Hal yang serupa dilaporkan Santosh et al. 2011 pada penelitian terhadap 30 penderita yang menjalani operasi mastoidektomi di RS.
Bapuji, India. Preoperatif, setiap penderita diperiksa radiografi konvensional proyeksi Law dan tomografi. Hasilnya, 86,6 penderita
secara akurat didiagnosis kolesteatoma dan sesuai dengan temuan operasi.
Menurut survei yang dilakukan pada tujuh propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan prevalensi OMSK sebesar 3,8 dari
penduduk Indonesia Kelompok Studi Otologi PERHATI–KL 2002. Restuti 2010 melaporkan 217 kasus OMSK dengan kolesteatoma di RS. Cipto
Mangunkusumo Jakarta periode Januari 2004-Desember 2009, terdiri dari 157 72,35 penderita dewasa dan 60 27,65 penderita anak-anak.
Gustomo 2010 di RS dr. Moewardi Surakarta melaporkan 21,13 kasus OMSK dengan kolesteatoma dari 653 kasus OMSK pada periode Januari
2007-Desember 2009, paling banyak terjadi pada usia 31-40 tahun. Siregar 2013 melaporkan 119 penderita OMSK tipe bahaya di
RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010, paling banyak terjadi pada usia 11-20 tahun, 53,78 laki-laki dan 46,22 perempuan.
Sebanyak 68,91 akibat riwayat otitis media berulang dan 61,34 dengan keluhan utama telinga berair. Gejala dan tanda klinis yang sering
yaitu telinga berair 76,47 dan perforasi membran timpani 74,79, baik perforasi atik 0,84, marginal 1,68, subtotal 23,53, dan total
48,74. Gangguan pendengaran terbanyak adalah tuli konduktif 58,82. Pada foto proyeksi Schuller, 62,18 dijumpai gambaran
mastoiditis kronis dengan kolesteatoma. Dari hasil kultur dijumpai 21,01 Pseudomonas aeruginosa. 86,55 terjadi komplikasi mastoiditis.
2.5. Etiologi
Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba eustachius misalnya rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring,
imunodefisiensi primer atau didapat, gangguan fungsi silia, anomali
Universitas Sumatera Utara
midfasial kongenital cleft palate atau Down syndrome, dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi
otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media kronis dengan perawatan yang tidak baik World Health Organization
2004; Ramakrishnan, Kotecha Bowdler 2007; Bhat et al. 2009; Chole Nason 2009.
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang telinga luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui
nasofaring, dimana Streptococcus pneumoniae merupakan yang terbanyak dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media
kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebahagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa,
Streptococcus aureus dan basil gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus species, dan Klebsiella spesies. Kuman anaerobik seperti
Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. World Health Organization 2004; Chole Nason 2009.
Selanjutnya jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya Aspergillus sp. dan Candida sp., dan ini merupakan suatu
pertimbangan dimana jamur mungkin dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika Chole Nason 2009.
2.6. Patogenesis
OMSK dengan kolesteatoma
bersifat progresif, dimana kolesteatoma yang semakin luas bisa mendestruksi tulang yang dilaluinya.
Infeksi sekunder dapat menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang dilalui kolesteatoma dan mengancam bisa terjadinya komplikasi,
berupa komplikasi intratemporal dan intrakranial. Glasscock dan Shambaugh membagi tipe invasi tulang menjadi tiga golongan yaitu
Gopen 2010:
Universitas Sumatera Utara
1. Tipe invasi tulang yang dimulai dengan invaginasi pars flaksida, sehingga terbentuk kantong kecil di atik, kemudian terisi
kolesteatoma primary acquired cholesteatoma. 2. Tipe invasi tulang dengan perforasi marginal atau total membran
timpani karena invasi epidermis dan berisi kolesteatoma secondary acquired cholesteatoma.
3. Tipe invasi tulang dengan osteomielitis kronis atau skuestrum chronic osteitis.
Patogenesis congenital cholesteatoma masih belum diketahui secara pasti dan masih menjadi perdebatan. Ada beberapa teori
patogenesis congenital cholesteatoma Meyer, Strunk Lambert 2006; Chole Nason 2009:
1. Teori migrasi Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam
mengatur proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan janin. Hilangnya jaringan ikat dari anulus
timpanikus menyebabkan lapisan ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan membentuk kolesteatoma.
2. Teori kontaminasi cairan amnion Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan
sel-sel epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior mesotimpanum melalui tuba eustachius.
3. Teori inklusi Pada kondisi inflamasi yang berulang, terdapat peningkatan risiko
terjadinya retraksi, perlekatan dan pelepasan membran timpani dari tulang-tulang pendengaran. Pada proses pelepasan membran
timpani, beberapa sel dari membran timpani menjadi terperangkap pada kavum timpani dan membentuk kolesteatoma.
4. Teori pembentukan epidermoid Penebalan lapisan ektodermal epitel berkembang di dekat ganglion
genikulatum, ke arah medial dari leher maleus. Massa epitel ini
Universitas Sumatera Utara
segera mengalami involusi untuk menjadi lapisan telinga tengah yang matur. Jika gagal mengalami involusi, bentuk ini menjadi
sumber dari kolesteatoma kongenital. Beberapa teori patogenesis pada acquired cholesteatoma antara
lain Meyer, Strunk Lambert 2006; Chole Nason 2009; Prinsley 2009: 1. Primary acquired cholesteatoma
a. Teori invaginasi Invaginasi membran timpani dari atik atau pars tensa regio
posterosuperior membentuk retraction pocket. Kemudian pada tempat ini terbentuk matriks dari kolesteatoma berupa sel-sel epitel
yang tertumpuk pada tempat tersebut. b. Teori hiperplasia sel basal
Pada teori ini sel-sel basal pada lapisan germinal pada kulit berproliferasi akibat dari infeksi sehingga membentuk epitel
skuamosa berkeratinisasi. c. Teori otitis media efusi
Pada anak dengan retraksi di regio atik, tuba eustachius lebih sering berkonstriksi daripada dilatasi ketika menelan. Tekanan
negatif di kavum timpani yang disebabkan oleh disfungsi tuba eustachius dapat menyebabkan retraksi dari pars flaksida dan
menyebabkan penumpukan debris deskuamasi. 2. Secondary acquired cholesteatoma
a. Teori implantasi Implantasi iatrogenik dari kulit ke telinga tengah atau membran
timpani akibat operasi, benda asing atau trauma ledakan. b. Teori metaplasia
Infeksi kronis ataupun jaringan inflamasi diketahui dapat mengalami perubahan metaplasia. Perubahan dari epitel kolumnar menjadi
keratinized stratified squamous epithelium akibat dari otitis media yang kronis atau rekuren.
c. Teori invasi epitel
Universitas Sumatera Utara
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani ke telinga tengah melalui
perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain. Jika mukosa telinga
tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori
bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk. menyatakan bahwa sitokeratin CK 10, merupakan
intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa, dimana ditemukan matriks kolesteatoma pada epidermis liang
telinga tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab pertumbuhan epidermal dari pada
perforasi sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan struktur dinding tulang liang
telinga. Pada kasus otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari
tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat tekanan
atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas
pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor dikontrol oleh dua esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear
Factor κB Ligand RANKL dan Macrophage Colony Stimulating Factor M-CSF. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi
tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini Chole Nason 2009.
2.7. Histologi