Analisis perbandingan pendugaan erosi menggunakan metode USLE dan unit SPAS pada model DAS Mikro studi kasus pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum hulu

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN PENDUGAAN EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN UNIT SPAS PADA MODEL DAS MIKRO

(Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum Hulu)

Oleh : Lia Hermiawati

E14201055

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

RINGKASAN

Erosi merupakan salah satu penyebab kerusakan tanah terbesar di Indonesia. Erosi dapat mengakibatkan longsor, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi dan sebagainya. Melihat besarnya pengaruh yang ditimbulkan merupakan hal yang penting untuk menduga besarnya erosi yang terjadi. USLE (Universal Soil Loss Estimation) merupakan metode pendugaan erosi yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) pada lahan pertanian di Amerika Utara. Tetapi, dalam perkembangannya USLE banyak digunakan untuk menduga erosi pada lahan kehutanan, pemukiman, jalan, daerah pertambangan dan sebagainya. Pengembangan model ini yang dikembangkan di luar daerah asalnya dalam kondisi yang berbeda dapat menghasilkan nilai prakiraan yang berbeda. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keakuratan metode USLE maka perlu dilakukan perbandingan dengan melakukan pengukuran erosi secara nyata di lapangan pada unit Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang terletak pada outlet suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain menduga erosi, dengan metode ini dapat diketahui karakteristik DAS melalui analisis hidrologi DAS tersebut. DAS Citarum dimana DTA Cilebak merupakan salah satu bagiannya, merupakan salah satu dari 60 DAS prioritas di Indonesia berdasarkan Keputusan Mentri Kehutanan No.284/KPTS – II/1999 . Oleh karena itu pendugaan erosi pada daerah ini dapat menjadi salah satu masukan untuk meningkatkan kelestarian DAS tersebut melalui upaya konservasi yang tepat dan optimal.

Kondisi topografi didominasi oleh topografi bergelombang dengan luas 119,49 Ha (29,85%) sedangkan untuk penggunaan lahan didominasi oleh lahan ladang/tegalan seluas 151,460 Ha (39,07%). Curah hujan rata – rata tahun 2003– 2004 adalah sebesar 1403,7 mm dengan dengan rata – rata curah hujan bulanan sebesar 117 mm. Tanah didominasi oleh golongan Mollisol, Alfisol dan Inceptisol. Berdasarkan pendugaan parameter permukaan, pada bentuk curvature dan planform curvature didominasi nilai positif (44,43% dan 45,82%) sedangkan pada profil curvature didominasi nilai negatif (45,01%), hal ini mengindikasikan pada DTA Cilebak erosi yang dominan terjadi adalah erosi lembar dengan aliran yang membawa erosi tanah dapat mengalami deposisi dan mengendap pada permukaan tanah. Nilai positif pada planform curvature menunjukkan DTA Cilebak berada pada topografi berbukit.

Kehilangan tanah karena erosi menggunakan metode USLE menghasilkan laju erosi rata – rata sebesar 28,74 ton/ha/th sedangkan dengan menggunakan Unit SPAS rata – rata erosi yang dihasilkan adalah sebesar 5,78 ton/ha/tahun untuk tahun 2003-2004. Persamaan yang diperoleh dengan menggunakan kurva rating curve untuk menduga debit adalah Q = 177,828 x TMA2.64 dengan nilai koefisien

Lia Hermiawati. E14201055. Analisis Perbandingan Pendugaan Erosi Menggunakan Metode USLE dan Unit SPAS Pada Model DAS Mikro (Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub – DAS Citarum Hulu). Di bawah bimbingan Ir. Nana Mulyana Arifjaya, MS.


(3)

determinasi sebesar 98% (R2) sedangkan persamaan yang diperoleh untuk menduga debit sedimen adalah Qs = 0.078 x Q1.61 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 93,3% (R2). Rasio debit terhadap hujan pada tahun 2003 adalah sebesar 21,62% sedangkan pada tahun 2004 sebesar 24,36. Hal ini menunjukkan curah hujan sebesar 21,62% dan 24,36% menjadi debit sedangkan sisanya teruapkan menjadi evapotranspirasi dan mesuk ke dalam tanah. Berdasarkan perhitungan hidrograf diketahui tebal run off sebesar 3,704 mm, koefisien run off sebesar 9,7% dan volume aliran langsung sebesar 14.825,79 m3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan menggunakan metode USLE pada skala DTA menghasilkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan melakukan pengukuran erosi secara langsung pada metode SPAS. Penyebab utama tingginya nilai pendugaan USLE dikarenakan pengukuran dilaksanakan pada skala yang berbeda, keenam komponen penyusunnya dianggap setara sehingga interaksi diantara komponen tersebut kurang diperhatikan dan tidak memperhatikan kondisi hidrologi ketika erosi itu terjadi.


(4)

ANALISIS PERBANDINGAN PENDUGAAN EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN UNIT SPAS PADA MODEL DAS MIKRO

(Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum Hulu)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Lia Hermiawati

E14201055

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul Penelitian : ANALISIS PERBANDINGAN PENDUGAAN EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN UNIT SPAS PADA MODEL DAS MIKRO

(STUDI KASUS PADA DTA CILEBAK, SUB DAS CITARUM HULU)

Nama Mahasiswa : Lia Hermiawati NRP : E14201055

Menyetujui : Dosen Pembimbing

( Ir. Nana Mulyana Arifjaya, MS ) NIP. 132008551

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan

( Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131430799


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Maret 1983 dari ayah Drs. Mohamad Sjahuri, MSi dan ibu Heti Maryati. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara .

Pendidikan Dasar ditempuh di SD Negeri Perwira II Bogor pada tahun 1989 sampai tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya Penulis menjalani pendidikan di SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2001.

Pada tahun 2001 Penulis di terima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Masuk Seleksi IPB) dan memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama masa perkuliahan di Fakultas Kehutanan IPB, Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang. Pada tahun 2003 Penulis mengikuti Praktek Pengelolaan dan Pengenalan Hutan (P3H) di Cilacap – Baturraden dan KPH Ngawi. Pada tahun 2004, Penulis mengikuti kegiatan Praktek kerja lapang di PT. Putraduta Indah Wood, Jambi. Penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya DKM Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan IPB dan ASEAN Forestry Students Association – Local Committee IPB. Penulis juga aktif menjadi asisten beberapa mata ajaran, diantaranya yaitu Klimatologi, Perancangan dan Pemantauan DAS, Ilmu Tanah Hutan, Konservasi Tanah dan Air dan Pembiakan Vegetatif Tanaman Hutan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, Penulis melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Perbandingan Pendugaan Erosi Menggunakan Metode USLE dan Unit SPAS Pada Model DAS Mikro (Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub – DAS Citarum Hulu)” di bawah bimbingan Ir. Nana Mulyana Arifjaya, MS.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Analisis Perbandingan Pendugaan Erosi Menggunakan Metode USLE dan Unit SPAS Pada Model DAS Mikro (Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub – DAS Citarum Hulu)”, untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengambil judul tersebut dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa pada banyak kasus, Daerah Aliran Sungai bagian hulu mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah Sehingga jika hal ini dibiarkan hal tersebut dapat menimbulkan bencana berkelanjutan seperti banjir, sedimentasi dan longsor. Oleh karena itu perlu dilakukan pendugaan erosi dengan cara yang tepat dan optimal.

Penulis menyadari bahwa uraian maupun pembahasannya masih sederhana serta banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk dapat memberikan saran dan koreksi demi penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Maret 2006


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur atas rahmat yang diberikan kepada Allah SWT yang telah memeberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam penyususnan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Mama dan Papa, untuk seluruh kasih sayang, doa, kesabaran dan pengertian yang tidak pernah habis. Love you so much...

2. Ir Nana Mulyana Arifjaya MS selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing penulis selama pembuatan skripsi ini.

3. Penguji ujian komprehensif saya, Ir. Jajang Suryana MS wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Agus Priyono MS wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

4. Pak Aryo dan Staff Balai Pengelolaan DAS Ciliwung - Citarum, terima kasih atas semua bantuan yang diberikan.

5. My Sister and brother, thanks for all the support!

6. Temen – temen angkatan 38, terutama BDH 38, it was a bless of being a part from this big family.

7. Temen – temen di Lab. Pengaruh Hutan, especially Nani, Silvana and Arga, everybody have their own way. Bu Atikah, terima kasih banyak!

8. Saudaraku sepanjang ”Waktu”, ada saat – saat sulit dan senang yang telah kita lewati. InsyaAllah kita termasuk orang – orang yang sabar. Keep the spirit high!

9. Keluarga besar DKM Ibaadurrahman, untuk menjadi teman dan saudara dalam perjuangan yang tidak akan pernah berhenti.

10.Temen – temen di AFSA LC - IPB, keep working hard for our better forest. 11.Keluarga besar Pak Dana, terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah

diberikan.

12. Mas Iman, Pak Uus dan Erica untuk tambahan ilmu yang diberikan.

13.Teman – teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua bantuannya.


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan... 2

C. Manfaat Penelitian... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

A. Tinjauan Umum DAS dan DAS Citarum... 3

B. Erosi ... 5

C. Pendugaan Laju Erosi... 6

D. Sedimen... 8

E. Hidrograf... 10

F. Bentuk Aliran Air... 11

F. Sistem Informasi Geografis dan Model Spasial Hidrologi... 12

III. METODOLOGI PENELITIAN... 14

A. Lokasi dan Waktu Penelitian... 14

B. Bahan dan Alat... 14

C. Metode Penelitian... 14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

A. Letak dan Luas... 32

B. Topografi... 33

C. Curah Hujan... 34

D. Tanah dan Geologi... 34

E. Penggunaan Lahan... 35


(10)

G. Erosi... 45

H. Hidrologi... 54

I. Perbandingan pendugaan erosi metode USLE dan Unit SPAS... 63

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 66

A. Kesimpulan... 66

B. Saran... 67

DAFTAR PUSTAKA... 68

LAMPIRAN... 70


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah di Indonesia... 9

Tabel 2. Nilai bahan organik ... 18

Tabel 3. Nilai mutu dan struktur tanah ... 18

Tabel 4. Nilai perembihan tanah ... ... 18

Tabel 5. Klasifikasi Nilai K . ... 19

Tabel 6. Klasifikasi Laju Erosi... 22

Tabel 7. Kelas tingkat bahaya erosi . ... 23

Tabel 8. Persentase kemiringan lereng ... 33

Tabel 9. Jenis Penggunaan Lahan .... ... 36

Tabel 10. Arah aliran DTA Cileubak . ... 40

Tabel 11. Jumlah sel pada Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature ... 42

Tabel 12. Nilai erodibilitas tanah... 46

Tabel 13. Faktor pengelolaan tanaman ... ... 48

Tabel 14. Faktor konservasi tanah ... ... 49

Tabel 15. Presentase nilai laju erosi ... ... 50

Tabel 16. Presentase nilai tingkat bahaya erosi ... 52

Tabel 17. Rata – rata debit bulanan tahun 2003 dan 2004 ... 55

Tabel 18. Hubungan curah hujan maksimum terhadap debit tahun 2004 ... 59


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hidrograf ... 10

Gambar 2. Perbedaan tampilan data raster, vektor dan keadaan sebenarnya ... 13

Gambar 3. Nomograf K... ………. 20

Gambar 4. Proses pembuatan peta tingkat bahaya erosi ... 24

Gambar 5. Sel target pada DTM... 25

Gambar 6. Arah – arah aliran dari suatu sel khusus... 25

Gambar 7. Diagram alir penentuan parameter – parameter permukaan ... …. 27

Gambar 8. Hubungan Tinggi Muka Air dan Debit... 28

Gambar 9. Hubungan Debit dan Sedimen... 29

Gambar 10. Skema Metode Penelitian... 31

Gambar 11. Peta Lokasi DTA Cileubak ... ... 32

Gambar 12. Grafik rata – rata hujan bulanan ... 34

Gambar 13. Penggunaan Lahan hutan kerapatan rendah... 37

Gambar 14. Peta Arah Aliran DTA Cileubak ... 39

Gambar 15. Peta Akumulasi Aliran DTA Cileubak.. ... 41

Gambar 16. Peta Jaringan Sungai DTA Cileubak ... ... 42

Gambar 17. Peta Curvature DTA Cileubak .. ………. 43

Gambar 18. Peta Profil Curvature DTA Cileubak ... ………. 44

Gambar 19. Peta Planform Curvature ...... 45

Gambar 20. Penggunaan guludan ... ... 48

Gambar 21. Peta tingkat bahaya erosi DTA Cileubak ... 53

Gambar 22. Grafik hubungan tinggi muka air dengan debit . ... 54

Gambar 23. Rasio Qmaks/Qmin bulanan Tahun 2003 – 2004 ... 55

Gambar 24. Hubungan Debit dan Debit Sedimen... 57


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Nilai Faktor C (Pengelolaan Tanaman)... 71

Lampiran 2. Besaran Faktor P Untuk AnekaTeknik Konservasi Tanah... 72

Lampiran 3. Peta kemiringan lereng... 73

Lampiran 4. Peta ketinggian DTA Cileubak... 74

Lampiran 5. Data curah hujan harian tahun 2003... 75

Lampiran 6. Data curah hujan harian tahun 2004... 76

Lampiran 7. Peta jenis tanah... 77

Lampiran 8. Peta Penggunaan Lahan... 78

Lampiran 9. Responden... 79

Lampiran 10. Tabel pengukuran debit dan sedimen... 82

Lampiran 11. Nilai regresi hubungan tinggi muka air dan debit... 83

Lampiran 12. Pengukuran tinggi muka air rata – rata harian tahun 2003... 84

Lampiran 13. Pengukuran tinggi muka air rata – rata harian tahun 2004 ... 85

Lampiran 14. Debit harian rata – rata tahun 2003... 86

Lampiran 15. Debit harian rata – rata tahun 2004 ... 87

Lampiran 16. Nilai Regresi Hubungan Debit Sedimen dan Debit... 88

Lampiran 17. Debit sedimen rata – rata harian tahun 2003... 89

Lampiran 18. Debit sedimen rata – rata harian tahun 2003... 91

Lampiran 19. Perhitungan Hidrograf... 93

Lampiran 20. Perhitungan erosi metode USLE... 100


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Erosi merupakan salah satu penyebab terbesar kerusakan tanah di Indonesia. Tanah tererosi dapat mengalami penurunan kesuburan tanah, longsor, sedimentasi maupun dampak negatif lainnya. Melihat besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh erosi maka sangatlah penting untuk dapat menduga besar erosi yang terjadi. Informasi mengenai daerah rawan erosi dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan dalam penentuan tata ruang/wilayah sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat dapat diiringi dengan kajian kesesuaian penggunaan lahan.

USLE (Universal Soil Loss Estimation) merupakan metode pendugaan erosi yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) pada lahan pertanian di Amerika Utara. Dalam perkembangannya model ini diaplikasikan untuk menduga erosi pada lahan kehutanan, daerah aliran sungai, pemukiman, jalan, daerah pertambangan dan sebagainya. Pengembangan model ini yang diaplikasikan di luar daerah asalnya dengan kondisi yang berbeda dapat menghasilkan nilai prakiraan yang berbeda. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keakuratan metode USLE pada skala yang lebih besar, dalam hal ini adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) maka perlu dilakukan perbandingan dengan melakukan pengukuran erosi secara nyata di lapangan. Pengukuran erosi dilakukan pada unit Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang terletak pada outlet suatu DAS. Selain menduga erosi, dengan metode ini dapat diketahui karakteristik DAS melalui analisis hidrologi DAS tersebut.

Daerah Aliran Sungai bagian hulu merupakan kawasan yang harus dipertahankan sebagai daerah resapan. Hal ini dikarenakan DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Peran Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum sebagai tempat keberadaan tiga waduk besar (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) yang menghasilkan daya listrik, mengairi jaringan irigasi pertanian, penghasil sumber air minum, sumber air bagi bahan baku industri memiliki


(15)

fungsi strategis sebagai penyangga kehidupan masyarakat dan keseimbangan ekosistem daerah tersebut.

Daerah Tangkapan Air (DTA) merupakan bentuk mikro DAS yang dapat mewakili proses yang terjadi pada DAS secara keseluruhan. Oleh karena itu pengukuran pada mikro DAS diasumsikan dapat mewakili keadaan DAS yang sebenarnya. Dengan mengetahui karakteristik biofisik DTA berikut tingkat bahaya erosi dan sedimentasinya maka dapat dilakukan tindakan pengelolaan yang diperlukan berupa pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan.

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang merupakan salah satu teknologi yang banyak digunakan pada saat ini dalam melakukan analisis terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Pemanfaatan SIG cocok digunakan untuk keperluan prediksi maupun penggunaan data untuk melakukan perencanaan maupun pengelolaan DAS. Dengan pemanfaatan SIG diharapkan akan mempermudah pengelola dalam melakukan pengelolaan DAS yang lestari.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menghitung dan membandingkan hasil pendugaan erosi dengan menggunakan metode USLE dan Unit SPAS

2. Melakukan analisis data SPAS untuk mengetahui karakteristik DTA Cilebak

3. Melakukan analisis hidrologi DTA Cilebak

4. Melakukan aplikasi tekhnologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk pendugaan erosi

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kondisi hidrologis, karakteristik biofisik dan tingkat bahaya erosi pada Daerah Tangkapan Air Cilebak, Sub DAS Citarum Hulu kepada pemerintah maupun instansi terkait untuk pengelolaan ke arah yang lebih baik.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum DAS dan DAS Citarum

Daerah Aliran Sungai merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi oleh suatu batas air topografi dan yang dengan salah satu cara memberikan sumbangan terhadap debit sungai pada suatu irisan melintang tertentu (Seyhan, 1990). Dari definisi tersebut, menurut Marwah (2001), maka dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia bereaksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Daerah Tangkapan Air (DTA) yang dapat difungsikan sebagai mikro DAS merupakan daerah yang dibatasi oleh batas-batas topografi sehingga hujan yang jatuh di daerah tangkapan tersebut akan mengalir melalui satu saluran pembuangan (Depnakertrans, 2005)

Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lainnnya atau non-point pollution (Marwah, 2001).

DAS Citarum dengan luasan mencapai 6.080 km2 merupakan salah satu dari DAS potensial yang memberikan suplay air di Jawa Barat. Aliran air mengalir dari Gunung Wayang dengan ketinggian 1700 mdpl dan bermuara di Laut Jawa. Curah hujan tahunan berkisar antara 2000 – 5000 mm dan temperatur 18º - 24ºC. Disamping itu, sungai Citarum memegang peranan penting untuk menjaga keberadaan pengairan tiga waduk besar, yaitu Cirata, Saguling dan Jatiluhur (Loebis, 2004). Selanjutnya menurut Juwana, et. al (2003) dari sepuluh sub DAS yang berkontribusi terhadap DAS Citarum, empat diantaranya merupakan Sub DAS yang penting dan memerlukan


(17)

perhatian secara mendalam. Sub DAS tersebut adalah Cikapundung, Ciwidey, Cirasea dan Cisangkuy.

Dinamika perubahan penggunaan lahan, terutama areal hutan yang terjadi di Citarum berkembang dengan pesat. Lahan hutan yang mencapai 33.235,02 ha pada tahun 1993 menurun menjadi 23.818,81 ha pada tahun 1998. Laju deforestasi sebesar 10.657,08 ha atau 2.131,42 ha/th. Areal hutan banyak dikonversi menjadi belukar, lahan pertanian, lahan kosong dan pemukiman yang menuju arah perbukitan. Lahan pertanian dalam hal ini sawah dan tegalan telah mengalami penurunan yang cukup berarti dalam selang waktu lima tahun, yaitu dari tahun 1993 – 1998 sebesar 9.950,296 ha atau 15.59% dari luasan awal sebesar 63.859,6 ha . Penurunan ini sejalan dengan tingginya penggunaan areal persawahan yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan perumahan, pengembangan industri dan infrastruktur lainnya (Kosasih, 2002).

Secara umum wilayah DAS Citarum termasuk tipe iklim tropis yang dipengaruhi angin muson, sehingga masih dapat dibedakan antara musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan biasanya terjadi pada saat angin muson barat mulai bulan November sampai bulan April, sedangkan musim kemarau dari bulan Mei sampai bulan Oktober yakni pada saat muson timur. Curah hujan bervariasi antara 1.562 mm – 2.716 mm. Periode bulan basah dimulai bulan November – April, nilai curah hujan yang tinggi dimulai dari bulan Maret – April dan diikuti puncaknya pada bulan November – Desember, setelah itu terjadi penurunan di bulan Mei – Oktober ketika curah hujan relatif rendah. Jumlah hari hujan antar 108 – 145 hari dengan intensitas hujan 13.3 – 17.6 mm/hari.

Temperatur bervariasi antara 11 – 12°C, dengan rata – rata temperatur antara 22°C - 24°C, dengan kelembaban relatif 25% - 83%. Menurut Schmidt dan Ferguson DAS Citarum mempunyai tipe iklim A yaitu di wilayah Sub DAS Cirasea, Cisangkuy, Cihaur dan Ciwidey. Untuk Sub DAS Citarik dan Cikapundung mempunyai tipe iklim B, sedangkan Sub DAS Ciminyak memiliki tipe iklim C.


(18)

B. Erosi

Erosi tanah didefinisikan sebagai suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air, angin, dan/ atau es. Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air hujan (Rahim, 2003).

Menurut Arsyad (2000) erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim, topografi, tanah, vegetasi dan manusia. Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah hujan. Kecuraman dan panjang lereng merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap debit dan kadar lumpur. Faktor tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yang terjadi adalah : luas jenis tanah yang peka terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah erosi dan luas tanah berkedalaman rendah. Faktor vegetasi yang mempengaruhi aliran permukaan dan erosi berlangsung melalui beberapa proses, yaitu :

1. Intersepsi hujan untuk tajuk tanaman,

2. Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak,

3. Pengaruh akar dan kegiatan biologis yang berhubungan dengan stabilitas struktur dan porositas tanah,

4. Transpirasi yang menyebabkan turunnya kandungan air tanah.

Menurut Morgan (1986) dalam Wudianto (2000) erosi dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk, yaitu :

1. Erosi percikan, erosi yang terbentuk akrena tanah yang terbawa oleh percikan air hujan,

2. Erosi aliran permukaan, erosi yang terjadi karena aliran air yang mampu membawa butir – butir tanah yang terdapat di permukaan,

3. Erosi aliran di bawah permukaan, erosi yang disebabkan oleh aliran air yang terpusat pada terowongan – terowongan atau saluran – asaluran air yang terdapat di bawah permukaan tanah

4. Erosi alur, erosi yang terjadi karena adanya aliran yang cukup keras sehingga secara mendadak atau aliran air terhadang oleh benda yang ada di kaki gunung.


(19)

5. Erosi selokan, merupakan kelanjutan dari erosi alur, akibat runtunya terowongan atau saluran di bawah tanah, akibat terjadinya longsor yang arahnya memanjang

6. Erosi gerak massa tanah, erosi ini dapat berbentuk rayapan, longsoran, runtuhan batu atau aliran lumpur.

C. Pendugaan Laju Erosi

Menurut Asdak (1995), praktek bercocok tanam bersifat merubah keadaan penutupan lahan, dan oleh karenanya, dapat mengakibatkan terjadinya erosi permukaan pada tingkat atau besaran yang bervariasi. Dari beberapa metode yang digunakan untuk memprakirakan besarnya erosi permukaan, metoda Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) adalah metode yang paling umum digunakan untuk memprakirakan besarnya erosi dengan bentuk rumus : A = R K L S C P ... (1) dimana A adalah besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan (ton/ha/thn), R adalah faktor erosivitas curah hujan, K adalah faktor erodibilitas untuk tanah, L adalah faktor panjang kemiringan lereng, S adalah faktor gradien kemiringan lereng, C adalah faktor cara bercocok tanam (pengelolaan tanaman) dan P adalah faktor praktek konservasi tanah. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Faktor Erosivitas Hujan

Asdak (1995) menyatakan tenaga pendorong yang menyebabkan terkelupas dan terangkutnya partikel – partikel tanah ke tempat yang lebih rendah dikenal dengan istilah erosivitas hujan. Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana keduanya mempengaruhi besarnya energi kinetik air hujan. Faktor erosivitas hujan merupakan hasil perkalian antara energi kinetik (E) dari suatu kejadian hujan dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30).


(20)

2. Faktor Erodibilitas Tanah

Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel – partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan. Meskipun besarnya resistensi tersebut di atas akan tergantung pada topografi, kemiringan lereng dan besarnya gangguan oleh manusia. Besarnya erodibilitas juga ditentukan oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, dan kandungan organik dan bahan kimia tanah.

3. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)

Faktor indeks topografi L dan S, masing – masing mewakili pengaruh panjang dan kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Panjang lereng mengacu pada aliran air permukaan, yaitu lokasi berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi sedimen. Pada umumnya, kemiringan lereng diperlakukan sebagai faktor yang seragam.

4. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

Faktor pengeloalaan tanaman adalah rasio rata – rata kehilangan tanah dari tahun yang ditanami dengan pengelolaan tertentu terhadap rata – rata kehilangan tanah yang diolah tanpa tanaman, pada tanah, lereng dan curah hujan yang sama. Semakin baik perlindungan permukaan tanah oleh tanaman pangan/ vegetasi semakin rendah tingkat erosi (Departemen Kehutanan, 1998).

Selanjutnya, nilai faktor C dipengaruhi oleh banyaknya peubah yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu peubah alami dan peubah – peubah yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaan. Peubah alami adalah iklim dan fase pertumbuhan tanaman. Sedangkan peubah – peubah yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaan tanaman adalah tajuk tanaman, mulsa tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah dan pengelolaan tanah. Nilai faktor C berkisar antara 0,001 pada hutan tak terganggu hingga 1 pada tanah kosong yang diolah searah lereng.


(21)

5. Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P)

Faktor tindakan konservasi tanah adalah rasio rata – rata kehilangan tanah dari lahan yang mendapat perlakukan konservasi tanah terhadap rata – rata kehilanagn tanah dari lahan yang diolah tanpa tanaman, pada tanah, lereng dan curah hujan yang sama. Penerapan teknik konservasi tanah di lapangan dilakukan untuk mengamankan tanah dan tanaman dari bahaya erosi, sehingga faktor konservasi tanah (P) biasanya sudah menjadi satu dengan nilai faktor pengeloalaan tanaman (C) atau menjadi (CP) (Arsyad, 2000).

D. Sedimen

Sedimen adalah hasil proses erosi baik berupa erosi permukaan, erosi parit atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit di daerah genangan banjir, saluran air, sungai dan waduk. (Asdak, 1995). Selanjutnya menurut Arsyad (2000), sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa keluar daerah tampungan atau DAS. Nisbah jumlah sedimen yang betul – betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang terserosi di daerah tersebut disebut sebagai Sediment Delivery Ratio (SDR).

Bahan – bahan padat tanah yang terpecah/ terpisah dari tubuh tanahnya dan air terbawa air limpasan muka lahan akan menempuh jarak tertentu sampai akhirnya terendapkan pada aneka keadaan loka pengendapan atau memasuki aliran air sungai. Bahan padat tanah yang memasuki sungai/ anak sungai akan tersuspensi dan teragih mengisi seluruh bagian tubuh aliran airnya. Bahan – bahan tanah yang berukuran besardan berat cenderung menempati bagian bawah aliran dan yang berukuran kecil dan ringan cenderung menempati bagian atas. Bahan – bahan pada tanah yang terbawa aliran air akan terendapkan jika beban endapannya tinggi, atau paduan dari beberapa hal diatas. Pengendapan yang berlebihan akan menyebabkan pendangkalan loka – loka penampungan air, termasuk dataran banjir di sekitar muara sungai (Purwowidodo, 2002).


(22)

Kondisi suatu DAS dalam keadaan kurang baik apabila kandungan sedimen yang terdapat dalam aliran telah melampaui batas toleransi (TSL/ Tolerable Soil Loss). Menurut Arsyad (2000) gambaran umum batasan toleransi erosi di Indonesia tercantum dalam tabel di bawah:

Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah di Indonesia

Sumber : Arsyad, 2002

Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/ sub – DAS dan tergantung pada transpor partikel – partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/ sub – DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah akan tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan – cekungan permukaan tanah, di kaki – kaki lereng dan bentuk – bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/ sub DAS (Asdak, 1995).

No. Sifat Tanah dan Substratum Nilai T (mm/th)

1 Tanah sangat dangkal di atas batuan 0.0 2 Tanah sangat dangkal di atas tanah sudah

melapuk (tidak terkonsolidasi)

0.4 3 Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 0.8 4 Tanah dengan kedalaman sedang di atas bahan

telah melapuk

1.2 5 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah kedap

yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk

1.4

6 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah berpermebialitas lambat di atas substrata yang telah melapuk

1.6

7 Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya berpermebialitas sedang di atas substrata yang telah melapuk

2.0

8 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang permeabel di atas substrata yang telah melapuk


(23)

E. Hidrograf

Hidrograf aliran adalah suatu grafik yang menunjukkan keragaman limpasan (dapat juga tinggi muka air, kecepatan, beban sediment dan lain - lain) dengan waktu. Hidrograf periode pendek terdiri atas cabang naik, puncak (maksimum) dan cabang turun (Seyhan, 1990). Hidrograf aliran memberikan gambaran tentang kondisi suatu daerah aliran sungai. Hidrograf yang menggambarkan suatu DAS yang baik adalah hidrograf yang menggambarkan hubungan yang tidak terlalu berbeda besar debit aliran pada saat musim penghujan dan musim kemarau. Demikian pula dengan kandungan angkutan sedimen dalam aliran dapat menggambarkan kondisi suatu DAS. Debit menggambarkan volume air yang mengalir melalui suatu titik per detik atau per jam, dinyatakan dalam m3/detik atau m3/jam.

Asdak (2002) mengatakan dua faktor utama untuk menentukan bentuk hidrograf adalah karakteristik Daerah Aliran Sungai dan iklim. Unsur iklim yang perlu diketahui adalah jumlah curah hujan total, intensitas hujan, lama waktu hujan, penyebaran hujan dan suhu. Hidrograf satuan memberikan gambaran jumlah hujan lebih. Artinya, dari hidrograf satuan dapat diketahui besarnya curah hujan yang menjadi aliran permukaan. Hidrograf satuan diperoleh dari memisahkan antara aliran dasar (baseflow) dengan hujan lebih. Dengan menggunakan grafik debit sepanjang tahun maka dapat dihitung dan digambarkan besar potensi aliran tiap bulan seperti terlihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Hidrograf

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des Volume Air

Dalam juta m3

Waktu 0

500 1000

1500 Bentuk kurva yang baik No. 1 Bentuk kurva yang kurang baik No. 2

No. 1 No. 2


(24)

Grafik hidrograf tahunan dari satu daerah aliran sungai menggambarkan kondisi hidrologis satu DAS. Apabila bentuk kurva aliran menyerupai grafik no. 2 di atas maka dipastikan bahwa kondisi DAS relatif kurang baik, karena perbedaan besar aliran air pada musim penghujan dan musim kemarau sangat besar, sebaiknya apabila kurva aliran menyerupai kurva no. 1, maka kondisi DAS disimpulkan dalam keadaan baik karena perbedaan besar aliran pada musim penghujan dan musim kemarau relatif kecil sehingga sungai pada musim penghujan tidak menyebabkan banjir sebaliknya pada musim kemarau masih dapat mensuplai debit aliran yang cukup besar (Anwar, 2001)

F. Bentuk Aliran Air

Menurut Arsyad (2000) air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk, yaitu :

1. Aliran permukaan, yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah. Bentuk aliran inilah yang penting sebagai penyebab erosi, oleh karena merupakan pengangkut bagian – bagian tanah. Aliran permukaan sering pula disebut run off yang dapat berarti aliran di atas permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai dan aliran air di dalam sungai. Untuk membedakan antara aliran di atas permukaan tanah dan di dalam saluran digunakan istilah run off atau stream flow untuk aliran di dalam saluran atau di dalam sungai dan surface run off atau overland flow untuk air di atas permukaan tanah.

2. Aliran di bawah permukaan, yaitu air yang masuk ke dalam tanah tetapi tidak masuk cukup dalam disebabkan adanya lapisan kedap air. Air ini mengalir di bawah permukaan tanah kemudian keluar pada suatu tempat di bagian bawah atau masuk ke sungai. Aliran ini disebut juga sebagai interflow atau subsurface flow.

3. Aliran air bawah tanah, yaitu air yang masuk dan terperkolasi jauh ke dalam tanah menjadi air bawah tanah (ground water). Air ini mengalir di dalam tanah dengan lambat masuk ke sungai. Air bawah tanah tidak mengandung bahan tersuspensi atau kapur sehingga kelihatan jernih.


(25)

4. Aliran sungai, yaitu air yang mengalir di dalam saluran – saluran yang jelas, seperti sungai. Aliran sungai dapat tetap atau tersendat. Air sungai dapat pekat atau jernih tergantung dari sumber airnya.

G. Sistem Informasi Geografis dan Model Spasial Hidrologi

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi – informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek – obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penying atau kritis untuk dianalisa. Dengan demikian SIG merupakan sistem komputer yang memilki empat kemampuan berikut adalam menangani data yang bereferensi geografi : a) masukan, b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan data), c) analisa dan manipulasi data, d) keluaran (Prahasta, 2001).

Suatu model spasial hidrologi dapat berupa model empirik, model deterministik, maupun kombinasi dari beberapa tipe model tersebut. Model spasial hidrologi berbasiskan vektor atau raster. Data raster adalah data dimana semua semua obyek disajikan secara sekuensial pada kolom dan baris dalam bentuk sel – sel yang sering dikenal dengan nama picture elemen (piksel). Piksel adalah ukuran terkecil dari informasi letak pada citra meupun peta raster. Masing – masing sel mewakili suatu areal yang berbentuk segi empat dan umumnya bujur sangkar. Dalam model ini, setiap obyek baik yang berbentuk titik, garis maupun poligon semuanya disajikan dalam bentuk sel (titik). Setiap sel memiliki koordinat dan informasi. Data vektor merupakan struktur data yang berbasis pada sistem koordinat yang umum digunakan untuk menyajikan feature peta. Masing – masing feature disajikan dengan satu set koordinat.Atribut terkait dengan masing – masing feature dan bukan sel sebagaimana pada data raster (Jaya, 2002). Struktur data yang digunakan untuk menyajikan model spasial hidrologi adalah raster. Hal ini dikarenakan data raster lebih menunjang untuk digunakan pada berbagai model lahan, termasuk analisis hidrologi. Input data elevasi hanya dapat diproses


(26)

menggunakan set data raster. Secara lebih jelas, perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut (Anonim, 2004) :

Raster

Vektor

Keadaan sebenarmya

Gambar 2. Perbedaan tampilan data raster, vektor dan keadaan sebenarnya Fungsi pemodelan hidrologi dalam Spatial Analyst menyediakan metode

untuk menjelaskan bagaimana komponen fisik suatu permukaan. Penggunaan grid elevasi atau DEM (Digital Elevation Model) sebagai masukan, memungkinkan secara otomatis mendeliniasi suatu aliran sistem dan mengukur karakteristik dari sistem (ESRI, 1997).


(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DTA Cilebak yang merupakan bagian dari Sub DAS Citarum Hulu. Pengukuran curah hujan, kecepatan aliran dan curah hujan dilakukan di Stasiun Pengamat Aliran Sungai Cilebak, Bandung. Analisis Sedimen serta intepretasi data dilakukan di Laboratorium Pengaruh Hutan, Departemen Manajemen Hutan, IPB. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Sifat Fisik Tanah, Departemen Tanah, IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2005.

B. Bahan dan Alat

Bahan – bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : Peta penggunaan lahan DTA Cilebak, Peta Digital Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000 lembar 1208 - 632 dan 1208 - 634, peta jenis tanah semi detail DAS Citarum Hulu skala 1:100.000, data curah hujan harian, tinggi muka air harian, debit harian dan debit sedimen harian tahun 2003 - 2004

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software Arc View 3.2 dengan Spatial Analys, DEMAT dan Hydrollogy Modellingt Extension, Microsoft Office (MS Word dan MS Excel), Minitab, Global Positioning System (GPS), Logger tipe Turbidity Meter, Plastik, milimeter blok dan alat penunjang lainnya. C. Metode Penelitian

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan secara langsung melalui pengukuran (data primer) dan diperoleh melalui instansi terkait (data sekunder). Data sekunder yang dibutuhkan adalah Peta Rupa Bumi Digital Skala 1:25.000 lembar 1208 - 632 dan 1208 - 634, Peta Penggunaan Lahan DTA Cilebak dan Peta Tanah Tinjau Semi Detail DAS Citarum Hulu Skala 1 : 100.000. Sedangkan untuk data primer, data yang dibutuhkan adalah :


(28)

a. Data Curah Hujan

Data Curah Hujan didapat dengan melakukan pengamatan hujan menggunakan Automatic Rainfall Recorder (ARR) yang terdapat pada Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS). Melalui data yang tercantum pada kertas pias dapat dianalisis besarnya curah hujan maupun intensitas pada setiap kejadian hujan.

b. Data Tinggi Muka Air dan Debit Sungai

Data Tinggi Muka Air (TMA) diperoleh melalui pengamatan dengan menggunakan alat Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang mampu merekam TMA setiap jamnya. Disamping itu dengan data AWLR dapat diketahui hidrograf untuk setiap kejadian hujan dan aliran langsung yang ditimbulkannya.

Pengukuran debit aliran sungai dilakukan di Stasiun Pengamat Aliran Sungai yang merupakan titik outlet DTA Cilebak. Pendugaan dilakukan dengan menggunakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara tinggi muka air dengan debit. Pembuatan model tersebut dibuat dengan menggunakan data tinggi muka air, luas penampang sungai dan kecepatan aliran. Kecepatan aliran diukur pada kedalaman 0.6 x Tinggi Muka Air. Dari ketiga data tersebut dapat dihitung debit aliran sungai menggunakan persamaan sebagai berikut : Q = V x A ……….………..(2)

Keterangan :

Q : Debit limpasan air sungai (m3/detik) V : Kecepatan aliran sungai (m/detik) A : Luas penampang sungai (m2) c. Data Sedimen

Pengukuran debit aliran pada satu penampang tertentu dilakukan bersama – sama dengan pengambilan sampel sedimen sehingga dapat ditarik hubungan antara besar debit dengan besar angkutan sedimen. Penentuan besarnya kandungan sedimen pada debit tertentu dilakukan


(29)

dengan cara menggunakan alat Logger tipe Turbidity Meter yang secara otomatis menghitung besarnya konsentrasi sedimen dalam mg/liter atau ppm.

Dengan mengetahui besarnya konsentrasi sedimen melayang maka dapat diketahui besarnya debit sedimen melalui persamaan berikut :

Qs = Q x Cs ...(3) Keterangan :

Qs : Debit sedimen melayang (gr/detik) Q : Debit limpasan air sungai (m3/detik) Cs : Konsentrasi Sedimen Melayang (mg/liter) 2. Analisis Data

a. Analisis faktor penduga erosi metode USLE

Data yang dibutuhkan pada pemetaan tingkat bahaya erosi adalah : peta lereng, peta penggunaan lahan, data curah hujan, peta jenis tanah dan peta kedalaman tanah. Analisis tingkat bahaya erosi dilakukan dengan cara memperkirakan (memprediksi) laju erosi tanah pada satuan – satuan lahan. Pendekatan persamaan “Universal Soil Loss Equation (USLE)” dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978) dengan menggunakan persamaan A = R K L S C P, dimana A adalah besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan (ton/ha/thn), R adalah faktor erosivitas curah hujan, K adalah faktor erodibilitas untuk tanah, L adalah faktor panjang kemiringan lereng, S adalah faktor gradien kemiringan lereng, C adalah faktor cara bercocok tanam (pengelolaan tanaman) dan P adalah faktor praktek konservasi tanah.

Prakiraan laju erosi tanah dengan USLE untuk lahan yang luas dilakukan dengan membagi lahan tersebut menjadi satuan – satuan lahan yang penampilan faktor – faktor pengendalian erosi yang relatif nisbi homogen. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan resolusi piksel sebesar 5 m x 5 m


(30)

sehingga msing – masing luasan sebesar 25 m2. Prakiraan laju erosi tanah dilakukan pada setiap satuan lahan tersebut untuk memperoleh gambaran umum dihitung nilai rataannya. Faktor – faktor tersebut adalah :

i. Faktor Erosivitas (R)

Faktor R dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Bols (1978) dalam Asdak (1995) berupa data curah hujan bulanan sebagai berikut : EI30 = 6.12 R1.21 x D -0.47 x M0.53 ... (4) Keterangan :

EI30 : Indeks erosivitas hujan R : Jumlah hujan bulanan (cm) D : Jumlah hari hujan bulanan

M : Hujan maksimum selama 24 jam pada bulan tersebut ii. Faktor erodibilitas Tanah (K)

Untuk mengetahui nilai erodibilitas tanah diperlukan informasi pendukung sebagai ketentuan dalam penggunaan nomograf. Data tersebut berupa analisis tekstur tanah, yaitu persentase kandungan pasir (2,0 – 0,10 mm), persentase pasir sangat halus (0,10 – 0,05 mm), persen debu (0,05 – 0,002 mm), persentase liat (< 0,002 mm), persentase bahan organik tanah, struktur tanah dan permeabilitas tanah. Analisis faktor erodibilitas tanah dilakukan di laboratorium dengan cara sebagai berikut :

• Pengukuran persen unsur organik dilakukan dengan menggunakan metode Walkley dan Black, dengan mengasumsikan 58% kandungan C-total tanah adalah bahan organik. Nilai bahan organik diketahui melalui rumus :


(31)

Tabel 2. Nilai bahan organik untuk setiap kisaran kandungan bahan organik Pisahan Organik (%) Kelas Nilai C-Organik Bahan Organik

<1 1,0 – 2,0 2,1 – 3,0 3,1 – 5,0

>5

>1,724 1,724 – 3,650 4,024 – 5,574 5,766 – 11,444

>11,444 Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 0 1 2 3 4

Sumber : Purwowidodo, 2002

• Pengukuran tipe dan kelas struktur tanah dilakukan dengan menggunakan cara mekanik dengan memisahkan sesuai dengan jarah – jarah yang membentuk tanah tersebut dan memerikannya sesuai dengan masing – masing tipe dan kelas pembentuk tanah dominan. Untuk penentuan nilai tipe dan kelas dapat diketahui melalui tabel di bawah ini :

Tabel 3. Nilai mutu dan struktur tanah Tipe dan Mutu Struktur Nilai

Butiran Sangat Halus Butiran Halus Butiran sedang dan kasar Gumpal, lempeng atau pejal

1 2 3 4

Sumber : Purwowidodo, 2002

• Permeabilitas tanah diukur dengan mengadaptasi metode Bouyoucos dengan menggunakan prinsip bahwa laju pemasukan air dan pelolosan air melalui pori – pori tubuh tanah dikendalikan oleh faktor – faktor yang mengendalikan jumlah dan kemantapan pori berukuran besar.

Tabel 4. Nilai Peresapan Tanah

S

Sumber : Purwowidodo, 2002 Besar Permeabilitas Tanah

(cm/jam)

Kelas Peresapan Nilai >25,4

12,7 – 25,4 12,7 – 6,3

2,0 – 6,3 0,5 – 2,0

<0,5

Cepat

Sedang sampai cepat Sedang

Lambat sampai sedang Lambat Sangat Lambat 1 2 3 4 5 6


(32)

• Data ukuran dan pengagihan jarah pasir, debu dan lempung suatu tanah diperoleh melalui analisis mekanis. Landasan analisis mekanis tanah ini adalah hukum Stokes yang memerikan hubungan ukuran jarah dengan kecepatan jatuhnya dalam air/ larutan. Metode yang digunakan adalah metode pipet. Tekstur tanah diukur dengan menggunakan metode pipet. Dari metode ini dapat diketahui % masing- masing tekstur tanah, yang terdiri dari pasir sangat halus, debu dan liat.

Menurut Dangler dan El - Swaify (1976) dalam Arsyad (2000) dapat dikelompokkan kepekaan tanah terhadap erosi ke dalam beberapa kelas seperti tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Nilai K

Kelas Nilai K Harkat

1 0,00 – 0,10 Sangat Rendah

2 0,10 – 0,20 Rendah

3 0,21 – 0,32 Sedang

4 0,33 – 0,40 Agak Tinggi

5 0,41 – 0,55 Tinggi

6 0,55 – 0,64 Sangat Tinggi

Sumber : Arsyad, 2000

Setelah data tersebut diketahui, digunakan nomograf K untuk mengetahui nilai erodibilitasnya. Nomograf K ditunjukkan pada gambar berikut :


(33)

(34)

iii. Faktor Panjang Lereng (P) dan Kemiringan Lereng (S)

Penilaian faktor panjang lereng setiap satuan lahan pengamatan diawali dengan proses tumpang tindih peta, antara peta lereng dengan peta arah aliran. Dari data hasil tumpang tindih tersebut dapat diketahui nilai panjang lereng pada setiap satuan piksel. Penilaian faktor “LS” merupakan perkalian antara faktor L dan S.

Penilaian faktor panjang lereng pada setiap satuan lahan pengamatan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (Eyles, 1968 dalam Departemen Kehutanan, 1998) :

L = (Lo/22)0.5 ………....……… (6) Keterangan :

L : Faktor panjang lereng Lo : Panjang lereng (m)

Penilaian faktor kemiringan lereng setiap satuan lahan menggunakan persamaan (Epink, 1979 dalam Departemen Kehutanan, 1998)

S = (s/9)1.4 ………. (7) Keterangan :

S : Faktor kemiringan lereng s : Kemiringan lereng (%)

iv. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

Penilaian faktor pengelolaan tanaman setiap satuan lahan pengamatan didasarkan pada penggunaan lahan dominan dengan menggunakan peta penggunaan lahan dan pengamatan secara langsung pada lapang. Data pengelolaan tanaman pada penggunaan lahan diperoleh dari kuesioner. Pada daearah penelitian, pada umumnya dilakukan pengelolaan tanaman yang berbeda setiap musimnya. Pada Lampiran 1 terdapat beberapa angka “C” yang diperoleh dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah, Bogor (Purwowidodo, 2002).


(35)

v. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah (P)

Penilaian faktor pengelolaan dan konservasi tanah setiap satuan lahan pengamatan diperoleh dari hasil pengamatan di lapang. Jika suatu lahan mempunyai beberapa macam tindakan konservasi tanah maka penetapan besaran P-nya dilakukan secara rampatan. Nilai “P” pada berbagai teknik konservasi tanah disajikan pada Lampiran 2. b. Laju Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi

Laju erosi diperoleh dengan cara mengalikan faktor – faktor erosi (RKLSCP) dari persamaan USLE. Untuk mengetahui klasifikasi laju erosi dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Laju Erosi

Sumber : Departemen Kehutanan, 1998

Perkiraan erosi tahunan rata – rata dan kedalaman tanah dipertimbangkan untuk menentukan Tingkat Bahaya Erosi untuk setiap satuan lahan pengamatan. Hal ini dikarenakan dengan laju erosi yang sama, apabila terjadi pada lahan dengan kedalaman solum yang berbeda maka tingkat bahaya erosinya akan berbeda. Untuk penentuan Kelas Tingkat Bahaya dilakukan kombinasi antara klasifikasi laju erosi dan klasifikasi kedalaman solum. Kombinasi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

No. Klasifikasi laju Erosi Kriteria (ton/ha/tahun) 1.

2. 3. 4. 5.

Sangat ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat

< 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480


(36)

Tabel 7. Kelas Tingkat Bahaya Erosi

Sumber : Departemen Kehutanan (1998)

Teknik overlay merupakan fungsi yang dapat menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya. Teknik pelaksanaan pemetaan TBE dilakukan dengan cara menumpangtindihkan (overlay) peta tingkat erosi (USLE) dan peta kedalaman ataupun langsung mencantumkan TBE pada setiap satuan lahan dengan menggunakan matriks di atas. Analisis laju erosi digunakan dengan membagi lahan pengamatan pada satuan picture element (piksel) dengan ukuran 5 m x 5 m, sehingga masing – masing luasan piksel adalah sebesar 25 m2. Proses pembuatan peta tingkat bahaya erosi dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dapat dilihat pada Gambar 4.

Solum Tanah (cm)

Kelas Erosi

I II III IV V Erosi (ton/ha/thn)

< 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 >480 Dalam (>90) SR 0 R I S II B III SB IV Sedang

(60 – 90 )

R I S II B III SB IV SB IV Dangkal

(30 – 60)

S II B III SB IV SB IV SB IV Sangat Dangkal (<30) B III SB IV SB IV SB IV SB IV


(37)

37

Gambar 4. Proses pembuatan peta tingkat bahaya erosi

Data Stasiun Hujan

Peta Titik Pengukuran Erodibilitas

Tanah

Konversi Grid

Peta Erosivitas Hujan (R)

Interpolasi Titik

Peta Erodibilitas tanah (K)

Model Elevasi

Digital Slope

Peta kemiringan

Lereng klasifikasi

Re-Peta Faktor LS

Peta Penggunaan

Lahan

Input Data C dan P

Peta Faktor CP

Overlay Aritmatik

Peta Laju Erosi

Overlay dengan Peta kedalaman

tanah

Peta Tingkat Bahaya Erosi


(38)

38

c. Penentuan Parameter Permukaan Daerah Aliran Sungai

Dalam penentuan karakteristik biofisik Daerah Aliran Sungai dapat digunakan Digital Terrain Model (DTM) yang didasarkan pada algoritma eight direction pour point, yang dimana perhitungan sebuah sel dilakukan dengan menggunakan nilai dari delapan tetangganya yang terdekat. DTM merupakan representasi digital dari elevasi pada permukaan lahan.

Sel Target

Gambar 5. Sel target pada DTM Parameter tersebut adalah :

i. Flow direction (Arah aliran), keluaran dari arah aliran adalah grid yang mempunyai nilai antara 1 sampai 128 yang didasarkan pada arah aliran yang akan mengalir kepada sebuah sel khusus seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut :

Sel Khuhus

Gambar 6. Arah – arah aliran dari suatu sel khusus

ii. Flow accumulation (Akumulasi aliran), dengan mengikuti grid arah aliran ke belakang, maka dapat diketahui banyaknya sel yang mengalir menuju semua sel – sel pada daerah kajian. Untuk mengetahui akumulasi pada permukaaan, nilai dari setiap sel merepresentasikan total nilai dari sel yang mengalir ke dalam sel individu. Sel yang mempunyai akumulasi tinggi adalah area konsentrasi aliran dan dapat digunakan untuk mengidentifikasikan jaringan sungai.

iii. Stream Network (Jaringan Sungai), berdasarkan akumulasi aliran dapat diperkirakan sistem jaringan sungai. Sel – sel yang menjadi bagian

12 13

13

11 10

10

8 10

9

32 64 128

16

1


(39)

39

jaringan sungai ditentukan dengan menetapkan jumlah sel yang mengalir ke sel – sel tersebut.

iv. Curvature, Profil Curvature dan Planform curvature. Curvature merupakan bentuk dari permukaan untuk memahami erosi dan proses drainase, curvature terbagi menjadi dua bagian, yaitu : convex (bulging) dan concave (bowing). Profile curvature menggambarkan arah dari kemiringan , terbagi menjadi dua, yaitu cekung (aliran lambat dan mengalami deposisi) dan cembung (peningkatan kemiringan dan erosi). Planform Curvature menggambarkan kurvatur suatu permukaan tegak lurus terhadap arah kemiringan dimana: cembung, aliran divergen mengindikasikan bukit dan cekung, aliran konvergen mengindikasikan adanya lembah.

v. Watersheds (Daerah Aliran Sungai), dengan menggunakan flow accumulation dapat dispesifikasikan ukuran terkecil dari Daerah Aliran Sungai dan dengan bantuan ekstension Spatial Analyst dan Hydrollogy Modelling secara otomatis dapat menurunkan DAS - DAS untuk daerah tersebut.


(40)

40

Proses diatas lebih jelas dapat dilihat pada diagram berikut :

Gambar 7. Diagram alir penentuan parameter – parameter permukaan d. Analisis Hubungan Curah Hujan, Debit Sungai dan Sedimen

Melayang

Data curah hujan yang digunakan untuk masukan model adalah data intensitas hujan (mm/jam) dengan interval waktu tertentu pada satu kejadian hujan. Intensitas hujan dihitung dengan cara membaca kertas pias pencatat hujan dari Automatic Rainfall Recorder (ARR) yang terdapat di wilayah yang dapat mewakili DAS. Kertas pias curah hujan dari ARR dan hidrograf pasangannya diperoleh dari Automatic Water Level recorder (AWLR). Dari curah hujan yang terukur dapat diketahui pengaruhnya terhadap debit maupun sedimen.

Dengan melakukan pengukuran debit yang dilakukan berulang kali dapat diperoleh suatu persamaan hubungan antara ketinggian muka air dan debit. Persamaan tersebut disebut dengan discharge rating curve, yang dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :

DTM

Ada Tidak

Jaringan Sungai Daerah Aliran Sungai Arah Aliran

Sink

Hilangkan

Akumulasi Aliran

Curvature, Profil Curvature, Planform Curvature


(41)

41

Q = a H b ……… (8) Keterangan :

Q = debit limpasan air sungai (m3/detik) a, b = konstanta

H = tinggi muka air (cm)

Hasil dari pengukuran tersebut dapat digambarkan dengan menggunakan rating curve seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3. Rating Curve

Gambar 8. Hubungan Tinggi Muka Air dan Debit

Dengan menggunakan “rating curve” tersebut maka dapat dihitung besar debit sungai pada penampang tertentu pada setiap saat. Dengan mengetahui debit sungai, rasio antara debit maksimum dan debit minimum bulanan dapat diketahui fluktuasinya. Hal ini dapat digunakan untuk mengetahui kondisi Daerah Tangkapan Air.

Dari data pengukuran tinggi muka air dan konsentrasi sedimen dapat dibentuk model prediksi besar debit dan debit sedimen. Dari data tersebut dapat dibentuk sediment discharge rating curve yang dibentuk untuk mengetahui hubungan antara debit dan debit sedimen melayang. Persamaan tersebut adalah :

Qs = a Q b ………. (9) Keterangan :

a, b = konstanta

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Debit

M3 /det

Tinggi muka air 0

50 100 150


(42)

42

Pengukuran angkutan sedimen dan pengukuran debit di atas dilakukan bekali-kali pada ketinggian permukaan air sungai yang berbeda-beda sehinga akan diperoleh hubungan antara debit aliran dengan angkutan sedimen seperti grafik di bawah ini :

Gambar 9. Hubungan Debit dan Sedimen

Berdasarkan grafik hubungan antara debit aliran dengan debit angkutan sedimen maka dapat dihutung besar angkutan sedimen setiap saat dalam setahun. Demikian pula besar angkutan sedimen per hektar, per tahun dapat dihitung dengan membagi total angkutan sedimen dengan luas DAS yang diteliti.

e. Analisis hidrograf

Analisis hidrograf dilakukan dengan menggunakan data curah hujan, debit aliran, tinggi muka air dan waktu pengukuran. Pengolahan data dilakukan dengan mengikuti tata cara berikut :

1. Gambar grafik hubungan antara debit – waktu dan curah hujan - waktu.

2. Tentukan titik naik dan titik belok

3. Gambarkan garis lurus yang mneghubungkan titik naik dan titik belok.

4. Hitung besarnya aliran dasar (base flow), dengan cara menghitung debit yang terbentuk pada sepanjang garis lurus yang

10 20 30 40 50 60 70 80 90 Debit air

M3 /det

Debit Angkutan Sedimen m3

/det 0

100 200 300


(43)

43

menghubungkan titik naik dan titik belok. Hasil pengukuran menunjukkan besarnya aliran dasar.

5. Hitung besarnya aliran permukaan (Run off) dengan menggunakan rumus :

Run off = Debit (m3/s) – Aliran Dasar (m3/s) ... (10) 6. Jumlahkan besarnya aliran permukaan

7. Hitung volume run off dengan menggunakan rumus :

Volume run off = Σrun off (m3/s) x∆ T (jam) ... (11) 8. Hitung tebal run off :

Tebal run off = Volume run off (m3)/ Luas DAS (m2) ... (12) 9. Hitung koefisien run off


(44)

44

Jumlah Curah Hujan Bulanan, hari hujan,

hujan maks Peta Topografi Peta Jenis tanah Penggunaan lahan Peta Kemiringan dan Panjang Lereng

Parameter Permukaan : Slope, Arah aliran, Akumulasi aliran, Jaringan Sungai dan batas DAS Peta Erosivitas Peta

erodibilitas

Pengelolaan Tanaman dan Tindakan Konservasi

R K LS CP

Overlay Peta RKLSCP

Peta Besar Erosi (ton/ha/th) Peta Kedalaman Tanah

Tingkat Bahaya Erosi Potensial

Sistem Informasi Geografis

Hasil Data Quesioner Stasiun Pengamatan Aliran Sungai Sampel Sedimen Debit Sungai Konsentrasi sedimen melayang Erosi tahunan (ton/ha/th)

Gambar 10. Skema Metode Penelitian Pengukuran sifat fisik tanah Analisis Digital ElevationModel Hidrograf sedimen Erosi aktual skala unit SPAS Hidrograf Aliran Bandingkan SDR


(45)

45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Letak dan Luas

Menurut pembagian wilayah administrasi pemerintahan, DTA Cilebak termasuk ke dalam wilayah administratif Desa Nagrak, Desa Cikawao dan Desa Mandalahaji, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Secara geografis terletak pada 107º43’12” - 107º43’48” BT dan 7º6’0” - 7º9’0” LS. DTA Cilebak merupakan bagian dari Sub DAS Citarum Hulu dengan luas sebesar 400,24 Ha.


(46)

46

B. Topografi

Topografi DTA Cilebak dapat digambarkan dengan menggunakan analisis Digital Elevation Model (DEM). Dengan menggunakan DEM dapat diketahui kemiringan lereng yang terdapat pada daerah penelitian. Kemiringan lereng diturunkan dengan menggunakan metode Horn yang menduga kemiringan lereng pada topografi yang beragam. Luasan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 8 dengan sebarannya pada Lampiran 3.

Tabel 8. Persentase kemiringan lereng

Berdasarkan Tabel 8. dapat diketahui bahwa pada daerah penelitian mempunyai kelerengan yang bervariasi dari datar sampai sangat curam. Daerah yang datar sampai bergelombang pada umumnya terdapat pada dataran dan kaki bukit. Sedangkan lahan yang curam sampai sangat curam pada umunya terdapat di lereng bawah, tengah dan atas daerah perbukitan dan gunung.

Secara garis besar kawasan ini merupakan daerah perbukitan dan gunung yang didominasi oleh kelas lereng bergelombang sebesar 119,49 Ha (29,85%). Pada tempat kedua, luasan kemiringan lereng tertinggi merupakan kemiringan lereng dengan kriteria curam yaitu sebesar 102,19 Ha (25,53%). Kemiringan lereng menentukan volume, kecepatan daya rusak maupun angkutan pada suatu lahan. Kemiringan yang semakin curam akan memperbesar peluang terjadinya erosi. Daerah ini memiliki potensi terjadinya erosi yang cukup tinggi apabila dalam pemanfaatannya tidak memperhatikan aspek – aspek konservasi tanah dan air, sehingga perlu dilakukan suatu tinjauan dalam menentukan pola penggunaan lahan yang sesuai agar dapat meminimumkan erosi tanah yang terjadi.

No. Kelas Lereng (%) Kriteria Luas (Ha) Persentase (%) 1.

2. 3. 4. 5.

0 – 8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 >40 Datar Landai Bergelombang Curam Sangat Curam 73,07 82,00 119,49 102,19 23,49 18,26 20,49 29,85 25,53 5,87


(47)

47

Secara fisiografis daerah penelitian memiliki tingkat penyebaran ketinggian yang beragam. Variasi ketinggian berkisar antara 837,5 mdpl sampai dengan 1937,5 mdpl yang tersusun oleh unit-unit dataran, perbukitan dan pegunungan rendah (Lampiran 4).

C. Curah Hujan

Berdasarkan data curah hujan dari hasil pengukuran pada Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS) selama 2 tahun (2003 – 2004) dapat diketahui bahwa curah hujan tahunan rata – rata adalah sebesar 1403,7 mm, dengan rata – rata curah hujan bulanan sebesar 117.

Sebaran curah hujan pada daerah penelitian terlihat perbedaan musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan pada umumnya dimulai pada bulan November – April, sedangkan bulan kering dimulai pada bulan Mei – Oktober. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 12, yang memperlihatkan curah hujan rata – rata bulanan. Perhitungan curah hujan harian tahun 2003 dan tahun 2004 dapat diketahui pada Lampiran 5 dan 6.

Gambar 12. Grafik rata – rata hujan bulanan D. Tanah dan Geologi

Berdasarkan Peta Tanah Semi Detail DAS Citarum Hulu pada daerah penelitian terdapat tanah dengan golongan Asosiasi Inceptisol, Alfisol, Mollisol, golongan Mollisol dan golongan Mollisol, Inceptisol. Asosiasi

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Cu

ra

h

Hu

ja

n

(

m

m

)

Jan Mar Mei Juli Sept Nov

Bulan


(48)

48

Inceptisol dan Mollisol didominasi oleh jenis tanah Aquic eutropepts, Typic paleudalfs, Aquic hapludoll, Typic argiudoll, Oxic argiudoll, Typic hapludoll dan Typic eutropepts. Sedangkan untuk golongan Mollisol didominasi jenis tanah Oxic argiudoll dan Typic hapludoll.

Tanah Mollisol berkembang dari batu endapan kapuran, napal dan andesit – basalt, koral dan volkan intermediate, pada fisiografi dataran, karst, perbukitan, pegunungan dengan bentuk wilayah berombak sampai bergunung. Inceptisol berkembang pada aneka penampilan fisografi, bahan induk dan iklim. Tanah Alfisol berkembang dari aneka bahan induk, yang mencakup : batu beku (batu beku dalam/ batu plutonik/ ultramafik, basalt, breksi – andesit), batu endapan (batu kapur/ batu gamping, batu lempung batu pasir, napal), batu malihan dan bahan volkanik. Tanah ini menempati loka pada ketinggian beberapa meter sampai 3.000 mdpl dengan muka air tanah yang tinggi sampai berpengatusan baik, pada fisiografi volkan, pegunungan, perbukitan, karst, angkatan, lipatan atau dataran, dengan bentuk wilayah datar sampai bergunung. Peta penyebaran golongan tanah dapat dilihat pada Lampiran 7.

Berdasarkan peta land system padanan bentuk lahan pada DTA Cilebak terbagi menjadi dua tipe. Tipe pertama berupa daratan yang terbentuk akibat pengaruh aliran lava basa/ sedang yang agak tertoreh. Litologi (Jenis batuan atau mineral murni) berupa batuan beku basa dengan jenis basal, andesit, breksi, tefra berbutir halus. Bentuk lahan tipe kedua merupakan pegunungan yang berbentuk basaltic stratovolcanoes/young intermediate. Litologi berupa batuan beku dasar berupa andesit, basalt, tefra berbutir halus dan kuarsa berbutir halus.

E. Penggunaan Lahan

Identifikasi penggunaan lahan dilakukan berdasarkan hasil observasi di lapangan dan peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan menggunakan Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 1999 dan dilakukan cek lapangan pada saat ini untuk mengetahui perubahan pola penggunaan lahan. Secara umum kondisi penutupan lahan pada DTA Cilebak terjadi penurunan luasan lahan berhutan,


(49)

49

di antaranya disebabkan oleh semakin meningkatnya pengkonversian kawasan penggunaan lahan hutan menjadi kawasan budidaya non kehutanan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk yang semakin membutuhkan lahan garapan dan perkembangan kegiatan pembangunan lainnya. Selain itu, juga ditambah semakin maraknya perambahan lahan dan illegal logging serta secara periodik sering terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan.

Pada praktek penggunan lahan pada daerah penelitian ditemui adanya tumpang tindih penggunaan lahan, praktek penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat serta terjadinya perambahan hutan. Hal – hal tersebut menimbulkan peluang besar bagi terbentuknya perluasan lahan terbuka dan lahan kritis yang sangat rentan terhadap erosi.

Penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dikategorikan menjadi enam jenis penggunaan lahan, yaitu : kebun campuran, sawah, semak belukar, hutan, pemukiman dan ladang/tegalan. Penyebaran penggunaan lahan dapat di lihat pada Lampiran 8. Tabel di bawah ini menggambarkan luasan maupun persentase dari masing – masing jenis penggunaan lahan :

Tabel 9. Jenis penggunaan lahan

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Hutan Kebun Campuran Ladang, Tegalan Pemukiman Sawah Semak Belukar 54,510 2,527 151,460 38,956 22,19 132,537 14,0631 0,652 39,075 7,471 4,545 34,193

Total 400,24 100

Berdasarkan tabel di atas, semak belukar merupakan jenis penggunaan lahan dengan luasan kedua terbesar, yaitu sebesar 132,537 ha (34,193%). Semak belukar merupakan kawasan yang didominasi oleh jenis tumbuhan semak, perdu, herba maupun rumput. Pada daerah penelitian, semak belukar ini terbentuk akibat rusaknya hutan. Masyarakat sekitar membuka hutan untuk dijadikan ladang/ kebun. Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan jalan melalui pembakaran hutan. Pembakaran tersebut seringkali melewati batas


(50)

50

area yang diinginkan sehingga merusak kawasan hutan lebih luas lagi. Pada kawasan yang terbuka ini tidak dilakukan penangan lebih lanjut sehingga terbengkalai dan menumbuhkan tanaman semak belukar. Semak belukar ini berada di daerah topografi yang curam sampai sangat curam sehingga memerlukan penanganan yang serius untuk mencegah terjadinya erosi dan longsor.

Gambar 13. Penggunaan lahan hutan kerapatan rendah

Hutan merupakan areal yang didominasi oleh pepohonan, semai, dan semak belukar. Hutan yang tersisa pada daerah ini terletak di topografi yang berlereng curam, bukit dan puncak gunung dengan kerapatan yang rendah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dikarenakan dilakukannya kegiatan pembakaran hutan oleh masyarakat untuk beralih fungsi menjadi ladang maupun perkebunan. Kondisi ini menjadikan kawasan hutan menjadi tidak produktif lagi dan fungsinya sebagai daerah resapan menjadi tidak signifikan.

Kawasan hutan seharusnya memiliki proporsi terbesar karena terletak di daerah hulu. Pada kasus ini, dengan semakin berkurangnya hutan, erosi pada puncak gunung dapat terlihat dengan jelas karena tidak adanya penutupan tajuk. Luasan lahan hutan primer yang cenderung semakin berkurang dan sebaliknya areal-areal semak belukar maupun alang-alang yang semakin meluas tentu dapat mengakibatkan lahan yang terbuka menjadi semakin luas atau sebaliknya luasan penutupan lahan (land covering) menjadi semakin


(51)

51

sedikit. Kondisi lahan seperti itu sangat rentan dan dapat meningkatkan laju limpasan air permukaan (surface runoff) maupun tanah tererosi.

Ladang/ tegalan merupakan jenis usaha tani lahan kering dengan jenis tanaman semusim atau tahunan. Pada umumnya tanaman yang diusahakan adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah, ketimun, cabai, yang ditanam secara kombinasi dengan menggunakan tanaman tersebut dengan banyak dua sampai tiga jenis tanaman.Petani yang mendapatkan pengairan dari sumber air, menggunakan lahannya secara rotasi antara ladang dan sawah. Pada musim kemarau lahannya digunakan sebagi ladang dan pada musim penghujan digunakan sebagai areal sawah. Petani yang tidak mendapatkan pengairan menggunakan sistem ladang secara terus menerus dengan 3 – 4 kali musim tanam dengan jenis tanaman yang berbeda – beda untuk setiap jangka waktu tersebut.

Sawah merupakan areal pertanian lahan basah yang ditanami secara monokultur dengan tanaman padi. Usia tanam padi sampai dengan panen berkisar antara 5 – 6 bulan, sesudah masa panen pada umunya petani mengganti jenis penggunaan lahan dengan jenis ladang, dengan tanaman jagung, singkong, ketimun, ubi jalar dan sebagainya. Areal persawahan terletak pada daerah hilir DTA Cilebak dengan kondisi topografi yang relatif datar. Kebun campuran merupakan lahan yang ditumbuhi oleh tanaman pangan

dan tanaman tahunan termasuk pohon – pohonan. Secara umum, pada kebun campuran dapat ditemui tanaman pangan dan tahunan seperti tomat, ketimun, pisang, pohon buah – buahan atau kehutanan lainnya, seperti alpukat, mangga, bambu dan sengon. Masyarakat mengkombinasikan cara penanaman ini dengan maksud selain memperoleh hasil yang lebih cepat dari tanaman pangan mereka juga memiliki investasi dari pohon buah – buahan atau kehutanan yang waktu panennya lebih lama.

Pemukiman merupakan areal yang didominasi oleh rumah dan bangunan lainnya. Jarak antar rumah relatif rapat, namun ada pula yang letaknya terpencar. Pemukiman tersebar dari daerah hilir sampai daerah hulu, mendekati ke arah kaki gunung dan gunung.


(52)

52

F. Karakteristik Daerah Aliran Sungai 1. Arah Aliran

Arah aliran merupakan dasar/ basis dari seluruh proses modeling pada Daerah Aliran Sungai. Arah aliran ditunjukkan oleh sel khusus yang mempunyai nilai grid antara 1 – 128 yang didasarkan pada arah aliran yang akan mengalir pada sebuah sel khusus. Arah aliran diperoleh dari penurunan Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan resolusi piksel berukuran 10 x 10m.

Arah aliran dibentuk dengan terlebih dahulu menghilangkan sink yang terbentuk. Sink, merupakan suatu daerah yang terdapat di lembah yang sempit dimana lebar lembah tersebut lebih kecil dari sel. Sink menimbulkan permasalahan karena mengganggu topologi drainase dan harus dihilangkan untuk menghasilkan arah aliran.


(53)

53

Berdasarkan Gambar 14, pada delapan arah aliran yang terbentuk dapat diketahui arah aliran terbesar DTA Cilebak mengalir ke arah Timur Laut dengan luasan sebesar 122,17 Ha (30,52 %), aliran terendah mengalir ke arah selatan sebesar 1,10 Ha (0,27 %). Pada aliran sungai DTA Cilebak arah aliran sungai dari hulu ke hilir mengalir dari arah selatan ke utara dengan luasan yang sebagaian besar berada di timur laut.

Tabel 10. Arah Aliran DTA Cilebak

Parameter Arah Aliran Luas (Ha) Persentase (%)

1 2 4 8 16 32 64 128 Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat Barat Laut Utara Timur Laut 39,41 4,28 1,10 3,63 50,27 85,50 94,88 122,17 9,85 1,07 0,27 0,91 12,56 2136 23,70 30,52

Total 400,24 100

2. Akumulasi Aliran

Apabila arah aliran telah diketahui maka maka dapat diketahui area (sel-sel) yang mempunyai aliran air berlebih dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut menggambarkan akumulasi aliran.

Akumulasi aliran terkecil terdapat pada bagian yang ditunjukkan dengan sel terkecil yaitu dengan nilai 0 – 4500. Sel terkecil pada umumnya tersebar pada topografi yang memilki kemiringan yang relatif curam, karena sel – sel tersebut menunjukkan sumber – sumber air, yang dapat berupa mata air, Akumulasi terbesar berkisar diantara 36000 - 40500 sel yang merupakan daerah dengan topografi yang rendah (bagian hilir). Sel yang mempunyai akumulasi tertinggi merupakan daerah konsentrasi aliran dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi jaringan sungai.

Akumulasi aliran dapat menggambarkan sel – sel yang memiliki jumlah air berlebih, informasi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk pemanfaatan air tersebut, misalnya untuk kepentingan pengairan, irigasi, dan sebagainya.


(54)

54

Gambar 15. Peta Akumulasi Aliran DTA Cilebak 3. Jaringan Sungai

Jaringan sungai diturunkan dari akumulasi aliran dengan minimum jumlah sel sebesar 100. Jumlah minimum sel tersebut menghasilkan jaringan sungai yang lebih spesifik dibandingkan sungai hasil digitasi Peta Rupabumi Indonesia. Terlihat bentuk sungai hasil digitasi dan model menunjukkan bentuk yang mirip, hal ini menunjukkan hasil model mempunyai tingkat kekakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengetahui paramater DAS lainnya melalui informasi jaringan sungai.

Pola aliran (drainage pattern) saluran sungai Sub DAS Cirasea secara umum menyerupai bentuk cabang-ranting-pohon (dendritic patern). Jaringan di daerah hulu sungai lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat pada bagian hilir. Pola tersebut bila dikaitkan dengan sistem aliran sungai (drainage system) dapat mempercepat gerakan limpasan air dan mempermudah terjadinya erosi tanah.


(55)

55

Gambar 16. Peta Jaringan Sungai DTA Cilebak 4. Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature

Dengan menggunakan map calculator dapat diketahui jumlah sel yang mendominasi permukaan dengan nilai tertentu. Nilai positif menunjukkan cembung sedangkan nilai negatif menunjukkan cekung. Jumlah masing – masing sel ditampilkan pada tabel berikut :

Tabel 11. Jumlah sel pada Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature

Curvature merupakan bentuk dari permukaan untuk memahami erosi dan proses drainase, curvature terbagi menjadi dua bagian, yaitu : convex (cembung) dan concave (cekung). Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa DTA Cilebak didominasi oleh lereng yang bernilai positif (+), hal ini

Curvature Profile curvature Planform curvature

Nilai

<0 0 >0 <0 0 >0 <0 0 >0 67787 21286 71231 73445 14867 71992 69378 21286 72150


(56)

56

mengindikasikan bahwa lereng permukaan tanah didominasi oleh bentuk cembung (convex). Menurut Arsyad (2000) erosi lembar lebih kuat terjadi pada pada permukaan cembung daripada permukaan cekung. Sedangkan pada permukaan cekung cenderung terbentuk erosi alur atau parit. Erosi alur merupakan penyebab utama terjadinya pengendapan.

Gambar 17. Peta Curvature DTA Cilebak

Profile curvature menggambarkan arah dari kemiringan, terbagi menjadi dua, yaitu cekung (aliran lambat dan mengalami deposisi) dan cembung (peningkatan kemiringan dan erosi). Berdasarkan peta profil curvature, dapat diketahui aliran permukaan lebih banyak mengalir pada bentuk cekung. Aliran permukaan yang mengalir pada permukaan yang cekung akan mengalir dalam jangka waktu yang lebih lambat dibandingkan pada permukaan cembung Aliran yang mengalir membawa erosi tanah dapat mengalami deposisi dan mengendap pada permukaan tanah sehingga tidak sampai ke saluran air yang akan mengalir ke anak sungai maupun sungai. Berbeda dengan permukaan


(57)

57

cembung dengan peningkatan kemiringan akan mempercepat terjadinya erosi yang didukung oleh limpasan yang mengalir lebih cepat.

Gambar 18. Peta Profil Curvature DTA Cilebak

Planform Curvature menggambarkan kurvatur suatu permukaan tegak lurus terhadap arah kemiringan dimana: cembung, aliran divergen mengindikasikan bukit dan cekung, aliran konvergen mengindikasikan adanya lembah. Berdasarkan data yang terdapat dari hasil intepretasi Planform Curvature menunjukkan bahwa daerah penelitian berada pada topografi berbukit.


(58)

58

Gambar 19. Peta Planform Curvature G. Erosi

1. Faktor penduga erosi a. Erosivitas Hujan

Erosivitas hujan merupakan ukuran keagresifan curah hujan untuk menimbulkan erosi tanah melalui kekuatan merusak butir – butir air hujan dan air limpasan yang terbentuk. Erosivitas ini akan mempengaruhi terjadinya erosi dengan energi dari curah hujan tersebut.Dengan menggunakan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan dan hujan maksimum selama 24 jam pada bulan tersebut dapat diketahui nilai erosivitas hujan tahun 2003 – 2004 pada DTA Cilebak adalah sebesar 1968,79.


(1)

Lampiran 19 (Lanjutan)

Tanggal Waktu CH (mm) TMA (m) Debit ( m3/s)

Aliran Dasar ( m3/s)

Aliran Permukaan ( m3/s)

30/03/2005 13:00 5.8 0.080 0.226

13:30 19.4 0.080 0.226

14:00 8.7 0.080 0.226

14:30 0 0.080 0.226 0.226 0.000

15:00 5.6 0.220 3.266 1.039 2.227

15:30 0.540 34.956 1.808 33.148

16:00 0.200 2.539 2.539 0.000

16:30 0.120 0.659

17:00 0.100 0.407

17:30 0.090 0.308

18:00 0.080 0.226

18:30 0.080 0.226

Jumlah Curah Hujan (mm) 39.5

Jumlah Aliran Permukaan

(m^3/s) 35.375

V DRO (m^3) 63675.071

L.DAS (m2) 4002400.000

tebal runoff (m) 0.0159

tebal Run Off (mm) 15.909

tebal Run Off (cm) 1.591

C (Koefisien Run Off) 0.403

Gambar Hidrograf Aliran DTA Cilebak tanggal 30 Maret 2005

0.000 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 13:0 0

13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 17:30 18:00 18:3 0 Waktu De b it 0 5 10 15 20 25 Cu ra h h u ja n


(2)

Record R K LS C P A

1 1968.790 0.138 0.720 0.750 1.000 146.351

2 1968.790 0.138 0.719 0.750 1.000 146.120

3 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.546

4 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.609

5 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.589

6 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.547

7 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.545

8 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.522

9 1968.790 0.138 0.470 0.750 1.000 95.469

10 1968.790 0.138 0.395 0.750 1.000 80.301

11 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.013

12 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.090

13 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.066

14 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

15 1968.790 0.138 0.719 0.750 1.000 146.210

16 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.102

17 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.149

18 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.135

19 1968.790 0.138 0.856 0.750 1.000 173.916

20 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.578

21 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.578

22 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.590

23 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.601

24 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.611

25 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.620

26 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.628

27 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.635

28 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.640

29 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.604

30 1968.790 0.138 0.722 0.750 1.000 146.831

31 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 146.935

32 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 146.936

33 1968.790 0.138 0.471 0.750 1.000 95.707

34 1968.790 0.138 0.396 0.750 1.000 80.454

35 1968.790 0.138 0.396 0.750 1.000 80.452

36 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.145

37 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.143

38 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.140

39 1968.790 0.138 0.400 0.750 1.000 81.276

40 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.643

41 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.638

42 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.510

43 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

44 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.624

45 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.804

46 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.870

47 1968.790 0.138 0.858 0.750 1.000 174.326


(3)

49 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.128

50 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.109

51 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.089

52 1968.790 0.138 0.856 0.750 1.000 173.865

53 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

54 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

55 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

56 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

57 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

58 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

59 1968.790 0.138 0.606 0.750 1.000 123.070

60 1968.790 0.138 0.606 0.750 1.000 123.186

61 1968.790 0.138 0.721 0.750 1.000 146.576

62 1968.790 0.138 0.722 0.750 1.000 146.856

63 1968.790 0.138 0.724 0.750 1.000 147.095

64 1968.790 0.138 0.724 0.750 1.000 147.129

65 1968.790 0.138 0.724 0.750 1.000 147.142

66 1968.790 0.138 0.724 0.750 1.000 147.133

67 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 147.123

68 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 147.071

69 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 146.998

70 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 146.964

71 1968.790 0.138 0.471 0.750 1.000 95.749

72 1968.790 0.138 0.471 0.750 1.000 95.731

73 1968.790 0.138 0.470 0.750 1.000 95.713

74 1968.790 0.138 0.396 0.750 1.000 80.457

75 1968.790 0.138 0.396 0.750 1.000 80.458

76 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.173

77 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.172

78 1968.790 0.138 0.400 0.750 1.000 81.310

79 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.687

80 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.684

81 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.681

82 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.676

83 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.671

84 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.665

85 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.578

86 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

87 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

88 1968.790 0.138 0.722 0.750 1.000 146.713

89 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.856

90 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.900

91 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.882

92 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.863

93 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.843

94 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.822

95 1968.790 0.138 0.858 0.750 1.000 174.272

96 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.108

97 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.064


(4)

99 1968.790 0.138 0.857 0.750 1.000 174.016

100 1968.790 0.138 0.856 0.750 1.000 173.788

101 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

102 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

103 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

104 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

105 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

106 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

107 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

108 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

109 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

110 1968.790 0.138 0.606 0.750 1.000 123.263

111 1968.790 0.138 0.608 0.750 1.000 123.521

112 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 147.083

113 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 147.078

114 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 147.031

115 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 146.963

116 1968.790 0.138 0.723 0.750 1.000 146.975

117 1968.790 0.138 0.471 0.750 1.000 95.759

118 1968.790 0.138 0.470 0.750 1.000 95.725

119 1968.790 0.138 0.470 0.750 1.000 95.710

120 1968.790 0.138 0.470 0.750 1.000 95.694

121 1968.790 0.138 0.396 0.750 1.000 80.477

122 1968.790 0.138 0.396 0.750 1.000 80.480

123 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.217

124 1968.790 0.138 0.394 0.750 1.000 80.198

125 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.722

126 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.722

127 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.721

128 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.719

129 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.717

130 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.714

131 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.730

132 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.726

133 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.720

134 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.714

135 1968.790 0.138 0.475 0.750 1.000 96.687

136 1968.790 0.138 0.497 0.750 1.000 101.053

137 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

138 1968.790 0.138 0.000 0.750 1.000 0.000

139 1968.790 0.138 0.722 0.750 1.000 146.800

140 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.906

141 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.928

142 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.908

143 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.887

144 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.866

145 1968.790 0.138 0.860 0.750 1.000 174.843

Catatan :


(5)

Lampiran 21. Dokumentasi Penelitian

Stasiun Pengamat Arus Sungai

Automatic Water Level Recorder


(6)

Lampiran 21. (Lanjutan)

Hutan Kerapatan Rendah

Penggunaan Lahan Semak Belukar