Terhadap Harta perkawinan Kewajiban nafkah terhadap anak

118

C. Terhadap Harta perkawinan

Pasal 37 UU Perkawinan mengatakan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing, adalah Hukum Agama, Hukum Adat, dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen namun tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengenal harta bersama, maka jika terjadi perceraian harta bersama dibagi menjadi dua, yaitu separuh untuk pihak suami dan separuh untuk pihak istri. Bila dilihat akibat perceraian dari segi hukum BW yang pertama sekali adalah bahwa bekas suami dan bekas istri menjadi hidup sendiri-sendiri. Menurut Pasal 222 dan 223 KUH Perdata, bahwa apabila dahulu dijanjikan anatar mereka adalah satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak yang lain, maka tetapi keuntungan itu haruslah diberikan walaupun pihak yang lain itu adalah yang salah dalam masalah perceraian tersebut. Namun sebaliknya, apabila pihak yang mendapat keuntungan itu adalah yang salah, maka keuntungan itu tidak akan diberikan. 160 Dan apabila keuntungan itu digantungkan pada wafatnya pihak yang lain pihak yang lain, maka menurut Pasal 224 KUH Perdata, bahwa keuntungan itu akan diberikan apabila pihak yang lain itu wafat. Selanjutnya Pasal 228 KUH Perdata menentukan, apabila keuntungan tersebut dijanjikan kepada pihak ketiga, maka janji haruslah dilaksanakan dengan tidak memperdulikan, apakah dalam persoalan 160 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 200 Universitas Sumatera Utara 119 perceraian perkawinan itu pihak yang harus mendapat keuntungan itu salah atau tidak. Dan dalam Pasal 231 KUH Perdata, apabila keuntungan dijanjikan bagi anak- anak dari kedua belah pihak atau menurut Hakim harus diberikan kepada anak-anak itu, maka dengan adanya perceraian perkawinan itu tidaklah mempengaruhi terhadap pemberian keuntungan itu. Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya adalah pembagian harta bersama yang dalam bahasa Belanda disebut gemenschap. Dengan ada pembubaran persatuan ontbinding maka dengan ini, harta persatuan dapat dibagi dan dipisahkan. Dengan adanya pembubaran harta kakayaan perkawinan, maka berlakunya persatuan harta kekayaan perkawinan berakhir dalam arti yang semula ada kekayaan yang hidup dan dapat berkembang, menjadi kekayaan mati dood vermogen, suatu kekayaan yang statis. 161 Ketentuan-ketentuan mengenai penguasaan bestuur dalam Pasal 124 KUH Perdata terhenti sebab bestuur hanya berlaku selama kekayaan hidup. Dengan adanya pembubaran persatuan harta kakayaan perkawinan, maka peraturan-peraturan tersebut terhenti, tak berlaku lagi. 162 Pada saat pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, maka mengenai pengurusan dan pemutusan beheer en beschikken berlaku ketentuan-ketentuan yang 161 Ibid., hal. 205 162 Ibid. Universitas Sumatera Utara 120 sama seperti dalam warisan. Warisan juga merupakan “dood vermogen” kekayaan mati. 163 Hal tersebut berarti : a. Tiap pihak suamiisteri, dapat menggunakan bagian seluruhnya b. Tiap pihak suamiisteri dilarang menggunakan bagiannya yang merupakan suatu benda dalam benda bersama. c. Dalam hal tersebut para pihak bersama-sama dapat menggunakan benda bersama. d. Seberapa jauh salah satu pihak suamiisteri mengurusi terlepas dari pihak yang lain, merupakan suatu masalah yang pelik, undang-undang tidak menentukan. Setelah pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, tidak dapat lagi terjadi utang bersama. Kecuali utang-utang yang diadakan berhubung dengan pelaksanaan pembubaran. Jadi salah satu pihak suamiisteri dengan mengadakan utang. Tidak dapat lagi mengikat bagian pihak lain secara tidak langsung dalam persatuan harta kekayaan perkawinan, utang-utang dari masing-masing pihak suamiisteri setelah adanya pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, hanya dapat dituntut dari bagian milik yang membuat utang. Utang ini tidak dapat lagi dituntut dari harta persatuan. Hal tersebut sama seperti dalam pembagian warisan. Utang ahli waris tertentu hanya dapat ditagih dari bagian warisannya. 163 Ibid., hal.206 Universitas Sumatera Utara 121 1. Harta Bersama Menurut Pasal 35 UU Perkawinan, harta bersama suami istri hanya meliputi harta-harta yang dipeoleh suami istri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara dimulainya sebuah perkawinan sampai perkawinan itu putus, baik dikarenakan kematian cerai mati atau karena perceraian cerai hidup. Dalam penjelasan Pasal 35 UU Perkawinan, disebutkan juga bahwa apabila perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing. Pasal 36 UU Perkawinan juga menyebutkan, bahwa: mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. “Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan”. 164 “Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan”, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. 164 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2, hal. 199 Universitas Sumatera Utara 122 Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah “semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah”. Harta bersama terdiri dari yaitu : 1. Hasil dan pendapatan suami 2. Hasil dan pendapatan istri 3. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan. 166 Pada asasnya harta bersama hanya meliputi, yaitu : a. Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan; b. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang perkawinan; c. Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan pendapatan suami istri atau kedua-duanya secara bersamasama yang secara otomatis menjadi harta kekayaan bersama. 167 166 Satrio J, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1983, hal. 188 167 Ibid., hal. 189 Universitas Sumatera Utara 123

2. Harta pribadi