di tangan para wali atau pengurus itu. Q.S. al-Nisâ [4]: 5.                 . dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dari ayat ini dapat diketahui bahwa seluruh modal tidak boleh dibiarkan tetap membeku, tanpa bergerak atau berkembang. Sûrah ini 31 menuntut agar belanja anak yatim diambil dari hasil pengembangan hartanya, bukan dari harta itu sendiri. Harta-harta itu harus tetap ada. Segala keperluan anak yatim seperti pakain, makanan, pendidikan, pengobatan dan sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut diusahakan diinvestasikan. Dan hendaklah mereka berkata lemah lembut penuh kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri. 65 Tuntunan lain menyangkut anak yatim ditemukan juga sebelum ayat diatas, yakni firman-Nya dalam Q.S al- Nisâ‟ [4]: 3.                               . dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Kadang-kadang sebagaian wali mengawini anak-anak yatim perempuan yang diurusnya dan halal untuk dia kawini, atau jika tidak halal dikawini olehnya, ia mengawinkan mereka dengan putra-putranya. Kedua jalan ini ia tempuh guna memakan harta mereka atau mahar yang mereka miliki dengan ikatan perkawinan. Tatkala ayat di atas diturunkan, para wali mendengar ancaman yang keras ini dan telinga mereka diketuk, bahwa 65 Mahmud Syaltût, Tafsîr al- Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al- Qur‟ân, h. 357. 32 berbuat buruk terhadap harta anak yatim dan mencari-cari alasan untuk memakannya dengan cara-cara penipuan semacam ini adalah dosa besar, karena itu, selanjutnya mereka enggan mengawini anak-anak yatim perempuan, lantaran takut menerima akibat yang buruk. 66 Ayat ini mengisyaratkan, bahwa jika mereka tidak menjamin untuk dapat berbuat adil dalam harta-harta anak-anak yatim perempuan, dalam mengelola hak mereka dengan baik dan dalam menyerahkan hak-hak mereka apabila mengawini mereka atau mengawinkan anak-anak mereka dengan anak-anak yatim itu setelah mengawinkan, maka hendaknya mereka meninggalkan perkawinan dengan anak-anak yatim. penghindaraan ini dimaksudkan untuk menjaga diri mereka dari terjatuh ke dalam lembah dosa yang besar ini. 67 Dengan ayat ini, Allah tidak bermaksud menyempitkan manusia dalam perkara perkawinan, hingga kalian tidak mengawini anak-anak yatim perempuan yang kalian rasakan sulit, lantaran takut mempergauli mereka dengan buruk dan takut memakan harta-harta mereka. Mereka benar-benar mempunyai pintu yang sangat lebar untuk mengawini wanita-wanita yang kalian senangi. 68 Dalam sûrah al- Nisâ‟ [4]: 10 Allah juga berfirman memberi peringatan kepada para pengelola harta anak yatim: 66 Mahmud Syaltût, Tafsîr al- Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al- Qur‟ân, h. 354. 67 Syaltût, Tafsîr al- Qur‟ânul Karîm, h. 354. 68 Syaltût, Tafsîr al- Qur‟ânul Karîm, h. 354. 33               . Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala neraka. Ayat ini mengandung ancaman kepada orang-orang yang memakan harta anak yatim. mengelola harta anak yatim diharuskan untuk menjaganya jangan sampai ada kecurangan. Kecurangan terhadap anak yatim itu berarti memakan api, memenuhi perut sendiri dengan api. Memakai harta anak yatim, dengan curang, akan membakar pula harta lain yang bukan harta anak yatim. Hidup dalam kecurangan akan selalu laksana terbakar, karena keluhan anak yang teraniyaya. 69 Dalam ancaman pertama dikatakan, bahwa harta itu akan berupa api, yang mereka suap dan mereka makan, lalu masuk ke dalam perut mereka. Mereka akan berpakaian api. Yang masuk perut, ialah makanan ataupun pangan yang dibawa masuk ke api bernyala ialah badan sendiri, artinya sandang, pakaian. Mereka terlihat kaya dengan harta anak yatim yang diambilnya secara zalim, namun sebenarnya mereka telah terbakar dan menjadi hangus. 70 Tersebutlah di dalam salah satu hadis rangkaian kisah Mi‟raj, bahwasannya Rasulullah saw. Melihat ada orang-orang yang disuruh memakan batu granit yang telah hangus merah berapi, lalu mereka makan, 69 Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah, Tafsîr al- Azhar, vol. XXX, h. 351-352. 70 Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 352. 34 sehingga merintihlah mereka, sebab perut mereka telah hangus terbakar. Maka bertanyalah Rasulullah kepada jibril: “apa sebab, maka begini dahsyatnya siksaan yang mesti diterima oleh orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan zalim. 71 Q.S. al-Baqarah [2]: 220                                 . tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Menurut riwayat Abu Daud, an- Nasa‟i, dan al-Hakim dari Ibnu Abas, karena telah banyak datang ayat-ayat peringatan tentang tata cara pemeliharaan anak yatim dan pengelolaan hartanya, sehingga memelihara anak yatim menjadi tidak menyenangkan bahkan menakutkan. Maka sahabat bertanya kepada Rasulullah, bagaimana sebaiknya memelihara, sebab memelihara mereka telah diperintahkan, sedang hartanya tidak boleh termakan dengan jalan yang zalim. Oleh sebab itu Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 220. Hendaklah memelihara mereka dengan sebaik- baiknya, sebab mereka adalah saudara mu saudara yang seiman dan bukankah orang yang beriman itu bersaudara? kalau memandang mereka 71 Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 352. 35 sebagai saudara sendiri, tentu kamu telah tahu bagaimana berlaku terhadap mereka dan harta mereka. Jika rasa persaudaraan sudah tertanam dalam hati maka penganiayaan terhadap anak yatim tidak akan terjadi. Jangan sampai makan mereka dipisahkan. Itu adalah merendahkan, bukan menggauli. Kalau ada anak yatim tinggal dirumah mu, pandanglah mereka sebagai anakmu, anak kandung dan anak yatim harus diperlakukan sama tidak boleh dibeda-bedakan semoga adanya anak yatim dalam rumahmu akan membawa rizki 72 72 Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 250-251. 36

BAB III NILAI DALAM AL-

QUR’ÂN A. Nilai Dalam ilmu fiqh ukuran baligh jika sudah berusia 9 tahun untuk perempuan dan 15 tahun untuk laki-laki. Anak yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya ketika berusia 9 sampai 15 tahun menandakan masih kurang mampunya dalam menjalankan kemaslahatan hidup yang menjamin kebaikannya di masa yang akan datang. Pada saat ini usia 9 sampai 15 tahun masih sangat membutuhkan pengayoman karena ditemukan anak-anak yang masih berusia 9 sampai 15 tahun tidak stabil kejiwaanya, mereka belum bisa menjaga diri sendiri dan hartanya jika anak yatim tersebut di tinggalkan harta oleh kedua orang tuanya. Mazhab Hanafi mewajibkan wali menyerahkan harta pada umur dewasa dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 25 tahun walaupun dalam keadaan tidak cerdas. 73 Dalam sosiologi, nilai didefinisikan sebagai konsepsi pemikiran abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. Contohnya, orang menganggap menolong adalah perbuatan baik, sedangkan mencuri adalah perbuatan buruk. Dengan demikian, perbuatan saling menolong merupakan sesuatu yang bernilai dalam kehidupan masyarakat. 74 73 Departemen Agama, Tafsîr al- Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum D huafâ‟, h. 231-232. 74 Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA Kelas X kurikulum 2013 Jakarta: Erlangga, 2013, h. 131-132. 37 Pendapat para ahli tentang pengertian nilai adalah sebagai berikut: Soerjono Soekanto mendefinisikan nilai sebagai konsepsi abstark dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. B. Simanjuntak merumuskan nilai sebagai ide-ide masyarakat tentang sesuatu yang baik. Robert M.Z. Lawang mendefinisikan Nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, pantas, berharga, dan mempengaruhi perilaku sosial orang-orang yang memiliki nilai tersebut. 75 Nilai erat hubungannya dengan manusia, baik dalam bidang etika yang mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan manusia sehari-hari, maupun bidang estetika yang berhubungan dengan persoalan keindahan, bahkan nilai masuk ketika manusia memahami agama dan keyakinan beragama. Oleh karena itu nilai berhubungan dengan sikap seseorang sebagai warga masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu agama dan sebagai warga dunia. 76 Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif yakni memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai. Kedua memandang nilai itu subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek 75 Maryati dan Suryawati, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA Kelas X kurikulum 2013, h. 132. 76 Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Jakarta: Kencana, 2006, h. 111-112.