commit to user
38
BAB III KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA
REVOLUSI FISIK 1945
A. Surakarta sebagai Kota Oposisi
Keberadaan Surakarta sebagai kota oposisi tidak terlepas dari kedudukan Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Berpindahnya ibukota dari
Jakarta ke Yogyakarta disebabkan oleh keadaan Jakarta yang tidak aman. Konflik antara sekutu dan NICA melawan kekuatan republik di Jakarta semakin memanas.
Masalah diplomasi nyaris menemui jalan buntu yang menyebabkan pemerintah Syahrir dan Amir terjebak dalam kevakuman. Keadaan ini harus dibayar mahal
oleh pemerintah dengan menghadirkan suara-suara ketidakpuasan dan ketidaksukaan atas sistem diplomasi yang diterapkan, tentu saja oposisi semakin
menghebat apalagi ditambah dalam tubuh KNIP sendiri terjadi perpecahan.
1
Syahrir, Amir dan Hatta terus berjuang lewat radio untuk menenangkan rakyat yang kenyataannya tidak bisa dipahami oleh pejuang-
pejuang yang “gatal tangannya” untuk menghancurkan musuh.
2
Hal ini terlihat dari usaha-usaha dari gerakan sempalan dari regu-regu KNIL yang membandel untuk membunuh
Syahrir dan Amir. Dengan demikian, situasi ibukota secara umum mengkhawatirkan. Oleh
karena itu dibutuhkan usaha-usaha menghindarkan diri dari konflik yang semakin
1
Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 101.
2
Ibid.
commit to user
memanas di ibukota dengan mencari wilayah yang lebih tenang di pedalaman. Akhirnya, Yogyakarta terpilih sebagai basis republik menggantikan Jakarta.
Sukarno beserta rombongan kabinet Syahrir kecuali Syahrir sendiri secara diam- diam naik kereta api dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Tugu Yogyakarta.
Kedatangan petinggi-petinggi Negara ini disambut Sultan tanggal 4 Januari 1946, tanpa pesta, parade dan atraksi pertunjukan. Untuk selanjutnya, kegiatan
pemerintah negara dipusatkan di Gedung Negara jalan Malioboro. Menurut dokter pribadi Sukarno, pemilihan Yogyakarta sebagai ibu kota
Negara disebabkan oleh tawaran yang diberikan Sultan terhadap Sukarno. Sultan telah mengundang Sukarno untuk menempatkan ibu kota yang berada di Jakarta
ke Yogyakarta. Undangan tersebut dibawa oleh seorang kurir yang berangkat dari Yogyakarta tanggal 2 Januari 1945. Selain itu Yogyakarta memiliki faktor-faktor
keunggulan yaitu 1 Yogyakarta terletak di Jawa Tengah bagian selatan yang jauh dari jangkauan musuh; 2 Hubungan Yogyakarta ke segala penjuru mudah; 3
Keberadaan markas Tentara Keamanan Rakyat dan adanya Laskar Rakyat Mataram; dan 4 Suasana Yogyakarta yang revolusioner dan republiken.
Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota
yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu
Surakarta. Kekuatan oposisi yang bermarkas di Surakarta adalah kelompok kiri pimpinan Tan Malaka beserta kekuatan-kekuatan baik partai politik maupun
badan-badan perjuangan yang mendukungnya. Tan Malaka merupakan seseorang yang melegenda di hati sebagian besar
pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk Soekarno. Visi revolusi Tan Malaka
commit to user
didasarkan pada pemberontakan masyarakat Indonesia dengan revolusi total bukan saja imperialisme dan penjajah yang diusir tapi juga mengikis habis sisa-
sisa kebudayaan lama, seperti feodalisme. Hal ini dikarenakan, feodalisme menyuburkan mentalitas budak yang sarat dengan cerita-cerita takhayul dan
mistik sehingga meyebabkan orang menyerah kepada alam. Keprihatinan Tan Malaka dituangkan dalam karyanya Madilog sebagai kritik terhadap mentalitas
budak yang masih dimiliki bangsanya.
3
Baginya, kemerdekaan bukan hanya berarti politik tetapi juga ekonomi, sosial dan lebih dari itu mental. Revolusi total
hanya bisa terjadi dan berhasil kalau; 1. Massa dapat digerakkan; 2. Ada organisasi yang kuat untuk menjaga disiplin dan jalan revolusi dengan cara hukum
besi; dan 3. Ada pimpinan revolusi. Dari sinilah Tan Malaka menginginkan sebagai
”kemudi’ revolusi yang membawa revolusi menurut ”selera”nya. Tan Malaka ingin menjadi “pemimpin revolusi”, hingga berbenturan dengan kelompok
lain terutama Syahrir.
4
B. Kelompok Oposisi di Surakarta