Aspek Hukum Pajak Penghasilan

BAB IV PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP

KEPEMILIKAN SAHAM BAGI KARYAWAN

A. Aspek Hukum Pajak Penghasilan

Sejarah pajak telah ada sejak zaman sebelum masehi, sebagai contoh pada zaman Mesir Kuno pada zaman Fir’aun telah dikenal dengan istilah Scribe bagi para penarik pajak, namun pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi, dan ada juga istilah Portoria,yaitu pemungutan pajak yang berhubungan dengan bea masuk barang. 123 Khusus Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, di mana dasar pengenaan pajak adalah ”a person’s faculty, personal faculties and abilitites”. Pada saat abad pertengahan,Inggris terkenal dengan perang yang berlangsung selama 100 tahun dengan Perancis yang berakhir sekitar tahun 1453 M.Pada saat itu,mulai dikenal sistem pajak yang dikenakan atas penghasilan,pajak kekayaan,kantor dan pajak seorang pendeta.Pada saat itu,pajak tanah juga mulai muncul pajak atas kepemilikan tanah dan bangunan. 124 123 https:pajakupajakmu.wordpress.com20140415sejarah-pajak diakses pada tanggal 18 Desember 2015, pukul 13.45 WIB. 124 http:dokumen.tipsdocumentssejarah-pajak-penghasilan.html diakses pada tanggal 20 Desember 14.22 WIB. Pada tahun 1646 di Massachusetts dasar pengenaan pajak didasarkan pada “returns and gain”.“Personal faculty and abilities” secara implisit adalah pengenaan pajak penghasilan atas orang pribdi, sedangkan “Returns and gain” berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan tax return yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962. 125 Sejarah perkembangan pajak penghasilan Indonesia sendiri sudah dimulai sejak tahun 1816 yang kala itu disebut dengan istilah tenement tax atau huistax yakni sejenis pajak yang dikenakan untuk mereka yang menggunakan tanah dan bumi sebagai tempat berdirinya bangunan atau rumah. Kemudian paa tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan antara pajak untuk orang-orang pribumi dan orang asing yang berasal dari Asia dan Eropa, misalnya saja untuk orang Eropa diberlakukan pajak patent duty sementara untuk penduduk pribumi dikenakan pajak business tax. Di Indonesia juga telah diberlakukan poll tax yang dikenakan berdasarkan kepemilikan tanah da rumah yang berstatus pribadi, pemberlakuan ini dimulai sejak tahun1882 hingga tahun 1916 yang kemudian seiring dengan berjalannya waktu pajak ini terus mengalami perubahan dan perkembangan menyesuaikan kondisi ekonomi masyarakat. 126 125 https:id.wikipedia.orgwikiPajak_penghasilan diakses pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 13.55 WIB. 126 https:pajakupajakmu.wordpress.com20140415sejarah-pajak, Op.Cit., Pada tahun 1908 kemudian terdapat ordonansi pajak pendapatan yang diberlakukan untuk orang-orang Eropa dan badan yang melaksanakan bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang saham.Dasar pengenaan pajak ini adalah penghasilan yang berasal dari barang tak bergerak maupun bergerak, pembayaran berkala, pendapatan pejabat pemerintah dan penghasilan usaha, tarif yang diberlakukan pun bersifat proporsional. Kemudian pada tahun 1920 menjadi tahun unifikasi dimana peraturan dualistik kemudian dihilangkan dan digantikan dengan general income dtax yakni Ordonasi yang diterapkan untuk seluruh penduduk, baik warga pribumi maupun orang Eropa atau Asia. 127 Seiring dengan banyaknya perusahaan yang dibangun di Indonesia pada tahun 1925, kemudian mulai diterapkan Ordonasi Pajak Perseroan yang merupakan pajak untuk profit perseroan dan dikenal dengan istilah pajak perseroan, Ordonasi ini berlaku hingga akhir tahun 1983. Seiring dengan banyaknya perusahaan, timbul pula kebutuhan pajak pendapatan karyawan. Hingga akhirnya pada tahun 1935 mulai diterapkan Ordonasi Pajak Upah yang mewajibkan para majikan untuk memotong gaji pegawai sebagai pajak dengan tarif progesif berkisar antara 0 hingga 15. 128 1. Pajak yang Berbasis pada Penghasilan Era Pra Reformasi Perpajakan 1983 Sebelum berlakunya Undang–undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan di Indonesia diterapkan pajak-pajak yang berbasis pada penghasilan sebagai berikut: 129 127 http:dokumen.tipsdocumentssejarah-pajak-penghasilan.html, Op.Cit., 128 Muhammad Abby , Sejarah Pajak Penghasilan di Indonesia, February 12, 2015 129 http:lyharisih.blogspot.co.id201312konsep-dasar-karakteristik-dan- sejarah.htmldiakses pada tanggal 18 Desember 2015, pukul 15.03 WIB. a. Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan. b. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut. c. Undang-Undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen dan royalty, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen dan royalty yang bersangkutan. d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain MPO dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri MPS-Masa dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun MPS- Akhir. Sistem pemungutan pajak pada era pra reformasi perpajakan 1983 yang berbeda dengan era pasca reformasi terutama adalah: a. Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan; b. Pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. 130 2. Pajak Penghasilan Era Pasca Reformasi Perpajakan 1983 131 Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menandai era baru reformasi di bidang pajak penghasilan. Sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut undang-undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.Selain itu, jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau, dimana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas merampungkan atau menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. 130 Penjelasan UU Nomor 6 Tahun 1983. 131 http:lyharisih.blogspot.co.id201312konsep-dasar-karakteristik-dan-sejarah.html, Op.Cit. Dalam Penjelasan Undang-undang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dijelaskan bahwa Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan Undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila. Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak siapa yang dikenakan, Obyek Pajak penyebab pengenaan dan Tarip Pajak cara menghitung jumlah pajak dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata carapemungutannya diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami serta mematuhinya. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur: 132 a. Semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam Undang-undang. b. Ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 132 Op.Cit.,Penjelasan UU Nomor 6 Tahun 1983. Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. 1. Subyek Pajak Pasal 2 ayat 2 UU PPh membedakan subjek pajak antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri menurut Pasal 2 ayat 3 UU PPh adalah: Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu 12 dua belas bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan Subjek Pajak luar negerisebagaimanadiaturdalam Pasal 2 ayat 4 UU PPh adalah: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu 12 dua belas bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu 12 dua belas bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU PPh menjelaskan perbedaan antara Subjek Pajak dalam negeri selanjutnya disebut WPDN dan Subjek Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLNterletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: a. WPDN dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan WPLN dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia; b. WPDN dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan WPLN dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan c. WPDN wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam tahun pajak, sedangkan WPLN tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Kewajiban pajak objektif WPDN atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia world-wide income disebut kewajiban pajak penuh comprehensive-tax libility. 133 Kewajiban pajak objektif WPLN yang hanya terbatas atas penghasilan yang berasal dari sumber-sumber penghasilan di Indonesia disebut kewajiban pajak terbatas limited-tax liability. 134 133 R. Mansury, Perpajakan atas Penghasilan dari Transaksi-transaksi Khusus, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan, 2003, hlm 26. 134 Ibid. 2. Non-Subyek Pajak Yang bukan merupakan subyek pajak atau non-subyek pajak adalah: a. Kantor perwakilan negara asing; b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; Organisasi Internasional adalah organisasibadanlembagaasosiasiperhimpunanforum antar pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia. 3. Objek Pajak Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU PPh dimana Subjek Pajak menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan. Penghasilan yang merupakan objek pajak menurut Pasal 4 ayat 1 UU PPh yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penjelasan Pasal 4 ayat 1 UU PPh menjelaskan bahwa penghasilan ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis yang bisa digunakan untuk konsumsi atau ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, Contoh- contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Konsep tambahan kemampuan ekonomis atas penghasilan accretion concept of income didefinisikan prinsip pemajakan ekonomis terhadap pengertian penghasilan dalam arti luas sebesar konsumsi, tabungan dan perubahan kekayaan Wajib Pajak selama periode tertentu.Tambahan kemampuan ekonomis tersebut telah harus direalisasi sesuai Pasal 4 ayat 1 UU PPh menyebutkan bahwa penghasilan sebagai ”tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak”. 135 135 Ibid, hlm 13. Dalam pengertian tersebut terdapat unsur pengakuan penghasilan income recognition yaitu dapat secara aktual pada saat penghasilan tersebut diperoleh yang dikaitkan dengan satuan waktu saat pelaporan atau kas pada saat penghasilan diterima dalam bentuk uang tunai atau setara. Penghasilan sebagai pengertian yang komprehensif dan luas, nama dan bentuk dari penghasilan kurang begitu relevan hakikat lebih penting daripada bentuk formal penghasilan atau substance over form. 136 Penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh menyebutkan penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini termasuk objek pajak. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa semua jenis imbalan yang berkaitan dengan hubungan kerja termasuk dalam kategori penghasilan. 137 Penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf d antara lain disebutkan apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan yang merupakan objek pajak. Pada umumnya keuntungan pengalihan harta dihitung berdasarkan selisih antara harga jual harga pasar dengan harga buku atau perolehan harta. 138 136 Ibid. 137 Rachmanto Surahmat, Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pemberian Imbalan Berupa Opsi Saham pada Bunga Rampai Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat, 2007, hlm 98. 138 Gunadi, Pajak International, Jakarta: Salemba Empat, 2007, hlm 42 Pasal 4 ayat 2 UU PPh atas penghasilan berupa keuntungan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal 4 ayat 2 UU PPh menjelaskan tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakukan tersendiri dalam pengenaan pajaknya dan pengenaan pajak penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final. Adapun penghasilan yang dikenakan PPh Final adalah sebagaiberikut: 139 a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. Penghasilan berupa hadiah undian; c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah danatau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah danatau bangunan; dan e. Penghasilan tertentu lainnya. Penerapan PPh Final ini diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah. 139 http:www.kemenkeu.go.idsitesdefaultfilesBuku20PPh20Upload.pdf , diakses pada18 Desember 2015, pukul 16.01 WIB. Selain dari penghasilan yang adalah objek pajak diatas, yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah penghasilan yang bukan Objek Pajak, yaitu: 140 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 3. Warisan; 4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 140 http:www.pajak.go.idsitesdefaultfilesBuku20PPh20Upload.pdfdiakses pada tanggal 19 Desember 2015, pukul 10.09 WIB. 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura danatau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus deemed profit; 6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25 dari jumlah modal yang disetor; 8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektorsektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan danatau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan danatau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 15. Hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.

B. Tujuan Pengenaan Pajak pada Program Kepemilikan Saham Bagi Karyawan