Latar Belakang Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. DR. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir sampai meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain atau tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok lainnya. 1 Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu, manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat. Manusia sebagai mahluk individu biasa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. 2 Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi. 1 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 1. 2 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2 Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang di dalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut telah mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga sendiri. 3 Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka waktu selama mungkin. 4 Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak suami-isteri, keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda, menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui kontak negara. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah hukum baik perdata maupun pidana yang tidak mungkin dicakup secara keseluruhan pada saat sekarang ini. Bagi suku bangsa yang memiliki adat dan budaya, perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia dalam kehidupan yang dilaksanakan 3 Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal 3. 4 Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 97. Universitas Sumatera Utara 3 dalam suatu upacara yang terhormat serta mengandung unsur sakral di dalamnya. Upacara tersebut biasanya diselenggarakan secara khusus, menarik perhatian dan disertai penuh kenikmatan. Selain itu, upacara ini juga menggunakan benda-benda maupun tingkah-laku yang mempunyai kaitan makna khusus yang tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya itu bertujuan untuk menyatakan agar kedua pengantin senantiasa selamat dan sejahtera dalam mengarungi kehidupan bersama, terhindar dari segala rintangan, gangguan, dan malapetaka. Bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pegangan hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama. 5 Orang yang taat pada agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati. 6 Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang besar dalam kehidupan seseorang, juga bagi orang tua anak gadis, perkawinan anaknya itu sangat mengharukan, orang tua tersebut melepaskan anak mereka yang dicintainya itu, lalu berangkat menempuh hidup baru bersama suaminya. 7 Dalam peraturan perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan merupakan sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk 5 Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 1990, hal 11. 6 Chainur Arrasjid, Op Cit, hal 5. 7 Retnowulan Sutanto, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 35. Universitas Sumatera Utara 4 menjadi suami-istri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga, yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak dalam pembentukan peradaban di dalam masyarakat. Mulai secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah, tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum kehidupan maka kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu. 8 Melangsungkan suatu perkawinan, undang-undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di dalam undang-undang perkawinan ditetapkan beberapa azas untuk mempersulit terjadinya penyimpangan, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam suasana di mana masyarakat menghadapi perubahan sosial ekonomi yang serba cepat, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial. Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga. 9 8 Ibid., hal 7. 9 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 1. Universitas Sumatera Utara 5 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 10 Akan tetapi pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 34 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya ditulis UU Perkawinan bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah seimbang. Menurut Soerjono Soekanto bahwa hukum dengan tegas mengatur perbuatan- perbuatan manusia yang bersifat lahiriah dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antar kepentingan-kepentingan para warga masyarakat. 11 Dari kenyataan tersebut, maka pembuat UU Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu Pasal 2 ayat 1. Agama yang dimaksud adalah merujuk kepada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang mengatakan bahwa: negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk, untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing. 12 Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses perubahan dalam ruang lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja 10 Ibid. 11 Retnowulan Sutanto, Op.Cit, hal. 35. 12 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, 1983, hal 4. Universitas Sumatera Utara 6 dan karena itu mempunyai waktu lebih sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga. 13 Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain. 14 Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari. Alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara suami isteri dalam keluarga mulai berubah. Jika memang ada kecenderungan pergeseran nilai, maka formulasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk undang-undang perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu nampaknya perlu dilihat proses itu benar-benar terjadi dan kalau seandainya terjadi hanya bersifat sementara saja atau sesuatu yang semakin lama semakin cenderung meningkat. Setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang mereka alami dan mengundang orang-orang yang dianggap lebih tua, perceraian 13 Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia peradilan No. 271, Makalah Juni, 2008, hal 8. 14 SP. Wasis, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit UMM Press, Malang , 2002, hal. 7. Universitas Sumatera Utara 7 dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah mempunyai keturunan anak. Tetapi apabila usaha dan upaya itu gagal, maka dengan terpaksa gugatan tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan. Masalah perceraian ini di dalam peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus perkara tersebut. Bagi warga masyarakat yang beragama Kristen, Budha, dan Hindu peradilan yang berhak memeriksa dan memutuskannya adalah Pengadilan Negeri. UU Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya di sebut PP Nomor 9 Tahun 1975 merupakan hasil produk perundang-undangan nasional, yang telah disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka hukum agama dan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan dapat dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional dimana hukum adat yang dapat diterima untuk dimasukkan ke dalam undang-undang perkawinan tersebut adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan diri serta dapat mengikuti perkembangan zaman menuju kepada negara yang maju dan modern. 15 Di dalam undang-undang tersebut memang tidak tegas digunakan istilah hukum adat, namun tidak berarti bahwa undang-undang ini terlepas sama sekali dari hukum adat. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Bab VII Pasal 35-37 UU Perkawinan tentang 15 Ibid., hal. 9 Universitas Sumatera Utara 8 harta benda di dalam perkawinan masih juga digunakan istilah Harta bersama dan Harta Bawaan. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum- hukum lainnya. Secara keseluruhan undang-undang perkawinan maupun aturan pelaksanaannya hanya mengenal dua jenis proses perceraian dengan talak dan cerai gugat. Selanjutnya dalam Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa tujuan sidang pengadilan dimaksud dalam Pasal 14 hanyalah untuk menyaksikan perceraian tersebut. Dalam Pasal 17 PP Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian. Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian. Dari ketentuan tersebut diatas jelaslah bahwa yang diajukan suami bukanlah surat permohonan, akan tetapi, surat pemberitahuan bahwa ia akan bercerai menceraikan isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan di tempat tinggalnya untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu. Dan jika sudah terjadi perceraian di muka pengadilan, maka ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian bukan surat penetapan atau putusan. Ketentuan mengenai akibat perceraian, maka suami yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan untuk itu, jika suami dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 16 16 Pasal 41 butir b dan c UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara 9 Bila dilihat dari ajaran Kristen terkhusus agama Kristen Protestan bahwa perceraian itu jelas dilarang oleh agama Kristen. Dalam agama Kristen, perceraian itu jelas ditolak seperti yang tertulis pada: ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Markus 10 - 10:9 dan Matius 19 - 19:6. 17 Beban akibat perceraian terutama yang bersifat finansial yang sekarang ini terutama menjadi kewajiban suami, nampaknya perlu juga dipertimbangkan. Dalam kenyataan cukup banyak isteri yang berpenghasilan lebih banyak atau sama dengan suami. Undang-Undang perkawinan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat saat ini, salah satunya perceraian. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 18 Oleh karena itu mempersulit prosedur tidak menjadi alasan untuk mengurangi angka perceraian. Undang-Undang perkawinan yang mengatur antara lain soal peran suami isteri dan prosedur perceraian sudah perlu dipertimbangkan kembali setidak- tidaknya didalam penerapannya. 17 Rusdi Malik, Op. Cit., hal. 15 18 Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara 10

B. Permasalahan