Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi Bentuk Putusan Hakim

akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau dalam jabatannya yang bertentangannya dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 12 huruf a, b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi f. Hakim yang menerima hadiah atau janji, pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berdasarkan Pasal 12 huruf c Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang- Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi g. Advokad yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili berdasarkan Pasal 12 huruf d Undang- Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. h. Setiap pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi

Universitas Sumatera Utara Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dapat dilakukan oleh Korporasi selain dilakukan oleh orang perseorangan. Adapun yang dimaksud dengan korporasi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal tindak pidana korupsi Pasal 20 ayat1 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Yang dimaksud dengan pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangannya dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi 42 . Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut. 42 Lihat Penjelasan Pasal 20 ayat1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Universitas Sumatera Utara Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi Pasal 20 ayat3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, maka korporasi itu diwakili oleh pengurus dan sesuai dengan Pasal 20 ayat4 UU No.31 Tahun 1999 tersebut dapat diwakili oleh orang lain. Untuk itu hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan sesuai dengan Pasal 20 ayat5 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

3. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Dalam Melakukan Penuntutan

Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi. Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga kejaksaan di atur Undang-Undang No.16 Tahun 2004 dan KUHAP. Pada asasnya lembaga kejaksaan dipimpin oleh seorang Jaksa Agung RI dimana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi huruf kesebelas butir ke-9 khusus Jaksa Agung RI di instruksikan, bahwa: 43 a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara. b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yang dilakukan oleh JaksaPenuntut Umum dalam rangka penegakan hukum. 43 Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi huruf kesebelas butir ke-9 Universitas Sumatera Utara c. Meningkatkan kerja sama dengan kepolisian Negara RI, Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan, PPATK, dan institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi. Lembaga penuntut dalam perkara pidana, berdasarkan ketentuan Pasal 137 KUHAP Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang di dakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya. Adapun dalam melakukan fungsinya berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP penuntut umum mempunyai wewenang: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu. b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan Pasal 110 ayat3 dan Ayat4 dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. d. Membuat surat dakwaan e. Melimpahkan perkara ke pengadilan. f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. g. Melakukan penuntutan. Universitas Sumatera Utara h. Menutup perkara demi kepentingan umum. i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-undang. j. Melaksanakan penetapan hakim. Berkaitan dengan wewenang Jaksa Penuntut umum sesuai dengan ketentuan Pasal 137 huruf d KUHAP yaitu membuat surat dakwaan, maka dalam perkara tindak pidana korupsi dikenal 4 macam bentuk surat dakwaan, antara lain: 44 1. Dakwaan tunggal 2. Dakwaan kumulatif 3. Dakwaan subsidaritas 4. Dakwaan campurangabungan Menurut doktrin ada satu lagi bentuk surat dakwaan, yaitu dakwaan alternatif. Akan tetapi, sepanjang pengetahuan, penelitian dan pengamatan penulis untuk tindak pidana korupsi jarang ditemukan bentuk dakwaan alternatif dalam artian yang sebenarnya. Pada praktik ditemukan kekaburan makna dan pencampuran istilah antara dakwaan alternatif dengan dakwaan primer subsidair. Kalau diteliti, ternyata dalam dakwaan alternatif yang sebenarnya, ditemukan kata ”atau” antara dakwaan yang satu dengan berikutnya. 44 Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya, Cetakan Pertama, Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2007, hal. 196 Universitas Sumatera Utara Hal ini tidak ditemukan dalam dakwaan primer subsidair. Apabila ditinjau dari aspek pembuktiannya karena dakwaan alternatif sifatnya jenis sehingga JaksaHakim dapat langsung membuktikan dakwaan mana sekiranya berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan yang terbukti. Akan tetapi dalam dakwaan primer subsidair harus dibuktikan terlebih dahulu dakwaan pertama. Apabila tidak terbukti baru dibuktikan dakwaan berikutnya. Begitupun sebaliknya, apabila dakwaan pertama telah terbukti, dakwaan berikutnya tidak perlu dibuktikan lagi. Hal ini kalau diperbandingkan dengan dakwaan alternatif, sifat tersebut berbeda sehingga menurut persepsi penulis tidak pada tempatnya mengidentifikasikannya dakwaan alternatif dengan dakwaan primer subsidair.

1.1. Dakwaan Tunggal

Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal, surat dakwaan hanya berisi satu dakwaan saja. Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor penyertaan atau faktor concursus maupun faktor alternatif atau faktor subsidair. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal. Lazim terjadi dalam praktek apabila JaksaPenuntut Umum mempergunakan dakwaan tunggal, JaksaPenuntut Umum telah yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau setidaknya terdakwa tidak lepas dari tindak pidana yang didakwakan.Terdakwa didakwa dengan bentuk seperti ini, sebenarnya mengandung resiko besar karena seandainya Universitas Sumatera Utara Jaksa Penuntut Umum gagal membuktikan dakwaannya dipersidangan, terdakwa oleh Majelis Hakim jelas akan dibebaskan.

1.2. Dakwaan Kumulatif

Praktik peradilan secara terminologi bentuk dakwaan kumulatif lazim disebut sebagai ”dakwaan berangkat” atau Cumulatieve ten Laste Legging” dan sebagainya. Dengan titik tolak teoritis, sebenarnya hakikat dakwaan kumulatif diatur dalam ketentuan Pasal 141 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang ditentukan bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: 45 1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya. 2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain, dan 3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pengaturan dakwaan kumulatif ini selain terdapat dalam hukum pidana formal, juga diatur dalam hukum pidana materil sebagaimana tersurat ketentuan BAB VI KUHP tentang gabungan tindak pidana pembarengan tindak pidana. 45 Pasal 141 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Universitas Sumatera Utara Konkret bentuk dakwaan kumulatif dibuat penuntut umum apabila dalam satu surat dakwaan ada beberapa tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan tidak berhubungan antara tindak pidana yang satu dengan yang lainnya, tetapi didakwakan secara sekaligus, yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku tindak pidana korupsi adalah terdakwa yang sama. A.3. Subsidaritas Surat dakwaan berbentuk subsidaritas adalah bentuk dakwaan yang terdiri dari beberapa dakwaan secara berurutan dari dakwaan tindak pidana yang ancaman pidana terberat sampai dengan dakwaan tindak pidana yang ancaman pidana makin lebih ringan. Penuntut umum membuat surat dakwaan berbentuk subsidair karena beberapa pasal danatau ketentuan pidana saling bertitik singgungsaling berdekatan. Maksud penuntut umum adalah agar terdakwa tidak lepas dari pertanggung jawaban pidana terhadap perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan. 46 Sedangkan konsekuensi pembuktiannya maka yang diperiksan terlebih dahulu adalah dakwaan primair dan bila tidak terbukti, baru beralih kepada dakwaan subsidair dan demikian seterusnya. Akan tetapi, sebaliknya bila dakwaan primair telah terbukti dakwaan subsidairnya dan seterusnya tidak perlu dibuktikan lagi. 46 Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua Di Kejaksaan Dan Pengadilan NegeriUpaya Hukum dan Eksekusi Edisi Pertama ”, Cetakan Pertama, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1992, hal. 331 Universitas Sumatera Utara Konkretnya, dakwaan subsidairitas, teoritisnya disusun berlapis-lapis dari urutan terberat sampai teringan, bagaimana halnya apabila aspek ini dilanggar penuntut umum? Terhadap aspek tersebut M.Yahya Harahap secara tegas berpendapat bahwa: 47 ” Jawaban atas pertanyaan tersebut, bergantung kepada pendekatan yang dilakukan. Pendekatan bersifat Formalistic Legal Thinking secara sempit dan ekstrim, pelanggaran atas prinsip tersebut: • Dianggap melanggar hukum acara yang tidak bisa ditolelir, karena berakibat menyulitkan terdakwa membela kepentingan dirinya. • Karena pelanggaran itu bersifat Undue Proces berarti pemeriksaan berada dalam keadaan Unfairtrial dan sekaligus mengandung pelanggaran Hak Azasi terdakwa untuk memperoleh Fair trial Asas Pasal 4 ayat1,2 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman: ”Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringanasas ini pada saat sekarang dianut secara luas disemua Negara dengan rumusannya: Informal procedure and can be put in motion quikly. 47 Harahap, M.Yahya, dalam Buku Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahannya, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2007, hal. 200 Universitas Sumatera Utara Pelanggaran atau kekeliruan dimaksud dapat dianggap sebagai Clerical Error kesalahan pengetikan atau Procedural Errorkesalahan prosedur yang dapat diluruskan dengan jalan: • Hakim dalam persidangan mengubah susunan dakwaan sesuai dengan prinsip yang digariskan. • Hal itu dapat dilakukan dengan cara mencatat dalam berita acara serta menjelaskan dalam pertimbangannya Hakim yang bersikap sempit menghadapi pelanggaran yang sepele ini, dianggap naif dan agak arogan dan kurang profesional dan tidak memiliki daya improvisasi. Sebab seandainya pun terjadi susunan urutan yang menempatkan dakwaan yang lebih ringan ancaman pidananya sebagai primair, hakim dalam kedudukannya yang aktif memimpin jalannya persidangan dapat mengarahkan pemeriksaan mulai dari yang lebih berat ancaman pidananya. Oleh karena itu, tidak rasional, tidak realistis dan tidak objektif untuk menyatakan dakwaan kabur serta membingungkan terdakwa membela kepentingannya. A.4. Dakwaan CampuranGabungan Bentuk dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif dengan dakwaan alternatif ataupun dakwaan subsidiair.Ada dua perbuatan, jaksa ragu-ragu mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya dakwaan ini digunakan dalam perkara narkotika. Bentuk dakwaan kombinasi ini bertumbuh dalam praktek yang merupakan: a. Gabungan bentuk dakwaan kumulatif dengan alternatif, atau b. Gabungan bentuk dakwaan kumulatif dengan subsidair. Universitas Sumatera Utara Surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dengan perkara Nomor:PDS-01JKT-PST032006 tertanggal 06 Maret 2006, apabila Jaksa Penuntut Umum terdapat keragu-raguan dalam mendakwa terdakwa, maka Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa terdakwa seharusnya menggunakan surat dakwaan dalam bentuk alternatif. Jaksa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan tindak pidana korupsi harus berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat2 KUHAP menentukan bahwa: ” Penuntut umum memuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin dan kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b. Uraian secara cermat, Jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Ketentuan Pasal 143 ayat2 KUHAP sebagaimana tersebut diatas, maka menurut pandangan doktrina ilmu hukum acara pidana syarat-syarat tersebut dapatlah di bagi menjadi: 1. Syarat formil Syarat formil memuat hal-hal yang berhubungan dengan: • Surat dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penuntut umum. • Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, dan kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. 2. Syarat materil Syarat materil memuat dua unsur yang tidak boleh dilalaikan: a. Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan Universitas Sumatera Utara b. .Dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan Setiap surat dakwaan mengandung 2dua syarat, yakni syarat formal dan syarat materil, kedua syarat ini harus dipenuhi oleh surat dakwaan. Akan tetapi, nyatanya diantara kedua syarat tersebut Undang-undang sendiri membedakan. Perbedaan diantara kedua syarat ini dapat kita lihat dari bunyi ketentuan Pasal 143 ayat3 yang menegaskan: surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat2 huruf b, batal demi hukum. Meneliti bunyi penegasan ketentuan Pasal 143 ayat3 tersebut dapat kita tarik kesimpulan: 48 1. Kekurangan atas syarat formil, tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum. Hal ini berarti, kekurangan atau kesalahan mengenai isi syarat formil surat dakwaan: • Tidak dengan sendirinya batal menurut hukum, pembatalan surat dakwaan yang diakibatkan kekurang sempurnaan syarat formil, ”dapat dibatalkan”. jika tidak batal demi hukum tapi dapat dibatalkan, karena sifat kekurang sempurnaan pencantuman syarat formil dianggap sebagai yang bernilai ”Kurang sempurna” • Bahkan menurut hemat kami, kesalahan syarat formil tidak prinsipil sekali. Misalnya hanya kesalahan penyebutan umur saja, tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan surat dakwaan. Kesalahan atau • ketidak sempurnaan syarat formil dapat dibetulkan hakim dalam putusan. 48 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid Pertama ”, Cetakan Pertama, Jakarta: Penerbit: Pustaka Kartini, 1985, hal. 420 Universitas Sumatera Utara Sebab pembetulan syarat-syarat formil surat dakwaan, pada pokoknya tidak menimbulkan sesuatu akibat hukum yang dapat merugikan terdakwa. b. Kekurangan syarat materil, mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi hukum. Jelas kita lihat perbedaan diantara kedua syarat tersebut. Pada syarat formil, kekurangan dan kesilapan memenuhi syarat tersebut tidak mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi hukum, akan tetapi masih dapat dibetulkan. Sedang pada syarat materil, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, surat dakwaan batal demi hukum. Ancaman batal demi hukum bagi dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat2 huruf b, dakwaan ”batal demi hukum” berarti: - Dakwaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. - Dakwaan tersebut dianggap tidak pernah ada. Dakwaan tidak berkekuatan hukum dan dianggap tidak pernah ada, maka keadaan perkara kembali ke status semua yakni status sebagaimana semula dalam keadaan belum dilimpahkan. Dengan demikian penuntut umum jika hendak melimpahkan lagi maka surat dakwaan diperbaiki atau penuntut umum mengajukan upaya hukum banding. Rumusan mengenai surat dakwaan sebagaimana dicantumkan pada Pasal 143 ayat2 huruf b KUHAP, sesungguhnya tidak tepat karena yang dicantumkan dalam pasal tersebut adalah ” Tindak Pidana Yang Didakwakan”. Dengan demikian, yang diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap adalah mengenai tindak pidana yang didakwakan, bukan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Rumusan- Universitas Sumatera Utara rumusan dalam hukum pidana adalah ” Perbuatan” yang dilakukan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat1 KUHP yang berbunyi: ” Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang, yang terdahulu dari perbuatan itu” 49 Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat1 KUHP, maka dapat diketahui bahwa hukum pidana materil memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dengan demikian, hukum pidana materil berkenaan dengan ”Perbuatan”. Berbeda halnya dengan syarat surat dakwaan yang berdasarkan R.I.B, syarat tuduhan menurut Undang-undang terdiri dari 2dua syarat: 50 1. Syarat formil 2. Syarat materil A.1. Syarat Formil, Syarat formil terdapat unsur-unsur mengenai nama, umur, tanggal, tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal terdakwa. B.2. Syarat Materil Syarat materil suatu tuduhan ditentukan dalam Pasal 250 R.I.B sebagai berikut : harus dinyatakan : a. Perbuatan-perbuatan yang dituduhkan. b. Waktu dan tempat perbuatan itu kira-kira dilakukan. 49 Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 50 Nasution, A.Karim, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Muda Pati Adhyaksa, Kepala Direktorat Khusus Bidang Operasi Kejaksaan Agung RI, 1972,hal. 79 Universitas Sumatera Utara c. Keterangan-keterangan mengenai keadaan-keadaan terutama yang dapat memberatkan atau meringankan kesalahan tertuduh. Syarat-syarat yang tersebut dalam a dan b jika tidak dipenuhi diancam dengan pembatalan, sedang syarat-syarat dalam c tidak diancam pembatalan. Menurut Pasal 282 R.I.B, selama persidangan berjalan, hakim sekarang Jaksa dapat melakukan perubahan pada surat tuduhan dalam batas-batas tertentu. Sebenarnya dengan kemungkinan merubah tersebut ancaman pembatalan dalam syarat a dan b diatas telah berkurang artinya. Memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang diatas, sepintas lalu nampaknya tidak begitu sulit untuk menyusun suatu tuduhan, namun dengan demikian dengan mempelajari yurisprudensi, akhirnya akan ternyata bahwa sungguh-sungguh tidak mudah untuk membuat suatu surat tuduhan yang baik. Pengalaman menunjukan bahwa masih sering terjadi pembuatan surat tuduhan yang kurang sempurna, sejarah pertumbuhannya juga dapat disimpulkan bahwa penyusunannya bukan dianggap suatu pekerjaan yang mudah. Sejak lahirnya surat tuduhan dalam tahun 1885, yang ditugaskan membuatnya adalah Ketua Pengadilan Hakim. Diketahui bahwa R.I.B yang merubah IR yang ditujukan pada pembentukan Lembaga Penuntut Umum yang berdiri sendiri, masih juga belum memikirkan untuk memberi wewenang kepada Jaksa untuk membuat surat tuduhan. Oleh sebab itu, samapai kita mengalami sedemikian lama keadaan yang sangat janggal dimana hakim yang ditugaskan membuat surat tuduhan, yang sebenarnya Universitas Sumatera Utara tidak sesuai sama sekali dengan sistem accusatoir dari pemeriksaan perkara dipengadilan 4. Bentuk-Bentuk Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Bentuk kerugian Negara dalam perkara tindak pidana atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, adalah: 1. Kerugian atas hilangnya tegakan besarnya antara USD 1655,36 per Ha hingga USD 1795,32 per Ha atau Rp.16.553.600 per Ha hingga Rp.17.953.200 per Ha. 2. Kehilangan perolehan PSDH dan DR besarnya antara Rp.3.967.668 per Ha hingga Rp.4.225.176 per Ha 3. Kerugian rehabilitasi yang didekati dengan standar biaya rehabilitasi lahan sebesar Rp.4.500.000 per Ha 4. Kerugian atas tanahlahan yang dikuasai oleh pihak lain dengan perkiraan harga tanah di padang lawas adalah Rp.7.500.000 per Ha. Bentuk kerugian Negara akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa atas nama Darianus Lungguk Sitorus tersebut diatas, yang mana dalam hal ini, terdakwa sama sekali telah melalaikan kewajibannya dalam membuka lahan hutan dengan maksud untuk merubah fungsi lahan hutan, maka dalam hal ini, atas dasar kerugian Negara tersebut Jaksa Penuntut Umum dalam menetapkan terdakwa kedalam dugaan perkara tindak pidana korupsi adalah tidak sesuai dengan kenyataannya, walaupun, secara tidak langsung akibat perbuatan terdakwa yang mengalih fungsikan lahan hutan menimbulkan kerugian Negara, akan tetapi, untuk membuktikan perbuatan terdakwa harus didasarkan kepada pembuktian yang Universitas Sumatera Utara berdasarkan kepada hukum acara pidana yang berlaku yakni Pasal 184 ayat1KUHAP yang menyatakan, antara lain: Alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut: a. Perbuatan-perbuatan mana kah yang dapat dianggap terbukti. b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya. c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu. d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Hakikat dan dimensi mengenai pembuktian ini selain berorientasi kepada pengadilan juga dapat berguna dan penting dalam kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian bahwa kekhususan peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang hukum pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak. Universitas Sumatera Utara b. Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam. c. Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, antara lain ditentukan yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam Undang-undang. Ketentuan normatif Pasal 183 KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian Undang-undang secara negatif, akan tetapi asas pembuktian Undang-undang secara negatif ini berbanding terbalik jikalau dilakukan oleh terdakwa yang dikategorisasikan terhadap perkara-perkara tertentu seperti tindak pidana korupsi menganut asas pembuktian terbalik. Alat bukti yang terdapat didalam ketentuan Pasal 184 KUHAP tersebut masih tetap berlaku dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, akan tetapi, terdapat alat bukti tambahan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam menanggani perkara tindak pidana korupsi . Berdasarkan Pasal 26 A huruf a, b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan: 51 a. Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik, atau yang serupa dengan itu. 51 Pasal 26 A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Universitas Sumatera Utara b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau, tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Khususnya terhadap perkara pidana atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ini, Jaksa penuntut umum hanya memaparkan mengenai akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaannya, tetapi, disisi lain, Jaksa penuntut umum dari segi pembuktiannya tidak meletakkan bukti-bukti dokumen sebagaimana di atur dalam Pasal 26A huruf b Undang-Undang No.20 Tahun yang kuat yang menyatakan bahwa terdakwa benar melakukan perbuatan tindak pidana korupsi. Pembahasan tentang adanya kerugian Negara akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat1 Undang-Undang No.1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam pasal tersebut terdapat kalimat ” Melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Sedangkan yang di maksud dengan ”Merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur ” Merugikan Keuangan Negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara. Universitas Sumatera Utara Adapun yang dimaksud dengan Keuangan Negara, didalam penjelasan umum Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 52 a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat pusat maupun di daerah. b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Dengan tetap berpegangan pada arti kata ” Merugikan” yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur ” Merugikan Perekonomian” Negara adalah sama artinya dengan perekonomian Negara menjadi rugi atau perekonomian Negara menjadi kurang berjalan. 52 Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Cetakan Ke dua Jakarta:Penerbit Sinar Grafika, 2009,hal. 41 Universitas Sumatera Utara Penjelasan umum Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Ditinjau dari sudut pengertian dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud dengan ” Perekonomian Negara” seperti yang disebutkan di dalam penjelasan umum Undang- Undang No.31 Tahun 1999 adalah sangat kabur. Akibatnya sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan unsur ” Merugikan perekonomian Negara” di dalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Dengan demikian, untuk dapat membuktikan adanya unsur merugikan ”Keuangan Negara” tidak terlalu sulit, karena apa yang di maksud dengan ” Keuangan Negara” pengertiannya sudah jelas, tetapi sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur ” Merugikan perekonomian Negara” sangat sulit. Oleh karena itu, bentuk-bentuk kerugian Negara dalam dugaan tindak pidana korupsi yang di tuangkan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dijadikan sebagai pembuktian bahwa terdakwa telah terindikasi melakukan dugaan tindak pidana korupsi. Disamping itu, Jaksa Penuntut Umum dalam tidak menguraikan alat-alat bukti secara lengkap yang sesuai dengan Pasal 26A Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Universitas Sumatera Utara Korupsi, melainkan Jaksa Penuntut Umum hanya melakukan suatu rekayasa alat bukti terhadap dakwaan tindak pidana korupsi, serta dalam hal ini dalam Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa antara tindak tindak pidana kehutanan dengan tindak pidana korupsi sama sekali tidak memiliki hubungan yang erat serta didalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan sama sekali tidak mengatur hubungannya dengan tindak pidana korupsi Universitas Sumatera Utara

BAB III III. Akibat Hukum Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Agung No.2642

KPid2006 Bila Mana Didalam Putusan Hakim Mahkamah Agung Tersebut Terdapat Surat Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Yang Diajukan Jaksa Penuntut Umum Tidak Memenuhi Syarat Materil Dari Suatu Dakwaan B. Akibat Hukum Yang Terjadi Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Agung Yang Didalam Putusan Hakim Tersebut Terdapat Dakwaan Yang Tidak Memenuhi Syarat Formil Dan Materil Dari Suatu Dakwaan. 1. Pengertian Putusan Hakim. Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dn diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat berupa: menerima putusan, melakukan upaya hukum Verzet, Banding, atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, dan hak azasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, factual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. 88 Universitas Sumatera Utara Leden Marpaung 53 , memberikan pengertian tentang putusan hakim: ”Bahwa putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan”. Bab I Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam bab ini disebutkan bahwa putusan pengadilan sebagai berikut: ” Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”. Dengan mengacu pada batasan-batasan sebagaimana penulis formulasikan diatas maka dapatlah lebih mendetail, mendalam, dan terperinci disebutkan bahwa putusan hakim pada hakikatnya merupakan: 54 • Putusan Yang diucapkan Dalam Persidangan Perkara Pidana Yang Terbuka Untuk Umum. Konteks ini putusan diucapkan hakim karena jabatannya yang diberikan oleh Undang-undang untuk mengadili perkara pidana tersebut sebagaimana di perkenalkan ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, selanjutnya, agar putusan hakim itu menjadi sah dan mempunyai kekuatan hukum maka haruslah diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 53 Marpaung, Leden, dalam buku Mulyadi, Lilik, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahan, Cetakan Pertama, Jakarta: Penerbit Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 120 54 Mulyadi, Lilik, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahan, Cetakan Pertama, Jakarta: Penerbit Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 120 Universitas Sumatera Utara • Putusan Dijatuhkan Oleh Hakim Setelah Melalui Proses dan Prosedural Hukum Acara Pidana Pada Umumnya. Hakikat proses dan prosedural ini penting eksistensinya. Hanya terhadap keputusan hakim yang sudah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya saja mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sah. Pengertian proses disini substansialnya tendensi pada acara prosesuil hakim menangani perkara pidana yang bersangkutan mulai tahapan: sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak- anakPasal 153 ayat3 KUHAP. Sedangkan aspek prosedural tendensi pada elemen administratif. • Berisikan Amar Pemidanaan atau bebas atau pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum. Substansial putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya mempunyai 3 sifat, pertama:pemidanaan apa bila hakimpengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan Pasal 193 ayat1 KUHAP. Kedua: putusan bebas jika hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan Pasal 191 ayat1 KUHAP. Ketiga:putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana Pasal 191 ayat2 KUHAP. • Putusan Hakim Dibuat Dalam Bentuk Tertulis. Universitas Sumatera Utara Praktik peradilan maka putusan hakim haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Persyaratan bentuk tertulis ini implisit tercermin dari ketentuan Pasal 200 KUHAP bahwa: ” Surat keputusan ditanda tangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan”. Jadi konkretnya, tentulah jelas dan terang apabila dilakukan penanda tanganan harus dibuat dalam bentuk tertulis. • Putusan Hakim Tersebut Dibuat Dengan Tujuan Untuk Menyelesaikan Perkara Pidana. Apa bila hakim telah mengucapkan putusan, secara formal perkara pidana tersebut pada tingkat pengadilan negeri telah selesai. Oleh karena itu, status dan langkah terdakwa pun menjadi jelas, apakah akan menerima putusan, menolak putusan untuk melakukan upaya hukum bandingkasasi, atau bahkan akan melakukan grasi.

2. Bentuk Putusan Hakim

Bentuk yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang pengadilan. Bertitik tolak dari kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, bisa berbentuk: 1. Putusan Bebas. Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Inilah pengertian terdakwa di putus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti di bebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa tidak dipidana. Universitas Sumatera Utara Keadaan yang bagaimana seorang terdakwa diputus bebas, untuk mengetahui dasar putusan yang terbentuk putusan bebas. Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat 1 KUHAP, ayat ini menjelaskan: apabila pengadilan berpendapat: 55 - Dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, - Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan: 56 a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh dipersidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim. b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 55 Penjelasan Pasal 191 ayat1 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana 56 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008, hal. 347 Universitas Sumatera Utara Ketentuan Pasal 183 KUHAP yang didalam Undang-undang tersebut sekaligus terkandung dua asas: 57 1. Asas pembuktian menurut Undang-undang secara negatif, yang mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula dibaringi dengan keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa 2. Pasal 183 KUHAP juga mengandung asas batas minimum pembuktian, yakni untuk cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah Bertitik tolak dari kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191 ayat 1 KUHAP, putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim: • Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan dipersidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. • Secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. 57 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid II, Jakarta: Penerbit Pustaka Kartini, 1985, hal. 865 Universitas Sumatera Utara • Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian yang demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP tersebut, yang menganut pembuktian menurut Undang-undang secara negatif. Pasal 8 ayat1 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman berbunyi: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Rumusan tersebut merupakan rumusan asas Presumption of Innocence Praduga Tak Bersalah, namun meskipun asas praduga tak bersalah dijunjung, tetapi pada kenyataannya. Apabila sudah dimulai penyidikan apa lagi telah ditahap penyerahan perkara kekejaksaan penuntut umum serta telah diperiksa dipersidangan oleh hakim, masyarakat cenderung berpendapat bahwa orang yang disangkadidakwa tersebut adalah orang yang bersalah. Padahal untuk menyatakan orang bersalah telah diatur Pasal 6 ayat2 Undang- Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Penjelasan resmi terhadap Pasal 6 ayat2 Undang- Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman tidak dimuat arti kata “Mendapat Keyakinan”. Universitas Sumatera Utara Kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan-kebijaksanaan memahami akan setiap hal yang terungkap dipersidangan merupakan syarat yang harus dimiliki oleh setiap hakim. Kata meyakinkan pada rumusan Pasal 191 ayat1 KUHAP dalam masyarakat masih sering keliru menafsirkannya sehingga dengan alat bukti yang diajukan menurut orang yang mengajukannya wajib meyakinkan hakim tanpa memperkirakan alat-alat bukti lain yang dapat menimbulkan keragu-raguan. Dalam hal ini telah ada dalil yakni: “ Lebih baik membebaskan seribu yang bersalah dari pada menghukum seseorang yang benar”. Berdasarkan pengamatan terhadap putusan-putusan bebas, ternyata putusan bebas terjadi antara lain karena: 58 a. Kekeliruan mengenai pasal yang didakwakan b. Kekeliruan tentang penerapan terhadap Deelneming. c. Kekeliruan mengenai persepsi ”Kerugian Keuangan Negara”. d. Kekeliruan mengenai unsur-unsur delik. e. Kekeliruan terhadap ” Omission Delict”

2. Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum.

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)

6 90 359

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DI LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK

0 3 16

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG TIDAK SESUAI DENGAN SURAT DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM (Putusan Mahkamah Agung RI No.1958 K/Pid.Sus/2009)

1 21 214

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG TIDAK SESUAI DENGAN SURAT DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM (Putusan Mahkamah Agung RI No.1958 K/Pid.Sus/2009)

1 11 16

Pengabaian Pembuktian Dakwaan Primair Pada Dakwaan Subsidaritas Oleh Judex Factie Sebagai Argumentasi Kasasi Penuntut Umum Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2244K/Pid.Sus/2013).

0 0 14