mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa influencing views ofsociety on crime and punishment mass media.
88
Dari uraian pembagian kebijakan oleh Hoefnangels tersebut dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti:
Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak
pidana, sedangkan nonpenal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.
89
a. Ada keterpaduan integralitas antara politik hukum kriminal dan politik sosial.
b. Ada keterpaduan integralitas antar upaya penanggulangan kejahatan dengan
“penal” dan “non penal”. Keterpaduan maksudnya bahwa dalam melakukan kebijakan penanggulangan tidak
dapat hanya menggunakan kebijakan hukum pidana penal saja tetapi juga harus menggunakan berbagai macam pendekatan seperti kebijakan sosial dan kebijakan
pembangunan nasional.
90
1. Upaya Penanggulangan Pelanggaran Lalu Lintas Secara Penal
Karena penerapan hukum pidana sendiri memiliki banyak kekurangan dalam mencapai tujuannya.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana tidak dipidana menjadi suatu tindak pidana
perbuatan yang dapat dipidana. Jadi pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal criminal policy dengan menggunakan sarana hukum
pidana penal sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana penal policy.
91
88
Mahmud Mulyadi, Op. Cit, Hlm. 17
89
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 3-4.
90
Ibid.
91
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, Hlm 20.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di
samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu
segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya
tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan
penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative. Hal ini berarti bahwa dalam menanggulangi suatu kejahatan tidak ada suatu
keharusan yang mewajibkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut dengan sarana hukum pidana penal, mengingat penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
kebijakan hukum pidana berupa pemberian pidana memberikan dampak buruk seperti yang dikemukakan oleh Herman Bianchi bahwa lembaga penjara dan pidana penjara harus
dihapuskan untuk selama-lamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikitpun bekas yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini.
92
Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur prefentif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik
diharapkan ada efek pencegahanpenangkal “deterrent effect” nya. Di samping itu, kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hokum pidana
merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat “social dislike” atau pencelaankebencian sosial “social disapproval social
abhorrence” yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial”
92
Herman Bianchi dalam Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010 Cetakan II, Halaman 37.
Universitas Sumatera Utara
“social defence”. Oleh karena itulah sering dikatakan, bahwa “penal policy” merupakan bagian integral dari “social defence policy”.
93
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan secara penal tahap fungsionalisasinya harus melalui beberapa tahap, yaitu :
94
a. Tahap formulasi kebijakan legislatif ,adalah tahap penentuan terhadap perbuatan apa
saja yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana kebijakan kriminalisasi dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan terhadap pelanggar.
b. Tahap aplikasi kebijakan yudikatif undang-undang adalah tahap penerapan pasal-
pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut kepada masyarakat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 ini berlaku mulai tanggal 22 Juni 2009 untuk
menggantikan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992. Tetapi sangatlah tidak mungkin para pihak
terkait langsung dapat menerapkan undang-undang ini begitu saja, karena setiap undang-undang baru tentu saja memerlukan sosialisasi sebelum benar-benar
diterapkan kepada masyarakat. c.
Tahap eksekusi kebijakan eksekutifadministrative adalah kebijakan untuk memberikan sanksi pidana yang ada dalam didalam undang-undang lalu lintas
tersebut kpada pelaku tindak poidana lalu lintas dan angkutan jalan pemberian sanksinya harus sesuai dari ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Nomor 22
tahun 2009. Penanggulangan secara penal lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah
terjadinya suatu pelanggaran lalu lintas untuk memberikan efekjera bagi pelanggar. Untuk
93
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta : Kencana, 2008. Hlm 182.
94
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.27
Universitas Sumatera Utara
di Satuan Polisi Lalu Lintas Polresta Medan adapun tata cara prosedur penindakan pelanggaran lalu lintas terdiri dari
95
a. Tahap Pertama
:
1. Menghentikan pelanggar, memeriksa surat kelengkapan kendaraan SIM, STNK,
STCK maupun identitas pelanggar. 2.
Memberitahukan bahwa ia melakukan pelanggaran terhadap peraturan Undang- Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai pasal yang dilanggar.
3. Memberitahukan sanksi atas pelanggaran tersebut dan memberi penjelasan
mengenai tata cara mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu dengan melaksanakan sidang dan membayar denda, atau tanpa sidang tetapi menyetorkan
uang titipan ke bank yang ditunjuk. 4.
Menuliskan nama, pangkat NRP, Jabatan dan kesatuan penindak pada borgol tilang.
5. Menuliskan atau memberi tanda pada tulisan yang ada pada blanko tilang yakni
kesatuan penindak, nama pelanggar dan jenis kelamin, alamat, pekerjaan, umur, nomor KTP, golongan, tempat tanggal lahir. Untuk kendaraan juga dicatat nomor
polisi kendaraan, jenis, merk, nomor chasis, dan nomor mesin kendaraan pelanggar dicocokkan dengan STNK. Serta memuat hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam
saat ditindak dan tempat kejadian pelanggaran. Pasal yang dilanggar dan jumlah uang titipan atau ancaman denda sesuai dengan tabel yang ada pada lembar buku
tilang. b.
Tahap Kedua a
Menjelaskan sekali lagi cara pertanggungjawaban yang harus dilaksanakan oleh pelanggar dan pasal yang dilanggar serta denda atas pelanggaran yang dilakukan
95
Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Medan, 4 Juli 2016 pukul.09.30 Wib
Universitas Sumatera Utara
b Apabila pelanggar menolak atau tidak setuju atas sangkaan penyidikpenyidik
pembantu, maka : I.
Penyidik mencoret dengan tefas tulisan “DITITIPKAN” yang tertera pada lembar tilang.
II. Menyita barang bukti yang diperlukan sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan, yaitu: 1.
Jika pelanggar tidak memiliki SIM, maka yang disita adalah kendaraan bermotor karena pelanggar belum berhak mengemudikan kendaraan
bermotor. 2.
Jika pelanggar lupa membawa SIM dan dapat dibuktikan, maka yang disita adalah STNK.
3. Jika kendaraan bermotor yang digunakan tidak ada STNK, atau STNK
nya tidak cocok dengan kendaraan, maka yang disita adalah kendaraan bermotornya berikut STNK yang diduga palsu tersebut, yang selanjutnya
tersangka diperiksa lebih lanjut ke kantor polisi terdekat mengenai keabsahan kendaraansurat-surat yang dimilikinya dan dalam hal ini
pemerikasaan dapat dilanjutkan oleh penyidik Satuan Reserse Kriminal. 4.
Jika pelanggar memiliki surat-surat yang sah dan kendaraan bermotor dicurigai merupakan benda hasil kejahatan, maka yang disita adalah satu
dari surat-surat yang sah tersebut. III.
Memberi tanda silang X pada lambang kotak yang tersedia sesuai dengan jenis barang bukti yang disita oleh penyidik.
IV. Menuliskan hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam saat ditindak dan tempat
alamat dimana pelanggar wajib hadir untuk persidangan di Pengadilan Negeri setempat.
Universitas Sumatera Utara
V. Melengkapi penulisan blanko dengan Kesatuan Penyidik serta tanda tangan,
nama, pangkat, dan NRP penyidik. VI.
Meminta pelanggar menanda tangani blanko tilang sesuai ruang tanda tangan untuk pelanggar.
VII. Menyerahkan lembar surat tilang berwarna merah kepada pelanggar sambil
memberi penjelasan singkat dan lengkap sehingga pelanggar mengerti apa yang harus dilakukan.
c Apabila pelanggar tidak setuju atau mengaku atas sangkaan yang disangkakan oleh
penyidik maka: I.
Penyidik mencoret tulisan “DISITA” yang tertera pada lembar tilang, dan memberi tanda pada tulisan “DITITIPKAN”.
II. Menerima penyerahan surat-surat atas kendaraan yang dititipkan terdakwa.
III. Memberi tanda silang X pada kotak barang bukti atau barang titipan yang
tercantum pada lembar tilang. IV.
Ketentuan barang bukti atau barang titipan sebagaimana dimaksud huruf B tetap merupakan alasan untuk melakukan penindakan terhadap benda titipan
pelanggar. V.
Menuliskan alamat bank yang ditentukan sebagai bank pendukung tilang. VI.
Mencoret tulisan atau kata “HADIR SENDIRI” dan menjelaskan kepada pelanggar bahwa penyidik telah menyiapkan wakil dari terdakwa untuk
menghadiri sidang di Pengadilan selanjutnya menuliskan umur dan alamat wakil yang dimaksud.
VII. Menulis alamat kantor Polisi dimana barang titipan terdakwa dapat diambil
setelah menyetor uang titipan ke Bank.
Universitas Sumatera Utara
VIII. Melengkapi penulisan kesatuan, tanda tangan, nama, pangkat, dan NRP
penyidik. IX.
Menyerahkan lembar tilang berwarna biru kepada terdakwa sambil menjelaskan singkat sehingga pelanggar mengerti apa yang harus dilakukan.
c. Tahap Ketiga
Setelah selesai melaksanakan kegiatan penindakan, penyidik menghimpun dan menyusun berkas penyidikan serta barang bukti barang titipan untuk diserahkan
kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang dan melaporkan kepada Kepala Unit Penindak Kesatuan, dengan melaksanakan:
a Membuat rekapitulasi hasil kegiatan penindakan dan mencatat alat bukti
yang diserahkan kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang dengan memuat Berita Acara Penyerahan alat bukti.
b Menghitung borgoltilang dan mencocokkan dengan hasil berkas
penindakan, kemudian mencatat dalam buku harian penyidik. c
Mengajukan borgol tilang untuk ditandatangani oleh anggota Urusan Administrasi Tilang.
d Membuat Berita Acara penyerahan berkas penyidikan dan barang bukti
dari penindak kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang. e
Menyerahkan semua berkas dan barang bukti kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang dengan Berita Acara penyerahan berkas penyidikan
dan barang bukti. Pada tahap ini, tugas penyidik telah selesai. d.
Tahap Keempat Proses penyerahan barang bukti oleh Urusan Administrasi Tilang, yaitu:
a Kepada pelanggar yang hadir sendiri disidang:
Universitas Sumatera Utara
1. Bagian administrasi tilang atau barang bukti menerima barang
bukti, serta menerima bukti penyetoran uang dengan dan bukti putusan hakim atas perkara pelanggaran yang dilakukan.
2. Menyerahkan barang bukti kepada pemiliknya pelanggar setelah
diteliti kecocokan dengan surat-surat kendaraan atau data pada berkas tilang, dengan melaksanakan penanda tanganan penyerahan
barang bukti oleh pemiliknya. 3.
Menyenggarakan pengadministrasian hasil perkara tilang ke buku register tilang.
b Kepada pelanggar yang diwakilkan dalam persidangan:
1. Bagian administrasi tilangbarang bukti menerima lembar tilang
warna biru yang telah di capdi stempel dan ditandatangani oleh petugas bank dan atau menunjukkan bukti setor ke bank yang telah
ditentukan. 2.
Menyerahkan barang titipan kepada pemiliknya dengan menandatangani penyerahan barang titipan oleh petugas dan
penerima barang titipan oleh pemiliknya, dan 4.
Menyelenggarakan pengadministrasian hasil perkara tilang ke buku register tilang.
2. Upaya Penanggulangan Pelanggaran Lalu Lintas Secara Non Penal