Latar Belakang Keluarga Latar Belakang Pendidikan

BAB III PROFIL K.H MAHRUS AMIN

A. Riwayat Hidup

1. Latar Belakang Keluarga

K.H Mahrus Amin dilahirkan di desa Kali Buntu, Ciledug, Cirebon pada tanggal 14 Februari 1940. Nama lengkap beliau adalah Mahcrus Amin. Orang tua, saudara dan teman-temannya memanggil beliau Mahrus. Beliau dilahirkan dalam keluarga terpandang. Ayahnya bernama Casim Jasim Ahmad Amin, yang menjabat sebagai seorang Kuwu setingkat lurah. Dalam catatan silsilah keluarga K.H. Mahrus Amin merupakan salah satu keturunan anak cucu Syarif Hidayatullah, tokoh Islam di Jawa Barat pada masa lalu. Ayahnya juga adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang tergabung dalam Laskar Hizbullah di Jawa Barat. Ibunya bernama Hj. Jamilah binti H. Muharom yang berasal dari Cirebon. Ibunya adalah cucu kyai Idris seorang ulama pimpinan pondok pesantren Lumpur di daerah Lumpur Brebes. Bersama Kyai Ismail yang dikenal sebagai ahli hikmah dan juga saudaranya kyai Idris, Keduanya adalah ulama yang berpengaruh di kawasan Losari. 1 Pada usia 26 tahun beliau menikahi seorang wanita bernama Hj. Sumiyati pada tanggal 1 Oktober 1965. hingga saat ini beliau telah di 1 K.H Mahrus Amin, Dakwah Melalui Pondok Pesantren, Jakarta, Penerbit Grup DANA, 2008, hal. 3 37 38 karuniai 4 orang anak dan 12 cucu. 2 Anak-anak beliau pun bersama para menantunya ikut meneruskan cita-cita sang ayah yaitu, putri sulung beliau Hj. Emah Maziyah yang bersuamikan H. Drs. Mustafa Hadi Chirzin yang merupakan pimpinan pondok pesantren Al-Mansur Serang, Banten. Putri ke dua beliau Hj. Nana Rosdiana yang bersuamikan H.M Agus Abdul Ghofur yang merupakan pimpinan pondok pesantren Madinnatunnajah Jombang, Tangerang Selatan. Putri ke tiga beliau Diah Nadiah B.Hsc yang bersuamikan H. Mardhani Zuhri MA. yang merupakan Kepala Biro Kemasyarakatan pondok pesantren Darunnajah Jakarta. Dan yang terakhir adalah putra beliau Ahmad Najih. 3

2. Latar Belakang Pendidikan

Masa revolusi kemerdekaan sangatlah membekas di benak beliau. Pada Usia 8 tahun beliau terpaksa berhenti sekolah karena agresi militer Belanda. Setelah belanda ditarik mundur, orang tuanya memasukkan beliau ke Madrasah Ibtidaiyah di Losari, Brebes. Beliau melanjutkan pendidikannya yang terbengkalai selama setahun karena perang. Saat revolusi berkecamuk, beliau sudah duduk di bangku kelas 3 Sekolah Rakyat Islam SRI di Kalimukti. Perang membuat perekonomian keluarga beliau ambruk dan harus memulai lagi dari nol. Dalam kondisi serba kekurangan setelah perang, beliau harus rela berjalan kaki sejauh 7 2 Panitia Tasyakuran 70 K.H. Mahrus Amin, Kyai Entrepreneur “Social Entrepreneurship Berbasis Nilai-Nilai Agama”, Jakarta, Panitia Tasyakuran 70 K.H. Mahrus Amin, 2010, hal. 56 3 Ibid, hal. 66-78 39 kilometer untuk berangkat sekolah melintasi perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, pada tahun 1953 beliau lulus dan berniat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ayah dan ibu beliau mendorongnya agar bersekolah lagi, untuk meneruskan tradisi keluarga menjadi guru dan panutan bagi masyarakat. 4 Sekolah Guru Bantu SGB adalah tujuan beliau berikutnya, sekolah ini mempersiapkan siswanya menjadi guru pemula. Jenjang berikutnya dari SGB Sekolah Guru Bantu adalah SGA Sekolah Guru Atas. Artinya dengan berbekal ijazah SLTA pun seseorang bisa menjadi guru. Tetapi pada masa Orde Baru sekolah ini dihapus. Rupanya nasib baik tidak berpihak kepada beliau, usaha masuk SGB tidak berhasil. Atas saran orang tua dan guru-guru di madrasah, beliau mendaftar ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo. Beliau tidak sendirian ke sana, ada 7 orang teman dari sekolahnya yang mendaftar. Di kemudian hari, hanya beliau seorang yang menyelesaikan janjang KMI Kuliyatul Mualimin Al Islamiyah selama 6 tahun pada Tahun 1961. KMI adalah sistem pendidikan Gontor yang menggabungkan tingkat tsanawiyah dan aliyah setingkat SLTP dan SLTA dalam satu paket. Menjelang akhir masa pendidikan di Gontor, beliau belum menentukan pilihan. Setelah itu ia meminta saran Prof. Tohir Abdul Muin, guru besar IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, yang juga adalah paman beliau. Kemudian pamannya menyarankan agar ia tinggal di kota besar 4 K.H Mahrus Amin, Dakwah Melalui Pondok Pesantren, Jakarta, Penerbit Grup DANA, 2008, hal. 6 40 seperti Jakarta atau Surabaya setelah lulus dari Gontor. Setelah tamat beliau mendapatkan izin untuk tidak perlu mengajar di Gontor. Kebetulan saat masih di Gontor beliau ditawari bergabung dan berkerja oleh Hasim Munif salah seorang alumni Gontor di Jakarta. Beliau berhijrah ke Jakarta untuk mengajar di sebuah lembaga pendidikan yaitu Madrasah Darunnajah Petukangan dan melanjutkan Pendidikannya di Fakultas Ushuludin Jurusan Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah hingga tamat tahun 1972. 5 Setelah tamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Beliau mendapatkan kesempatan menjadi dosen untuk mengajar di almamaternya, Fakultas Ushuludin, tapi beliau hanya mengajar sebentar saja. Beliau mengundurkan diri menjadi dosen dan memilih jalur lain, setelah menikahi Hj. Sumiyati yang merupakan putri dari H. Manaf Muhayar salah satu pendiri Darunnajah, beliau lebih memilih untuk berkonsentrasi pada pembinaan dan pengelolaan pondok pesantren yang didirikannya hingga sekarang. 6

3. Latar Belakang Organisasi