Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan Komite Nasional Indonesia

commit to user Pernyataan pemerintah tersebut mengundang protes dan penolakan dari badan-badan perjuangan. Mereka menganggap partisipasi kerajaan dalam menegakkan kedaulatan Republik Indonesia tidak dapat diandalkan. Selain itu berkembangnya semangat persamaan derajat egalitarian manusia dalam konteks bernegara diwujudkan dalam sistem demokrasi dan setiap manusia memiliki hak politik yang sama. Di luar semangat nasionalisme dan demokrasi yang menggebu dalam barisan perjuangan, hal lain yang tidak boleh dilupakan ialah oportunis individu dalam memandang kekuasaan, sebagian besar kelompok yang terlibat didasari oleh kepentingan ekonomi tiap-tiap individu dan pencarian status sosial yang penting dalam mentalitas bangsa. Pemihakan KNID Surakarta terhadap demokrasi menyebabkan KNID Surakarta memiliki kemampuan untuk eksis dan memobilisasi badan perjuangan yang menyebabkan terjadinya penyerahan kekuasaan dan senjata dari pihak Jepang kepada KNID Surakarta.

B. Peran Komite Nasional Indonesia Daerah KNID Surakarta

1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan Komite Nasional Indonesia

Daerah Surakarta Pendudukan tentara militer Jepang di Surakarta ditandai dengan dibangunnya Markas Polisi Militer Tentara Angkatan Darat Jepang yang disebut commit to user Surakarta Nippon Rikugun Kenpeitai atau sering disebut Kenpeitai Surakarta. Tentara Jepang menduduki Indonesia pada umumnya dan Surakarta pada khususnya, mempunyai tujuan untuk memperkuat pertahanan militernya dalam perang Asia Timur Raya. Jepang membentuk pasukan pembantu perang yang disebut Peta dan Heiho yang terpusat ke dalam organisasi Boui Engo Kai. Tugas pasukan Peta lebih dititikberatkan untuk keperluan pertahanan teritorial wilayah Surakarta, sedangkan Heiho tugasnya dititikberatkan untuk membantu tugas tentara Jepang dalam perangnya. Pasukan tentara Jepang yang bertugas di Kenpeitai Surakarta adalah pasukan tentara Angkatan Darat Jepang yang bernama Masse Butai. Masse Butai adalah tentara Jepang yang sangat terkenal karena keganasan dan kekejamannya. Masse Butai ditempatkan di seluruh daerah Surakarta yaitu Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan lain-lain. Kantor pusat Masse Butai adalah di Mangkubumen Surakarta, sedangkan kubu pertahanannya berada di Tampir Boyolali. Selain membentuk kekuatan militer, Jepang juga membentuk kekuatan sipil di Surakarta dengan nama Surakarta Kochi Jimmu Kyoku yang kepala atau Suchokan-nya dipegang oleh T. Watanabe. Kantor pusat Surakarta Kochi Jimmu Kyoku adalah di kantor Balaikota sekarang. 6 6 Raudlotul Fauziah, 2005, Peranan Boui Engo Kai Pada Masa Pendudukan Jepang di Surakarta tahun 1943-1945, Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal. 85. commit to user Masa pendudukan Jepang di Indonesia telah membawa perubahan dalam segala bidang, terutama setelah Jepang mengumumkan janjinya untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Tetapi janji kemerdekaan tersebut mulai diragukan rakyat Indonesia setelah Jepang membubarkan partai politik yang ada dan melakukan penyegelan terhadap radio-radio milik rakyat. Tetapi keadaan tersebut tidak mematahkan dan memadamkan jiwa dan semangat tentara Heiho dan Peta, yang diam-diam berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melakukan gerakan rakyat Indonesia untuk merdeka. Mereka sadar bahwa kemerdekaan hanya akan terwujud dengan perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, melalui pertemuan dan rapat-rapat mereka berusaha mematangkan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Surakarta untuk melawan dan menentang Jepang. Pada awal Agustus 1945, tentara Jepang sudah menampakkan kemunduran-kemunduran dalam peperangan Asia Timur Raya. Pada tanggal 6 Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945 kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh Amerika Serikat sehingga membuat Jepang tidak berdaya lagi. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang resmi menyerah dalam perang melawan AS dan sekutunya. Penyerahan Jepang tersebut disusul dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia segera tersebar luas ke pemimpin pergerakan maupun masyarakat di Surakarta. Proklamasi tersebut juga merupakan suatu perintah untuk mencetuskan revolusi guna merebut kekuasaan dari tangan commit to user Jepang. Gerakan-gerakan atau aksi-aksi perlawanan untuk menuju kemerdekaan Indonesia telah siap dilakukan oleh masyarakat Surakarta. Setelah tentara Jepang mengalami kekalahan dan adanya proklamasi kemerdekaan, secara otomatis masyarakat tidak mengakui lagi kekuasaan Jepang yang ada di Indonesia. Di Surakarta, masyarakat tidak mengakui lagi kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Surakarta Kochi Jimmu Kyoku. Pada tanggal 1 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta mengadakan perundingan dengan Watanabe sebagai Suchokan di Surakarta. Perundingan tersebut bertujuan agar Kochi Jimmu Kyoku menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah Surakarta karena Jepang telah mengalami kekalahan. Dengan tanpa perlawanan, Watanabe menyerahkan kekuasaannya di Surakarta kepada Mr. B.P.H Soemodiningrat sebagai Kepala Pemerintah Surakarta. Sehingga pada tanggal 1 Oktober 1945 secara resmi seluruh kekuasaan Jepang di Surakarta telah diserahkan kepada bangsa Indonesia. 7 Penyerahan kekuasaan Jepang terjadi setelah adanya keinginan KNIDS untuk mengurusi pemerintahan di Surakarta berdasarkan kedaulatan republik. Peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1945 bertempat di gedung Kooti Zimu Kyoku Tyokan sekarang Balaikota merupakan kudeta terselubung pihak KNIDS terhadap kerajaan di Surakarta. Adapun isi pernyataan penyerahan kekuasaan 7 Ibid. commit to user tersebut yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Oktober 1945, adalah sebagai berikut: PENJERAHAN PEMERINTAHAN Pada hari Senin tanggal 1 Oktober 1945, seloeroeh Pemerintahan Kooti Zimu Kyoku dan semoea peroesahaan telah diserahkn kepada KOMITE NASIONAL DAERAH SURAKARTA oleh Tyookan. MERDEKA Komite Nasional Barisan Penerangan Setelah penyerahan kekuasaan tersebut disepakati oleh kedua belah pihak, maka H. Watanabe sebagai penguasa pemerintahan sipil Jepang dan Sumodiningrat sebagai ketua KNIDS keluar gedung untuk menemui ribuan massa yang sebagian besar berasal dari laskar perjuangan. Kehadiran massa ini tentu digunakan sebagai senjata ampuh untuk mengintimidasi pemimpin Jepang dengan kesiagaan massa untuk menghadapi “hal-hal yang tidak diinginkan”. Penyerahan kekuasaan pemerintahan sipil tidak hanya terbatas pada bidang administrasi sipil saja, namun melibatkan unsur-unsur perekonomian sebagaimana terlihat dalam isi penyerahan itu sendiri. Perusahaan-perusahaan yang semasa Jepang menduduki Surakarta diserahkan kembali kepada pribumi. commit to user Selanjutnya tempat kediaman Suchokan Watanabe yang pada waktu pemerintahan Jepang berada di Loji Gandrung dan juga merupakan pusat pemerintahan sipil ini setelah penyerahan kekuasaan tidak lagi digunakan, tetapi Watanabe kemudian pindah ke Tampir, Boyolali. Tempat baru ini juga sebagai konsentrasi penempatan orang-orang Jepang dari daerah Surakarta pada umumnya, baik orang-orang sipil maupun militer. 8 Dalam revolusi kemerdekaan di Surakarta, sasaran pokoknya adalah merebut senjata dari tentara Jepang, karena senjata merupakan syarat utama untuk dapat meneruskan perjuangan Indonesia. Sasaran utama untuk mendapatkan senjata di Surakarta adalah Masse Butai, yang secara militer menguasai persenjataan di seluruh daerah Surakarta. Dua unsur kekuatan Jepang lainnya, yang bersifat militer, secara dominan dihadapi dengan kekerasan daripada diplomasi. Tidak seperti bidang pemerintahan sipil yang dapat diselesaikan melalui diplomasi saja. Untuk menghadapi pasukan Butai yang dipimpin Letnan Komandan T. Masse, dan Kenpeitai yang dipimpin kapten Sato, KNID Surakarta bersama rakyat bekerja keras dan penuh resiko. Kelompok Butai Masse secara damai dapat diselesaikan dengan baik. Upaya pendekatan yang diwakili Suyatno Yosodipuro seorang pemuda dan Sunarto Kusumodirjo eks Sudancho Manahan dengan Panglima Militer di seluruh Surakarta, T. Masse mengalami keberhasilan. Tempat perundingan 8 Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran Bangun Nusantara, hal. 38. commit to user mereka di pendopo Kabupaten Boyolali. Hasil perundingan ini ialah penyerahan kekuasaan kelompok Butai tersebut bersama perlengkapan senjatanya kepada pihak Indonesia. Secara resmi proses penyerahan kekuasaan kelompok militer Butai Masse itu berlangsung pada 5 Oktober 1945. Sebagai penerimanya adalah wakil-wakil KNID Surakarta yaitu Sunarto Kusumodirjo, GPH Jatikusumo, Mulyadi Joyomartono dan Achmad Fajar dengan pemimpinnya BPH Sumodiningrat. Dengan demikian penyerahan kekuasaan militer terutama kelompok Butai juga diupayakan oleh KNID Surakarta yang cukup berhasil tanpa melalui jalan kekerasan. Penyerahan kekuasaan tersebut berlangsung di Markas Besar Kenpeitai. Adapun bunyi surat penyerahan kekuasaan ini adalah sebagai berikut 9 : ” Pada hari Jumat 5 Oktober 1945 saya, Panglima dari pasoekan tentar Nippon dalam daerah Soerakarta, Letnan Komandan T. Masse menyerahkan segala tanggung jawab atas penjagaan semoeanya alat-alat senjata dan mesioe yang berada di bawah kekoeasaan saya, kepada Pembesar Pemerintahan Bangsa Indonesia daerah Soerakarta.” Bila pengambilalihan kekuasaan dari kelompok Butai berlangsung secara damai, maka untuk kelompok pasukan Kenpeitai bersifat sebaliknya. Kapten Sato yang menjadi komandan Kenpeitai tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada pihak Indonesia. Oleh karenanya para pejuang kemerdekaan di Surakarta 9 Karkono Kamajaya, 1993, Revolusi di Surakarta, Makalah Temu Ilmiah, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 9. commit to user menjalankan cara-cara kekerasan setelah jalan perundingan beberapa kali tanpa hasil. Alasan Sato menolak penyerahan kekuasaan dan senjata Jepang kepada pihak Indonesia, karena belum menerima perintah dari Tenno Haika Kaisar Jepang. Alasan ini tampaknya masuk akal dilihat dari segi disiplin militer Jepang yang menekankan loyalitas penuh kepada atasannya. Pada 12 Oktober 1945 Ketua KNID Surakarta, BPH Sumodiningrat yang disertai Mulyadi Joyomartono dan Sunarto Kusumodirjo untuk kesekian kalinya menemui Komandan Sato. Bersamaan dengan itu rakyat mengepung kantor Kenpeitai yang berada di jalan Slamet Riyadi sekarang Hotel Cakra dengan bersenjata dalam jumlah banyak. Keadaan terkepung ini Kenpeitai bersikap agak lunak. Komandan Kenpeitai mengambil kebijaksanaan penyerahan kekuasaan akan dilakukan, tetapi tidak di kantor tersebut, melainkan akan dilaksanakan di Tampir, Boyolali. Dengan begitu perlu angkutan untuk mengantar orang-orang Jepang dari markas Kenpeitai itu. Komandan Kenpeitai minta disediakan empat buah truk dan dua sedan guna mengangkut pasukan Kenpeitai dan senjatanya ke Tampir. Permintaan tersebut sampai jam 18.30 tidak dapat dipenuhi pihak KNID Surakarta, karena kendaraan bermotor sudah disembunyikan para pemuda di Surakarta. Di samping itu perasaan khawatir terhadap keselamatan pemimpin KNID Surakarta menghantui kelompok pemuda. Persoalan itu berlanjut hingga menimbulkan suasana tegang. Pihak Kenpeitai marah dan timbullah tembak menembak dengan rakyat pejuang. Perselisihan senjata ini berlangsung sampai menjelang pagi hari. Dalam waktu commit to user semalam itulah pertempuran terjadi. Pada pukul 06.00 tanggal 13 Oktober 1945 secara mendadak muncul sebuah jeep yang ditumpangi empat pemuda menerobos masuk ke pertahanan Kenpeitai sambil menembakkan mitraliurnya kepada pasukan Kenpeitai. Di belakangnya rakyat pejuang menyusul dan menyerbu secara massal melawan pasukan Jepang tersebut. Dengan serbuan itulah pasukan Kenpeitai di bawah komandan Sato baru mau menyerahkan kekuasaan secara total beserta perlengkapan senjatanya kepada rakyat Surakarta. Pasukan Kenpeitai akhirnya kalah dan kemudian ditempatkan di rumah penjara untuk menghindar dari balas dendam rakyat. Selanjutnya mereka diangkut ke Tampir, Boyolali sebagai tempat konsentrasi atau pengumpulan orang-orang Jepang di daerah Surakarta 10 . Berkat KNID Surakarta, pemuda dan kalangan rakyat pejuang lainnya, pasukan Jepang di Surakarta dapat dikalahkan dan mau memberikan kekuasaannya. Sejak Kenpeitai dapat dikalahkan rakyat, BKR dan lain-lain yang diawali dari Timuran, maka pada 13 Oktober 1945 secara resmi militer Jepang di Surakarta telah menyerah. Oleh karena itu bertambah giatlah tuntutan penyerahan Kidobutai di daerah-daerah lain. 11 Hal ini misalnya di daerah Semarang dan sekitarnya. Dengan demikian penyerahan kekuasaan sipil pemerintah Jepang tersebut dapat dikatakan sepenuhnya sebagai hasil jerih payah KNID Surakarta dan rakyat. 10 Mawardi, op.cit., hal. 41. 11 Bambang Suprapto, Suara Merdeka, 14 Oktober 1987. commit to user Peralihan kekuasaan pemerintah sipil Jepang kepada KNID Surakarta segera disertai dengan perubahan-perubahan administratif yang diperlukan untuk menjalankan kekuasaan yang baru saja diperoleh. Surat-surat kepegawaian yang berurusan dengan kepegawaian yang semasa Jepang ditandatangani oleh Suchokan kemudian diganti dengan yang baru menggunakan cap dan tanda tangan ketua KNID Surakarta. Penyerahan kekuasaan yang secara simbolik diterima BPH Sumodiningrat selaku ketua KNID Surakarta itu memberikan dampak bagi para pemuda dan rakyat untuk mengambil segera senjata-senjata di markas Jepang. Di bawah komando para pemimpin kelaskaran di daerah Surakarta pengambilan senjata Jepang berlangsung di beberapa tempat misalnya di Colomadu, Mangkubumen. Bangak, Simowalen, gembongan, dan Pengging. Pengambilan senjata Jepang ini dilakukan oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran tanpa inventarisasi yang tertib, ada yang langsung dibagikan kepada kelompok pasukannya dan ada yang disimpan di gudang sehingga menyulitkan untuk mengetahui berapa jumlah dan jenisnya. Selain itu persoalan senjata ini di masa selanjutnya sering menimbulkan pertentangan diantara kelompok laskar. Konflik antar kelaskaran di Surakarta di kemudian hari sering terjadi. 12 12 Mawardi, op.cit., hal. 40. commit to user

2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah