Indeks Equitabilitas E Indeks Similaritas IS Kejenuhan Oksigen Analisis Korelasi Analisis Korelasi Pearson Komputerisasi Ver. 14.00

Dengan nilai H’: 2,0 = Tidak Tercemar 1,6-2,0 = Tercemar Ringan 1,0-1,6 = Tercemar Sedang 1,0 = Tercemar BeratParah

e. Indeks Equitabilitas E

Indeks equitabilitas E = max H H dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum = In S dimana S banyaknya spesies dengan nilai E berkisar antara 0-1

f. Indeks Similaritas IS

IS = 100 x b a 2c + dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b Bila: IS = 75 – 100 : sangat mirip IS = 50 – 75 : mirip IS = 25 – 50 : tidak mirip IS = ≤ 25 : sangat tidak mirip

g. Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan = 100 x [t] O2 ] [ 2 u O Dimana: O 2 [u] = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur mgl O 2 [t] = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya pada tabel sesuai dengan temperatur. Universitas Sumatera Utara

h. Analisis Korelasi

Analisis korelasi dianalisa menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.14.00. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik-kimia dengan keanekaragaman benthos. Bila interval koefisien 0,00-0,199 : sangat rendah 0,20-0,399 : rendah 0,40-0,599 : sedang 0,60-0,799 : kuat 0,80-1,00 : sangat kuat Universitas Sumatera Utara BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Parameter Biotik

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 5 lima stasiun di Hilir Sungai Padang diperoleh makrozoobenthos sebanyak 13 genus yang termasuk ke dalam 11 famili , 7 ordo, dan 5 kelas, seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut ini: Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobentos yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Hilir Sungai Padang Kelas Ordo Famili Genus Stasiun 1 2 3 4 5 1. Adhenoporea 1. Chromadorida 1. Plectidae 1. Rhabdolaimus 1 - - - - 2. Bivalvia 2. Eulamellibranchia 2. Donacidae 2. Donax - - - - 2 3. Mactridae 3. Mactra - - - - 3 4. Tellinidae 4. Psammotreata - - - - 6 5. Unionidae 5. Fusconaia 33 26 9 - 7 3. Crustacea 3. Decapoda 6. Gecarcinidae 6. Cardisoma - - 1 - - 4. Gastropoda 4. Archaegastropoda 7. Neritidae 7. Clithon - 49 - - - 8. Nerita - - 3 5 6 5. Mesogastropoda 8. Potamididae 9. Cerithidea - - - - 3 9. Thiaridae 10.Faunus 56 22 230 258 4 11.Melanoides 3 20 120 38 24 6. Neogastropoda 10.Buccinidae 12.Pisania - - - - 10 5. Polychaeta 7. Errantia 11.Nereididae 13.Nereis - - - 3 78 Jumlah jenis 4 4 5 4 10 Jumlah individu 93 117 363 304 153 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa makrozoobenthos yang terbanyak adalah dari kelas Gastropoda, yaitu sebanyak 6 genus yang terdapat di seluruh stasiun penelitian, dengan jumlah individu terbanyak adalah pada stasiun 3, yaitu sebanyak 350 individu dan jumlah inidividu yang paling sedikit terdapat pada stasiun 1 sebanyak 59 individu. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik-kimia di perairan ini dapat mendukung kehidupannya, seperti suhu dan pH Tabel 3.2. Suhu dan pH sangat berperan penting dalam metabolisme gastropoda. Suhu yang ideal berkisar antara 26-30 C, sedangkan pH yang ideal berkisar antara 6,8-7,6. Universitas Sumatera Utara Menurut Koesbiono 1979, temperatur air sangat mempengaruhi aktivitas fisiologis dari hewan gastropoda. Perlu diketahui bahwa hewan gastropoda mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap nilai temperatur air. Umumnya hewan gastropoda hidup di perairan dengan temperatur 25-30 C. Sedangkan untuk nilai pH, Sinaga 2009 menyatakan bahwa pH yang ideal bagi kehidupan gastropoda pada umumnya adalah 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa maupun asam akan membahayakan kelangsungan hidup organisme tersebut karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme. Terdapat juga jenis gastropoda yang hanya ditemukan pada stasiun 2, yaitu genus Clithon sebanyak 49 individu. Hal ini disebabkan hewan tersebut menyukai habitat berlumpur yang banyak terdapat sampah organik dan memiliki nilai BOD yang besar. Sehingga diduga bahwa hewan tersebut memanfaatkan sampah organik sebagai nutrisinya. Menurut Haynes 2005, Clithon merupakan gastropoda yang menghabiskan seluruh siklus hidupnya di air tawar dan sedikit tergenang dan sebagian pada lumpur air payau. Genera ini tersebar luas di daerah tropis, umumnya memiliki papilla dan bersifat detritus pada substrat. Ada beberapa jenis makrozoobenthos yang hanya diperoleh pada stasiun 5 muara sungai, yaitu Donax, Mactra, Psammotreata, dan Cerithidea. Hal ini dikarenakan hewan tersebut merupakan makrozoobenthos yang umumnya terdapat di daerah pasang surut dan memiliki salinitas yang cukup tinggi dan juga DO yang tidak terlalu tinggi. Hewan-hewan tersebut dapat ditemukan pada muara sungai karena pada saat pasang terjadi, hewan ini akan terbawa oleh gelombang air laut menuju pesisir pantai dan muara sungai. Demikian juga dengan kelas lainnya yang memiliki jumlah genus sedikit seperti Adhenoporea, Crustacea, dan Polychaeta juga masih dapat mentolerir faktor fisik kimia yang terdapat di perairan tersebut. Khususnya pada Crustacea dan Polychaeta yang cukup mampu beradaptasi hidup di dalam substrat. Makrozoobenthos yang tergolong ke dalam kelas Adhenoporea adalah Rhabdolaimus yang hanya diperoleh pada stasiun 1 dengan jumlah 1 individu. Hal ini Universitas Sumatera Utara dapat disebabkan karena hewan tersebut dapat hidup di daerah pasir berlumpur dengan kadar organik yang tinggi dan juga memiliki salinitas yang rendah. Menurut Voronov Panchin 1998, kelas Adhenoporea merupakan salah satu kelas dari filum Nematoda. Kebanyakan anggota dari kelas Adhenoporea terdapat di air payau dan sedikit pada air laut. Hewan ini hidup di dalam substrat yang berlumpur dan mengandung bahan organik yang tinggi, ada juga beberapa termasuk hewan parasit. Jenis crustacea juga ditemukan pada lokasi penelitian, dan hanya terdapat pada stasiun 3 dengan jumlah 1 individu. Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut memiliki suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu 26 C dan cukup banyak ditemukan sampah- sampah organik yang dapat digunakan oleh hewan tersebut dalam perlindungan dirinya dan juga kebutuhan metabolismenya. Menurut Martin Davis 2001, umumnya kelompok Crustacea memiliki adaptasi dalam menghindarkan diri dari mangsanya, yaitu dengan cara membenamkan diri di dalam lubang lumpur. Crustacea adalah kelas organisme di bawah filum Arthropoda, yang meliputi kepiting, lobster, teritip dan udang. Kelas Crustacea banyak dijumpai di perairan yang payau hinga laut dan membenamkan dirinya di dalam substrat yang mengandung lumpur untuk melindungi diri. Pada lokasi penelitian juga ditemukan makrozoobenthos yang termasuk ke dalam Polychaeta. Jenis ini banyak ditemukan pada stasiun 5, yaitu sebanyak 78 individu dan pada stasiun 4 sebanyak 3 individu. Hal ini karena lokasi tersebut merupakan daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga dapat meningkatkan salinitas perairan tersebut dan oksigen terlarut yang tidak terlalu tinggi dikarenakan hewan ini suka membenamkan dirinya di dalam substrat perairan. Kondisi perairan seperti ini merupakan habitat yang cocok bagi polychaeta tersebut. Menurut Costa et. al. 2006, polychaeta merupakan hewan bentik yang umum dijumpai di daerah pasang surut. Polychaeta tersegmentasi dengan bulu atau bantalan- bantalan. Cacing yang termasuk kelas ini biasanya hewan yang paling melimpah hidup dalam pasir dan lumpur di tepi pantai. Cacing ini tidak bisa sering terlihat di permukaan tetapi kadang-kadang mereka mungkin membuat tanda-tanda halus dan jejak kehadiran mereka. Hanya beberapa dapat ditemukan terpapar pada permukaan batu telanjang. Universitas Sumatera Utara Jumlah individu makrozoobenthos yang terbanyak terdapat di stasiun 3 sebanyak 363 individu dan jumlah yang paling sedikit terdapat di stasiun 1 sebanyak 93 individu. Hal ini dikarenakan stasiun 3 merupakan lokasi yang lebih cocok untuk mendukung kehidupan makrozoobenthos tersebut, seperti oksigen terlarut yang tinggi dan juga kejenuhan oksigen Tabel 3.2. Oksigen sangat dibutuhkan oleh makrozoobenthos dalam proses respirasi dan aktivitas metabolisme lainnya.

3.1.1 Nilai Kepadatan Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobenthos

Nilai Kepadatan K, Kepadatan Relatif KR, dan Frekuensi Kehadiran FK makrozoobenthos pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.1 berikut: Tabel 3.1.1 Nilai Kepadatan Populasi ind.m 2 , Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran pada setiap stasiun penelitian Dari Tabel 3.1.1 diketahui bahwa nilai K dan KR tertinggi pada stasiun 1 pada genus Faunus dengan nilai 39,26 indm 2 dan 54,64 , sedangkan yang terendah pada genus Rhabdolaimus dengan nilai 0,74 indm 2 dan 1,03. Nilai FK tertinggi pada genus Fusconaia dengan nilai 80 dan terendah pada genus Melanoides dan Rhabdolaimus dengan nilai 6,6. Besarnya nilai K dan KR Faunus dikarenakan nutrisi yang dibutuhkan sangat mendukung pertumbuhannya, seperti kelarutan oksigen dan kecepatan arus Tabel 3.2. Menurut Dharma 1988, genus Faunus merupakan siput air tawar, umumnya di muara sungai dan perairan yang tenang, sebagian di daerah Genera Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK Cardisoma - - - - - - 0,74 0,28 6,66 - - - - - - Cerithidea - - - - - - - - - - - - 2,22 1,97 13,33 Clithon - - - 30,37 38,68 46,66 - - - - - - - - - Donax - - - - - - - - - - - - 1,48 1,32 6,66 Faunus 39,26 54,64 60 16,30 20,75 26,66 159,26 61,08 80 191,11 84,87 100 2,96 2,63 13,33 Fusconaia 29,63 41,24 80 12,59 16,04 53,33 6,67 2,56 26,66 - - - 5,19 4,61 20 Mactra sp1 - - - - - - - - - - - - 1,48 1,32 6,66 Mactra sp2 - - - - - - - - - - - - 0,74 0,66 6,66 Melanoides 2,22 3,09 6,66 19,26 24,53 33,33 91,85 35,23 86,66 28,15 12,50 40 17,78 15,79 26,66 Nereis - - - - - - - - - 2,22 0,99 6,66 64,44 57,24 73,33 Nerita - - - - - - 2,22 0,85 13,33 3,70 1,64 6,66 4,44 3,95 13,33 Pisania - - - - - - - - - - - - 7,41 6,58 33,33 Psammotreata - - - - - - - - - - - - 4,44 3,95 33,33 Rhabdolaimus 0,74 1,03 6,66 - - - - - - - - - - - - Jumlah 71,85 100 78,52 100 260,74 100 225,19 100 112,59 100 Universitas Sumatera Utara pasang surut. Cangkangnya berukuran kecil antara 6-8,5 cm, bentuk cangkangnya memanjang. Termasuk hewan herbivorus dan ovoviviparus. Pada stasiun 2 nilai K dan KR tertinggi pada genus Clithon dengan nilai 30,37 indm 2 dan 38,68, sedangkan yang terendah pada genus Fusconaia dengan nilai 12,59 indm 2 dan 16,04. Nilai FK tertinggi pada genus Fusconaia dengan nilai 53,33 dan terendah pada genus Faunus dengan nilai 33,33. Besarnya nilai K dan KR Clithon disebabkan oleh nutrisi dan sampah organik yang sesuai untuk pertumbuhannya sehingga cukup banyak dan ditemukan hanya pada stasiun ini. Menurut Dharma 1988, genus Clithon termasuk gastropoda yang umum ditemukan di muara sungai dan daerah pasang surut. Ukuran cangkang kecil 0,8-1 cm dan termasuk herbivorus. Hal ini didukung oleh Haynes 2005, menyatakan bahwa Clithon merupakan gastropoda yang menghabiskan seluruh siklus hidupnya di air tawar dan sedikit tergenang dan sebagian pada lumpur air payau. Genera ini tersebar luas di daerah tropis, umumnya memiliki papilla dan bersifat detritus pada substrat. Pada stasiun 3 nilai K dan KR tertinggi pada genus Faunus dengan nilai 159,26 indm 2 sedangkan terendah pada genus Cardisoma dengan nilai 0,74 indm 2 dan 0,8 . Nilai FK tertinggi pada genus Melanoides dengan nilai 80 dan terendah pada genus Cardisoma dengan nilai 6,66. Besarnya nilai K dan KR genus Faunus dikarenakan faktor biotik dan abiotik pada stasiun ini cukup mendukung pertumbuhannya, seperti kelarutan oksigen yang tinggi dan kejenuhan oksigen Tabel 3.2 yang sangat dibutuhkan oleh hewan tersebut dalam proses respirasi dan metabolisme lainnya. Pada stasiun 4 nilai K dan KR, FK tertinggi terdapat pada Faunus dengan masing-masing nilai 191,11 indm 2 , 84,86 dan 100 sedangkan yang terendah pada genus Nereis dengan masing-masing nilai 2,22 dan 0,99 . dan 6,66. Sama halnya seperti stasiun 3, faktor abiotik untuk pertumbuhan genus ini sangat mendukung, terutama kelarutan oksigen dan kejenuhan oksigen yang masih relatif tinggi dan tidak berbeda jauh dengan stasiun 3. Universitas Sumatera Utara Pada stasiun 5 nilai K, KR dan FKtertinggi pada genus Nereis dengan masing- masing nilai 64,44 indm 2 , 57,24 dan 73,33. Nilai K dan KR terendah dimiliki oleh genus Mactra sp2 dengan nilai 0,74 indm 2 dan 0,66 sedangkan FK terendah pada genus Donax dengan nilai 6,66. Besarnya nilai kepadatan Nereis dikarenakan faktor lingkungan yang merupakan daerah pasang surut sangat mendukung pertumbuhannya, termasuk substrat berlumpur dan memiliki salinitas yang lebih tinggi daripada stasiun yang lainnya karena terjadi pencampuran air dan substrat saat gelombang pasan dan surut yang sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Costa et al. 2006, genus Nereis tersebar luas di muara sungai dan daerah pasang surut dan menunjukkan toleransi fisiologis tinggi untuk variasi faktor lingkungan yang ekstrim, dapat tumbuh dan bereproduksi dalam jenis sedimen yang berbeda dan dalam menekankan lingkungan. Pada umumnya kelompok ini lebih cepat beradaptasi dengan kondisi bahan organik tinggi. Genus ini memiliki kapasitas yang luas mengenai ukuran makanan yang ia makan, yang berkisar dari makrozoobentos, diatom mikro, untuk bahan organik terfragmentasi termasuk detritus. Jenis ini dapat juga menggunakan strategi yang berbeda untuk menangkap makanannya, menangkap makanan pada permukaan sedimen. Genus Faunus dan Melanoides sangat dominan muncul hampir pada setiap stasiun penelitian. Jumlahnya lebih sedikit ditemukan pada stasiun 5 muara sungai. Hal ini disebabkan oleh faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun tersebut cocok untuk pertumbuhannya, seperti pH, DO, dan kecepatan arus. Berkurangnya jumlah genus ini pada stasiun 5 dikarenakan pada stasiun tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang-surut sehingga kawasan tersebut memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Perbedaan salinitas tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan genus tersebut. Menurut Francis et all. 2011, genus Faunus dan Melanoides merupakan gastropoda yang hidup di hilir sungai dengan sedikit pengaruh payau. Periostracum melindungi shell dari lingkungan yang asam habitatnya. Radula yang kuat menunjukkan bahwa genus ini adalah herbivorus. Genus Rhabdolaimus merupakan salah satu genus yang ditemukan hanya pada stasiun 1 kawasan perkebunan. Hal ini mungkin dikarenakan genus ini memiliki habitat yang banyak terkandung bahan organik pada substrat yang dibutuhkannya Universitas Sumatera Utara sebagai sumber nutrisi. Menurut Peters 2005, Rhabdolaimus merupakan jenis nematoda yang hidupnya di perairan pada substrat lumpur yang sedikit keras. Umumnya hidup pada daerah yang oligotrofik dan dangkal. Genus Cerithidea, Donax, Mactra, Pisania, dan Psammotreata merupakan jenis moluska yang habitatnya di perairan payau hingga laut. Genus ini ditemukan hanya pada stasiun 5 kawasan muara sungai. Kawasan ini termasuk daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga memungkinkan adanya pencampuran substrat dan biota juga dapat terbawa oleh gelombang tersebut. Menurut Laxmilatha 2009, genera tersebut merupakan jenis moluska laut yang ditemukan di zona ombak pantai berpasir yang terbuka. Merupakan kelompok hewan filter feeder, memiliki bentuk cangkang sangat bervariasi, umumnya subtriangular, subovate, atau oval. Genus Cardisoma adalah salah satu genus yang hanya terdapat di stasiun 3 daerah pemukiman penduduk. Hal ini dikarenakan kondisi substrat pada stasiun ini cocok untuk kehidupan genus tersebut, yang merupakan kawasan yang cukup banyak tumpukan semak dan sampah organik lain. Menurut Miculka 2009, Cardisoma merupakan kepiting tanah yang hidupnya di dalam liang di sekitar wilayah pesisir. Hidupnya di dalam lubang tanah, atau semak-semak, serasah tanah, sampah tumpukan yang berada di sekitar padang rumput pantai. Koloninya ditemukan di dekat air payau dan biasanya dekat outlet sungai ke laut.

3.1.2 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E

Indeks keanekaragaman H’ dan indeks keseragaman E yang diperoleh pada masing-masing stasiun penelitian, seperti terlihat pada Tabel 3.1.2 berikut: Tabel 3.1.2 Nilai Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E pada Setiap Stasiun Penelitian Indeks STASIUN 1 2 3 4 5 H’ 0,85 1,33 0,82 0,51 1,51 E 0,61 0,96 0,51 0,37 0,63 Universitas Sumatera Utara Dari tabel 3.1.2 diketahui bahwa keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 1,51 dan nilai terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 0,51. Tingginya keanekaragaman pada stasiun ini disebabkan oleh faktor fisik kimia perairan yang mendukung bagi pertumbuhan makrozoobenthos, seperti pH, DO, dan kandungan organik substrat Tabel 3.2. Selain itu juga dikarenakan sebagian makrozoobenthos yang habitatnya di muara sungai dipengaruhi oleh gelombang pasang dan juga surut. Sehingga pada saat terjadi gelombang pasang, secara tidak langsung juga substrat pada stasiun ini akan mengalami pencampuran. Menurut Soegianto 1994 dalam Handayani 2005, suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit jenis dan jika hanya sedikit jenis yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena dalam komunitas itu terjadi interaksi jenis yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis tinggi akan terjadi interaksi jenis yang melibatkan transfer energi jaring-jaring makanan, predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks. Berdasarkan indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa keanekaragaman makrozoobenthos pada setiap stasiun penelitian tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut tergolong ke dalam perairan yang tercemar sedang hingga tercemar berat. Ini disebabkan oleh banyaknya bahan pencemar yang masuk ke badan perairan tersebut dan beragamnya aktivitas masyarakat di sekitar perairan tersebut. Sedangkan pada indeks keseragaman, nilai tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,96 dan nilai terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 0,37. Tingginya nilai keseragaman sangat dipengaruhi oleh banyaknya makanan dan persebarannya yang kurang merata sehingga menyebabkan terjadinya pengelompokan makrozoobenthos yang sejenis. Menurut Odum 1993 dalam Setiawan 2009, tipe substrat akan sangat mempengaruhi morfologi fungsional dan tingkah laku hewan bentik. Tipe substrat Universitas Sumatera Utara adalah faktor utama yang mengendalikan distribusi benthos. Adaptasi terhadap substrat akan menentukan morfologi, cara makan dan adaptasi fisiologi organisme benthos terhadap suhu, salinitas serta faktor kimia lainnya. Karakter dasar suatu perairan yang sangat menentukan penyebaran makrozoobenthos adalah substrat dasar perairan seperti lumpur, pasir, liat, berkerikil, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi makrozoobenthos. Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya dinilai rendah.

3.1.3 Indeks Similaritas IS

Nilai indeks similaritas pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.3 sebagai berikut: Tabel 3.1.3 Nilai Indeks Similaritas pada Setiap Stasiun Penelitian IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 1 75 66,66 50 40 Stasiun 2 66,66 50 40 Stasiun 3 66,66 50 Stasiun 4 53,33 Stasiun 5 Dari Tabel 3.1.3 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa indeks similaritas IS yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 40 - 75. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai IS yang mempunyai kriteria kemiripan tertinggi adalah antara stasiun 1 dengan stasiun 2. Sedangkan stasiun yang kemiripan terendah adalah antara stasiun 1 dengan stasiun 5 dan stasiun 2 dengan stasiun 5. Kemiripan ini disebabkan karena faktor ekologis dan faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun tersebut. Kondisi yang hampir sama menyebabkan terdapatnya kesamaan nilai spesies benthos pada stasiun tersebut. Universitas Sumatera Utara Menurut Krebs 1985, hlm: 525, indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makrozoobenthos yang hidup di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makrozoobenthos yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makrozoobenthos antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut. Hal yang paling penting diantaranya adalah kondisi substrat dasar perairan dan kandungan organiknya.

3.2 Parameter Abiotik

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun seperti pada tabel berikut: Tabel 3.2 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian No Parameter Satuan Stasiun 1 2 3 4 5 1 Temperatur Air °C 28 30 26 27 26 2 pH Air - 7,6 7,6 7,6 7,6 7,3 3 Kecepatan Arus ms 0,61 0,46 0,41 0,41 0,40 4 DO mgl 6,3 6,4 7 6,7 6,2 5 Kejenuhan Oksigen 81,3 84,9 87,6 85,2 77,6 6 BOD 5 mgl 0,9 2,2 1,9 2,3 1,8 7 COD mgl 2,32 3,10 3,88 4,49 5,43 8 Kandungan Organik Substrat 5,78 3,21 1,92 1,28 0,64 9 Substrat Dasar - Lumpur berpasir Lumpur berpasir Lumpur berpasir Lumpur berpasir Lumpur berpasir Keterangan: Stasiun 1: Daerah Perkebunan Sawit Stasiun 2: Daerah Pengerukan Pasir Stasiun 3: Daerah Pemukiman Penduduk Stasiun 4: Daerah Dermaga Kapal Nelayan Stasiun 5: Muara Sungai Universitas Sumatera Utara

3.2.1 Temperatur Air

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa temperatur air pada kelima stasiun penelitian berkisar 26-30°C, dengan temperatur tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 30°C dan terendah pada stasiun 3 dan stasiun 5 sebesar 26°C. Tingginya suhu pada stasiun 2 disebabkan karena stasiun ini merupakan lokasi pengerukan pasir dengan menggunakan mesin sederhana, sehingga akibat dari aktifitas tersebut dapat menyebabkan meningkatnya suhu di perairan tersebut dan akan mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos. Menurut Brehm Meijering 1990 dalam Barus 2004 menyatakan bahwa suhu perairan dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti pembuangan limbah panas yang berasal dari mesin suatu pabrik dan penggundulan DAS Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air langsung terkena cahaya matahari secara langsung.

3.2.2 pH Derajat Keasaman

Derajat keasaman atau kebasaan pH pada setiap stasiun penelitian berkisar 7,3-7,6. pH pada stasiun 1 sampai dengan stasiun 4 masing-masing adalah 7,6. Sedangkan pH yang terendah terdapat pada stasiun 5 dengan nilai 7,3. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos. pH sangat berperan penting di dalam metabolisme makrozoobenthos. Menurut Sinaga 2009, nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya adalah 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa maupun asam akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme. Universitas Sumatera Utara

3.2.3 Kecepatan Arus

Kecepatan arus pada setiap stasiun penelitian berkisar 0,40-0,61 ms. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,61 ms dan terendah pada stasiun 5 yaitu 0,40 ms. Rendahnya nilai kecepatan arus pada stasiun 5 disebabkan karena stasiun tersebut merupakan muara sungai yang merupakan tempat bertemunya antara air sungai dengan air laut. Kecepatan arus akan mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos. Kecepatan arus yang tinggi dapat menyebabkan pencacahan yang tinggi bagi makrozoobenthos. Menurut Mulyanto 2007, hlm: 67, makin ke hilir kelandaian air akan makin kecil. Daya gerus terhadap dasar akan berkurang dan konsentrasi sedimen yang dikandungnya cukup besar dengan akibat kapasitas transport aliran akan mengecil dan sedimen yang terbawa dari hulu akan mengendap.

3.2.4 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen yang diperoleh dari kelima stasiun penelitian berkisar antara 77,6 - 87,6. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 87,6 dan terendah pada stasiun 5 sebesar 77,6. Tingginya kejenuhan oksigen pada stasiun 3 berkaitan dengan tingginya nilai DO pada stasiun tersebut, dimana suhu pada stasiun tersebut sebesar 26 C. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit, sehingga mampu mendukung pertumbuhan makrozoobenthos. Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Disamping pengukuran konsentrasi, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak Barus, 2004, hlm: 58-59. Universitas Sumatera Utara

3.2.5 DO Dissolved Oxygen

Nilai oksigen terlarut DO yang diperoleh dari kelima stasiun penelitian berkisar 6,2- 7,0 mgl. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 7,0 mgl dan terendah pada stasiun 5 sebesar 6,2 mgl. Tingginya DO pada stasiun 3 dikarenakan pada stasiun tersebut terdapat limbah organik yang tidak terlalu tinggi, sehingga jumlah oksigennya tidak terlalu rendah. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan oleh organisme, termasuk juga makrozoobenthos dalam metabolisme tubuh, sehingga daerah yang oksigen terlarutnya tinggi akan mendukung keberlangsungan hidup organisme tersebut. Penentuan oksigen terlarut harus dilakukan berkali-kali di berbagai lokasi. Penentuan yang dilakukan di lokasi pabrik akan lain hasilnya daripada lokasi yang jauh dari pabrik. Sumber pencemar domestik lebih mudah diuraikan daripada pencemar non-domestik, seperti pabrik, industri, pertanian, dan sumber lainnya Kristanto, 2002, hlm: 78;96. Menurut Sinambela 1994 dalam Sinaga 2009, kehidupan makrozoobentos di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimal 2 mgl. Berdasarkan baku mutu air menurut PP Nomor 82 Tahun 2001 batas minimum DO yang diperbolehkan yang masih layak digunakan adalah 4 mgl.

3.2.6 BOD

5 Biologycal Oxygen Demand Nilai BOD 5 pada kelima stasiun penelitian berkisar 0,9-2,3 mgl, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 4 sebesar 2,3 mgl dan nilai terendah pada stasiun 1 dan 5 sebesar 0,9 mgl. Adanya perbedaan nilai BOD 5 di setiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipakai oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD 5 pada stasiun 4 dermaga kapal nelayan diakibatkan oleh banyaknya pencemaran organik dan juga limbah minyak kapal nelayan yang sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme pada lokasi tersebut. Sedangkan pada stasiun 1 yang merupakan Universitas Sumatera Utara lokasi perkebunan sawit nilai BOD 5 lebih rendah yaitu sebesar 0,9 mgl karena limbah organiknya tidak terlalu tinggi. Nilai BOD 5 yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya defisit oksigen, sehingga akan mengganggu metabolisme makrozoobenthos. Menurut Barus 2004, hlm: 66 nilai BOD dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian senyawa organik, biasanya pada suhu 20 C. Penentuan oksigen terlarut merupakan dasar utama dalam pengukuran BOD. Pengukuran BOD umum dilakukan selama 5 hari BOD 5 .

3.2.7 COD Chemical Oxygen Demand

Nilai COD yang didapatkan dari kelima stasiun penelitian berkisar antara 2,32 mgl sampai dengan 5,43 mgl. Nilai COD tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 5, 43 mgl sedangkan terendah pada stasiun 1 sebesar 2,32 mgl. Tingginya nilai COD pada stasiun 5 disebabkan karena tingginya akumulasi limbah dan tidak menutup kemungkinan adanya masukan limbah yang berasal dari industri yang pembuangannya ke laut, sehingga pada saat pasang akan bercampur dengan air sungai pada bagian muara. Banyaknya limbah dan senyawa kimia lainnya akan menjadi senyawa toksik bagi makrozoobenthos. Menurut Sinaga 2009, COD erat kaitannya dengan BOD. Banyak zat organik yang tidak mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarkan pengujian BOD tetapi senyawa-senyawa organik itu tetap menurunkan kualitas air, karena itu perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk dalam perairan. Untuk itulah tujuan diadakannya uji COD.

3.2.8 Kandungan Organik Substrat

Nilai kandungan organik yang didapatkan pada kelima stasiun penelitian berkisar 0,64 - 5,78 , dengan nilai tertinggi didapatkan pada stasiun 1 sebesar 5,78 dan terendah pada stasiun 5 sebesar 0,64 . Tingginya kadar organik pada stasiun 1 karena pada stasiun tersebut merupakan daerah perkebunan sawit yang secara tidak Universitas Sumatera Utara langsung sisa pupuk organik akan masuk ke badan perairan. Organik substrat merupakan salah satu nutrisi bagi makrozoobenthos. Menurut Ramli 1989 dalam Darojah 2005, tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis hewan bentos disuatu perairan. Tipe substrat seperti rawa tanah dasar berupa lumpur. Macam dari substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan karena itu organisme yang hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan ini. Hal ini juga didukung oleh Razak 2002, hlm: 64 menyatakan bahwa pada substrat berpasir kandungan oksigen lebih tinggi dibandingkan substrat berlumpur, sebaliknya substrat berlumpur kandungan nutrien lebih tinggi dibandingkan dengan substrat berpasir. Berdasarkan informasi itu dapat dikatakan bahwa kombinasi tempat hidup yang ideal bagi hewan bentos adalah kombinasi lumpur dan pasir.

3.3 Analisis Korelasi Pearson Komputerisasi Ver. 14.00

Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman makrozoobenthos dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini: Tabel 3.3 Nilai Analisis Korelasi Keaanekaragaman Makrozoobenthos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan Temperatur pH Kecepatan arus DO Kejenuhan oksigen BOD COD Kadar organik substrat H’ +0,184 -0,694 -0,136 -0,646 -0,594 +0,004 +0,239 -0,153 Dari tabel 3.3 di atas menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman H’ berbeda tingkat korelasi dan juga arah korelasinya. Nilai + menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai indeks keanekaragaman H’, yaitu Universitas Sumatera Utara seperti pada temperatur, BOD, dan COD. Hal ini berarti bahwa semakin besar nilai faktor fisik kimia tersebut, maka akan meningkatkan nilai indeks keanekaragaman pada batas toleransi yang masih dapat ditolerir. Nilai - menunjukkan korelasi yang berlawanan antara nilai faktor fisik kimia dengan nilai indeks keanekaragaman, dalam arti bahwa semakin tinggi nilai faktor fisik kimia maka akan semakin rendah nilai indeks keanekaragaman H’ pada kondisi yang masih dapat ditolerir juga. Hal ini dapat dilihat pada nilai pH, kecepatan arus, DO, kejenuhan oksigen, dan kadar organik substrat. Nilai pH dan DO berkorelasi kuat terhadap indeks keanekaragaman makrozoobenthos. pH dan DO sangat berperan penting di dalam metabolisme makrozoobenthos. Masing-masing organisme memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap faktor lingkungan. Oleh karena itu, adanya perbedaan faktor lingkungan akan ditemukan juga makrozoobenthos yang berbeda. Menurut Darojah 2005, nilai pH menunjukkan derajad keasaman atau kebasaan suatu perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan air. pH tanah atau substrat akan mempengaruhi perkembangan dan aktivitas organisme lain. Bagi hewan bentos nilai pH berpengaruh terhadap menurunnya daya stress. Menurut Barus 2004, oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu C, yaitu sebesar 14,16 mgl O 2 . Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik. Kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Universitas Sumatera Utara BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan