Kontinuitas Dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa DesaGajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan

(1)

KONTINUITAS DAN PERUBAHAN GONDANG NAPOSO PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA DESAGAJAH KECAMATAN

SEI BALAI KABUPATEN ASAHAN

SKRIPSI

DISUSUN OLEH: LEONALD NAINGGOLAN

NIM: 030707007

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah melimpahkan kasih dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul : KONTINUITAS DAN

PERUBAHAN GONDANG NAPOSO PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA DESAGAJAH KECAMATAN SEI BALAI KABUPATEN ASAHAN,

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S1) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan.

Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dan hormat yang tulus dan tiada terhingga kepada Ayahanda J.Nainggolan dan Ibunda R. Br. Manullang, yang tiada lelah memberikan bimbingan, dorongan semangat serta iringan doa yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Begitu juga kepada kedua Kakak tercinta Elem Br Nainggolan dan Imelda Br Nainggolan, Abangku Ribur Nainggolan dan kedua Adikku tersayang Nentiara Br Nainggolan dan Herlina Br Nainggolan atas dorongan semangat dan doa yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :


(3)

• Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra USU

• Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, selaku Ketua Departemen Etnomusikologi dan Pembimbing I.

• Bapak Drs. Setia Dermawan Purba. M.Si, selaku Pembimbing II

• Ibu Dra. Heristina Dewi. M. Pd, selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi

• Seluruh Staf Pengajar di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU

• Bapak Sari Simangunsong dan Oppu Hellen Gultom, selaku informan dan penuntun penulis dalam melakukan pengumpulan data.

• Rekan-rekan seperjuangan : Bang Hardoni Sitohang, Martahan Sitohang, Saridin Sinaga.

• Rekan-rekan mahasiswa Etnomusikologi: Dina M Sitopu, Flora Hutagalung, Wely Simbolon, Frendy Sirait.

• Cory Ester P Br. Rajagukguk yang telah banyak memberikan dukungan dan dorongan semangat kepada penulis.

• Seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan selanjutnya. Penulis juga berharap agar tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pembaca.


(4)

Akhir kata penulis sangat berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran dan bermanfaat bagi pembaca, khususnya dalam bidang Etnomusikologi.

Medan, Desember 2008 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI………..………..iv

DAFTAR GAMBAR………...vii

DAFTAR TABEL………..viii

DAFTAR LAMPIRAN………ix

BAB I. PENDAHULUAN……….1

1.1.Latar Belakang………1

1.2.Pokok Permasalahan………...6

1.3.Tujuan Penelitian………7

1.4.Manfaat Penelitian………..8

1.5.Konsep………....9

1.6.Teori……….11

1.7.Metode Penelitian………...16

1.8.Pemilihan Lokasi Penelitian……….17

1.9.Pemilihan Informan………..17

1.10. Kerja Lapangan………...18

1.11. Studi Kepustakaan………..18

1.12. Kerja Laboratorium………19

BAB II. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA DESAGAJAH………….20

2.1. Lokasi dan Keadaan Geografis………...20

2.2. Sejarah Desa Desagajah……….22

2.3. Keadaan Penduduk……….23


(6)

2.5. Mata Pencaharian………28

2.6. Sistem Kemasyarakatan………..30

BAB III. DESKRIPSI GONDANG NAPOSO……….33

3.1. Sejarah Gondang Naposo………..33

3.2. Acara Gondang Naposo Periode Pertama (1972-1985)………35

3.2.1.Pelaku Acara……….35

3.2.1.1. Panitia Pelaksana……….35

3.2.1.2. Pemusik………36

3.2.1.3. Peserta Acara………...36

3.2.2. Waktu dan Tempat Acara………37

3.2.3. Alat-alat Pendukung Acara………..38

3.2.3.1. Alat Musik (Gondang Sabangunan)………...38

3.2.3.2. Kostum………38

3.2.3.3. Bambu Beranting dan Batang Pohon Beringin………...39

3.2.4. Tahapan Acara……….39

3.2.4.1. Pembukaan………..39

3.2.4.2. Acara Manortor..………40

3.2.4.3. Penutup………...42

3.3. Acara Gondang Naposo Periode Kedua (1999-sekarang)……….42

3.3.1. Pelaku Acara………43

3.3.1.1. Panitia Pelaksana………43

3.3.1.2. Pemusik………...44

3.3.1.3. Peserta Acara………..45

3.3.1.4. Seksi Langit………45

3.3.2. Waktu dan Tempat Acara………45

3.3.3. Alat-alat Pendukung Acara………..46

3.3.3.1. Alat Musik (Sulkibta)……….46


(7)

3.3.3.4. Panggung dan Tenda………...52

3.3.4. Tahapan Acara Gondang Naposo………....53

3.3.4.1. Pembukaan………..53

3.3.4.2. Acara Manortor..………56

3.3.4.3. Penutup………...71

BAB IV. KONTINUITAS DAN PERUBAHAN GONDANG NAPOSO…………..73

4.1. Fungsi Musik Dalam Gondang Naposo Sebagai Fenomena Kontinuitas………....73

4.1.1. Fungsi Pengungkapan Emosional...……….74

4.1.2. Fungsi Penghayatan Estetis……….75

4.1.3. Fungsi Hiburan………...……….75

4.1.4. Fungsi Komunikasi………..77

4.1.5. Fungsi Kesinambungan Budaya………..79

4.2. Bergantinya Musik Pengiring Dalam Gondang Naposo Sebagai Fenomena Perubahan………...80

4.2.1. Status Sosial Pargonsi…...………..81

4.2.2. Repertoar………..82

4.2.3. Faktor Penyebab Perubahan………86

BAB V. PENUTUP……….90

5.1. Ringkasan...………...90

5.2. Kesimpulan………92

5.3. Saran………..93

GLOSARIUM………..…95

DAFTAR PUSTAKA………..…97

LAMPIRAN I..………..…100

LAMPIRAN II………...……102


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sulim………..48

Gambar 2. Keyboard………49

Gambar 3. Taganing………50

Gambar 4. Hasapi………51

Gambar 5. Posisi gerakan pada saat Gondang Somba-somba……….58

Gambar 6. Posisi gerakan pada saat Gondang Liat-liat………...59

Gambar 7. Posisi pada saat Gondang Pasu-pasu...………..60

Gambar 8. Posisi gerak pada saat Gondang Sappe-sappe………...…………61

Gambar 9. Silua………...……65

Gambar 10. Posisi gerakan Manjalo-jalo Silua………...68


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kelompok etnik……..………24

Tabel 2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur…..………24

Tabel 3. Jumlah penduduk menurut dusun…………..………26

Tabel 4. Komposisi penduduk menurut agama……...………27

Tabel 5. Komposisi jumlah tempat ibadah…..………27


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1……….100 Lampiran 2………..………...102 Lampiran 3……….104


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seni adalah suatu nilai hakiki yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dunia seni adalah dunia kita bersama. Hidup dan matinya merupakan tanggung jawab kita bersama pula (Maran 2000:103). Kesenian tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang paling penting dalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan.

Masyarakat yang menyangga kebudayaan demikian pula kesenian mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, serta menularkan, mengembangkan serta kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. Apa yang disebut seni atau kesenian meliputi penciptaan dari segala macam hal yang atau benda yang karena keindahan bentuknya senang orang melihat atau mendengarnya. (Ensiklopedia Nasional Indonesia).

Kita mengenal masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang suka merantau apalagi ketika seseorang tersebut dianggap sudah dewasa. Bila kita melihat langsung ke daerah asal (Bona Pasogit), yang banyak kita jumpai adalah orang-orang yang sudah tua dan anak-anak. Sedangkan para pemuda/i lebih banyak yang merantau keluar daerah.


(12)

Kebiasaan merantau pada masyarakat Batak Toba ini didorong oleh rasa ingin mencari dan memiliki kehidupan yang lebih layak (Simatupang 2002:168) . Selanjutnya Siahaan (1982:48) mengatakan bahwa sekalipun di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Mereka mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. Salah satu daerah perantauan masyarakat Batak Toba adalah Kabupaten Asahan. Di daerah ini mereka hidup pada umumnya sebagai petani dan pedagang.

Masyarakat Batak Toba mempunyai budaya yang sangat kaya yang mereka peroleh dari leluhurnya secara turun-temurun. Warisan budaya tersebut adalah budaya tradisional yang harus dijaga kesinambungannya. Salah satu budaya yang diwariskan pada masyarakat Batak Toba adalah Gondang Naposo.

Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi pada masyarakat Batak Toba yang merupakan sarana untuk membina hubungan antara generasi muda. Dahulu acara ini biasa dilakukan pada saat terang bulan (Rondang Bulan) dan pada saat masyarakat mendapatkan hasil panen yang baik.

Gondang Naposo adalah pesta yang ditunggu-tunggu muda-mudi. Dimana dalam acara tersebut muda-mudi dari berbagai desa diundang untuk turut berpatisipasi dalam acara Gondang Naposo tersebut dan disana mereka bisa berkenalan satu dengan yang lain. Kesempatan untuk para muda-mudi untuk saling berkenalan satu dengan yang lain sangatlah besar karena di dalam acara Gondang


(13)

Naposo tersebut dilengkapi dengan perilaku tortor (Thompson HS dalam artikel “Gondang Naposo Di Jakarta” 2008). Tortor dalam gondang naposo pada masyarakat Batak Toba juga dapat berfungsi sebagai ajang melepas rindu, sehingga nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup serta pengharapan dapat diwujudkan melalui tortor yang diiringi musik gondang (Sinaga 1994:9).

Dibeberapa tempat sub etnis Batak tradisi untuk muda-mudi seperti ini juga sering dilakukan, seperti di Tanah Karo dengan Guro-guro Aron dan di Simalungun dengan Rondang Bintang.

Pada dasarnya acara Gondang Naposo tidak semata-mata urusan naposo (muda-mudi) saja. Acara seperti ini justru diprakarsai oleh orang tua yang ingin memberi peluang kepada anak-anak mereka untuk bergembira, dan pembiayaannya digalang oleh penduduk setempat. Karena menurut tradisi Batak, naposo belum bisa “pahundul pargonsi”1. Sehingga untuk dapat menghadirkan pargonsi2 sebagai pemain musik pengiring dalam acara ini peran orang tua sangat dibutuhkan (Naipospos dalam Dialog Gondang Naposo Tahun 1998).

Acara ini dimulai dengan “pahundul” atau “manggalang pargonsi”, tahap ini merupakan ajakan atau sambutan secara adat kepada pargonsi untuk dapat memulai acara. Setelah tahap manggalang pargonsi selesai, acara dilanjutkan dengan tahap “mambuat tua ni Gondang” oleh orang tua, dimana orang tua meminta

1

Pahundul pargonsi adalah menyambut pargonsi ditempat yang telah disediakan

2


(14)

(maminta) kepada pargonsi untuk memainkan gondang sebagai tanda dimulainya acara ini. Kemudian orang tua dan para naposo manortor (menari) bersama. Acara kemudian di lanjutkan dengan kata-kata sambutan dan nasehat-nasehat dari orang tua kepada naposo. Setelah acara manggalang pargonsi dan mambuat tua ni gondang selesai, kemudian acara dilanjutkan dengan manortor bersama oleh orang tua dan seluruh naposo yang menjadi panitia. Kemudian acara diserahkan sepenuhnya kepada naposo namun sepanjang acara berlangsung orang tua tetap memantau jalannya acara agar tidak melenceng dari aturan etika kesopanan dan ketertiban3.

Naipospos mengatakan bahwa keberadaan Gondang Naposo pada masa

sekarang ini boleh dikatakan sudah jarang kita jumpai, khususnya di daerah-daerah perantauan masyarakat Batak Toba. Hal ini disebabkan oleh pengaruh modernisasi yang kuat pada masyarakat Batak Toba khususnya muda-mudi Batak Toba, sehingga rasa ingin tahu akan budaya Batak pun sudah berkurang.

Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan adalah salah satu daerah yang sampai saat ini masih tetap menyelenggarakan acara Gondang Naposo yang dilaksanakan dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Januari dan bulan Juni karena pada saat itulah mereka panen. Hal ini sesuai dengan konsep Gondang Naposo yang selalu dilaksanakan setelah musim panen.

Walaupun penduduk Desa Desagajah bukan hanya terdiri dari masyarakat Batak Toba saja melainkan ada Melayu dan Jawa, namun tradisi Gondang Naposo


(15)

tetap dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba yang ada disana sebagai ungkapan kegembiraan setelah panen dan sebagai acara untuk pertemuan muda-mudi masyarakat Batak Toba yang ada di sana.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi tersebut juga berpengaruh dan membawa perubahan terhadap acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah. Perubahan pada acara Gondang Naposo tersebut di antaranya yaitu yang menjadi musik pengiring. Pada awalnya musik pengiring dalam acara ini adalah Gondang Sabangunan yang terdiri dari instrumen Taganing, Gordang, Sarune, seperangkat Ogung(Gong) dan Hesek. Namun pada acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah saat ini yang menjadi musik pengiring adalah Sulkibta ( Sulim Keyboard Taganing).

Perubahan yang terjadi bukan hanya pada ensambel pengiringnya saja tetapi juga pada repertoar-repertoar yang dimainkan untuk mengiringi tortor4. Menurut Hotman (http://mandosi wordpress.com ) Gondang Naposo sendiri ada 20 macam; Goar-goar ni gondang naposo (Nama-nama Gondang Naposo) itu; (1) Gondang siburuk (2) Gondang sibane doli (3) Gondang sitapitola (4) Gondang siboru illa-illa (5) Gondang siboru enggan (6) Gondang siboru sanggul miling-iling (7) Gondang sibunga jambu (8) Gondang pinasa sidung-dungon (9) Gondang sibintang purasa (10) Gondang silote dolok (11) Gondang alit-alit aman jabatan (12) Gondang marhusip (13) Gondang parhabang ni siruba (14) Gondang sahali tuginjang sahali

4


(16)

tutoru (15) Gondang tohur-tohur ni bajar-bajar langit somatombuk tano somagang-gang (16) Gondang pidong patia raja (17) Gondang pidong imbulu buntal (18) Gondang anduhur titi, anduhur tabu (19) Gondang sipitu dai (20) Gondang ni pargonsi sisia sauduran pulik pulik pandohan.

Namun, walaupun banyak perubahan-perubahan dalam acara Gondang Naposo tersebut, masih ada nilai-nilai budaya yang tetap bertahan sampai sekarang di antaranya fungsi acara Gondang Naposo tersebut, tata cara dalam menari (manortor) dan maminta gondang (meminta gondang) yang masih tetap seperti dulu5.

Melihat keadaan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam acara tersebut. Serta bermaksud untuk mengangkat topik ini menjadi satu tulisan atau karya ilmiah Dengan demikian penulis memberi judul penelitian ini Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Desagajah- Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian penulis dalam tulisan ini antara lain:


(17)

1. Bagaimana pertunjukan Gondang Naposo pada masyarakat Batak toba di Desa Desagajah-Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

2. Aspek apa yang mengalami perubahan pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

3. Aspek apa yang tetap berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

4. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkap:

1. Bentuk penyajian acara Gondang Naposo pada masyarakat Batak di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan..

2. Perubahan yang terdapat pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan..


(18)

3. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba Di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

4. Aspek-aspek yang tetap berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi baru bagi masyarakat luas tentang keberadaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di luar daerah kebudayaannya.

2. Untuk mengetahui perubahan yang terdapat pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

3. Untuk mengetahui aspek-aspek yang tetap bertahan dan berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan

4. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan Batak Toba yang dapat menjadi bahan masukan bagi Departemen Etnomusikologi.


(19)

1.5 Konsep

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan menghindari penyimpangan, maka diperlukan pengertian atau definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini akan menjadi kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik yang menjadi pokok penelitian. Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di rumuskan (Mardalis 2003:46). Tulisan ini membahas tentang Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo di Desa Desagajah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kontinuitas dapat di artikan sebagai kelangsungan, kelanjutan dan kesinambungan. Kelanjutan yang dimaksud di dalam tulisan ini menyangkut aspek-aspek budaya dalam hal ini lebih menitikberatkan pada fungsi musik dalam Gondang Naposo di Desa Desagajah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran . Berangkat dari pengertian tersebut, perubahan yang dimaksud pada Gondang Naposo yaitu peralihan atau pergantian musik pengiring dari ensambel Gondang Sabangunan menjadi Sulkibta (Sulim Keyboard Taganing) serta repertoar-repertoar yang dimainkan dalam acara Gondang Naposo. Selain itu juga perubahan yang dimaksud menyangkut aspek-aspek dari materi acara dalam acara Gondang Naposo tersebut.

Secara harfiah perubahan berarti keadaaan berubah, peralihan atau pergantian. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau


(20)

sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)

Gondang pada masyarakat Batak Toba mengandung banyak pengertian diantaranya: sebagai sebuah ensambel musik, komposisi, repertoar, tempo komposisi, upacara atau bagian dari satu rangkaian upacara.(Hutajulu 2005:19)

Kata Gondang dalam konteks Gondang Naposo bermakna untuk menyatakan “giliran para muda-mudi untuk manortor” (menari) dalam sebuah acara atau upacara tertentu.(Harahap 2005:19)

Naposo dalam bahasa Batak berarti muda-mudi yang belum berkeluarga. Sehingga dalam acara Gondang Naposo, kata Naposo berarti pertunjukan yang diselenggarakan dan diperuntukkan kepada muda-mudi. Dimana dalam acara ini muda-mudi berperan sebagai penyelenggara dan sekaligus pendukung acara Gondang Naposo tersebut.

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa Gondang Naposo adalah acara atau pesta yang diadakan oleh muda-mudi dan ditujukan untuk muda-mudi itu sendiri dimana dalam acara tersebut para muda-mudi berkumpul dan melakukan kegiatan manortor (menari).

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo adalah suatu kajian tentang acara pesta muda-mudi


(21)

pada masyarakat Batak Toba dimana kajian tersebut meliputi hal atau aspek-aspek yang tetap berlanjut atau bertahan dan yang mengalami perubahan pada pelaksanaan acara Gondang Naposo tersebut.

1.6 Teori

Teori dalam pembahasan ini digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Penulis mengambil beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Untuk menganalisis kontinuitas dan perubahan dalam tulisan ini penulis menggunakan teori evolusi kebudayaan. Pada prinsipnya teori ini melihat perkembangan-perkembangan dan pergeseran-pergeseran kebudayaan. Seperti yang dikemukakan oleh Merriam dalam Skripsi Martuah (2003:13) sebagai berikut:

...there are few musicologist, indeed who have interested them selves in the broader study of music as a human phenomenon, as apposed to the more limited study of music in a single western culture...

The music of other people is sometimes used vaguely, as an introduction to courses in the “history of music” and, more particulary, as an example of what is “primitif” in music, fitting thereby, into a deductive schemata organized around invalid concept of cultural evolution. It is also sometimes used by western musicologist to support theories of the supposed origin of music, and on accasion it has formed the basic for melodic or rhythmic materials used composition (1964:17).


(22)

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa teori evolusi kebudayaan berkaitan dengan sejarah musik. Teori ini mendukung asal-usul musik, bagaimana ia dibentuk dari materi melodi atau ritmik dasar yang dipergunakan pada suatu komposisi.

Kontinuitas yang dimaksud dalam tulisan ini di lihat dari segi fungsi, dimana fungsi Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai sarana untuk membina hubungan antara generasi muda dan fungsi tersebut tidak berubah atau tetap berlanjut sampai sekarang.

Gondang Naposo tidak terlepas dari unsur musik. Sehubungan dengan fungsi Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba, penulis mengutip teori yang dikemukakan oleh Merriam (1964:219-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional), (2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of comunication), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation), (6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of validation of social institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10) fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of society).


(23)

Dari sepuluh fungsi musik yang dikemukakan oleh Merriam, dalam fokus tulisan ini penulis mengacu pada fungsi pengungkapan emosional, fungsi penghayatan estetis, fungsi hiburan, fungsi komunikasi dan fungsi kesinambungan budaya.

Tulisan ini dapat dikatakan sebagai tulisan yang membahas tentang perubahan kebudayaan. Koentjaraningrat (1965:135) mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.

Untuk lebih lengkap lagi penulis penulis juga mengacu pada teori yang dikemukakan Soekanto, dalam Skripsi Gurning (2006:14), yaitu: difusi (persebaran kebudayaan) adalah setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dalam arti luas maupun perubahan dalam arti sempit, perubahan secara cepat maupun lambat.

Berubahnya musik pengiring dalam acara Gondang Naposo adalah gejala pergeseran nilai-nilai budaya. Untuk membahas masalah tersebut penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa gejala-gejala yang sedang berlangsung dan bergeser disebut dengan dinamika sosial. (Koentjaraningrat 1985 :20). Selanjutnya Akwan (1983:410-411) mengemukakan


(24)

sekurang-kurangnya ada 5 (lima) sebab orang memodernisasi musik tradisi, yaitu: (1) modernisasi sesuai dengan program pemerintah untuk mengembangkan kebudayaan Indonesia, (2) musikus didorong oleh rasa tidak puasnya atau rasa kebosanannya terhadap bentuk-bentuk dan gaya musikal yang sudah dipergelarkan berulang-ulang, (3) musikus ingin mengembangkan daya kreatifitasnya, (4) pengembangan tradisi berdasarkan kesadaran individual atau kelompok orang yang mendalam sebagai sumber identitas diri, dan (5) modernisasi tradisi dimungkinkan juga oleh iklim kehidupan yang lebih bebas dalam sistem pemerintahan.

Modernisasi adalah penerapan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, modernisasi hanya akan berkembang sejauh didukung oleh sikap-sikap budaya yang mampu memberikan kondisi yang mengimbanginya. Artinya suatu proses modernisasi memerlukan proses penyesuaian budaya. (Zulkarnain 1999:625)

Lauwer berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan

oleh adanya akulturasi, dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan. (Lauwer 1989:402). Sejalan dengan pendapat tersebut dalam tulisan ini penulis juga akan meneliti apakah perubahan yang terjadi dalam acara Gondang Naposo adalah merupakan akibat dari adanya akulturasi dengan kebudayaan lain.

Perubahan yang terjadi pada acara Gondang Naposo tentulah memakan waktu atau melalui proses yang panjang. Menurut Richard, perubahan yang terjadi pada


(25)

masyarakat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang melalui beberapa generasi dan terutama ditujukan kearah perbaikan baik dari aspek kemasyarakatan, kelembagaan sosial masyarakat, aspek ekonomi, tradisi, teknologi, kesenian serta hiburan.

Menurut Soekanto (1990:292) perubahan yang terjadi secara lambat (evolusi) memerlukan waktu yang lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil berlangsung secara lambat laun. Perubahan secara evolusi terjadi dengan sendirinya, tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.

Perubahan juga dapat terjadi karena perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan perubahan yang berasal dari luar masyarakat. Perubahan dari masyarakat itu meliputi perkembangan ilmu pengetahuan, jumlah penduduk, pertentangan dan pemberontakan. Sedangkan perubahan dari luar masyarakat meliputi pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan (Pelly 1994:191)

Lebih lanjut Maran (2005) mengatakan, tidak ada kebudayaan yang bersifat statis, setiap individu dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zaman.


(26)

1.7 Metode Penelitian

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2003:24). Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekwensi atau penyebaran dari suatu gejala kegejala lain dalam suatu masyarakat.


(27)

1.8 Pemilihan Lokasi Penelitian

Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai kabupaten Asahan dengan studi kasus Persatuan Muda-mudi Simpang Desagajah (PERMUSIMDES). Desa Desagajah sebagai lokasi penelitian karena daerah ini adalah salah satu daerah yang sampai saat ini masih tetap menyelenggarakan tradisi Gondang Naposo. Walaupun penduduk di desa Desagajah bukan hanya masyarakat Batak Toba melainkan ada Melayu dan Jawa, namun tradisi Gondang Naposo tetap dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba yang ada di sana.

1.9 Pemilihan Informan

Sebelum melakukan penelitian penulis terlebih dahulu menentukan informan

pangkal6 yang dapat membantu memberikan informasi untuk keperluan penelitian.

Dalam hal ini penulis memilih Bapak M Simangunsong selaku Kepala Desa Desagajah untuk menjadi informan pangkal. Dari informan pangkal inilah penulis mendapat informasi mengenai siapa orang yang banyak mengetahui tentang Gondang Naposo. Setelah mendapat informasi dari informan pangkal selanjutnya penulis menentukan informan kunci7. Dalam hal ini yang menjadi informan kunci adalah Bapak Sari Simangunsong dan Oppu Helen Gultom. Dari informan kunci inilah penulis memperoleh data dan masukan mengenai permasalahan yang ada dalam

6

Informan pangkal adalah orang yang memberikan informasi awal tentang Gondang Naposo

7

Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi mendalam mengenai pokok permasalahan dalam tulisan ini.


(28)

tulisan ini, serta dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan oleh masyarakat di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

Untuk kelengkapan data tentang permasalahan yang ada dalam tulisan ini terutama dalam hal perubahan musik, penulis mendapat informasi dari para personil musik yang tergabung dalam Grup Udut Manik Raja yaitu grup musik yang berasal dari Tiga Dolok, yang mana mereka juga adalah grup musik yang menjadi pengiring dalam acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah.

1.10 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tetang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan didalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam wawacara penulis dengan informan.

1.11 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, buku-buku yang yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan


(29)

untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini.

1.12 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, diproses didalam kerja laboratorium. Proses analisa data penelitian di mulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisa data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian.


(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA DESAGAJAH

2.1. Lokasi dan Keadaan Geografis.

Desa Desagajah merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Sei Balai kabupaten Asahan, berada pada ketinggian 5 meter dari permukaan laut. Luas wilayah Desa Desagajah adalah 1.187 Ha, sebagian besar dari wilayah desa ini digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk lahan pertanian dan perkebunan. Desa ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah utara berbatasan dengan desa Kuala Sikasim

• Sebelah selatan berbatasan dengan desa Durian

• Sebelah timur berbatasan dengan desa PS Balai

• Sebelah barat berbatasan dengan desa Sei Mentaram

Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari kantor kepala desa, Desa Desagajah memiliki jumlah penduduk sebanyak 3800 jiwa dengan 889 kepala keluarga dan terdiri dari beraneka ragam etnis. Sebagai pusat pemerintahan desa, desa ini memiliki 10 dusun yang berada di Desa Desagajah yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Dusun I, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan dusun II; sebelah Timur berbatasan dengan dusun III. (b) Dusun II, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun IX; sebelah Selatan berbatasan dengan


(31)

Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun VIII; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun I. (c) Dusun III, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai dan Dusun VII; sebelah Selatan berbatasan dengan persawahan Dusun I; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun I; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Dusun X. (d) Dusun IV, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Putih; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Dusun X; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai. (e) Dusun V, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kuala Sikasim; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun VI; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Desa Kuala Sikasim; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai. (f) Dusun VI, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Putih; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun IV; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan desa PS Balai. (g) Dusun VII, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun III; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun V. (h) Dusun VIII, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun IX; sebelah Selatan berbatasan dengan persawahan Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun II. (i) Dusun IX, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun VIII; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram; sebelah Timur berbatasan dengan Desa PS Balai. (j) Dusun X, letaknya


(32)

yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V dan Dusun III; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Putih; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun I; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun IV.

2.2 Sejarah Desa Desagajah

Pada awalnya Desa Desagajah adalah hutan belantara yang dihuni berbagai macam binatang liar termasuk Gajah. Daerah hutan ini berbatasan dengan perkebunan masyarakat. Pada waktu itu belum ada masyarakat yang mendiami daerah tersebut, sehingga pemilik perkebunan sering merasa resah akibat ulah Gajah yang sering merusak kebun mereka.

Sekitar tahun 1952 masuklah masyarakat untuk membuka lahan di daerah tersebut yang akan mereka gunakan untuk persawahan. Orang pertama yang datang untuk membuka lahan di daerah ini adalah orang Batak Toba yang bermarga

Samosir8. Sehingga sampai saat ini mayoritas masyarakat Batak Toba yang ada di

Desa Desagajah adalah bermarga Samosir.

Meskipun masyarakat telah membuka lahan di daerah tersebut, namun Gajah-Gajah tersebut juga tetap merusak persawahan mereka. Untuk mengatasi Gajah-Gajah tersebut akhirnya masyarakat membangun sebuah pondok untuk menjaga dan mengawasi lahan persawahan mereka dari Gajah-Gajah tersebut. Kemudian pondok itu mereka beri nama Pondok Gajah dan Pondok Gajah tersebut akhirnya menjadi sebuah kampung yang bernama kampung Pondok Gajah.


(33)

Dengan bertambahnya masyarakat yang tinggal di daerah tersebut akhirnya Gajah-Gajah yang dulu sering mengganggu dan merusak lahan persawahan warga pun pindah tempat dan tidak pernah lagi muncul sampai sekarang.

Pada tahun 1960 setelah terjadi pemekaran dari Kampung Durian, sehingga nama Kampung Pondok Gajah berubah menjadi Desa Desagajah hingga sekarang. Hingga tahun 1999 Desa Desagajah termasuk Kecamatan Tanjung Tiram, namun setelah terjadi pemekaran Desa Desagajah termasuk Kecamatan Sei Balai hingga sekarang.

2.3. Keadaan Penduduk.

Desa Desagajah memiliki jumlah penduduk sebanyak 3800 jiwa, dan 889 kepala keluarga. Penduduk Desa Desagajah bersifat heterogen, karena memiliki berbagai macam etnis di dalamnya. Adapun etnis yang mendominasi di desa ini adalah etnis Batak Toba. Fenomena ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Naim (1984:9) bahwa ada beberapa suku bangsa yang mempunyai mobilitas yang

cukup tinggi seperti etnis Batak Toba, Minangkabau, Banjar, Bugis. Oleh sebab itu, dengan beraneka ragamnya etnis di daerah tersebut tidak menutup kemungkinan adanya terjadi perubahan kebudayaan pada masing-masing etnis, seperti halnya pada masyarakat Batak Toba juga terjadi perubahan pada upacara adat ataupun acara yang bersifat hiburan.

Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara kelompok etnis yang berbeda di desa tersebut. Kelompok-kelompok etnis yang berada di Desa Desagajah


(34)

terdiri dari Batak Toba, Jawa, Melayu, Karo, Nias. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini.

Tabel.1. Jumlah Penduduk menurut kelompok Etnik. NO. KELOMPOK ETNIK JUMLAH

1. Batak Toba 2885 jiwa

2. Melayu 300 jiwa

3. Jawa 435 jiwa

4. Karo 35 jiwa

5. Nias 145 jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

Disamping itu untuk jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur juga dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel.2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur NO KELOMPOK UMUR JUMLAH

1. 0-4 tahun 202 jiwa 2. 5-9 tahun 199 jiwa 3. 10-14 tahun 710 jiwa 4. 15-19 tahun 280 jiwa


(35)

5. 20-24 tahun 300 jiwa 6. 25-29 tahun 310 jiwa 7. 30-34 tahun 305 jiwa 8. 35-39 tahun 300 jiwa 9. 40-44 tahun 320 jiwa 10. 45-49 tahun 340 jiwa 11. 50-54 tahun 200 jiwa 12. 55-59 tahun 245 jiwa 13. 60 tahun ke atas 89 jiwa

Jumlah 3800 jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008

Dari tabel diatas dapat kita ketahui bahwa penduduk Desa Desagajah yang paling banyak adalah berusia 10-14 tahun yaitu sebanyak 710 jiwa.

Seluruh penduduk dengan jumlah 3800 jiwa tersebut terbagi kedalam sepuluh dusun yang ada di Desa Desagajah. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk menurut dusun.

Tabel.3. Jumlah Penduduk Menurut Dusun.


(36)

1. Dusun I 366 jiwa

2. Dusun II 445 jiwa

3. Dusun III 409 jiwa

4. Dusun IV 398 jiwa

5. Dusun V 197 jiwa

6. Dusun VI 280 jiwa

7. Dusun VII 238 jiwa

8. Dusun VIII 673 jiwa

9. Dusun IX 423 jiwa

10. Dusun X 371 jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

Dalam hal pendidikan formal, masyarakat Desa Desagajah sudah menyadari akan arti pentingnya pendidikan bagi kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari antusiasme para orang tua yang berusaha keras menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Sarana pendidikan yang tersedia di desa ini adalah untuk Sekolah Dasar (SD) sebanyak 3 (tiga) unit, ketiga Sekolah Dasar tersebut adalah Sekolah Dasar Negeri, 1 (satu) unit (SLTP) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Desa Desagajah, 1 (satu) unit (SLTA) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri I Desa Desagajah.


(37)

2.4. Agama.

Masyarakat di Desa Desagajah pada umumnya telah memeluk beberapa agama yang diakui di Indonesia, yaitu: Kristen Protestan, Katholik, Islam. Penduduk di Desa Desagajah mayoritas memeluk agama Kristen Protestan dan selebihnya adalah agama lain. Ada beberapa tempat pelaksanaan ibadah di Desa Desagajah, yaitu Gereja sebanyak 19 unit, Mesjid sebanyak 2 unit, mushollah sebanyak 1 unit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel.4. Komposisi Penduduk Menurut Agama NO. Agama dan kepercayaan Jumlah

1. Kristen Protestan 2799 jiwa

2. Katholik 205 jiwa

3. Islam 796 jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

Tabel.5. komposisi Jumlah Tempat Ibadah. NO. Nama Tempat Ibadah Jumlah


(38)

2. MESJID 2 UNIT

3. MUSHOLLAH 1 UNIT

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

2.5. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Desa Desagajah sangat bervariasi, namun mata pencaharian yang utama adalah sebagai petani. Hal dapat dilihat dari pemanfaatan tanah di desa yang didominasi oleh lahan pertanian antara lain areal persawahan dan perkebunan.

Areal persawahan yang mereka tanami dengan padi terletak disekitar pemukiman penduduk. Selain itu mereka juga mengelola tanah perladangan dengan tanaman palawija seperti jenis umbi-umbian, jagung dan lain-lain. Diluar pertanian masyarakat di desa ini juga mengusahakan peternakan walaupun dalam skala yang kecil, seperti: kerbau, itik, babi dan kambing.

Selain bertani dan beternak, mata pencaharian lain penduduk desa ini ada yang berdagang. Kriteria berdagang disini juga dalam skala kecil yaitu ada yang berusaha sendiri dengan membuka warung-warung kecil menjual keperluan rumah tangga, membuka kedai kopi dan kedai tuak. Selain warung-warung dan kedai-kedai kopi, ada juga sebagian masyarakat desa yang membuka bengkel sambil


(39)

menjual bahan bakar minyak untuk konsumsi kendaraan seperti premiun, solar, dan minyak tanah.

Sebagian kecil dari penduduk desa desagajah ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri di instansi seperti pegawai di kantor Kecamatan, pegawai di Kantor Kepala Desa, Guru, TNI dan POLRI.

Hasil dari pertanian dan peternakan yang mereka peroleh, selain digunakan untuk kebutuhan rumah tangga pada hari pekan (pasar) akan mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pekan (pasar) di Desa Desagajah dilaksanakan satu kali dalam seminggu yaitu setiap hari Jumat di tanah lapang disekitar Balai Desa.

Berikut ini adalah tabel yang menerangkan tentang keadaan mata pencaharian penduduk di Desa Desagajah.

Tabel.6. Keadaan Mata Pencaharian

NO Jenis mata pencaharian Jumlah

1. Bertani 838 jiwa

2. Pedagang 104 jiwa

3. Pegawai negeri 157 jiwa Jumlah 1099 jiwa


(40)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian utama penduduk Desa Desagajah adalah dari sektor pertanian yang mencapai 838 jiwa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis mata pencaharian lain seperti pegawai negeri ataupun pedagang belum dapat menggeser sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama di Desa Desagajah.

2.6. Sistem Kemasyarakatan

Setiap masyarakat memiliki suatu sistem kemasyarakatan yang mana sistem tersebut berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Sistem kemasyarakatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain.

Dimana dalam masyarakat Batak Toba terdapat sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang disebut Dalihan Na Tolu. Secara harfiah, Dalihan Na Tolu mengandung arti “tungku yang tiga”. Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur dasar yaitu hula-hula, boru, dongan tubu. Berikut ini penulis akan menguraikan secara singkat pengertian umum dari ketiga unsur Dalihan Na Tolu tersebut.

Yang pertama adalah hula-hula yaitu pihak orang tua dan saudara dari pihak keluarga perempuan atau pihak pemberi istri dalam suatu perkawinan pada masyarakat Batak Toba. Pada masyarakat Batak Toba hula-hula merupakan golongan yang harus dihormati, karena hula-hula dalam masyarakat Batak Toba dianggap sebagai pemberi berkat. Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Batak


(41)

Yang kedua adalah boru yaitu pihak keluarga penerima istri. Dalam sebuah upacara atau acara adat, pihak boru sangat berperan besar di dalam kelangsungan acara tersebut. Sehingga tanpa kehadiran dari pihak boru maka acara tidak dapat berlangsung. Dengan demikian pihak boru juga harus mendapat perhatian dan dilindungi oleh pihak hula-hulanya.

Yang ketiga adalah dongan tubu yaitu para turunan atau saudara semarga dari satu leluhur atau dari keturunan yang sama. Hubungan sesama dongan tubu sangatlah penting dijaga karena hubungan mereka merupakan hubungan yang telah terjalin dari leluhur atau turunan mereka.

Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” (Gultom 1992:53). Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (membujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu.

Selanjutnya pada masyarakat Batak Toba dapat kita lihat dengan jelas struktur sosial dalam kehidupan masyarakatnya, dimana terdapat banyak marga (klan) yang merupakan suatu kelompok kekerabatan besar yang menunjukkan nama dan asal nenek moyang serta merupakan lambang identitas suku bangsa.


(42)

kemudian dari sistem marga tersebut dapat dilihat garis keturunan yang berlaku pada suku Batak Toba yaitu Patrilineal (garis keturunan ayah). Oleh karena itu setiap orang Batak Toba, pria maupun wanita mempunyai marga menurut marga ayahnya.

Dengan demikian dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga sangat berperan dalam kehidupan masyarakat.


(43)

BAB III

DESKRIPSI GONDANG NAPOSO

3.1 Sejarah Gondang Naposo

Gondang Naposo merupakan suatu tradisi pada masyarakat Batak Toba, dimana acara ini telah berlangsung secara turun-temurun. Acara Gondang Naposo ini diadakan oleh masyarakat Batak Toba sebagai rasa ucapan syukur masyarakat atas hasil panen atau pertanian yang mereka dapat. Selain sebagai rasa ucapan syukur, acara Gondang Naposo juga diadakan sebagai sarana hiburan dan sarana pertemuan antara muda-mudi yang diharapkan dapat mempererat hubungan antara muda-mudi daerah yang satu dengan yang lain(Naipospos dalam Dialog Gondang Naposo tahun 1998).

Di Desa Desagajah sendiri acara Gondang Naposo pertama kali diadakan sekitar tahun 70-an (Wawancara dengan Oppu Hellen Gultom tanggal 21 Juni 2008). Hal ini sangat berkaitan dengan terbentuknya kelompok-kelompok marga, dimana pada masa itu sudah mulai banyak terdapat kelompok marga (Raja Sonang, Gultom, Parna, Borbor Marsada, Sipitu Ama/Situmorang, Toga Simatupang), dan Serikat Tolong Menolong (STM) seperti Serikat Jalan Siantar, Serikat Jalan Kisaran dan Serikat Jalan Gereja.

Dalam acara atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh serikat marga maupun Serikat Tolong Menolong (STM) biasanya yang berperan adalah para orang tua, sedangkan para muda-mudi tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut


(44)

menunjukkan bahwa hubungan antara muda-mudi yang satu dengan yang lain tidak terjalin dengan baik. Melihat keadaan tersebut para tokoh masyarakat dan orang tua yang tergabung dalam tiga Serikat yakni Jalan Siantar, Jalan Kisaran dan Jalan Gereja sepakat untuk membentuk satu wadah atau organisasi pemuda yaitu Persatuan Muda-Mudi Simpang Desa Gajah yang disingkat dengan PERMUSIMDES.

PERMUSIMDES dibentuk pada tahun 1971 pada bulan Juni dan beranggotakan muda-mudi simpang Desa Desagajah dan dibina oleh para tokoh masyarakat. Adapun yang menjadi anggota dari organisasi ini adalah muda-mudi yang berusia minimal lima belas tahun dan belum menikah.

Apabila ada acara-acara atau pesta yang diadakan oleh Serikat marga atau Serikat Tolong Menolong yang ada di Desa Desagajah, PERMUSIMDES juga sering dilibatkan dalam membantu kelangsungan acara. Melihat kinerja dari organisasi PERMUSIMDES tersebut membawa dampak yang baik bagi orang tua dan juga muda-mudi, maka tokoh masyarakat dan para orang tua beserta dengan pengurus dari organisasi tersebut mengadakan rapat dan hasil dari rapat tersebut disepakati untuk merayakan ulang tahun PERMUSIMDES.

Perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan mengadakan acara gondang Batak khusus untuk muda-mudi atau yang lebih dikenal dengan Gondang Naposo. Hari ulang tahun PERMUSIMDES berdekatan dengan masa panen di Desa Desagajah sehingga acara perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dicocokkan dengan masa panen maka konsep awal diadakannya Gondang Naposo


(45)

terlaksana. Inilah yang menjadi awal diadakannya Gondang Naposo di Desa Desagajah.

Untuk mempermudah dalam proses mendeskripsikan acara Gondang Naposo, penulis membagi kedalam dua periode yaitu periode pertama (1972-1985) dan periode kedua (1999-2008).

3.2. Acara Gondang Naposo Periode Pertama (1972-1985)

Seperti yang telah dijelaskan pada sub BAB III, bahwa awal diadakannya Gondang Naposo pada masa ini adalah dalam rangka memperingati hari ulang tahun PERMUSIMDES. Namun perayaan acara ulang tahun PERMUSIMDES tersebut juga bertepatan dengan masa panen di Desa Desagajah pada saat itu. Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai pelaku acara, waktu dan tempat acara, alat-alat pendukung acara serta tahapan-tahapan dalam acara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

3.2.1. Pelaku Acara 3.2.1.1. Panitia pelaksana

Pada dasarnya yang menjadi panitia pelaksana dari acara Gondang Naposo adalah muda-mudi ( naposo ), namun yang memprakarsai dilaksanakannya acara ini adalah orang tua dari muda-mudi ( naposo ) yang ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk bergembira dan berkumpul bersama dengan muda-mudi yang lain. Selain naposo dan orang tua, tokoh masyarakat juga turut terlibat


(46)

dalam kepanitiaan. Pada acara ini naposo yang menjadi panitia juga adalah organisasi yang bernama PERMUSIMDES (Persatuan Muda Mudi Simpang Desagajah).

3.2.1.2. Pemusik

Awalnya yang menjadi musik pengiring dalam acara Gondang Naposo adalah ensambel Gondang Sabangunan sehingga untuk menyelenggarakan acara tersebut para pemain musik didatangkan dari Samosir, karena tidak ada pemain musik gondang atau pargonsi di Desa Desagajah. Untuk mengundang pargonsi dari Samosir biasanya dikirim utusan ke daerah tersebut. Orang yang dikirim adalah orang yang memiliki hubungan kerabat di Samosir, hal ini untuk lebih mempermudah mengundang pargonsi tersebut.

Pemusik atau pargonsi dalam acara Gondang Naposo terdiri dari delapan orang yaitu: pemain taganing, pemain gordang, pemain sarune bolon, pemain ogung oloan, pemain ogung ihutan, pemain ogung doal, pemain ogung panggora, pemain hesek.

3.2.1.3. Peserta Acara

Walaupun nama acara ini Gondang Naposo, namun yang hadir dalam acara ini bukan naposo saja, melainkan ada juga dari kalangan orang tua. Orang tua dalam acara ini berperan sebagai partisipan. Adapun bentuk partisipasi orang tua dalam acara ini adalah sebagai pemrakarsa dan donatur serta memantau selama acara


(47)

acara ini adalah orang-orang tua yang tergabung dalam organisasi-organisasi seperti Serikat marga, Gereja, STM (Serikat Tolong Menolong), Pemerintah serta undangan lainnya.

Kemudian muda-mudi (naposo) yang diundang untuk menjadi peserta dalam acara ini juga adalah muda-mudi yang tergabung dalam komunitas atau organisasi diantaranya perkumpulan muda-mudi dari gereja-gereja, perkumpulan muda-mudi satu daerah atau Desa Desagajah, perkumpulan muda-mudi dari desa-desa tetangga.

3.2.2 Waktu dan Tempat Acara

Lamanya acara Gondang Naposo berlangsung selama satu hari yaitu dimulai dari sore hari hingga esok pagi/subuh. Pada awalnya pelaksanaan acara Gondang Naposo dilaksanakan tepat pada hari ulang tahun PERMUSIMDES yang telah dicocokkan dengan masa panen. Namun karena banyak dari naposo dan para undangan yang kadang berhalangan, waktu pelaksanaan acara disesuaikan dengan hari libur sekolah yang juga berdekatan dengan hari ulang tahun PERMUSIMDES agar tidak mengganggu kegiatan para peserta.

Tempat acara juga merupakan hal yang penting dalam melaksanakan acara Gondang Naposo. Adapun yang menjadi tempat acara Gondang Naposo ini biasanya diadakan dilapangan atau di halaman rumah yang agak luas. Lapangan atau halaman rumah yang luas merupakan tempat yang cocok, karena dalam acara ini terdapat kegiatan manortor yang melibatkan banyak peserta dan juga banyak orang yang


(48)

menonton, sehingga dengan tempat yang luas acara tidak akan terganggu oleh banyaknya peserta.

3.2.3. Alat-alat Pendukung Acara

3.2.3.1. Alat Musik (Gondang Sabangunan)

Gondang Sabangunan merupakan salah satu ensambel musik pada masyarakat Batak Toba yang disebut juga dengan istilah “parhohas na ualu9(delapan perangkat) yang terdiri dari taganing, gordang, sarune bolon, ogung (oloan,ihutan,panggora,doal), hesek.

3.2.3.2. Kostum

Dalam acara Gondang Naposo tidak ada ketentuan yang baku dalam hal kostum, hanya saja harus dalam kategori sopan. Biasanya kaum laki-laki memakai celana panjang dan kemeja, sedangkan wanita mengenakan pakaian yang tertutup dan menggunakan sarung. Namun yang menjadi kewajiban dalam acara ini adalah pada saat manortor seluruh peserta mengenakan ulos10. Ulos tersebut disediakan oleh panitia sehingga bagi siapapun yang datang untuk manortor tidak perlu lagi membawa ulos.

9


(49)

3.2.3.3. Bambu beranting dan Batang Pohon Beringin

Bambu beranting digunakan sebagai alat untuk menyampaikan sumbangan berupa uang dari peserta yang manortor kepada panitia. Uang tersebut disematkan diantara ranting bambu yang kemudian disampaikan kepada panitia pada saat manortor.

Sedangkan batang pohon beringin yang telah dipotong dahan dan daunnya, ditancapkan di tengah-tengah lapangan atau lokasi manortor. Kemudian pada sekeliling batang pohon tersebut di ikatkan ijuk dan daun-daun beringin disematkan diantara ijuk tersebut. Ini merupakan salah satu perlengkapan yang digunakan pada saat manortor.

3.2.4. Tahapan Acara 3.2.4.1. Pembukaan

Tahap pertama dalam acara pembukaan Gondang Naposo adalah manggalang pargonsi yang dipimpin oleh orang tua dari naposo. Pada tahap ini pargonsi di undang oleh Hasuhuton (yang punya hajat) untuk makan dan minum. Dalam tahap inilah maksud dan tujuan diundangnya pargonsi disampaikan oleh orang tua secara adat. Setelah pargonsi selesai makan, maka acara dilanjutkan dengan tahap berikutnya yaitu pajujuron gondang atau dapat diartikan memainkan repertoar

gondang secara berurut11. Dalam tahap ini hasuhuton meminta kepada pargonsi

untuk memainkan “Si Pitu Gondang” yang terdiri dari tujuh repertoar gondang

11


(50)

berturut-turut yang dapat dimainkan tanpa henti tetapi bisa juga dengan jeda. Adapun repertoar yang termasuk dalam “Si Pitu Gondang” yaitu Gondang Mula-mula, Gondang Somba-somba, Gondang Sampur marmeme, Gondang Didang-didang, Gondang Sampur Marorot, Gondang Simonang-monang, Gondang Sitio-tio. “Si Pitu Gondang” dimainkan tanpa diikuti oleh tarian sama sekali.

Tahap terakhir dalam pembukaan Gondang Naposo yaitu Mambuat Tua ni Gondang atau memohon berkat dari Tuhan untuk acara Gondang yang akan dilaksanakan. Setelah tahap ini selesai dilakukan, para orang tua dan naposo dalam hal ini panitia akan manortor bersama.

3.2.4.2. Acara Manortor

Dengan berakhirnya acara pembukaan, maka acara pun sepenuhnya diserahkan kepada naposo untuk melanjutkan acara namun tetap mendapat pengawasan dari orang tua selama acara berlangsung. Pada bagian inilah seluruh peserta dan undangan yang ingin manortor diberikan waktu sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan oleh panitia.

Secara umum urutan gondang yang diminta pada saat manortor dibagi kedalam tiga bagian. Pada bagian yang pendahuluan yaitu Gondang Mula-mula, pada bagian kedua yaitu Gondang Liat-liat dan Gondang Sappe-sappe kemudian pada bagian penutup yaitu Gondang Hasahatan. Namun apabila undangan merasa belum puas manortor, biasanya mereka akan meminta kembali kepada pargonsi untuk


(51)

biasanya seluruh peserta akan manortor dan berbaur satu dengan yang lainnya. Bagian ini merupakan saat-saat yang sering dimanfaatkan untuk berkenalan antara naposo yang satu dengan yang lain. Tidak tertutup kemungkinan bagi mereka yang ingin mencari jodoh atau pasangan hidup.

Bilamana ada diantara naposo tersebut ada yang saling tertarik, biasanya sang laki-laki akan mengambil daun pohon beringin yang telah tersedia ditengah lokasi manortor dan akan menyematkan daun tersebut di telinga sang wanita yang disukainya. Bagi masyarakat Batak Toba, pohon atau daun beringin bermakna sebagai pelindung. Sehingga apabila seorang laki-laki menyematkan daun beringin kepada seorang wanita pada saat manortor, itu merupakan simbol atau tanda bahwa laki-laki tersebut bersedia untuk menjadi pelindung wanita tersebut (wawancara dengan ibu Pakpahan tanggal 22 juni 2008).

Selanjutnya, apabila sang wanita tidak menolak ketika sang laki-laki menyematkan daun beringin tersebut, maka itu adalah tanda bahwa sang wanita juga menyukai laki-laki tersebut. Tidak jarang para naposo yang menemukan pasangan hidupnya dalam acara Gondang Naposo. Karena acara Gondang Naposo merupakan salah satu acara yang berfungsi sebagai ajang mencari jodoh bagi para naposo. Acara manortor ini berlangsung sampai seluruh peserta selesai manortor sesuai dengan urutannya.


(52)

3.2.4.3. Penutup

Setelah seluruh peserta selesai manortor, para orang tua kembali berkumpul untuk memimpin acara penutupan dan menyampaikan pesan-pesan serta nasehat-nasehat kepada para naposo. Kemudian perwakilan dari orang tua meminta kepada pargonsi untuk memainkan gondang sebagai tanda berakhirnya acara Gondang Naposo tersebut.

3.3. Acara Gondang Naposo Periode Kedua (1999-2008)

Sekitar tahun 70-an sampai dengan pertengahan 80-an, Gondang Naposo diadakan sekali dalam setahun setelah panen dan bertepatan dengan ulang tahun PERMUSIMDES. Namun pada tahun 1986 sampai tahun 1998 (± duabelas tahun) Gondang Naposo tidak diadakan, adapun faktor yang menyebabkan antara lain:

1. Pada masa tersebut banyak pemuda/i dari Desa Desagajah yang merantau dan melanjutkan pendidikan di luar daerah Desa Desagajah sehingga aktivitas organisasi PERMUSIMDES pun bekurang.

2. Pengaruh meningkatnya teknologi seperti lancarnya transportasi dan komunikasi sehingga aktivitas sehari-hari dari masyarakat khususnya naposo menjadi meningkat dan mata pencaharian pun berkembang bukan hanya berpusat pada sektor pertanian di Desa Desagajah melainkan mata pencaharian lain di luar Desa Desagajah. (wawancara dengan Sari Simangunsong tanggal 21 Juni 2008)


(53)

Orang tua di Desa Desagajah menyadari bahwa kegiatan tradisional termasuk Gondang Naposo semakin terlupakan. Melihat keadaan tersebut para orang tua merasa perlu untuk menjaga agar kegiatan-kegiatan tradisional tetap dilestarikan. Pada tahun 1999 sampai saat ini (tahun 2008) acara Gondang Naposo kembali diadakan rutin bukan hanya sekali dalam setahun tetapi dua kali dalam setahun. Hal ini juga berkaitan dengan musim panen yang telah mengalami peningkatan menjadi dua kali dalam setahun dan di laksanakan terus sampai sekarang.

3.3.1. Pelaku Acara 3.3.1.1. Panitia pelaksana

Dalam kepanitiaan tidak ada perbedaan antara acara Gondang Naposo pada periode pertama (1972-1985) dengan acara Gondang Naposo periode kedua (1999-2008) yaitu muda-mudi yang tergabung dalam Pesatuan Muda-mudi Simpang Desagajah (PERMUSIMDES).

Pembentukan panitia harus melalui rapat pengurus PERMUSIMDES, mewakili orang tua, tokoh adat dan pembina dari PERMUSIMDES. Setelah panitia terbentuk maka panitia akan bekerja untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk persiapan acara Gondang Naposo. Rapat akan terus diadakan untuk membahasan dan mengevaluasi sejauh mana persiapan yang telah dilakukan oleh panitia.


(54)

Tugas panitia adalah merencanakan dan melaksanakan acara, mengundang peserta, mencari dana serta menyediakan peralatan yang dibutuhkan dalam acara Gondang Naposo yang akan mereka adakan.

3.3.1.2. Pemusik

Musik merupakan bagian yang sangat penting dan harus ada dalam acara Gondang Naposo. Oleh karena hampir dari keseluruhan acara Gondang Naposo adalah manortor yang otomatis harus diiringi musik.

Mulai tahun 1999 hingga sekarang (tahun 2008) pemain musik untuk acara Gondang Naposo juga didatangkan dari luar daerah Desa Desagajah seperti Kisaran, Tiga Dolok dan Limapuluh, namun yang menjadi pengiring bukanlah ensambel Gondang Sabangunan melainkan Sulkibta (sulim keyboard taganing). Grup musik Sulkibta yang diundang untuk mengiringi Gondang Naposo yang diadakan pada bulan Juni 2008 adalah Grup Udut Manik Raja dari Tiga Dolok. Hingga kini belum ada grup musik di Desa Desagajah yang dapat mengiringi acara Gondang Naposo.

Jumlah pemusik pada acara Gondang Naposo periode kedua berbeda dengan jumlah pemusik pada periode yang kedua karena ensambel pengiring dalam acara ini juga telah berubah. Pemusik berjumlah empat orang, yaitu : pemain keyboard, pemain taganing, pemain sulim, pemain hasapi. Walaupun musik pengiring dalam acara Gondang Naposo ini bukanlah ensambel Gondang Sabangunan, namun panggilan untuk pemusik dalam acara Gondang Naposo pada periode ini juga adalah


(55)

3.3.1.3. Peserta Acara

Pada prinsipnya peserta acara yang terlibat dalam acara ini juga tidak berbeda dengan acara Gondang Naposo pada periode sebelumnya yaitu naposo (PERMUSIMDES), komunitas muda-mudi dari daerah Desa Desagajah maupun dari daerah luar Desa Desagajah. Hanya saja jumlah peserta yang diundang dari Desa Desagajah dan daerah lain lebih banyak. Sehingga waktu yang dibutuhkan lebih panjang dibandingkan dengan acara Gondang Naposo pada periode sebelumnya.

3.3.1.4. Seksi Langit

Kata ”seksi langit” adalah kata yang sudah lazim digunakan oleh masyarakat Desa Desagajah untuk istilah seorang pawang hujan. Seksi langit berfungsi untuk menangkal hujan atau menjaga cuaca tetap bagus selama acara berlangsung. Dikarenakan apabila turun hujan pada saat acara berlangsung maka akan sangat mengganggu jalannya acara. Pada dasarnya seksi langit bukanlah panitia, namun secara tidak langsung seksi langit merupakan pendukung acara yang peranannya sangat besar.

3.3.2. Waktu dan Tempat Acara

Waktu berlangsungnya acara Gondang Naposo ini diadakan selama dua hari, biasanya dimulai dengan pembukaan pada hari sabtu sekitar pukul 16.00 Wib sampai dengan selesai. Setelah selesai acara pembukaan, acara dihentikan beberapa lama kemudian acara dilanjutkan kembali mulai pukul 20.00 Wib sampai dengan selesai.


(56)

Selanjutnya para orang tua dan muda-mudi baik panitia maupun peserta dapat kembali kerumah mereka untuk beristirahat dan melakukan kegiatan yang lain.

Kemudian acara dilanjutkan kembali mulai pukul 14.00 Wib pada hari minggu atau setelah makan siang dan selesai kebaktian dari gereja bagi yang beragama Kristen. Pada saat inilah kesempatan untuk manortor bagi para peserta yang belum mendapat waktu untuk manortor dihari sebelumnya dan juga bagi para peserta yang tidak hadir pada hari pertama. Acara tersebut berlangsung hingga senin subuh sekitar pukul 04.00 Wib atau sampai seluruh peserta selesai manortor.

Tempat diadakannya acara Gondang Naposo tidak berbeda dengan periode sebelumnya yaitu diadakan dilapangan terbuka, karena lapangan terbuka merupakan tempat yang cocok dan mampu menampung peserta acara dalam jumlah yang banyak. Sehingga dengan lapangan yang luas, acara manortor dapat berjalan dengan lancar.

3.3.3. Alat-alat Pendukung Acara 3.3.3.1. Alat Musik (Sulkibta)

Sulkibta adalah istilah yang sudah cukup popular dikalangan pemusik, khususnya pemusik pengiring pesta acara-acara adat maupun hiburan pada masyarakat Batak Toba. Kata Sulkibta sendiri adalah merupakan singkatan dari Sulim, Keyboard, Taganing, dimana alat-alat atau instrumen yang digunakan dalam ensambel ini terdiri dari sulim, keyboard dan taganing. Namun saat ini dalam formasi ensambel Sulkibta sering dikombinasikan dengan instumen hasapi yang merupakan


(57)

istilah sulkibta tersebut. Hal ini dilakukan agar suasana musik tersebut lebih ramai12. Sulkibta merupakan salah satu alternatif bagi masyarakat yang akan mengadakan pesta baik itu pesta adat maupun hiburan, karena harganya yang jauh lebih murah dari ensambel musik tiup atau Brassband.

Sulim (seruling)

Pada awalnya sulim merupakan salah satu intrumen tunggal, namun setelah musik Batak Toba mengalami perkembangan sulim tergabung dalam ensambel Gondang Hasapi yang merupakan salah satu ensambel musik tradisional Batak Toba.

Mengacu pada klasifikasi alat musik menurut Sach-Hornbostel, sulim termasuk pada jenis aerofon, dimana suara yang dihasilkan berasal dari udara yang dihembuskan melalui lubang tiup. Sulim terdiri dari enam buah lubang nada dan satu lubang tiup. Setiap sulim memiliki nada dasar yang berbeda. Nada-nada yang dihasilkan dari setiap lubang nada berbeda-beda, tergantung dari nada dasar pada sulim tersebut. Apabila nada dasar sulim adalah F maka nada-nada yang dihasilkan dari setiap lubang nada adalah F-G-A-Bb-C-D-E-F. Sehingga dari interval nada yang yang ada (1-1-1/2-1-1-1-1/2) menghasilkan tangga nada diatonis Barat dan dapat menjangkau nada hingga dua oktaf. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

12

Wawancara dengan Bapak Manik selaku pimpinan Grup Musik Udut Manik Raja (tanggal 22 Juni 2008).


(58)

Lubang nada

Lubang tiup

Gambar 1. Sulim

Keyboard

Keyboard adalah satu-satunya instrumen elektrik yang digunakan dalam ensambel Sulkibta (sulim keyboard taganing). Keyboard merupakan alat musik yang berfungsi sebagai akord pengiring ketika sulim membawakan melodi lagu. Namun pada lagu-lagu tertentu keyboard selain memainkan akord juga berfungsi membawa melodi khususnya pada lagu-lagu pop. Keyboard terdiri dari tuts-tuts nada dan tombol-tombol untuk mengganti karakter suara yang diinginkan.

Tangga nada pada instrumen ini adalah tangga nada diatonis Barat dan instumen ini dapat menjangkau nada minimal empat oktaf tergantung pada tipe dari keyboard tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.


(59)

Tombol suara

Tuts nada

Gambar 2. Keyboard

Taganing

Taganing merupakan salah satu instrumen yang tergabung dalam ensambel Gondang Sabangunan. Taganing terdiri dari enam buah gendang dengan satu sisi kulit gendang. Adapun keenam gendang tersebut memiliki nama-nama sebagai berikut: gendang yang pertama disebut odap, gendang ke dua disebut paidua ni odap, gendang ke tiga disebut panonga, gendang ke empat disebut paidua ni tingting, gendang kelima disebut tingting.

Gendang keenam atau gendang yang terbesar disebut Gordang yang bentuknya sama seperti kelima gendang sebelumnya, hanya saja ukurannya lebih besar dan berfungsi sebagai pembawa ritem. Dalam formasi ensambel Gondang Sabangunan, instumen Taganing memiliki dua fungsi, yaitu berfungsi sebagai pembawa melodi bersamaan dengan Sarune Bolon dan sebagai ritem variabel pada repertoar-repertoar tertentu. Sedangkan dalam ensambel Sulkibta, taganing berfungsi sebagai pembawa ritem variabel.


(60)

Dalam penggunaannya, taganing dalam ensambel Sulkibta sebagai pengiring Gondang Naposo di Desa Desagajah telah dikombinasikan dengan alat musik perkusi dalam hal ini Remo dan satu buah Cymbal. Hal ini dilakukan untuk menambah variasi dalam mengiringi acara-acara seperti manortor dalam acara Gondang Naposo.

Remo

Cymbal

Gordang

Tingting

Paidua ni tingting Paidua ni odap Panonga

Odap

Gambar 3. Taganing

Hasapi

Hasapi merupakan salah satu intrumen yang tergabung dalam ensambel Gondang Hasapi. Instrumen dalam ensambel Gondang Hasapi terdiri dari hasapi ende, hasapi doal, sarune etek, sulim dan garantung. Dalam klasifikasi alat musik menurut Sach-Hornbostel, hasapi termasuk pada jenis Chordofon dengan spesifikasi


(61)

long neck lute (leher panjang) dan fretless (tanpa fret). Hasapi memiliki dua senar dan dimainkan dengan cara dipetik, dengan menggunakan piltik-piltik13 (Pick).

Hasapi merupakan instrumen pembawa melodi dan dapat juga berfungsi sebagai pembawa ritem. Dalam penggunaannya, nada dasar hasapi disesuaikan dengan nada dasar sulim. Tuner (penyetem) dalam instumen hasapi dinamakan pinggol-pinggol atau disebut juga kupingan dalam instrumen gitar.

Pinggol-pinggol

Senar

Gambar 4. Hasapi

13

Piltik-piltik adalah alat yang digunakan untuk memetik senar hasapi yang terbuar dari tanduk kerbau.


(62)

3.3.3.2. Kostum

Kostum dalam acara Gondang Naposo pada periode ini sedikit banyak telah mengalami perubahan dimana pada acara Gondang Naposo, pakaian atau kostum yang digunakan lebih bebas dibandingkan dengan periode sebelumnya. Para naposo bagi yang laki-laki banyak yang memakai celana Jeans dan baju kaos, begitu juga dengan wanita yang sebagian besar mengenakan celana Jeans tidak lagi mengenakan sarung. Namun ulos yang tetap menjadi kewajiban dikenakan pada saat manortor.

3.3.3.3. Sound System

Pada kegiatan ini sound system berfungsi untuk membantu menguatkan suara ketika parhata14 sedang berbicara, meminta gondang dan dan untuk memperkuat suara alat musik ketika dimainkan untuk mengiringi acara manortor. Daya yang dibutuhkan untuk kegiatan ini minimal 3.000 watt karena acara tersebut diadakan di ruang terbuka.

3.3.3.4. Panggung dan Tenda

Tenda juga merupakan perlengkapan yang sangat diperlukan dalam acara Gondang Naposo. Tenda ini berfungsi untuk melindungi para peserta dan pemusik

14

Parhata terdiri dari kata “par” yang berarti orang yang melakukan dan “hata” yang berarti kata. Sehingga parhata adalah orang yang menyampaikan kata-kata. Namun yang dimaksud parhata dalam konsep budaya Batak Toba adalah orang yang di tuakan yang dianggap layak dan berhak untuk menyampaikan kata-kata baik itu dalam bentuk pidato ataupun dalam bentuk nasehat. Dalam Gondang


(63)

agar terlindung dari sengatan sinar matahari ataupun ketika turun hujan, sehingga dalam keadaan seperti itu acara dapat tetap berlangsung.

Sedangkan panggung digunakan untuk tempat untuk para pemusik berikut peralatannya. Sehingga posisi pemusik lebih tinggi dari peserta yang ingin manortor dengan demikian komunikasi antara pemusik dan parhata pada saat meminta dan memberi tanda untuk memberhentikan lagu dapat lebih mudah dilakukan

3.3.4. Tahapan Acara Gondang Naposo 3.3.4.1 Pembukaan

Acara Gondang Naposo pada pada periode yang kedua ini diawali dengan Pahundul atau Manggalang pargonsi yang dilakukan oleh orang tua, karena secara adat para naposo atau muda-mudi belum bisa untuk Pahundul atau Manggalang pargonsi. Menurut tradisi Batak Toba pargonsi hanya bisa “masisisean” (saling menyapa dan saling bertanya) dengan pengetua dari Suhut (pelaksana acara Gondang Naposo). Hal ini dikarenakan orang yang dituakanlah yang dianggap mengerti dan memahami “ruhut-ruhut ni adat” atau sendi-sendi adat.

Pargonsi yang diundang tersebut terlebih dahulu “masisisean” dengan “Hasuhuton” apa kepentingan mereka diundang? Kemudian yang mewakili dari pihak Hasuhuton dalam hal ini Oppu Helen Gultom menjawab: bahwa mereka ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk bergembira dengan Gondang yang akan diadakan tersebut. Pada tahap ini juga para orang tua menyampaikan harapan-harapan dan nasehat-nasehat mereka kepada muda-mudi,


(64)

semoga dengan diadakannya Gondang Naposo tersebut mereka semakin dewasa dan mendapat jodoh bagi yang belum mendapat jodoh, manogu na di lambung mangalap di nadao yang artinya merapat atau merangkul yang dekat dan memanggil kepada yang jauh. Maksud dari pepatah tersebut adalah diharapkan dengan berlangsungnya acara Gondang Naposo tali persaudaraan dengan yang terdekat semakin erat dan persaudaraan dengan orang-orang dari desa tetangga atau dari daerah yang lebih jauh dapat terjalin dengan baik.

Nasehat-nasehat yang diberikan juga berupa dorongan dan motivasi kepada muda-mudi khususnya panitia, agar dapat menjadi muda-mudi yang berbakti dan dapat menjadi kebanggaan orang tua serta menjadi panunduti di harajaon panorusi

dihagabeon15 dan menjadi muda-mudi yang tidak melupakan apa yang menjadi

budayanya sendiri. Disini juga para muda-mudi akan di arahkan agar dalam acara Gondang Naposo tersebut tidak melenceng dari aturan dan norma-norma yang ada.

Setelah orang tua selesai memberikan nasehat, acara dilanjutkan dengan kata-kata sambutan dari yang mewakili dari pihak Gereja dan juga dari pihak pemerintahan setempat dalam hal ini Bapak Kepala Desa Desagajah.

Tahap kedua yaitu Mambuat Tua Ni Gondang. Mambuat Tua Ni Gondang

artinya adalah memohon berkat dari Tuhan untuk acara Gondang yang akan dilaksanakan. Pada tahap ini parhata dari pihak Hasuhuton atau yang punya hajat

15


(65)

meminta kepada pargonsi untuk memainkan repertoar Gondang pembuka dengan kata sebagai berikut:

“Ale Amang panggual pargonsi nami

Dison ro do hami natua-tua akka ianakkon nami on

Laho mambuat tua ni gondang asa resmi Gondang ta on di bukka Jadi alu-aluhon amang majo tu Amatta Debata.”

Artinya:

Wahai bapak pemain musik/musisi kami

Di sini kami datang orang tua dari anak-anak kami Ingin memohon tuah agar Gondang ini resmi di buka

Untuk itu pemusik kami, elu-elukanlah dulu kepada Tuhan.”

Kemudian pargonsi memainkan gondang untuk mengelu-elukan dan sebagai pemberitahuan dan permohonan secara musikal kepada Tuhan Yang Maha Esa agar acara Gondang tersebut direstui. Tidak ada repertoar khusus ketika gondang dimainkan untuk mengelu-elukan, yang bermain disini hanyalah pemain taganing memainkan improvisasi seperti variasi-variasi pukulan. Selanjutnya parhata melanjutkan dengan kembali meminta kepada pargonsi untuk memainkan gondang sebagai permohonan ijin kepada roh nenek moyang/leluhur dengan kata-kata sebagai berikut:

“Mauliate ma di hamu amang pargonsi nami Nunga di alu-aluhon amang tu Amatta Debata

Nuaeng alu-aluhon amang ma muse tu sahala ni ompu ta na parjolo.” Artinya:

“Terimakasih kepada bapak pemusik kami Telah bapak elu-elukan kepada Tuhan

Sekarang elu-elukanlah lagi kepada roh nenek moyang/leluhur.”

Kemudian pargonsi memainkan gondang sama seperti yang sebelumnya untuk mengelu-elukan kepada roh nenek moyang/leluhur sebagai pemberitahuan dan


(66)

permohonan ijin untuk memulai acara Gondang tersebut. Selanjutnya parhata kembali meminta kepada pargonsi untuk memainkan gondang sebagai permohonan ijin kepada khalayak ramai atau hadirin yang hadir dengan kata-kata sebagai berikut:

“mauliate ma di hamu amang pargonsi nami Nunga di alu-aluhon amang tu ompu ta na parjolo Nuaeng alu-aluhon amang ma muse tu si tuan na torop.” Artinya:

“Terimakasih kepada bapak pemusik kami

Telah bapak elu-elukan kepada roh nenek moyang

Sekarang elu-elukanlah lagi kepada khalayak ramai/hadirin yang hadir.” Selanjutnya pargonsi memainkan gondang yang sama seperti sebelumnya untuk mengelu-elukan kepada khalayak ramai sebagai pemberitahuan dan permohonan ijin untuk memulai acara Gondang tersebut.

3.3.4.2. Acara Manortor

Setelah tahap demi tahap pembukaan selesai dilakukan, tibalah saatnya untuk memulai acara manortor. Pada bagian ini orang tua, naposo dan seluruh undangan yang hadir akan manortor menurut kelompok sesuai urutan pada saat mendaftar kepada panitia. Sebelum peserta dan undangan manortor, orang tua dari panitialah yang akan manortor untuk mengawali acara ini.

Pada saat orang tua dari pantia (Hasuhuton) manortor untuk mengawali acara manortor ini, gondang yang diminta adalah Gondang Mula-mula, Gondang Somba-somba, Gondang Liat-liat, Gondang Pasu-pasu, Gondang Hasahatan. Sedangkan


(67)

pada saat orang tua maupun naposo dari undangan manortor, urutan gondang yang diminta sedikit berbeda yaitu Gondang Mula-mula, Gondang Liat-liat, Gondang Sappe-sappe dan Gondang Hasahatan. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai urutan Gondang dan bentuk gerakannya.

1. Gondang mula-mula

Gondang Mula-mula merupakan wujud rasa hormat para peserta yang diwakili oleh si peminta gondang kepada Tuhan dan sesamanya serta untuk mengemukakan kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini memiliki asal mula.

Gerakan tortor pada saat Gondang Mula-mula antara kaum laki-laki dan kaum perempuan berbeda. Gerakan tortor untuk kaum laki-laki adalah dengan mengangkat kedua telapak tangan keatas namun tidak melebihi kening lalu kedua telapak tangan dirapatkan namun tidak sampai bersentuhan dan jari-jari tangan direnggangkan.

Sedangkan gerakan tortor untuk kaum perempuan yaitu dengan merapatkan kedua telapak tangan dan mengangkat sampai posisi tepat di depan dada atau dibawah dagu seperti posisi menyembah. Selanjutnya daun kaki diangkat dan diturunkan sesuai dengan irama dari musik gondang yang dimainkan dan diikuti dengan gerakan sembah berirama oleh kedua telapak tangan.

2. Gondang Somba-somba

Dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, Gondang Somba-somba bertujuan untuk mengekspresikan rasa hormat kepada Sang Pencipta dan kepada


(68)

hadirin yang hadir. Berbeda dengan tujuan Gondang Somba-somba pada masa dulu yaitu bertujuan untuk mengekspresikan rasa hormat kepada kekuatan supranatural (Malau 2007:5).

Gerakan tortor somba untuk laki-laki yaitu kedua tangan di angkat dan telapak tangan dirapatkan kemudian ditaruh dikening dengan posisi sembah dan kepala agak menunduk. Sedangkan gerakan tortor untuk kaum perempuan yaitu dengan merapatkan kedua telapak tangan dan mengangkat sampai posisi tepat di depan dada atau dibawah dagu seperti posisi menyembah dan kepala agak menunduk. Selanjutnya daun kaki diangkat dan diturunkan sesuai dengan irama dari musik gondang yang dimainkan dan diikuti dengan gerakan sembah berirama oleh kedua telapak tangan.


(69)

3. Gondang Liat-liat

Pada saat Gondang Liat-liat seluruh peserta akan manortor sambil mengelilingi tempat atau lokasi manortor sebanyak tiga kali.

Gambar 6.

Rombongan orang tua berkeliling pada saat Gondang Liat-liat

4. Gondang Pasu-pasu

Gondang Pasu-pasu adalah gondang untuk memberikan pasu-pasu/berkat. Gondang Pasu-pasu hanya dilakukan oleh orang tua dari panitia (hasuhuton) kepada naposo. Proses memberi berkat ini dilakukan dengan cara mengusap bagian kepala dari para naposo serta meletakkan ujung ulos yang dikenakan orang tua ke bahu dari para naposo. Dalam upacara adat Batak Toba, sebagai contoh upacara pernikahan


(70)

gerakan tortor seperti ini biasa dilakukan oleh pihak hula-hula terhadap pihak boru. Hal ini mengandung arti bahwa pihak hula-hula akan selalu melindungi pihak borunya. Sehingga dengan kata lain, kita dapat melihat sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba yaitu “Dalian Na Tolu” dalam proses dan urutan manortor pada acara ini.

Gambar 7

Posisi gerakan pada saat Gondang Pasu-pasu

5.Gondang Sappe-sappe

Gondang Sappe-sappe adalah gondang untuk menyampaikan Silua dari setiap kelompok peserta yang manortor kepada panitia. Pada bagian ini gerakan tortor sedikit lebih bebas, biasanya para peserta akan manortor secara menyebar di sekitar lokasi tempat manotor.


(71)

Gambar.8.

Posisi gerak pada Gondang Sappe-sappe

Yang pertama berkesempatan untuk manortor adalah para orang tua dari panitia atau Hasuhuton. Setelah para orang tua dan para naposo yang menjadi panitia berkumpul, parhata menyampaikan kepada pargonsi bahwa acara manortor akan segera dimulai. Kemudian parhata meminta kepada pargonsi untuk memainkan repertoar Gondang pembukaan atau Gondang Mula-mula dengan kata-kata sebagai berikut:

“Ale amang panggual pargonsi nami Nunga sae be mambuat tua ni Gondang on Saonari naeng dimulai hami ma manortor Antong bahen amang ma Gondang Mula-mula i Ala marmula do sude na di tano on.”


(1)

Sumber-sumber lain:

Malau, Liat R. Gondang dan Tortor Keterkaitannya dengan Dalihan Na Tolu. Workshop Psikologi dan Budaya 24 Maret 2007

http://mandosi wordpress.com


(2)

Lampiran I

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Pasu Sirait Umur : 40 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Jln. Gereja No.68 2. Nama : Oppu Hellen Gultom

Umur : 62 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta (tokoh adat Batak Toba di Desa Desagajah) Alamat : Jln. Gereja No. 24

3. Nama : Sari Simangunsong Umur : 58 tahun

Pekerjaan : Petani (tokoh adat Batak Toba di Desa Dasagajah) Alamat : Jln. Gereja No. 2

4. Nama : Madnal Simangunsong Umur : 42 tahun

Pekerjaan : Kepala Desa Desagajah Alamat : Jln Gereja No. 87 5. Nama : Saur .S. Simangunsong


(3)

6. Nama : E. Pakpahan Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Jln. Gereja No 12 7. Nama : P. Surbakti

Umur : 52 tahun

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (Pembina PERMUSIMDES) Alamat : Jln. Siantar No 18

8. Nama : U Manik Umur : 48 tahun

Pekerjaan : Pimpinan Grup Udut Manik Musik Alamat : Tiga Dolok

9. Nama : Donald Panjaitan Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Karyawan Swasta (naposo peserta acara Gondang Naposo) Alamat : Jln Gereja No 70

10. Nama : Marsius Sitohang Umur : 53 tahun

Pekerjaan : Dosen Jurusan Etnomusikologi dan tokoh Musik Batak Toba Alamat : Jln Sisingamaraja. Medan


(4)

Lampiran 2

Daftar undangan yang manortor pada hari pertama tanggal 21 Juni 2008: 1. Rombongan Natua-tua Ni Huta

2. Muda-mudi Sei Balai 3. Mudi-mudi Parulian I

4. Muda-mudi Kampung Bunga I 5. Muda-mudi Batu Lima

6. Muda-mudi PERNADES 7. Muda-mudi Blok I

8. Muda-mudi Gunung Keluat 9. Muda-mudi Kampung Durian 10. Muda-mudi Silo Laut

11. Muda-mudi Air Putih

12. Muda-mudi Kampung Kristen Dosroha 13. Muda-mudi Kampung Bunga II

14. Muda-mudi Sei Muka 15. Muda-mudi Kuala Sikasim 16. Muda-mudi Meranti Lama 17. Muda-mudi Siantar Man


(5)

20. Grup Semua Marga 21. Grup Sepak Bola

22. Grup Anak Lajang PERMUSIMDES 23. Grup Anak Gadis PERMUSIMDES


(6)

Lampiran 3

Daftar undangan pada hari kedua tanggal 22 Juni 2008: 1. Rombongan Gereja Katholik

2. Rombongan HKBP

3. Rombongan Sangga Pajumpang 4. Rombongan SMP N I Sei Balai 5. Rombongan Pasar Pagi

6. Muda-mudi Parulian II 7. Rombongan Sparta FC 8. Rombongan Jalan Siantar

9. Rombongan SPSI (Serikat Pekerja Transport Indonesia) 10. Rombongan Bajoka

11. Grup Pembangunan Esmar 12. Muda-mudi Gempar Parddomuan 13. Muda-mudi Lottung Baru

14. Muda-mudi Kampung Jati 15. Grup Paredang-edang Jambi 16. IPP (Ikatan Pemuda Pancasila) 17. Grup Bukit Tinggi