53 dilemparkan sedikit kebawah untuk Raja Hutan tersebut. Masyarakat Melayu
Tamiang percaya bahwa di pohon tualang selalu dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Maka untuk setiap tahapan pemanjat selalu diiringi dengan mantera atau
dendangdeden.
4.6.6 Makna Budaya Dalam Mengambil Madu Lebah
Mengambil madu lebah merupakan salah satu bentuk ungkapan budaya yang banyak mengandung nilai-nilai atau makna yang dapat diteladani oleh generasi
penerus. Pada hakekatnya sistem nilai merupakan posisi sentral dan struktur budaya suatu masyarakat, sistem nilai merupakan fenomena dan masalah dasar kehidupan
manusia, karena sistem nilai merupakan perangkat struktur dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun secara sosial Griya dalam teddy, 2003: 46
Demikian pula nilai-nilai makna yang terkandung dalam proses pengambilan madu lebah masyarakat Melayu Tamiang. Merupakan suatu fenomena dan
problematika dasar dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti mengambil madu ini senantiasa dilaksanakan oleh masyarakat Melayu pendukungnya dan bagi
mereka yang melakukan tradisi ini menganggap bahwa itu mempunyai makna bagi dirinya. Berikut beberapa makna budaya yang dapat dilihat dari tradisi mengambil
madu yang baik untuk diteladani.
4.6.6.1 Kebersamaan dan Kerukunan
Pelaksaan pengambilan madu lebah ini tidak bisa dilakukan seorang diri, dari awal hingga akhir proses pengambilan melibatkan beberapa orang untuk
melancarkan dan mempercepat proses pengambilan madu. Pada tahap pertama
54 mensurvei kayu tualang kemudian menyiapkan peralatan hingga proses memanen
dan pembagian hasilpun bersama-sama. Ini menunjukkan kebersamaan dan kerukunan mereka tercermin dari kerjasama yang mereka lakukan dalam memanen
madu lebah. Selain itu rasa kebersamaan dan kerukunan merupakan ciri khas dan kebiasaan masyarakat melayu.
4.6.6.2 Penghormatan Terhadap Leluhur
Berdendang dalam mengambil madu lebah ini bertujuan untuk memuja dan menghormati leluhur atau nenek moyang masyarakat Melayu Tamiang.
Penghormatan ini dapat terlihat ketika pawang memberikan madu untuk Raja Hutan. Ini menandakan bahwa masyarakat sangat menghormati leluhur atau nenek
moyangnya memalui persembahan yang diberikan. Dengan harapan agar direstui dalam mengambil madu dan supaya terhindar dari hal-hal buruk yang mungkin saja
terjadi.
4.6.6.3 kepatuhan
Dalam mengambil madu, faktor kepatuhan nampak pada masyarakat pendukungnya secara patuh melaksanakan proses pengambilan madu tersebut.
Mereka tidak mau melanggar hal-hal yang berkaitan dengan pantangan. Mereka mempunyai suatu kepercayaan bahwa dengan melanggar pantangan yang telah ada
akan berakibat tidak baik bagi kehidupan mereka. Pantangan tersebut adalah tidak boleh sedikitpun nampak bayangan, jika nampak bayangan maka si pemanjat akan
terjatuh.
55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan, menjabarkan, dan menganalisis dari sudut pandang strukturalisme, fungsi dan makna yang terdapat dalam Dendang Lebah
Masyarakat Melayu Tamiang dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 1.
Diksi adalah pilihan kata yang digunakan penyair untuk menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah puisi, maka semua kata yang terdapat pada Dendang Lebah
mempunyai diksi yang telah ditentukan sendiri oleh penyair, dan kata-kata yang ada tidak dapat diubah susunannya. Ditakutkan hilang daya magisnya.
2. Imajinasi yang digunakan di dalam Dendang Lebah ini adalah imajinasi
penglihatan visual, imajinasi dan imajinasi taktil perlakuan. 3.
Kata konkrit adalah kata-kata yang membuat pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. Seperti pada kata
Kayu betuah lagi bebahagie, kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo, tempek le madi si puteri ijo, Kami begantong ku Allah, Serte betungkek ku
Nabi,....,Ucapke bismillah baru disedue. 4.
Gaya bahasa yang digunakan pada Dendang Lebah adalah gaya bahasa personifikasi.
5. Tema pada Dendang Lebah adalah Saling menghormati antara sesama makhluk
ciptaan Allah.