commit to user 30
perubahan dunia sampai ke isu-isu yang dibicarakan di Volksraad, seperti kekurangan pangan akibat tertundanya impor beras dari Hindia Inggris Birma,
pengurangan penanaman gula tebu untuk meningkatkan produksi bahan pangan, dan pembentukan dewan kota praja dan dewan desa. Semua ini membuat Tjipto
dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual penting oleh aktivis SI yang radikal, dan di mata mereka Insulinde Surakarta lekat dengan sosok Tjipto.
18
C. Radikalisme Surakarta pada masa Jepang
1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan
Pada masa pendudukan Jepang di Surakarta banyak terbentuk berbagai kesatuan perjuangan yang disebut sebagai badan-badan kelaskaran. Laskar-laskar
ini terbentuk secara cepat dan berasal dari berbagai unsur sosial. Kelompok- kelompok yang telah ada sebelumnya menyatukan diri menurut kepentingan
revolusi dengan nama dan keanggotaan yang cenderung bersifat faksional. Misalnya kelompok pemuda mengorganisasikan diri mereka, kelompok eksponen
tentara masa Jepang, kelompok politik, dan sebagainya. Laskar-laskar yang terbentuk antara lain Barisan Laskar Banteng BLB
yang berseragam hijau di bawah pimpinan Dr. Muwardi, para anggotanya ada yang berasal dari Gerakan Suisintai dan kelompok pemuda lainnya misalnya
kelompok delapan. Pemuda Sosialis Indonesia atau yang dikenal dengan PESINDO terbentuk dengan para anggotanya yang banyak berasal dari golongan
pemuda yang berhaluan ideologi kiri radikal di bawah pimpinan Sukarno. Badan
18
Ibid., hal. 194.
commit to user 31
Pemberontak Republik Indonesia BPRI yang sebenarnya berpusat di Surabaya di bawah Bung Tomo, di Surakarta dipimpin oleh Gunarjo. Selanjutnya Laskar
Rakyat yang memakai seragam berwarna kuning dipimpin oleh Iskandar Kusumodirdjo, Hizbullah di bawah pimpinan Munawar dan sebagainya, terutama
dari kalangan rakyat terpelajar. Para pelajar di Surakarta terorganisir dalam beberapa kelaskaran di
antaranya Pasukan Satria, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, dan BPRI. Selain itu ada Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi, Laskar Barisan
Pemuda Jelata di bawah pimpinan Prakosa, dan Laskar Garuda di bawah Masuri. Kedua laskar yang terakhir ini kemudian berhimpun dan di bawah komando
Markas Besar TP Pusat di Yogyakarta dan bukan di bawah IPI Pertahanan.
19
Para pelajar yang tergabung dalam kesatuan kelaskaran pelajar terkenal dengan sebutan Tentara Pelajar TP dengan tokoh-tokohnya Prakosa, Soebroto,
dan Achmadi. Pusat Komando TP berada di Yogyakarta. Pada masa awal Revolusi TP berperan besar, baik di bidang militer, politik maupun sosial.
Terbentuknya laskar-laskar pelajar tersebut mendukung sekali jalannya revolusi di Surakarta. Di kota Surakarta dibentuk komando Militer Kota oleh para elite
militer dan TP untuk menjaga stabilitas dan keamanan kota. Disini tokoh-tokoh pelajar berperan penting, misalnya Prakosa, A. Latief dan Achmadi.
Di daerah pedesaan juga dibentuk kesatuan-kesatuan kelaskaran yang berfungsi memobilisasi kekuatan rakyat desa. Laskar-laskar rakyat di pedesaan ini
sebagai kelanjutan dari pembentukan laskar-laskar di kota, berarti sebagai manifestasi dari suatu urban revolution revolusi kota ke rural revolution
19
Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran Bangun Nusantara, hal. 48.
commit to user 32
revolusi desa. Para anggota kelaskaran di desa-desa terdiri dari pemuda, tokoh politik, pemimpin agama, dan lainnya. Organisasi kelaskaran ini misalnya Laskar
Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.
20
Laskar-laskar di pedesaan tersebut timbul secara spontan dan menentukan para pemimpinnya sendiri. Untuk menghadapi musuh para anggota laskar di desa-
desa itu m enggunakan strategi perang “gerilya”. Secara umum mereka banyak
menggunakan persenjataan tradisional, misalnya keris, pedang, granggang, tombak, bandil, dsb. Hal ini berbeda dengan apa yang dimiliki oleh laskar-laskar
di kota yang terutama berasal dari kesatuan-kesatuan eksponen militer yang telah banyak memegang senjata modern. Para anggota kelaskaran di desa-desa juga
diwarnai dengan penguasaan ngelmu tertentu dan berbagai jimat untuk mempertebal kekuatan diri secara magis. Kekuatan magis ini dicari dan diperoleh
dari cara berguru kepada para ahli magis atau dukun dan kyai. Beberapa macam jimat yang dipakai sebagai sarana kekuatan magis itu diantaranya bernama
Tanjungsari, Kulbuntet, Bolandoh, Kalacakra, dll. Ini merupakan suatu refleksi tradisi Jawa yang masih berlanjut dalam masa Revolusi. Tradisi ini telah lama ada
misalnya bersamaan dengan munculnya gerakan protes atau sosial yang sering diperkuat oleh unsur-unsur religio-magis itu, tujuannya untuk memperoleh
kasekten, kawedungan, kadigdayan. Di Surakarta terdapat beberapa sumber ngelmu dari para kyai atau dukun,
dan yang terkenal waktu itu antara lain Kyai Juru Mertani, Kyai Mangun Hartono, Kyai Parakan, dan mbah Balak. Tampaknya bagi para pemuda dan pejuang secara
20
Ibid.
commit to user 33
umum mencari sandaran religio-magis dianggap penting selama revolusi kemerdekaan 1945-1950 itu dan memang secara psikologis hal ini cukup
berpengaruh bagi timbulnya semangat percaya diri yang kuat untuk menghadapi musuh.
Selama revolusi juga terlihat peranan para pejuang yang bersifat heroik terutama para pemuda. Di masyarakat pedesaan khususnya banyak ditemukan
tokoh- tokoh pejuang yang dinamakan “jago” yang secara umum mereka memiliki
sifat arogan atau “bandit”. Mereka pandai pencak silat dan memiliki kekuatan magis lainnya. Di beberapa daera
h istilah “jago” ini sering berlainan, misalnya di daerah Karesidenan Pekalongan disebut Lenggaong.
21
Di daerah Surakarta para “jago” tersebut juga penting artinya selama revolusi.
Selama pendudukan militerisme Jepang di Surakarta timbul gerakan protes bawah tanah atau ilegal. Gerakan ini menentang fasisme Jepang misalnya yang
dilancarkan oleh anggota-anggota PETA Pembela Tanah Air Daidan Wonogiri yang menamakan diri IPTAS Ikatan Prajurit Sejati. Gerakan ini di bawah
pimpinan Sutarto, seorang anggota PETA, dan di masa revolusi sebagai pendiri Angkatan Muda Tentara AMT di Surakarta pada 20 Agustus 1945.
Bila dilihat dari kepemimpinannya, maka timbulnya gerakan protes atau sosial tidak lepas dari pengaruh orang-orang kharismatik yang berasal dari
golongan sosial bangsawan, ulama, atau tokoh-tokoh yang memiliki kewibawaanotoritas tradisional lainnya misalnya guru tarekat, dukun dsb.
Tendensi religio-magis yang diperoleh dari berbagai sumber ngelmu menjadi penting dalam berbagai peristiwa gerakan, misalnya kadigdayan, kawedungan,
21
Anton E. Lucas, 1989, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, Jakarta: Grafiti Pers, hal. 143.
commit to user 34
kasekten dan daya magis lainnya. Unsur-unsur itu berpengaruh tidak saja bagi para pengikut gerakan sosial pada masa kolonial, namun juga dapat ditemukan
pada masa revolusi kemerdekaan untuk digunakan menghadapi musuh. Dengan demikian tradisi gerakan protes atau sosial yang telah ada sejak
masa kolonial dan sering berakibat timbulnya pergolakan yang besar dalam masyarakat itu turut menjadi faktor penting dan berpengaruh bagi revolusi sosial
di Surakarta. Meskipun pada masa revolusi terjadi proses transisi politik yang jelas, akan tetapi dasar-dasar kekuatan tradisional yang telah hidup pada masa
lampau secara mapan dalam pola pemikiran masyarakat Surakarta tidak lenyap begitu saja. Justru pada masa terjadinya ”krisis” itu peranan daya religio-magis
dan tradisi masa lampau ikut mendukung mengatasinya secara spontan. Terjadinya berbagai pergolakan sosial-politik di Surakarta juga tidak terlepas dari
struktur gerakan tradisional yang telah ada sebelumnya. Pada masa revolusi sosial hal ini terimplementasi dalam gerakan revolusioner, pendaulatan, konflik-konflik
dll.
2. Munculnya Hizbullah di Surakarta