Penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 oleh Kepolisian Republik Indonesia (Studi Polresta Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Alamsyah, Alik Ansyori, Rekayasa Lalu Lintas, UMM Press, Malang: 2008 Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur : 2011 Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2008 ., Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta : 2008 ., Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006 Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco ,

Bandung: 1995 Bahari, Adib, Tanya Jawab Aturan Wajib Berlalu Lintas, Pustaka Yustisia,

Jakarta: 2010 Budiarto, Arif dan Mahmudal, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Semarang:

2007

Hamdan,M. Politik Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 1997 Kansil, C.S.T.Kansil Christine, Memahami Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU No 10 tahun 2004), Pradya Paramita, Jakarta : 2007 Karjadi, M. Kejahatan Pelanggaran dan Kecelakaan, Politeia. Bogor : 1981 Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung : 1997

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Akademi Kepolisian, Fungsi Teknis Lalu Lintas, Semarang Kompetensi Utama : 2009

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara: 1992 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2000 Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi,


(2)

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008

Poernomo, Bambang, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta : 1982 Prakoso, Abintoro,“Kriminologi Hukum & Hukum Pidana”, Penerbit Laksbang

Grafika, Yogyakarta: 2013

Prakoso,Djoki, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta : 1987

Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, LaksBang Persindo, Yogyakarta: 2010 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni. Bandung: 1981

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta: 1983

.dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta : 1985

.Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah – Masalah Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung : 1989

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002

Sutadi, Marianna, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI. Jakarta: 1992

Tabah, Anton, Membangun Polri Yang Kuat, P.T Sumber Sewu, Jakarta: 2002

.Menatap Dengan Hati Pokisi Indonesia. (Jakarta: Gramedia. 1991

Tjahjono, Tri, Analisis Keselamatan Lalu Lintas Jalan, Lubuk Agung, Bandung: 2001

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta : 1996

Warpani, Suwardjoko P. Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Penerbit ITB, Bandung: 2002


(3)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan

Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

WEBSITE

www. Kompas.com www. Republika.com www. beritasumut.com

TULISAN ILMIAH DAN SUMBER LAIN

Hasil Wawancara dengan Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Kota Medan AKP Lastiar Siburian, SSi

David Ondian Panggabean,” Tindak Pidana Di Bidang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Dan Upaya Penanggulangannya (Studi Satlantas Poltabes Medan), Medan : Fakultas Hukum UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, skripsi, 2010

David Mangara Pasaribu,”Tingkat Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Sibolga dan Penanggulangannya oleh Kepolisian (Studi Polres Sibolga), Medan, Fakultas Hukum UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, Skripsi,2015.


(4)

ABSTRAK Natanael Parhusip* Liza Erwina, SH,. M.Hum**

Alwan, SH, M.Hum***

*

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

Lalu lintas merupakan salah satu sarana komunikasi masyarakat yang memegang peranan vital dalam memperlancar pembangunan yang kita laksanakan. Karena dengan adanya lalu lintas tersebut, memudahkan akses bagi masyarakat untuk melakukan kegiatannya untuk pemenuhan perekonomiannya. Tanpa adanya lalu lintas, dapat dibayangkan bagaimana sulitnya kita untuk menuju tempat pekerjaan atau melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan jalan raya. Kota Medan sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia merupakan salah satu kota dengan masalah Lalu Lintas yang cukup masif dan perlu adanya penanganan yang cukup signifikan dari aparat kepolisian khususnya polisi lalu lintas. Oleh karena itu, berkaca pada kondisi di lapangan penulis dalam karya ilmiah ini hendak mengangkat judul “Penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Oleh Kepolisian Republik Indonesia (Studi Polresta Medan)”.Adapun bentuk permasalahan yang ingin diangkat adalah seputar pengaturan mengenai lalu lintas menurut hukum positif di Indonesia, perkembangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Kota Medan, dan juga Peranan Polresta Medan dalam menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang terjadi di Kota Medan.

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan terhadap data primer yang merupakan hasil wawancara yang dilakukan di Polresta Medan dan penelitian kepustakaan. Sumber data primer berasal dari wawancara Tanya jawab dengan Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Medan, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka.

Kesimpulan yang dapat diambil dari karya ilmiah ini adalah Pengaturan mengenai Lalu lintas tercantum pada Undang-undang nomor 22 tahun 2009. Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa tindak pidana pelanggaran lalu lintas di kota Medan mengalami Fluktuasi mulai 2010 sampai dengan tahun 2015. Polresta Medan sebagai pihak yang menangani masalah lalu lintas telah melakukan berbagai upaya yakni dengan pendekatan penal yaitu dengan melaksanakan kebijakan/prosedur penindakan guna memberikan sanksi pidana yang ada dalam didalam undang-undang lalu lintas serta upaya non penal yaitu upaya pre-emtif (penyuluhan) dengan memberikan penyuluhan kepada masyakarat kota Medan tentang pentingnya tertib berlalu lintas dan preventif (pencegahan) dengan melakukan pencegahan sebelum terjadinya suatu pelanggaran lalu lintas.


(5)

BAB III

PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS

DI KOTA MEDAN (PERIODE 2010-2015)

A. Data dan Perkembangan Pelanggaran Lalu Lintas Kota Medan

Kota Medan terletak antara 98-99 derajat Bujur Timur dan antara 3-4 derajat Lintang Utara di lingkungan Provinsi Sumatera Utara. Berada pada ketinggian 11 meter di atas permukaan laut. Terbagi dalam 11 (sebelas) wilayah Kecamatan dengan 116 kelurahan (sebelum perluasan). Secara administratif Daerah Tingkat II ini disebut Kotamadya dan dipimpin oleh seorang Walikota, sebelum Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 berlaku.58

Sejak kedua Undang tersebut berlaku, apalagi setelah adanya Undang-Undang yang baru, berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya ia disebut Daerah Kota dengan pemimpinnya tetap disebut Walikota. Kini kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dengan 151 Kelurahan (BPS Prov. Sumut, 2001:12-21).59

Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Timur No.66/III/PSU/1951 tanggal 14 Nopember 1951, Medan dinyatakan sebagai ‘Kota Besar’. Berdasarkan Undang Nomor 1 Tahun 1957 dinyatakan sebagai ‘Kotapraja’ dan berdasarkan Undang-Undang No. 18 tahun 1965 dinyatakan sebagai ‘Kotamadya’. Sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1973 di atur pula tentang pemekaran wilayah dari pada 4 Kecamatan menjadi 11 Kecamatan, dengan luas kawasan dari 5.130 hektar menjadi 26.510 hektar, dengan mengambil sebagian dari wilayah Kabupaten Deli Serdang. Akibatnya, batas dari pada kota Medan juga mengalami penyesuaian menjadi: bagian Utara berbatas dengan Selat Sumatera, sebelah Selatan dengan Pancur Batu, Deli Tua dan Patumbak; bagian

58

Subanindyo Hadiluwih. “Undang-Undang Lalu-Lintas Sebagai Regulasi Tertib Lantas Kota Medan”, (Jurnal Equality, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006), Hlm. 1


(6)

Timur berperinggan dengan Tanjung Morawa, Percut Sei Tuan dan Labuhan Deli; sementara di bagian Barat berjiran dengan Labuhan Deli, Hamparan Perak dan Sunggal.60

Perluasan kawasan ini menimbulkan ciri-ciri perbedaan gaya hidup (lifesyle) dari pada penduduk, terutama berkenaan dengan status penduduk yang semula tergolong luar kota dengan penduduk kota. Paling tidak, mobilitas penduduk luar kota meningkat dengan perlunya pengadaan kendaraan bermotor (sepeda motor), baik yang dipakai sendiri maupun yang dipergunakan sebagai ‘ojek’. Alat pengangkutan yang menjangkau bagian pedalaman dari pada kawasan pedesaan dan bagian-bagiannya. Demikian pula dengan penggunaan kendaraan berupa Mobil Penumpang Umum (MPU) yang jaringannya juga semakin luas. Hal ini dipergunakan bagi memenuhi kebutuhan untuk menjangkau sarana pendidikan, fasilitas kesehatan, pasar dan keperluan lainnya. Sementara sarana dan prasarana pembangunan jalan, dengan kondisi serta fasilitas yang lebih baik diperlukan untuk mensetarakan kehidupan di antara penduduk dalam kota dan luar kota, yang kini statusnya menjadi sama, kawasan kota Medan.61

Lalu lintas merupakan salah satu sarana komunikasi masyarakat yang memegang peranan sangat vital dalam memperlancar pembangunan yang kita laksanakan. Masalah lalu

Peningkatan mobilitas penduduk dengan penggunaan kendaraan di jalan raya, juga berkenaan dengan ‘tradisi’ okupasi mereka yang akan mempengaruhi pola berlalu lintas di kota Medan. Misalnya pola okupasi petani dan nelayan yang pada umumnya berada di kawasan ‘bekas’ luar kota; berikutnya okupasi perkantoran, perdagangan serta kegiatan bisnis lainnya; di samping kawasan pegawai, pekerja di pabrik-pabrik serta daerah Kawasan Industri Medan (KIM). Di samping sebagai transit produk barang-barang hasil pertanian dan kerajinan menuju ke pasar-pasar yang tersebar di kawasan kota, juga menuju kawasan kota baru lainnya yang berupa pelabuhan, Belawan.

60Ibid. 61Ibid.


(7)

lintas merupakan salah satu masalah yang berskala nasional yang berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat. Masalah yang dihadapi dewasa ini adalah masih tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya.

Berbicara tentang masalah lalu lintas memang sedikit menimbulkan pro dan kontra bukan saja karena permasalahan remeh dan klasik sehinggga timbul satu sikap apatis (ketidakpedulian). Namun hal itu sebenarnya kurang beralasan karena kenyataan tidak sedikit kejahatan yang kemudian berimplikasi dan berakumulasi menjadi suatu tindak pidana yang cukup menyita perhatian publik yang berawal dari permasalahan (pelanggaran) lalu lintas.

Masalah lalu lintas merupakan masalah yang sudah tak asing lagi dikalangan masyarat khususnya di Kota Medan, pelanggaran lalu lintas sudah membudaya di kalangan masyarakat, sehingga setiap kali dilakukan operasi tertib lalu lintas oleh Polantas, pasti banyak terjaring kasus pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran lalu lintas yang banyak dilakukan oleh pengguna kendaraan bermotor antara lain mengemudi kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat tanda nomor kendaraan bermotor, atau pun tidak memiliki surat izin mengemudi, melanggar ketentuan rambu-rambu lalu lintas, tidak menggunakan helm standar bagi pengendara sepeda motor, mengemudikan kendaraaan bermotor dengan kecepatan yang melampaui batas dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih kurang kasadaran hukumnya, padahal aturan-aturan tersebut dibuat demi keamanan dan kenyamanan dan keselamatan masyarakat pada umumnya dan khususnya pengendara kendaraan bermotor.

Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat.62

62

(http://beritasumut.com/index.php/younews/36-hukum-a-kriminal/5898-2011-satlantas-polresta-medan-tangani-1702-lakalantas) , diakses pada tanggal 29 Agustus 2016 pada pukul 12.15 WIB.

Pelanggaran ringan yang kerap terjadi dalam permasalahan lalu lintas adalah seperti tidak memakai helm, menerobos lampu merah, tidak memiliki SIM atau STNK , tidak menghidupkan lampu pada siang hari, dan bonceng tiga


(8)

dianggap sudah membudaya di kalangan masyarakat dan anak-anak sekolah. Pelanggaran lalu lintas seperti itu dianggap sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat pengguna jalan, sehingga tiap kali dilakukan operasi tertib lalu lintas di jalan raya oleh pihak yang berwenang, maka tidak sedikit yang terjaring kasus pelanggaran lalu lintas dan tidak jarang juga karena pelanggaran tersebut kerap menimbulkan kecelakaan lalu lintas.

Masalah lalulintas merupakan masalah yang dihadapi oleh negaranegara yang maju dan juga negara‐negara berkembang seperti Indonesia. Namun, di Indonesia, permasalahan yang sering dijumpai pada masa sekarang menjadi lebih parah dan lebih besar dari tahuntahun sebelumnya, baik mencakup kecelakaan, kemacetan dan polusi udara serta pelanggaran lalu lintas.63

Pelanggaran lalu lintas merupakan fenomena sosial dan hukum yang menuntut pengelolaan yang efektif dan efisien agar terjadi tertib berlalu lintas dan kesadaran hukum.64

63 Arif Budiarto dan Mahmudal, Rekayasa Lalu Lintas, (Semarang: UNS Press, 2007), hlm. 3.

64

Dr. Artidjo Alkostar, dalam sambutan Seminar Penelitian Alternatif Pengelolaan Perkara Tilang, Jakarta, 17 Juni 2014. Lebih lanjut dapat dibaca dalam prosiding Seminar Penelitian Alternatif Pengelolaan Perkara Tilang, Jakarta, 17 Juni 2014.

Pelanggaran yang kerap terjadi terhadap tata cara berlalu lintas dan berkendaraan antara lain adalah pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang harus dijalan kanan dihindari oleh pengemudi kendaraan bermotor, antara lain seperti : Tindakan pengguna jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia karena dalam keadaan tertentu untuk ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan memberhentikan arus lalu lintas atau pengguna jalan, memerintahkan pengguna jalan untuk jalan terus, mempercepat arus lalu lintas, memperlambat arus lalu lintas, dan/atau mengalihkan arah arus lalu lintas , seperti diatur pada Pasal 104 ayat (1), kewajiban ini diatur pada Pasal 104 ayat (3) yang berbunyi : Pengguna Jalan wajib mematuhi perintah yang


(9)

diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Daerah Kota Medan sendiri meski belum dikatakan tahap mengkhawatirkan Tapi apabila tidak segera ditangani maka akan mengarah kearah Keadaan pelanggaran lalu lintas yang mengkhawatirkan. Dan dampak yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat adalah Tingginya angka kecelakaan di persimpangan atau perempatan maupun di jalan raya, Keselamatan pengendara yang mengunakan jalan menjadi terancam bahkan pejalan kaki yang menyebrang jalan maupun berjalan di trotoar, Kemacetan lalu lintas yang semakin parah dikarenakan para pengendara tidak mematuhi peraturan maupun rambu-rambu lalu lintas, dan Kebiasaan para pengendara yang melanggar lalu lintas sehingga budaya melanggar peraturan lalu lintas65

Sumber : Data pelanggaran lalu lintas oleh pihak satuan Lalu Lintas

POLRESTA Medan

.

Grafik 1.

DATA JUMLAH PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DITANGANI OLEH PIHAK SATUAN LALU LINTAS POLRESTA MEDAN

65 Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan,


(10)

Dari Grafik di atas dapat dilihat bahwa jumlah kasus pelanggaran Lalu lintas di kota Medan cenderung mengalami naik turun.POLRESTA Medan mencatat bahwa pada tahun terdapat 2010 terdapat 37.018 kasus pelanggaran lalu lintas di Kota Medan (Roda 2 : 25.913 kasus, Roda 4 : 11.045 kasus, Roda 6+ : 60 kasus) , tahun 2011 terdapat 77.988 kasus (Roda 2 : 59.741 kasus, Roda 4 : 18.161 kasus, Roda 6+ : 86 kasus), tahun 2012 terdapat 73.396 kasus (Roda 2 : 54.297 kasus, Roda 4 : 17.997 kasus, Roda 6+ : 102 kasus), tahun 2013 terdapat 68.560 kasus (Roda 2 : 51.420 kasus, Roda 4 : 17.046 kasus, Roda 6+ : 94 kasus), tahun 2014 terdapat 40.918 kasus (Roda 2 : 30.689 kasus, Roda 4 : 10.145 kasus, Roda 6+ : 84 kasus), dan terakhir tahun 2015 terdapat 40.133 kasus (Roda 2 : 30.520 kasus, Roda 4 : 9.997 kasus, Roda 6+ : 86 kasus) pelanggaran lalu lintas di kota Medan.

Jumlah kasus tertinggi yaitu kasus pelanggaran Lalu lintas di kota Medan di tahun 2011 dengan total 59.741 kasus. Tapi data tersebut bukanlah data sesungguhnya jumlah pelanggaran Lalu lintas karena masih banyak pelanggar Lalu lintas di kota Medan yang belum berhasil ditangkap dan didata oleh pihak Kepolisian.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan jelas dinyatakan, setiap pengendara kendaraan bermotor wajib mentaati peraturan lalu-lintas. Peraturan lalu lintas tidak diajarkan secara khusus di sekolah-sekolah. Dalam pembuat Surat Izin Mengemudi (SIM) pun juga tidak mengharuskan seseorang untuk menguasai peraturan lalu lintas. Dengan demikian sangatlah wajar apabila banyak pengendara kendaraan bermotor yang tidak memahami cara berlalu lintas yang baik di jalan umum. Berbagai bentuk pelanggaran Lalu lintas yang sering ditindak tegas oleh aparat kepolisian adalah66

1. menerobos lampu merah; :

2. melawan arus lalu-lintas saat macet ;

66Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan, 4


(11)

3. tidak menyalakan lampu depan; 4. tidak memakai sabuk pengaman; 5. tidak memakai helm SNI;

6. berputar-balik tidak pada tempatnya; 7. tidak bawa SIM & STNK;

8. SIM, STNK & pajak kedaluwarsa; 9. ngebut atau kebut-kebutan di jalan raya; 10. kendaraan umum yang ugal-ugalan di jalan

Sehubungan dengan pelanggaran lalu lintas diatas dalam kenyataannya juga dapat kita lihat pelanggaran yang dilakukan oleh angkutan umum yang mana angkot seringkali melakukan pelanggaran lalu lintas baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja seperti penggunaan SIM bagi sopir angkot sering tidak sesuai dengan peruntukannya misalnya untuk dapat mengemudikan angkutan umum sopir angkot harus mempunyai SIM A umum untuk dapat mengemudikan angkot tersebut dan pada kenyataannya sopir angkot kebanyakan hanya memiliki SIM A biasa, angkot sering menerobos lampu merah, menaikan dan menurunkan penumpang tidak pada tempatnya, kebut-kebutan di jalan raya untuk mengejar penumpang, keadaan mobil yang tidak standar lagi seperti mobil angkot yang dibuat ceper, dan kaca film hitam dan musik yang keras.

Selain itu, banyak anak sekolah yang mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm. Padahal helm sangat berguna untuk melindungi kepala kita saat terjadi benturan keras dalam kecelakaan lalu lintas. Kurangnya kesadaran pengguna sepeda motor menggunakan helm masih sangat memprihatinkan, Mereka masih beranggapan bahwa memakai helm itu hanya peraturan saja, tidak sadar bahwa peraturan memakai helm itu dibuat untuk keamanan dan keselamatan si pengendara sendiri.


(12)

Selain tidak mengenakan helm, banyak pengendara motor yang masih di bawah umur. Apakah mereka sudah memiliki Surat Izin Mengemudi? Bila tidak, ini sama saja sudah melanggar Pasal 77 Ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikan.” Seperti yang dijelaskan pada Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berkut:

a. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surta Izin Mengemudi D;

b. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I dan; c. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.

B. Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran Lalu Lintas Di Kota Medan

Sebagai konsekuensi peningkatan jumlah kendaraan dan tingginya mobilitas masyarakat, angka kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kecelakaan lalu lintas darat tersebut mengakibatkan korban dari kecelakaan lalu lintas tersebut tidak sedikit, baik korban yang menderita luka ringan, luka berat sampai mengakibatkan korban meninggal dunia serta kerugian-kerugian lain yang timbul karena kerusakan kendaraan akibat kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian. Kecelakaan yang ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar sesama kendaraan bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi dapat pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota ataupun jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan


(13)

semacam itu, pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu.67

Umumnya masyarakat seringkali memahami hukum sebagai sesuatu perangkat aturan yang dibuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa. Tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum tersebut akan tercapai manakala terdapat keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum sehingga menghasilkan suatu keadilan.68

Von Sovigny, seorang ahli hukum asal Jerman dalam buku Anton Tabah yang berjudul Mata Hati Polisi Indonesia menegaskan bahwa hukum akan dapat berjalan efektif apabila ada keserasian antara aturan hukum dengan kultur masyarakatnya. Kultur masyarakat ini juga akan menjadi kultur hukum yang biasanya tercermin pada peraturan hukum yang ada.69

Di Indonesia terdapat pengaturan mengenai lalu lintas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan. Di dalam undang-undang ini memuat pengaturan-pengaturan lalu lintas yang wajib dipatuhi dan juga sanksi bagi yang melanggarnya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti di Satlantas

Apabila dikaitkan dengan kondisi kultur masyarakat saat ini, jelas dalam kondisi kurang menguntungkan. Masyarakat kita masih belum memiliki kesadaran hukum yang baik, sikap mental yang suka menerobos dan mau taat hukum apabila ada rangsangan dari luar. Hal ini tercermin pada tingkah laku masyarakat dalam menaati hukum hanya apabila melihat petugas hukum. Disamping itu faktor prasarana yang tidak mendukung dan minimnya petugas dalam penegakan hukum mengakibatkan tidak seluruhnya masalah pelanggaran lalu lintas dapat ditangani dengan baik.

67 Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, (Jakarta:Mahkamah

Agung RI. 1992), hlm. 2.

68

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005). Hlm. 7


(14)

Polresta Medan terdapat dua faktor yangmenjadi penyebab terjadinya pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh masyarakat yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor pemicu pelanggaran lalu lintas yang berasal dari dalam diri pelaku. Berikut ini faktor yang menjadi pendorong seseorang melakukan suatu pelanggaran lalu lintas70

a. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi peraturan lalu lintas. :

Faktor yang dapat mempengaruhi keamanan dan ketertiban lalu lintas adalah kesadaran masyarakat akan peraturan berlalu lintas dan kepentingan manusia yang berlainan. Hal ini menyebabkan manusia cenderung bersikap ceroboh dan lalai. Bahkan kesengajaan menjadi faktor dominan terjadinya pelanggaran lalu lintas. Semakin tinggi kesadaran masyarakat akan hukum maka semakin memungkinkan adanya penegakkan hukum di masyarakat. Karena hukum berasal dari masyarakat dan diperuntukkan mencapai kedamaian di masyarakat pula. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakkan hukum tersebut.

Dalam kaitanya dengan efektifitas penerapan/pelanggaran hukum, masalah kesadaran hukum dalam diri masyarakat sangat memegang peranan penting. Masyarakat yang ingin melihat terciptanya suatu ketertiban dalam masyarakat akan berusaha untuk teratur sehingga tercipta suatu pola hubungan tingkah laku yang teratur. Masyarakat dianggap tau dengan keberadaan hukum itu sendiri untuk dijalankan.

Pola hubungan antara hukum dengan perilaku masyarakat, terdapat unsur pervasive socially (penyerapan sosial). Artinya bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan

70 Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan,


(15)

terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan saling relevan atau memiliki pertalian yang jelas apabila aturan-aturan hukum dan penegakannya telah diatur jelas maka dibutuhkan adanya kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk menciptakan hukum sebagai kontrol sosial.71

Hal yang juga sering terjadi adalah bahwa ketika pengemudi melanggar suatu peraturan lalu lintas, hal pertama yang diajukan pengemudi tersebut adalah negosiasi “jalan damai” dengan aparat kepolisian, tidak sedikit juga orang mencoba berdamai Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku disebabkan belum adanya kesadaran masyarakat untuk memahami peraturan tersebut karena kurang adanya sosialisasi terkait peraturan lalu lintas. Hal ini dapat dilihat dari perilaku masyarakat dalam berlalulintas, tidak semua pengemudi kendaraan paham dan mengetahui peraturan lalu lintas sehingga dapat menimbulkan pelanggaran. Ditambah lagi kebanyakan dari pengendara bermotor khususnya sepeda motor dalam memperoleh SIM, didapat dengan cara yang instan daripada mengikuti prosedur yang benar.

Selain itu kebanyakan masyarakat hanya patuh ketika ada petugas yang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan atau ada Polisi yang sedang berjaga di pos Polisi. Kemudian sering juga kita dengar “peraturan ada untuk dilanggar” yang sangat melekat dibenak masyarakat sehingga sebagian orang menerapkannya. Ini juga merupakan salah satu alasan yang mengurangi tingkat kesadaran seseorang mematuhi peraturan lalu lintas.

Kepatuhan masyarakat terhadap rambu-rambu lalu lintas dan peraturan lalu lintas masih dipengaruhi oleh kehadiran petugas Polisi lalu lintas. Masalah utamanya adalah belum adanya kesadaran berlalu lintas yang baik dalam diri masyarakat.

71 Adam Podgorecki, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum. (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987) Hlm.


(16)

sebelum proses pengadilan untuk mendapatkan kembali surat-surat yang ditahan kepolisian.

b. Faktor Kematangan Emosional Manusia

Perilaku seorang pengemudi kendaraan bermotor dipengaruhi oleh berbagai faktor berupa faktor dari luar keadaan sekelilingnya, cuaca, penerangan jalan dimalam hari, selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi emosionalnya sendiri seperti tidak sabar/terburu-buru atau lagi sedang keadaan marah-marah. Salah satu faktor seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas adalah faktor emosional. Faktor ini dapat dipengaruhi berbagai hal antara lain usia dan tingkat pendidikan seseorang tersebut. Emosi adalah respon fisik dan mental yang sangat kuat, emosi dapat menimbulkan dampak perilaku mengemudi yang dapat mengganggu pengguna jalan lain.72

Menurut Alik Ansyori Alamsyah seorang pengamat permasalahan lalu lintas dalam buku Analisis Keselamatan Lalu Lintas Jalan menyatakan bahwa ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik psikologi dasar pengendara. Faktor tersebut ada yang bersifat tetap ataupun sementara. Contoh dari faktor yang mempengaruhi karakteristik psikologi dasar pengendara yang bersifat tetap adalah umur, cacat, atau penyakit yang menyebabkan penurunan kemampuan fisik secara permanen. Sedangkan contoh dari faktor yang mempengaruhi karakteristik pengendara yang bersifat sementara adalah kelelahan yang dapat menyebabkan seseorang pengendara tidak dapat melihat rambu-rambu dengan jelas.73

72 Tri Tjahjono, Analisis Keselamatan Lalu Lintas Jalan, (Bandung: Lubuk Agung, 2001), Hlm. 26.

73 Alik Ansyori Alamsyah, Rekayasa Lalu Lintas, (Malang: UMM Press, 2008), Hlm. 10.

Perilaku yang membudaya dari pengguna jalan merupakan salah satu faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap situasi lalu lintas. Etika, sopan santun, serta toleransi antar pengguna jalan, kematangan dalam pengendalian emosi serta kepedulian pengguna


(17)

jalan akan menimbulkan interaksi yang dapat mewarnai situasi lalu lintas berupa hasil yang positif seperti terciptanya keamanan, keselamatan, dan kelancaran lalu lintas. 2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor pemicu yang berasal dari luar diri pelaku pelanggaran yang menjadi pemicu terjadinya suatu pelanggaran lalu lintas. Berikut ini beberapa faktor dari luar diri yang mengakibatkan seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas74

a. Faktor Prasarana Lalu Lintas

:

Sarana atau fasilitas mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana atau fasilitas, maka tidak mungkin penegak hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana dan prasarana mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kelancaran pelaksanaan penegakkan hukum sangat mudah dipahami, dan banyak sekali contoh-contoh masyarakat.75

Misalnya pada UU No. 22 Tahun 2009 Paragraf 9 tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum Pasal 126 setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum angkutan orang dilarang berhenti selain di tempat yang telah ditentukan. Tetapi kenyataan di jalan, jumlah halte yang disediakan sangat terbatas. Sehingga menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.76

Dalam menciptakan dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban serta kelancaran lalu lintas, faktor sarana dan prasarana lalu lintas memiliki peranan penting dalam berlalu lintas. Untuk menciptakan lalu lintas yang selamat, aman, cepat, lancar,

74 Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan,

4 Juli 2016 pukul.09.30 Wib

75 M. Karjadi, Kejahatan Pelanggaran dan Kecelakaan, (Bogor : Politeia. 1981). hlm. 63.


(18)

tertib dan teratur dibutuhkan faktor sarana dan prasarana lalu lintas yang memadai yang meliputi jaringan transportasi jalan.

Jaringan transportasi jalan merupakan rangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh lalu lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, dalam hal ini yang dimaksudkan dengan Jalan adalahjalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang merupakan ruang lalu lintas tempat kendaraan dan orang bergerak untuk berpindah tempat.

Penataan jaringan jalan merupakan bagian penting agar tersusun sistem jaringan yang baik maka harus diperhatikan tata jenjang jaringan jalan. Penetapan jaringan jalan merupakan salah satu unsur pokok pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan untuk mencapai tujuan terciptanya sistem lalu lintas andal, aman, nyaman, cepat, tertib, teratur, dan efisien. Selain itu jaringan angkutan jalan harus mampu memadukan moda angkutan agar mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah untuk menunjang pemerataan dan terhindar dari penumpukan kendaraan.77

Untuk keselamatan, keamanan , ketertiban, dan kelancaran lalu linras serta kemudahan bagi pengguna jalan, Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:78

a) rambu Lalu Lintas; b) marka Jalan;

c) alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d) alat penerangan Jalan;

e) alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; f) alat pengawasan dan pengamanan Jalan;

77

Suwardjoko P. Warpani, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, (Bandung: Penerbit ITB, 2002), Hlm. 8


(19)

g) fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan

h) fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

Sarana dan prasarana yang belum maksimal dan perawatannya yang masih kurang khususnya jalan. Kondisi jalan masih banyak yang rusak, ruas badan jalan yang sempit menjadi faktor timbulnya pelanggaran lalu lintas.

Menurut Warpani dalam bukunya yang berjudul Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kondisi jalan buruk dapat menjadi salah satu sebab terjadinya pelanggaran yang dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Meskipun demikian, semuanya kembali kepada manusia sebagai pengguna jalan itu sendiri. Dengan rekayasa, para ahli merancang sistem jaringan dan rancang bangun jalan sedemikian rupa untuk “mempengaruhi” tingkah laku para pengguna jalan, dan mengurangi atau mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan lalu lintas.79

b. Faktor Penegak Hukum

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum. Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yaitu Kepolisian.

Setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan perananan (role). Apabila dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka


(20)

terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance).80

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu, lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.

Demikian pula dengan polisi lalu lintas. Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lau litas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas.

Unsur lain yang dapat menjadi pemicu terjadinya pelanggaran lalu lintas adalah unsur penegak hukumnya, unsur penegak hukum dalam hal ini adalah polisi lalu lintas yang memegang kendali dalam penegakan hukum, prinsip yang berkembang dalam masyarakat adalah keamanan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas adalah mutlak tanggung jawab polisi. Prinsip ini keliru, bahwa keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas merupakan tanggung jawab bersama dan tidak dibebankan sepenuhnya kepada aparat kepolisian saja.

81

Penegak hukum seringkali melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan terhadap masyarakat, seperti halnya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Hal yang dimaksudkan penulis ialah oknum polisi melakukan

80

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), Hlm. 21.


(21)

penilangan tanpa adanya surat tugas dari atasan sehingga jika pelanggar tidak ingin ditilang maka diberikan pilihan apakah penyelesaiannya di tempat kejadian atau mengikuti sidang. Menurut Undang-undang Kepolisian Pasal 17, setiap pelanggaran terhadap kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi moral berupa :

1) Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela .

2) Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka.

3) Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi .

4) Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi kepolisian. Rinto Raharjo dalam bukunya Tertib Berlalu Lintas menyatakan bahwa tingkat pelanggaran lalu lintas dipengaruhi oleh profesionalisme penegak hukum. Mentalitas penegak hukum merupakan titik sentral daripada proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan, oleh karena pada masyarakat Indonesia masih terdapat kecendrungan yang kuat, untuk senantiasa mengidentifikasikan hukum dengan penegaknya. Apabila penegaknya bermental baik, maka dengan sendirinya hukum diterapkannya juga baik. Maka dengan begitu tingkat pelanggaran lalu lintas dapat dikendalikan dengan baik.82


(22)

BAB IV

PERANAN POLRESTA MEDAN DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG TERJADI

DI KOTA MEDAN

C. Upaya penanggulangan POLRESTA Medan terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Medan

Mempelajari tindak pidana sebagai gejala sosial tentu tidak lengkap apabila tidak mempelajari cara penanggulangan terjadinya tindak pidana tersebut, meskipun kita memahami bahwa masalah kejahatan dan penanggulangannya timbul dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.83

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal, menurut Prof. Soedarto, “politik hukum” adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi tertentu. Kebijakan dari Negara melalui Badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan.

Upaya penanggulangan kejahatan maupun pelanggaran termasuk dalam kerangka kebijakan kriminal atau criminal policy. Usahan dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana, upaya ini sering disebut dengan politik hukum atau politik hukum pidana. Kebijakan ini pada hakekatnya untuk melindungi masyarakat (social defence planning atau protection of society).

84

83 M. Hamdan. Politik Hukum Pidana. (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 1997). Hlm. 47.

84Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung:Alumni. 1981). hlm. 159

Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the


(23)

socialreaction to crime”. Berbagai defenisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels ialah:85

a. Criminal policy is the science of responses.

b. Criminal policy is the science of crime prevention.

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime. d. Criminal policy is arational total of the responses to crime.

Istilah Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “kebijakan kriminal”. Istilah ini agaknya kurang pas karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal). Istilah ini lebih tepat digunakan sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan.86

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (socialpolicy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.87

Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan (criminalpolicy) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya

85

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep

KUHP Baru). (Jakarta:Kencana Prenada Media Group. 2008), hlm. 1. 86

Mahmud Mulyadi. Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam

Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan:Pustaka Bangsa Press. 2008) hlm 51.


(24)

mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views ofsociety on crime and punishment (mass media).88

Dari uraian pembagian kebijakan oleh Hoefnangels tersebut dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti:

Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan nonpenal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

89

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik hukum kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan (integralitas) antar upaya penanggulangan kejahatan dengan

“penal” dan “non penal”.

Keterpaduan maksudnya bahwa dalam melakukan kebijakan penanggulangan tidak dapat hanya menggunakan kebijakan hukum pidana (penal) saja tetapi juga harus menggunakan berbagai macam pendekatan seperti kebijakan sosial dan kebijakan pembangunan nasional.90

1. Upaya Penanggulangan Pelanggaran Lalu Lintas Secara Penal

Karena penerapan hukum pidana sendiri memiliki banyak kekurangan dalam mencapai tujuannya.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).91

88 Mahmud Mulyadi, Op. Cit, Hlm. 17

89 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 3-4.

90

Ibid.

91 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia,


(25)

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative.

Hal ini berarti bahwa dalam menanggulangi suatu kejahatan tidak ada suatu keharusan yang mewajibkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut dengan sarana hukum pidana (penal), mengingat penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kebijakan hukum pidana berupa pemberian pidana memberikan dampak buruk seperti yang dikemukakan oleh Herman Bianchi bahwa lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-lamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikitpun (bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini.92

Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur prefentif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan ada efek pencegahan/penangkal (“deterrent effect”) nya. Di samping itu, kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hokum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (“social dislike”) atau pencelaan/kebencian sosial (“social disapproval social abhorrence”) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial”

92 Herman Bianchi dalam Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya


(26)

(“social defence”). Oleh karena itulah sering dikatakan, bahwa “penal policy” merupakan bagian integral dari “social defence policy”.93

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan secara penal tahap fungsionalisasinya harus melalui beberapa tahap, yaitu :94

a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) ,adalah tahap penentuan terhadap perbuatan apa saja yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana (kebijakan kriminalisasi) dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan terhadap pelanggar.

b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) undang-undang adalah tahap penerapan pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut kepada masyarakat.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 ini berlaku mulai tanggal 22 Juni 2009 untuk menggantikan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992. Tetapi sangatlah tidak mungkin para pihak terkait langsung dapat menerapkan undang-undang ini begitu saja, karena setiap undang-undang baru tentu saja memerlukan sosialisasi sebelum benar-benar diterapkan kepada masyarakat.

c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administrative) adalah kebijakan untuk memberikan sanksi pidana yang ada dalam didalam undang-undang lalu lintas tersebut kpada pelaku tindak poidana lalu lintas dan angkutan jalan pemberian sanksinya harus sesuai dari ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009.

Penanggulangan secara penal lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu pelanggaran lalu lintas untuk memberikan efekjera bagi pelanggar. Untuk

93

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan. (Jakarta : Kencana, 2008). Hlm 182.


(27)

di Satuan Polisi Lalu Lintas Polresta Medan adapun tata cara prosedur penindakan pelanggaran lalu lintas terdiri dari95

a. Tahap Pertama

:

1. Menghentikan pelanggar, memeriksa surat kelengkapan kendaraan (SIM, STNK, STCK) maupun identitas pelanggar.

2. Memberitahukan bahwa ia melakukan pelanggaran terhadap peraturan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai pasal yang dilanggar.

3. Memberitahukan sanksi atas pelanggaran tersebut dan memberi penjelasan mengenai tata cara mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu dengan melaksanakan sidang dan membayar denda, atau tanpa sidang tetapi menyetorkan uang titipan ke bank yang ditunjuk.

4. Menuliskan nama, pangkat / NRP, Jabatan dan kesatuan penindak pada borgol tilang.

5. Menuliskan atau memberi tanda pada tulisan yang ada pada blanko tilang yakni kesatuan penindak, nama pelanggar dan jenis kelamin, alamat, pekerjaan, umur, nomor KTP, golongan, tempat tanggal lahir. Untuk kendaraan juga dicatat nomor polisi kendaraan, jenis, merk, nomor chasis, dan nomor mesin kendaraan pelanggar (dicocokkan dengan STNK). Serta memuat hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam saat ditindak dan tempat kejadian pelanggaran. Pasal yang dilanggar dan jumlah uang titipan atau ancaman denda sesuai dengan tabel yang ada pada lembar buku tilang.

b. Tahap Kedua

a) Menjelaskan sekali lagi cara pertanggungjawaban yang harus dilaksanakan oleh pelanggar dan pasal yang dilanggar serta denda atas pelanggaran yang dilakukan

95 Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan,


(28)

b) Apabila pelanggar menolak atau tidak setuju atas sangkaan penyidik/penyidik pembantu, maka :

I. Penyidik mencoret dengan tefas tulisan “DITITIPKAN” yang tertera pada lembar tilang.

II. Menyita barang bukti yang diperlukan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, yaitu:

1. Jika pelanggar tidak memiliki SIM, maka yang disita adalah kendaraan bermotor (karena pelanggar belum berhak mengemudikan kendaraan bermotor).

2. Jika pelanggar lupa membawa SIM dan dapat dibuktikan, maka yang disita adalah STNK.

3. Jika kendaraan bermotor yang digunakan tidak ada STNK, atau STNK nya tidak cocok dengan kendaraan, maka yang disita adalah kendaraan bermotornya berikut STNK yang diduga palsu tersebut, yang selanjutnya tersangka diperiksa lebih lanjut ke kantor polisi terdekat mengenai keabsahan kendaraan/surat-surat yang dimilikinya dan dalam hal ini pemerikasaan dapat dilanjutkan oleh penyidik Satuan Reserse Kriminal. 4. Jika pelanggar memiliki surat-surat yang sah dan kendaraan bermotor

dicurigai merupakan benda hasil kejahatan, maka yang disita adalah satu dari surat-surat yang sah tersebut.

III. Memberi tanda silang (X) pada lambang kotak yang tersedia sesuai dengan jenis barang bukti yang disita oleh penyidik.

IV. Menuliskan hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam saat ditindak dan tempat alamat dimana pelanggar wajib hadir untuk persidangan di Pengadilan Negeri setempat.


(29)

V. Melengkapi penulisan blanko dengan Kesatuan Penyidik serta tanda tangan, nama, pangkat, dan NRP penyidik.

VI. Meminta pelanggar menanda tangani blanko tilang sesuai ruang tanda tangan untuk pelanggar.

VII. Menyerahkan lembar surat tilang berwarna merah kepada pelanggar sambil memberi penjelasan singkat dan lengkap sehingga pelanggar mengerti apa yang harus dilakukan.

c) Apabila pelanggar tidak setuju atau mengaku atas sangkaan yang disangkakan oleh penyidik maka:

I. Penyidik mencoret tulisan “DISITA” yang tertera pada lembar tilang, dan memberi tanda pada tulisan “DITITIPKAN”.

II. Menerima penyerahan surat-surat atas kendaraan yang dititipkan terdakwa. III. Memberi tanda silang (X) pada kotak barang bukti atau barang titipan yang

tercantum pada lembar tilang.

IV. Ketentuan barang bukti atau barang titipan sebagaimana dimaksud huruf B tetap merupakan alasan untuk melakukan penindakan terhadap benda titipan pelanggar.

V. Menuliskan alamat bank yang ditentukan sebagai bank pendukung tilang. VI. Mencoret tulisan atau kata “HADIR SENDIRI” dan menjelaskan kepada

pelanggar bahwa penyidik telah menyiapkan wakil dari terdakwa untuk menghadiri sidang di Pengadilan selanjutnya menuliskan umur dan alamat wakil yang dimaksud.

VII. Menulis alamat kantor Polisi dimana barang titipan terdakwa dapat diambil setelah menyetor uang titipan ke Bank.


(30)

VIII. Melengkapi penulisan kesatuan, tanda tangan, nama, pangkat, dan NRP penyidik.

IX. Menyerahkan lembar tilang berwarna biru kepada terdakwa sambil menjelaskan singkat sehingga pelanggar mengerti apa yang harus dilakukan. c. Tahap Ketiga

Setelah selesai melaksanakan kegiatan penindakan, penyidik menghimpun dan menyusun berkas penyidikan serta barang bukti / barang titipan untuk diserahkan kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang dan melaporkan kepada Kepala Unit Penindak Kesatuan, dengan melaksanakan:

a) Membuat rekapitulasi hasil kegiatan penindakan dan mencatat alat bukti yang diserahkan kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang dengan memuat Berita Acara Penyerahan alat bukti.

b) Menghitung borgoltilang dan mencocokkan dengan hasil / berkas penindakan, kemudian mencatat dalam buku harian penyidik.

c) Mengajukan borgol tilang untuk ditandatangani oleh anggota Urusan Administrasi Tilang.

d) Membuat Berita Acara penyerahan berkas penyidikan dan barang bukti dari penindak kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang.

e) Menyerahkan semua berkas dan barang bukti kepada Kepala Urusan Administrasi Tilang dengan Berita Acara penyerahan berkas penyidikan dan barang bukti. Pada tahap ini, tugas penyidik telah selesai.

d. Tahap Keempat

Proses penyerahan barang bukti oleh Urusan Administrasi Tilang, yaitu: a) Kepada pelanggar yang hadir sendiri disidang:


(31)

1. Bagian administrasi tilang atau barang bukti menerima barang bukti, serta menerima bukti penyetoran uang dengan dan bukti putusan hakim atas perkara pelanggaran yang dilakukan.

2. Menyerahkan barang bukti kepada pemiliknya/ pelanggar setelah diteliti kecocokan dengan surat-surat kendaraan atau data pada berkas tilang, dengan melaksanakan penanda tanganan penyerahan barang bukti oleh pemiliknya.

3. Menyenggarakan pengadministrasian hasil perkara tilang ke buku register tilang.

b) Kepada pelanggar yang diwakilkan dalam persidangan:

1. Bagian administrasi tilang/barang bukti menerima lembar tilang warna biru yang telah di cap/di stempel dan ditandatangani oleh petugas bank dan atau menunjukkan bukti setor ke bank yang telah ditentukan.

2. Menyerahkan barang titipan kepada pemiliknya dengan menandatangani penyerahan barang titipan oleh petugas dan penerima barang titipan oleh pemiliknya, dan

4. Menyelenggarakan pengadministrasian hasil perkara tilang ke buku register tilang.

2. Upaya Penanggulangan Pelanggaran Lalu Lintas Secara Non Penal

Penerapan kebijakan non penal lebih menitiktekankan terhadap tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran utamanya bagaimana kebijakan itu mampu menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan tindak pidana perdagangan orang dengan upaya “preventif” agar semua pihak bisa bergerak dan


(32)

bersinergi terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuh suburkan upaya percaloan dalam perekrutan tenaga kerja untuk ekploitasi atau perbudakan.

Pencegahan kejahatan (upaya non penal) memfokuskan diri pada campur tangan sosial, ekonomi dan berbagai area kebijakan publik dengan maksud mencegah terjadinya kejahatan. Bentuk lain dari keterlibatan masyarakat, nampak dari upaya pencegahan situasional dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam penggunaan sarana kontrol sosial informal. Peningkatan pencegahan kejahatannya berorientasi pada pelaku atau offender-centred crime prevention dan berorientasi pada korban atau victim-offender-centred crime prevention.96

Sebagai perwujudan peduli terhadap kemanusiaan dan memfokuskan pada keselamatan jalan. Penjabaran Program Akselerasi fungsi lalu lintas Unit Kesatuan Lalu Lintas Polres Kotamadya Medan yang merupakan upaya penanggulangan non penal merupakan tindak lanjut Program Akselerasi Transpormasi Polri sebagai salah satu fungsi pelayanan Polri dalam upaya memberikan pelayanan lalu lintas diharapkan mampu memberikan pelayanan prima dengan standar nasional menuju Polri yang mandiri, profesional dan dipercaya masyarakat, yang diimplementasikan melalui 12 program upaya non penal yaitu97

1) Polisi Sahabat Anak (Polsana). .

Polsana merupakan kegiatan penanaman tentang kesadaran dan tertib berlalu lintas sejak usia dini yang juga untuk membangun image atau citra positif polisi terhadap anak-anak. Penanaman disiplin lalu lintas terhadap anak-anak merupakan

96 Abintoro Prakoso, “Kriminologi Hukum & Hukum Pidana”, (Yogyakarta:Penerbit Laksbang

Grafika, 2013), hlm. 159.

97

Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan, 4 Juli 2016 pukul.09.30 Wib


(33)

penyelamatan anak bangsa. Polsana merupakan program jangka panjang, yang harus selalu ditumbuhkembangkan dan dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan Polsana dapat dilakukan melalui kunjungan maupun open house (anak –anak yang berkunjung ke kantor polisi). Sasaran Program Polsana ditujukan pada pra pengguna jalan aktif yaitu usia antara 3 sampai 11 tahun atau pelajar tingkat Play group, Taman kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Metode pembelajaran melalui kegiatan Permainan, Kuis, Simulasi, bernyanyi, pengenalan rambu, marka dan aturan lalu lintas secara visual serta lomba tertib lalu lintas tingkat dasar.

2) Patroli Keamanan Sekolah (PKS).

PKS merupakan Program pembinaan dan pembelajaran bagi siswa-siswa sekolah untuk berlatih dan belajar untuk mencari akar masalah sosial dilingkungan sekolah dan upaya-upaya penanganannya. Dalam hal ini anak-anak juga diajarkan untuk peduli dan peka terhadap masalah sosial dan berperan aktif mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah serta merupakan mitra dalam mewujudkan keamanan sekolah dengan harapan setiap siswa yang terlibat dalam PKS mampu menjadi pioneer dan contoh bagi pelajar lain di lingkungannya selain mewujudkan sispam swakarsa dan bentuk lain dari perpolisian masyarakat (POLMAS).

Sasaran Program Polsana ditujukan pada pengguna jalan aktif pemula yaitu usia 12 sampai 18 tahun atau pelajar tingkat SMP maupun SMU, Metode pembelajaran melalui kegiatan Pelatihan, diskusi, ceramah, simulasi dan lomba tertib lalu lintas yang bersifat interaktif. Dalam pelaksanaannya pelajar juga diajarkan untuk peduli dan peka terhadap masalah sosial dan berperan aktif mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah. Masalah sosial yang mungkin muncul di lingkungan sekolah antara lain : masalah lalu lintas, perkelahian antar pelajar, narkotika dan obat-obatan terlarang, sex bebas / pornografi dsb. Melalu kegiatan PKS ini diharapkan


(34)

anak-anak juga menjadi mitra polisi untuk mencari akar masalah dan solusinya yang tepat.

3) Police Goes to Campus

Police goes to campus bukan sekedar sosialisasi tentang lalu lintas di lingkungan kampus tetapi merupakan kegiatan dari kepolisian yang mengajak kalangan kampus atau akademisi sebagai salah satu stake holder untuk ikut berperan serta dalam menangani masalah lalu lintas.74 Dalam kegiatan ini tidak hanya sebatas kepada mahasiswa tetapi juga para dosen. Kegiatan police goes to campus dapat dilakukan melalui kunjungan, diskusi, seminar, debat publik, kampanye keselamatan lalu lintas dan sebagainya. Pada program kegiatan ini diharapkan menimbulkan kematangan baik secara personal terhadap emosional maupun intelektual mahasiswa dan dosen dalam hal etika, sopan santun dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam berlalu lintas di jalan raya serta memunculkan kepedulian terhadap lingkungannya sehingga mampu berperan aktif sebagai subjek akademisi maupun figur untuk memberikan suatu solusi dalam tinjauan akademis dalam penanganan permasalahan lalu lintas

Kegiatan tersebut di atas (Polsana, PKS, Police goes to campus) sebagai kepedulian kami terhadap pendidikan. Kami juga menyadari bahwa pada pendidikanlah tergantung masa depan bangsa. Pendidikan akan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyelamatkan bangsa dari lost generation maupun dari berbagai ancaman maupun tantangan masa depan yang makin berat dan kompleks.

4) Safety Riding

Safety riding merupakan kegiatan untuk keselamatan berkendara. Kegiatan ini mencakup pada kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan mengendarai kendaraan bermotor, kiat-kiat aman berkendara. Keterampilan dan keahlian berkendara yang


(35)

dilatihkan dan diselenggarakan oleh polisi yang bekerjasama dengan sektor bisnis, media dan LSM yang ditujukan baik dari tingkat pelajar, mahasiswa, pengemudi angkutan umum, club otomotif, masyarakat umum atau siapa saja yang peduli terhadap masalah keselamatan berkendara dengan bertujuan meningkatkan kemampuan serta kesadaran berlalu lintas untuk keselamatan para pengguna jalan.

Implementasi Program kegiatan safety riding dilaksanakan melalui kegiatan : touring, pendidikan dan pelatihan berkendara baik teori maupun praktek, sepeda motor lajur kiri (kanalisasi) dan menyalakan lampu siang hari (Light on) pemasangan spanduk/baliho himbauan dan lain-lain.

5) Kampanye Keselamatan Lalu Lintas.

Kampanye keselamatan lalu lintas merupakan kegiatan bersama (kemitraan antara polisi dengan stakeholder) sebagai bentuk kegiatan preventif edukatif yang lebih bersifat sosialisasi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keinginan untuk mentaati peraturan perundang-undangan lau lintas. Program kegiatan Kampanye keselamatan lalu lintas diimplementasikan melalui kegiatan penerangan secara langsung, penyuluhan, pembuatan poster, leaflet, stiker, buku petunjuk, komik, lomba-lomba maupun kesenian.

6) Traffic Board.

Traffic board merupakan wadah untuk mecari akar masalah dan menangani berbagai masalah lalu lintas. Kegiatan tersebut antara lain dengan membentuk forum, dewan atau asosiasi apa saja yang berkaitan dengan tugas sosial dalam rangka berperan aktif sebagai wujud dari civil society (masyarakat madani) sehingga terwujud rasa kebersamaan antara Polri, Instansi terkait yang berkompeten, organisasi bidang otomotif, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat pengguna jalan secara umum


(36)

dalam menangani permasalahan lalu lintas dan dapat diambil solusi yang cepat dan akurat karena adanya keterlibatan secara langsung oleh badan, instansi, organisasi dan masyarakat pengguna jalan yang berkompeten di bidangnya. Implementasi tersebut antara lain : DTK (Dewan Transportasi Kota), Supeltas, OMP (ojek mitra polisi), club otomotif, ATPM, AISI ataupun BKLL (Badan Keselamatan Lalu lintas) kota/kabupaten, Provinsi dan Nasional yang telah terstruktur secara resmi di setiap tingkatan pemerintahan.

7) TMC (Traffic Management Centre).

TMC (Traffic Management Centre) merupakan pusat manajemen lalu lintas yang melakukan kegiatan informasi, komunikasi, komando dan pengendalian, serta kontrol. TMC bekerjasama dengan media, petugas-petugas lain, instansi terkait, yang dilengkapi dengan sistem teknologi komputerisasi, CCTV, GIS, GPS, SMS, jalur on line, Web site, dan lainnya. Dari TMC dapat dipantau dan diketahui situasi lalu lintas aktual dan informasi yang akurat dari petugas di lapangan, dan berbagai informasi lalu lintas baik infrastruktur, transportasi umum, jalur alternatif, informasi tentang kendaraan bermotor serta informasi lainnya yang dapat diakses langsung oleh masyarakat sebagai wujud peningkatan pelayanan dan transparansi Polri.

8) KTL (Kawasan Tertib Lalu Lintas).

KTL (Kawasan Tertib Lalu Lintas) merupakan pilot proyek / proyek percontohan dari daerah yang semrawut menjadi daerah yang tertib dan teratur. KTL juga merupakan upaya bersama antar stake holder untuk menangani masalah lalu lintas secara komprehensif. KTL yang dikembangkan oleh Unit Kesatuan Lalu Lintas Polres Kota Medan meliputi hampir diseluruh jalur utama perkotaan wilayah Kota Medan khususnya di Kecamatan Medan Timur, serta jalur lain yang dianggap rawan kecelakaan maupun kemacetan lalu lintas.


(37)

9) Taman lalu Lintas.

Taman lalu Lintas merupakan wadah atau tempat bermain dan belajar berlalu lintas baik untuk anak-anak maupun siapa saja yang peduli dan ingin mempelajari tentang lalu lintas. Taman lalu lintas lebih dititikberatkan pada kegiatan simulasi miniatur lalu lintas jalan raya berikut dengan kelengkapan sarana dan prasarana jalannya, sehingga khusus bagi pra pengguna jalan aktif (Usia 3 sampai 11 tahun) dapat secara langsung melakukan simulasi berlalu lintas di jalan raya dengan tidak membahayakan pengguna jalan lainnya tetapi mendapatkan pengetahuan dan pengalaman praktek lapangan seperti yang sesungguhnya, dengan harapan pada saat memasuki usia pengguna jalan aktif telah mampu berlalu lintas secara baik dengan mematuhi etika, sopan santun dan mematuhi setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku di jalan raya.

10) Sekolah Mengemudi.

Sekolah Mengemudi adalah wadah bagi para calon pengemudi yang merupakan bagian dari upaya untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan berlalu lintas, karena pengemudi mempunyai tanggung jawab keselamatan baik untuk dirinya sendiri maupun pengguna jalan lainya, dan juga peka dan peduli terhadap masalah –masalah lalu lintas. Dalam hal ini Polisi lalu lintas bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berkaitan dengan sekolah mengemudi.

Dalam pelaksanaan pendidikan mengemudi, Polri khususnya Unit Kesatuan Lalu Lintas Polres Kota Medan selaku pemberi rekomendasi perizinan dan pembina teknis selalu melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pendidikan mengemudi sehingga sasaran pendidikan untuk mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan mengemudi dapat terlaksana sesuai dengan sasaran yang


(38)

telah ditetapkan dan memberikan kontribusi positif terhadap peserta didik untuk mampu mengaplikasikan hasil pendidikannya sebagai pengguna jalan yang beretika, sopan santun dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam berlalu lintas di jalan raya.

11) Saka Bhayangkara Lalu lintas.

Saka Bhayangkara Lalu lintas adalah wadah kegiatan antara polisi dengan Pramuka yang berkaitan dengan kelalulintasan, baik bidang operasional seperti penjagaan atau pengaturan, kampanye keselamatan lalu lintas dan lainnya Pelaksanaan Program Kegiatan Saka Bhayangkara Lalu lintas sebenarnya hampir sama dengan kegiatan yang dilaksanakan PKS tetapi dalam program ini lebih menekankan pada kepanduannya, pengetahuan dan keterampilan yang diberikan bukan bertujuan untuk diaplikasikan langsung sebagai personel yang bertugas sebagai pengamanan swakarsa seperti PKS, tetapi merupakan bekal pribadi personel Saka Bhayangkara Lalu lintas sehingga dalam kehidupan berlalu lintas dijalan raya mampu menjadi panutan rekan-rekannya serta apabila menemukan situasi khusus yang membutuhkan penerapan pengetahuan dan keterampilannya dapat melakukan secara baik dalam koridor interaksi sosial (kemanusiaan).

12) Operasi Khusus Kepolisian.

Operasi kusus kepolisian di bidang lalu lintas adalah kegiatan-kegiatan untuk menangani berbagai masalah lalu lintas yang sifatnya khusus dan merupakan peningkatan dari kegiatan operasi rutin. Operasi ini dilakukan baik mandiri kewilayahan (Operasi Simpatik, Operasi Patuh, Operasi Zebra), operasi yang terpusat seperti Operasi Ketupat dan Operasi Lilin dan sebagainya. Pelaksanaan Program


(39)

Operasi Kepolisian tidak hanya dalam bentuk kediatan represif semata tetapi disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan kegiatan Operasi Kepolisian ada yang bersifat prefentif seperti Operasi Kepolisian Ketupat dan Lilin pada saat hari raya Idul Fitri dan Natal/Tahun baru, kegiatannya lebih mengarah pada penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli dengan tetap melaksanakan kegiatan represif selektif prioritas. Ada pula Kegiatan Operasi yang bersifat pencitraan seperti operasi Simpatik yang lebih menekankan pada kegiatan prefentif edukatif.Razia ini biasanya dilakukan di titik-titik tertentu yang mempunyai peluang besar pelanggar lalu lintas melewati jalan tersebut yaitu Jalan Sudirman, Jalan Suprapto dan Jalan Imam Bonjol, jalan Juanda, jalan Sisingamangaraja, jalan Mongonsidi dan lain-lain.

D. Kendala Yang Dihadapi Oleh POLRESTA Dalam Proses Penanggulangan Pelanggaran Lalu Lintas di kota Medan

Pelaksanaan upaya menanggulangi pelangaran lalu lintas oleh pihak kepolisian juga mempunyai beberapa kendala yang dialami. Antara lain98

1) Faktor internal

:

Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang berasal dari kepolisian itu sendiri. Diantaranya adalah :

a. Dalam penegakan hukum pelanggaran lalu lintas pihak kepolisian terkendala pada jumlah personil yang dimiliki. Ini dibuktikan dengan masih banyaknya titik-titik rawan terjadinya pelanggaran lalu lintas yang belum terjaga oleh petugas satlantas. Karena daerah yang diprioritaskan adalah jalan protokol. Selain itu petugas satlantas tidak hanya ditugaskan untuk menjaga dan mengatur

98 Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan,


(40)

lalu lintas tetapi juga mengamankan kegiatan masyarakat yang di Medan seperti contohnya demo.

b. Jumlah kendaraan patroli yang terbatas untuk melakukan kegiatan penegakan pelanggaran lalu lintas yang terjadi. Kondisi ini disebabkan karena banyaknya permintaan pengawalan dari instansi lain. Sehingga kendaraan untuk berpatroli menjadi berkurang dan menyebkan patroli tidak maksimal. Selain itu alat komunikasi yang disediakan juga terbatas. Hal ini menyebabkan upaya menanggulangi pelanggaran lalu lintas kurang maksimal.

c. Adanya oknum aparat yang nakal atau mau menerima suap dan kurang patuh dalam mematuhi peraturan. Hal ini disebabkan karena mereka merasa mempunyai kewenangan untuk melakukan penyimpangan yang seharusnya tidak dilakukan.

d. Dana yang dibutuhkan untuk operasional yang bertujuan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban kelancaran lalu lintas dan rekayasa lalu lintas kurang. Kondisi ini dibuktikan dengan ketidak sesuaian kebutuhan pelaksanaan tugas dilapangan yang cukup padat. Seperti contohnya subsidi BBM untuk melakukan kegiatan anggota lalu lintas dilapangan sangat kurang.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal atau faktor dari luar yang dihadapi oleh pihak kepolisian dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas adalah kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pengetahuan rambu-rambu lalu lintas dan tata tertib berlalu lintas serta pemahaman tentang keselamatan dan keamanan dalam berkendara di jalan. Tidak hanya itu kedisiplinan masyarakat dalam


(41)

mengendari kendaraan masih sangat rendah dikarenakan mendahulukan kepentingan mereka sendiri.

Faktor-faktor eksternal yang menjadi penghambat upaya penanggulangan lalu lintas seperti:

1. Masih kurangnya kepekaan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan tugas polantas dalam mencegah pelanggaran lalu lintas yang berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Kurangnya kepekaan ini dapat terlihat pada rasa ketidaksabaran masyarakat dan bahkan mengeluh ketika terjadi kemacetan di jalan raya saat polantas melakukan razia atau menangkap dan penertiban pelanggar lalu lintas.”

2. Masyarakat kurang dan tidak memahami, bahkan mengabaikan aturan berlalu lintas atau berkendara di jalan raya. Misalnya, masih banyak anak-anak di bawah usia layak berkendara (17 tahun) yang dibiarkan orangtuanya mengendarai sepeda motor di jalan raya. Masih banyak pengendara kendaraan bermotor yang belum menggunakan helm berstandar nasional (SNI) dan pengendara mobil yang belum menggunakan safety belt.

3. Banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan yang tidak sesuai dengan peruntukan ataupun kendaraan yang tidak laik jalan.


(42)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kata “Lalu lintas” dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah lintas adalah berjalan bolak-balik, hilir mudik dan perjalanan dijalan dan sebagainya, serta perhubungan antara sebuah tempat tinggal dan lainnya (dengan jalan pelayaran, udara, darat, dan sebagainya). Pengaturan Lalu lintas diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tantang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Pengertian Lalu lintas yaitu gerak kendaraan dan orang diruang lalu lintas jalan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian lalu lintas dalam arti luas adalah hubungan antara manusia dengan ataupun tanpa disertai alat penggerak dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan jalan sebagai ruang geraknya.

2. POLRESTA Medan mencatat bahwa pada tahun terdapat 2010 terdapat 37.018 kasus pelanggaran lalu lintas di Kota Medan, tahun 2011 terdapat 77.988 kasus, tahun 2012 terdapat 73.396 kasus, tahun 2013 terdapat 68.560 kasus, tahun 2014 terdapat 40.918 kasus, dan terakhir tahun 2015 terdapat 40.133 kasus pelanggaran lalu lintas di kota Medan. Dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh masyarakat yaitu faktor internal yaitu Kurangnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi peraturan lalu lintas dan Faktor Kematangan Emosional Manusia. Sedangkan faktor eksternal Faktor Prasarana Lalu Lintas dan Faktor Penegak Hukum.

3. Pihak Polresta Medan dalam menanggulangi pelanggaran lalu lintas di wilayah kota Medan yaitu dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :


(43)

a) Upaya Penal yaitu dengan melaksanakan kebijakan/prosedur penindakanguna memberikan sanksi pidana yang ada dalam didalam undang-undang lalu lintas tersebut kepada pelaku tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan serta pemberian sanksinya harus sesuai dari ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009.

b) Upaya Non-Penal yaitu dengan melaksanakanPolisi Sahabat Anak (Polsana), Patroli Keamanan Sekolah (PKS), Police Goes to Campus, Safety Riding, Kampanye keselamatan lalu lintas, Traffic Board, TMC (Traffic Manajement Centre), KTL (Kawasan Tertib Lalu Lintas), Taman lalu Lintas, Sekolah Mengemudi, Saka Bhayangkara Lalu lintas, dan Operasi Khusus Kepolisian Dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk mencegah dan menanggulangi pelanggaran lalu lintas di wilayah kota Medan, pihak Polresta Medan juga menghadapi kendala yang dapat menghambat pelaksanaan tugas-tugas mereka tersebut. Adapun kendala tersebut antara lain :

1) Faktor Internal :

a. Dalam penegakan hukum pelanggaran lalu lintas pihak kepolisian terkendala pada jumlah personil yang dimiliki.

b. Jumlah kendaraan patroli yang terbatas untuk melakukan kegiatan penegakan pelanggaran lalu lintas yang terjadi.

c. Adanya oknum aparat yang nakal atau mau menerima suap dan kurang patuh dalam mematuhi peraturan.

d. Dana yang dibutuhkan untuk operasional yang bertujuan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban kelancaran lalu lintas dan rekayasa lalu lintas kurang.


(44)

2) Faktor Eksternal :

a. Masih kurangnya kepekaan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan tugas polantas dalam mencegah pelanggaran lalu lintas yang berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

b. Masyarakat kurang dan tidak memahami, bahkan mengabaikan aturan berlalu lintas atau berkendara di jalan raya.

c. Banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan yang tidak sesuai dengan peruntukan ataupun kendaraan yang tidak laik jalan.

B. Saran

Dari tulisan tersebut diatas penulis memberikan saran-saran ke berbagai pihak antara lain sebagai berikut :

1. Kiranya adanya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan pihak kepolisian dalam menuntaskan masalah Pelanggaran Lalu lintas.

2. Agar dana operasional yang dibutuhkan aparat kepolisian dalam menanggulangi Pelanggaran Lalu lintas dapat ditingkatkan oleh pemerintah.

3. Kepada masyarakat dihimbau agar meningkatkan kesadaran akan pentingnya keselamatan berlalu lintas dan menjadi pelopor keselamatan berkendara.


(45)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI LALU LINTAS MENURUT HUKUM

POSITIF DI INDONESIA

A. Peranan Kepolisian Dalam Menanggulangi Pelanggaran Lalu Lintas 1. Aspek Hukum Kepolisian Indonesia

Pengertian Kepolisian menurut Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya di sebut UU Kepolisian adalah segala sesuatu hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.29

Hubungan antara polisi, hukum dan masyarakat memang sangat erat. Achmad Ali menjelaskan mengenai hubungan antara polisi dengan efektivitas hukum : Kualitas dan keberdayaan polisi dalam menanggulangi kriminalitas, merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan afektif dan tidaknya ketentuan yang berlaku, khususnya di bidang kriminalitas yang menjadi tugas pokok kepolisian untuk menindaknya.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertujuan mengawal keamanan dan ketertiban masyarakat dalam hal ini suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasayarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka terciptanya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang membangun kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan menanggulangi segalah bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

30

29 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

30 Achmad Ali. 1988. Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum Oleh Hakim.

Ujung Pandang : Hasanuddin University Press. Hlm 203 .

Masih berkaitan dengan eksistensi polisi, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa yang paling besar


(46)

frekuensinya dalam berhubungan secara langsung dengan masyarakat adalah polisi, di bandingkan dengan penegak hukum lainnya.31

Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

Kewenangan Kepolisian negara Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan tugas dan wewenang kepolisian dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Kepolisian.

32

1. Memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat; 2. Menegakkan hukum;

3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam menjalankan tugas pokoknya, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:33

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;

2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, kelancaran lalu lintas di jalan;

3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

6. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian, khusus penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

31

Ibid.

32 Pasal 13 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(47)

7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

8. Menyelenggaakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian umtuk kepentingan tugas kepolisian;

9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;

11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:34

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

34 Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


(48)

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:35

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

35 Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat serta Karunia-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan dapat menyusun penulisan skripsi ini tepat ada wkatunya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “PENANGGULANGAN

TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (STUDIPOLRESTA MEDAN)” yang disusun guna melengkapi dan memenuhi persyaratan

untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuat suatu karya ilmiah berupa skripsi.

Penulisan karya ilmiah berupa skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bentuk tantangan yang harus dihadapi dan akhirnya penulis dapat melewati sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran, dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

5. Bapak Dr. H. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukumm Pidana.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan, dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

7. Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan, dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

9. Kepada orang tua penulis yang penulis sayangi, Ayahanda Nahason Parhusip dan Ibunda yang sangat penulis sayangi Sinta Marpaung, S.Pd yang telah membesarkan, mendidik, dan menempa penulis dengan kasih saying yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah penulis dalam mencapai cita-cita. 10.Kepada Adik-adikku Stiven Parhusip, Christoper Parhusip, dan Jelita Greysela yang

tidak hentinya menjadi penyemangat penulis dan sangat mendukung dalam menyelesaikan tugas akhir ini dan teristimewa kepada Adinda Margaretta Parhusip (+) yang telah banyak menginsipirasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11.Kepada Ibu AKP. Lastiar Siburian, S.Si., selaku Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Medan yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan riset hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.


(3)

12.Kepada para sahabat satu kampung halaman penulis Dolok Roniasi Simamora, Wilson Dilho Simanjuntak, Leonardo Simatupang, Frengky Yosua Sitinjak, Tressa Yolanda Siahaan, Lister Vlorida Hasibuan, Monika Hia, Aldora Manullang, Ivan Sitompul, Rudy Antonius Simatupang, Willlyam Ardin Siregar, Boy Trisno Sitompul, dan Resana Triani Waruwu yang memberikan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

13.Kepada para sahabat alumni SMA Santo Thomas II Medan, Edgar Leonard Simanjuntak, Iskandar Muda Tambunan, Kaelvrin Tarigan, Hendro Tanaga, Willy Edwin Simanjuntak, Hendro Hans Tampubolon, Gidion Marbun, Azaria Mawar L Tobing, Aquila Friskilla Siregar, Prisila Stefany Tampubolon yang memberikan semangat dan motivasi tak terhingga kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

14.Kepada sahabat terbaik penulis Hendro Hezkiel Siboro SH, Joy Alloysius Sinuhaji, Lamhot P Simarmata SH, Maruli Simalango SH, Marisa Tambunan, Selly Simanjuntak SH, Apresia Handayani SH yang memberikan motivasi dan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini

15.Kepada kawan seperjuangan penulis Bruno Saragih SH, Leonardus Manurung SH, Pir Silaban, Jenriko Jutabarat, Maslon Ambarita, Ardi Anto Sianipar, Efraim Ginting, Johannes Derral Sihombing SH, Brenada Pardamean Sihite dan kawan-kawan seperjuangan lainnya di Komisariat GMNI Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang selalu perhatian kepada penulis dalam memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.


(4)

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengaharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mengaharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terima Kasih.

Medan, November 2016 Penulis

Natanael Parhusip 110200221


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pengertian Tindak Pidana ... 7

2. Pengertian Kepolisian ... 9

3. Pengertian Lalu Lintas ... 12

4. Pengertian Pelanggaran Lalu Lintas ... 13

F. Metode Penelitian ... ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II PENGATURAN MENGENAI LALU LINTAS MENURUT

HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Peranan Kepolisian dalam menanggulangi Pelanggaran lalu Lintas ... 25

B. Jenis-jenis pelanggaran lalu lintas ... 36

C. Sanksi hukuman terhadap Pelanggaran Lalu Lintas ... 44

BAB III PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU

LINTAS DI KOTA MEDAN (PERIODE 2010-2015)

A. Data dan perkembangan Pelanggaran Lalu Lintas di kota Medan ... 54


(6)

BAB IV PERANAN POLRESTA MEDAN DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG

TERJADI DI KOTA MEDAN

A. Upaya penanggulangan POLRESTA Medan terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas di kota Medan ... 74 B. Kendala yang dihadapi oleh POLRESTA dalam proses penanggulangan

Pelanggaran Lalu Lintas di kota Medan ... 94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 98 B. Saran ... 101