Asal-Usul Nama Tamiang Pengambilan Madu Lebah pada Masyarakat Melayu Tamiang

23 - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Serbajadi dan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka. Wilayah Tamiang berada pada ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut. Pada kondisi normal musim kemarau belangsung dari bulan Meret sampai Agustus dengan suhu berkisar 28º C, dan musim hujan berlangsung pada bulan September samapi Februari dengan suhu 25ºC-29ºC, kelembaban udara rata-rata 55-70. Wilayah Tamiang terbagi atas delapan kecamatan yaitu: 1. Kecamatan Tamiang Hulu dengan pusat pemerintahan di Pulau Tiga. 2. Kecamatan Kejuruan Muda dengan pusat pemerintahan di Sungai Liput. 3. Kecamatan Kota Kuala Simpang dengan pusat pemerintahan di Kota Kuala Simpang. 4. Kecamatan Seruway dengan pusat pemerintahan di Seruway. 5. Kecamatan Bendahara dengan pusat pemerintahan di Sungai Iyu. 6. Kecamatan Karang Baru dengan pusat pemerintahan di Karang Baru. 7. Kecamatan Rantau dengan pusat pemerintahan di Rantau. 8. Kecamatan Manyak Payed dengan pusat pemerintahan di Talang Cut Muntasir, 2003:2

4.2 Asal-Usul Nama Tamiang

Nama Tamiang berdasarkan sumber informasi legenda data sejarah berasal dari kata “Te-Miyang” yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miyang 24 bambu, hal ini berdasarkan cerita sejarah tentang raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu dalam bahasa Tamiang buloh betong dan oleh raja ketika itu bernama Tan Penok mengambil bayi tersebut dan setelah dewasa dinobatlan menjadi raja Tamiang dengan gelar “Pucook Sulooh Raja Te-Miyang” yang berarti raja yang berada dalam rumpun rebong tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal. Sampai sekarang nama Te-Miyang lebih dipercayai oleh masyarakat Tamiang sebagai asal mulanya kata Tamiang Muntasir, 2003:2.

4.3 Pengambilan Madu Lebah pada Masyarakat Melayu Tamiang

Mantra terdapat di dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia. Mantra berhubungan erat dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan tuhan. Dengan cara demikian, apa yang diminta dimohon oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Tuhan. Karena sifat sakralnya mantra sering kali tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang Waluyo, 1991: 6 Dalam masyarakat Melayu Tamiang, mantra atau dikenal juga sebagai deden berdeden berdendang adalah jenis pengucapan yang terdengar seperti puisi yang mengandung unsur sihir dan ditujukan untuk mempengaruhi atau mengontrol sesuatu hal untuk memenuhi keinginan penuturnya. Mantra merupakan pilihan kata-kata yang dibaca untuk melalukan sesuatu secara kebatinan. Dendang lebah adalah salah satu mantra yang terdapat dalam kebudayaan Melayu, khususnya etnis Melayu yang berada di Tamiang. Dendang lebah ini 25 digunakan untuk mengambil madu lebah di pohon kayu Tualang. Ada 2 dua dendang yang terdapat dalam prosesi pengambilan madu pada masyarakat Melayu Tamiang, yaitu mantra untuk pohon kayu tualang dan mantra untuk mengambil madu. Keberadaan hutan alam bagi masyarakat Melayu Tamiang sangat penting. Sebagian dari mereka menggantungkan hidup dari hasil mengambil madu dari atas pohon Tualang. Pohon Tualang yaitu pohon yang tinggi besar dan tempat yang disenangi lebah hutan untuk bersarang dibandingkan dengan pohon-pohon yang lain. Di Tamiang pengambilan madu lebah dapat dilakukan setahun sekali, yaitu pada bulan april. Pengambilan madu dilakukan pada malam hari disaat bulan gelap. Prosesnya pun dilakukan menggunakan peralatan tradisional. Dengan syarat tidak boleh ada api dan nampak bayangan, mereka meyakini jika nampak bayangan maka pemanjat bisa jatuh. Peralatan yang digunakan: 1. Timba ember berfungsi untuk menampung dan menurunkan madu. 2. Patin secukupnya bambu yang telah diruncingkan ujungnya sebesar jari telunjuk panjangnya ± 10 cm di tancapkan di pohon tualang menyerupai anak tangga berfungsi untuk tempat memijak kaki. 3. Tunam batang sirih hutan yang diikat dan dibakar untuk mendapatkan bara api berfungsi untuk mengusir lebah 4. Lampu kecil atau teplok berfungsi untuk penerangan dibawah. 5. Tali panjang berfungsi untuk mengikat timba yang berisi madu. 26 Proses mengambil madu lebah ini dipimpin oleh Pawang Tuhe pawang tua kepala pawang dan dibantu oleh juru panjat lainnya disebut juga pawang mude. Proses pengambilan madu lebah sebagai berikut: Tahap pertama, pembacaan mantra dilakukan oleh Pawang Tuhe sambil menancapkan patin pada pohon tualang, patin ini di tancapkan hanya dengan tiga kali ketukan. Tiga patin pertama ditancapkan oleh Pawang Tuhe,Selanjutnya, jika sudah tinggi dan tidak bisa lagi di jangkau oleh Pawang Tuhe, Pawang Mude mulai memanjat dan melanjutkan menancapkan patin sampai batas yang diperlukan untuk memanjat. Pawang Muda memanjat sambil membawa tunam yang sudah diberi api. Selain membawa tunam mereka juga selakigus membawa timba dan tali. Sesudah sampai di atas atau di dahan yang pertama, pawang muda berhenti sejenak kemudian membacakan dendang untuk menyapu lebah tersebut. Menyapu lebah ini adalah pekerjaan dimana madu lebah itu akan diambil dari sarangnya. Tunam yang sudah diberi api selanjutnya dikibas-kibaskan atau di hentakkan di sekitar dahan tempat lebah itu bersarang. Hentakan itu akan menimbulkan bunga api si biring kuning yang berjatuhan ke tanah. Karena gelapnya malam bunga api itupun sangat indah. Bersama dengan jatuhnya bunga api itu, lebah-lebah pun berterbangan ke bawah mengikuti api tunam. Waktu itulah pekerjaan bagi Pawang Muda untuk mengambil madu lebah dari sarangnya. Bagian sarang lebah yang berisi madu disebut “kepala lebah”, kemudian madu itu dimasukkan ke dalam timba dan tirurunkan ke bawah menggunakan tali panjang. Di bawah timba itu akan diterima oleh tukang sambut. Pekerjaan itu dilakukan berulang kali sampai selesai. Sementara Pawang Tua bertugas di bawah 27 untuk berjaga-jaga dari bahaya. Jika sarang lebah di kayu tualang itu banyak dan tidak bisa diselesaikan dalam satu malam sampai menjelang subuh, maka pekerjaan itupun dilanjutkan ke malam berikutnya. Masyarakat Melayu Tamiang percaya bahwa di pohon tualang selalu dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Maka untuk setiap tahapan pemanjat selalu diiringi dengan mantera atau dendangdeden.

4.4 Struktur Teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang