contoh HCl
blanko sampel
mg x
x xN
mlHCl mlHCl
100 007
. 14
− Wa = berat abu gram
Ws = berat sampel gram
3. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl AOAC,1984
Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 + 0,1 g K
2
SO
4
, 40 + 10 mg HgO, dan 3,8 + 0,1 ml H
2
SO
4
. Tambahkan batu didih pada labu lalu didihkan sampel selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu
beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml
di isi dengan 5 ml larutan H
3
BO
4
dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung
kondensor terendam baik dalam larutan H
3
BO
4
. Larutan NaOH- Na
2
S
2
O
3
sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya + 15 ml dalam
erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau
menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume ml blanko.
Perhitungan : Jumlah N =
Kadar Protein = jumlah N x faktor konversi 6.25
4. Kadar Lemak AOAC, 1984
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu
105 C - 110
C kemudian dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Ditimbang sebanyak 5 gram sampel dalam kertas saring dan kemudian
ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat
kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet
100 ×
g lKering
BeratSampe g
BeratLemak secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun
kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105
C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator,
kemudian labu beserta lemak ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.
Perhitungan :
Kadar lemak =
5. Kadar Karbohidrat By Difference
Perhitungan :
Kadar Karbohidrat = 100 - P + KA + A + L
Di mana : P = kadar protein A = abu KA = kadar air L = kadar lemak
6. Penetapan Serat Makanan Secara Enzimatis AOAC,1984
Sampel basah dihomogenisasi dan diliofilisasi, semua sampel digiling kemudian disaring dengan saringan 0.3 mm. Lemak dalam
sampel diekstarsi dengan menggunakan petroleum eter pada suhu ruang selama 15 menit 40 ml petroleum eter tiap gram sampel. Timbang 1 g
sampel dan masukkan kedalam erlenmeyer, tambahkan 25 ml buffer natrium fosfat pH 6 kemudian diaduk. Tambahkan 0.1 ml enzim
termamyl tutup dengan aluminium foil dan inkubasi pada suhu 100
O
C selama 15 menit. Setelah dingin tambahkan 20 ml air destilata dan atur
pH menjadi 1.5 dengan HCl encer. Tambahkan 100 mg pepsin, tutup erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40
O
C selama 60 menit. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Tambahkan 100 mg pankreatin, tutup
erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40
O
C selama 60 menit. Atur pH menjadi 4.5 menggunakan HCl encer. Saring dengan kertas saring whatman 40 yang telah diketahui beratnya
dan mengandung 0.5 celite kering. Cuci dengan 2 x 10 ml air destilata.
100 1
1 1
x W
B I
D −
−
100 2
2 2
x W
B I
D −
− Residu penyaringan digunakan untuk menentukan jumlah serat
yang tidak larut. Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 dan 2 x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 105
o
C sampai berat konstan. Timbang setelah didinginkan dalam desikator D1. Abukan pada suhu 550
o
C selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator I1.
Filtrat digunakan untuk menentukan serat larut. Atur volume filtrat menjadi 100 ml. Tambahkan 400 ml etanol 95 dengan suhu
60
o
C dan biarkan mengendap selama 1 jam. Saring menggunakan crucible porosity 2 yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5
g celite. Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78, 2 x 10 ml etanol 95 dan 2 x 10 ml aseton. keringkan pada suhu 105
o
C. Timbang setelah didinginkan dalam desikator D2. Abukan pada suhu 550
o
C selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator I2.
Blanko untuk serat larut dan tidak larut diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel.
Perhitungan : IDF =
SDF = W = berat sampel g
D = berat setelah pengeringan g
I = berat setelah pengabuan g B = berat blanko bebas abu g
d. Analisis Sifat Fisik Tepung Sagu 1. Penentuan suhu gelatinisasi dan viskositas Amilograf
Sampel sebanyak 40 g dimasukkan ke dalam botol gelas yang volumenya 500 ml air ditambah dengan 450 ml air aquades, diaduk
selama 5 menit dengan pengaduk, kemudian dipindahkan ke mangkuk amilograf yang sebelumnya telah dipasang pada alat. Botol gelas dan
pengaduk dicuci dengan 50 ml aquades, lalu air bilasan dituangkan ke mangkuk amilograf.
Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75 rpm, sambil suhunya dinaikkan dari 30
o
C sampai 90
o
C dengan kenaikan 1.5
o
C, lalu diturunkan sampai suhu 50
o
C dengan laju penurunan yang sama. Perubahan viskositas pasta dicatat secara
otomatis pada kertas grafik dalam satuan Brabender Unit BU. Grafik amilograf yang diperoleh dapat diinterpretasikan 4
parametar, yaitu: 1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik
2. Suhu puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada puncak maksimum viskositas yang dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan
berikut : Suhu gelatinisasi = suhu awal + waktu dalam menit x 1.5
3. Viskositas saat awal gelatinisasi 4. Viskositas maksimumm pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam
Brabender Unit BU.
2. Derajat Putih Whiteness-meter
Sejumlah sampel ditempatkan pada wadah khusus alat Whiteness-meter, lalu dipasang penutup kaca dan diletakkan dibawah
lensa. Kemudian diukur nilai derajat putihnya yang berkisar antara 0- 100 persen. Kalibrasi alat dilakukan terlebih dahulu dengan plat standar
warna putih 81,6 . Hasil pembacaan dinyatakan dalam persen derajat putih terhadap plate standar Barium Sulfat derajat putih 100.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. STUDI PUSTAKA
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyediakan data yang cukup memadai bagi penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan
inventarisasi bahan pangan yang dapat dijadikan sumber karbohidrat seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lainnya. Diharapkan hasil yang diperoleh
dari penelitian ini dapat menggambarkan potensi dan peluang dari beberapa bahan pangan di Indonesia untuk dikembangkan dalam menunjang program
diversifikasi pangan. Inventarisasi dilakukan dengan studi pustaka dari berbagai sumber
seperti buku, skripsi, artikel, jurnal, dan lain-lain. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan diperoleh beberapa komoditi yang cukup banyak dibudidayakan di
Indonesia diantaranya ubi jalar, ubi kayu, sagu, jenis umbi-umbian, kacang- kacangan, bahkan buah-buahan Lampiran 1. Dari beberapa komoditi yang
terinventarisasi ada beberapa komoditi yang cukup potensial untuk dikembangkan diantaranya adalah sagu, ubi jalar, sukun, singkong.
Studi mengenai bahan pangan yang biasa ditepungkan ini meliputi beberapa hal yaitu rekayasa proses proses penepungan, aplikasi, karakter
fisik dan kimia. Selain itu juga diperhatikan mengenai khasiat bahan pangan tersebut yang menjadi kepercayaan masyarakat di daerah tertentu. Dilakukan
juga studi pustaka mengenai penelitian bahan pangan tersebut sejauh mana sudah dilakukan hingga saat ini.
Dari beberapa bahan pangan yang potensial untuk dikembangkan, dipilih salah satu bahan pangan yang potensial yaitu sagu. Sagu merupakan
bahan pangan yang akan digunakan dalam penelitian lanjutan. Ada beberapa alasan pemilihan sagu sebagai bahan pangan untuk diversifikasi, diantaranya
adalah sagu merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia timur; potensi produksi sagu di Indonesia sangat besar hingga
mencapai 27 juta ton pertahun Djoefrie, 1999; tetapi pemanfaatan sagu hingga saat ini belum optimal.