Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)

(1)

i

PENGEMBANGAN KURIKULUM KEAGAMAAN DI PESANTREN (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan

Depok)

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Agama Islam pada Program Studi Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing: Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D

Oleh: LIA SURAEDAH

21140110000010

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2017


(2)

ii

PERNYATAAN PENULIS

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Lia Suraedah

NIM : 21140110000010

Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 16 Januari 1983

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)” adalah benar-benar karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terbukti saya melakukan kecurangan ilmiah secara sengaja di dalam penulisan tesis ini, maka saya bersedia gelar Magister Pendidikan Agama Islam yang telah diberikan kepada saya dicabut kembali.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, Januari 2017


(3)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENGEMBANGAN KURIKULUM KEAGAMAAN DI PESANTREN (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan

Depok)

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

pada Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh: Lia Suraedah 21140110000010

Pembimbing

Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2017


(4)

iv

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Tesis dengan judul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)” yang disusun oleh Lia Suraedah dengan Nomor Induk Mahasiswa 21140110000010 telah diujikan di sidang promosi tesis oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, 04 Januari 2017. Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran penguji.

Jakarta, Januari 2017 Tim Penguji

Tanggal Tanda Tangan Ketua Program

Nama : Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag

NIP : 19670328 20003 1 001 ………… ………

Penguji I

Nama : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

NIP : 19540802 198503 1 002 ………… ………

Penguji II

Nama : Dr. Fauzan, MA

NIP : 19761107 200701 1 013 ………… ………

Pembimbing

Nama : Muhammad Zuhdi, M. Ed, Ph. D

NIP : 19720704 199703 1 002 ………… ………

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA NIP. 19550421 198203 1 007


(5)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI 1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

b be

ت

t te

ث

ts te dan es

ج

j je

ح

h h dengan garis dibawah

خ

kh ka dan ha

د

d de

ذ

dz de dan zet

ر

r er

ز

z zet

س

s es

ش

sy es dan ye

ص

s es dengan garis bawah

ض

d de dengan garis bawah

ط

t te dengan garis bawah

ظ

z zet dengan garis bawah

ع

„ koma terbalik di atas, menghadap ke kanan

غ

gh ge dan ha

ؼ

f ef

ؽ

q ki

ؾ

k ka

ؿ

l el


(6)

vi

ف

n en

ك

w we

ق

h ha

ء

, apostrog

م

y ye

2. Vokal

a. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

__َ

a fathah

__ِ

i kasrah

____ُُ u dammah

b. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

__َ

م

ai a dan i

__َ

ك

au a dan u

3. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اَى

â a dengan topi di atas

ْ ِى

î i dengan topi di atas

ُل ْك

û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh:

ؿاَجِرلا

=

al- rijâl bukan ar-rijâl.


(7)

vii

Adapun jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abu Hâmid al-Ghazâlî bukan Abu Hamid Al-Ghazâlî


(8)

viii ABSTRAK

LIA SURAEDAH, NIM: 21140110000010, “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren khususnya di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok. Persamaan tesis ini dengan disertasi Ali Anwar yang berjudul “Pembaharuan Pendidikan di Pesantren: Studi Kasus Pesantren Lirboyo” adalah terletak pada pembahasan pengembangan pendidikan di pesantren. Disertasi ini membahas seluruh unsur yang terkait dengan pengembangan dan pembaharuan pendidikan di pesantren, namun tidak secara spesifik membahas pengembangan kurikulumnya. Berbeda dengan tesis ini yang secara mendalam dan komprehensif mengkaji pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menggali informasi melalui sumber data primer dengan melakukan studi lapangan dan mengolah dokumen-dokumen Pesantren al-Hamidiyah. Data sekunder penelitian ini adalah buku-buku yang sangat berhubungan dengan persoalan kurikulum pesantren. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan antara lain: observasi, wawancara dan dokumuntasi. Analisis data dilakukan dengan mencocokkan hasil temuan dengan teori-teori para ahli pengembangan kurikulum dan pesantren. Validasi data dilakukan dengan mencocokkan dan membandingkan data dari berbagai sumber. Hasil penelitian ini adalah Pesantren al-Hamidiyah mengkombinasikan sistem pendidikan pesantren salafiyah dengan sistem pendidikan pesantren modern dan telah mengembangkan kurikulum keagamaannya dengan melakukan beberapa langkah-langkah yang sesuai dengan teori pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh para ahli kurikulum, yaitu: mengupayakan pengembangan kurikulum keagamaan dengan mempertimbangkan landasan filosofi, psikologi, sosiologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; prinsip fleksibelitas, relevansi dan kontinuitas; menggunakan pendekatan subjek akademis dan humanistik, megupayakan pengembangan pada komponen-komponen kurikulum dan menentukan model pengembangan kurikulum. Dengan demikian berimplikasi pada peningkatan kualitas kurikulum pesantren sehingga dapat terus menarik minat masyarakat dan mampu bersaing dengan pesantren lain dan lembaga pendidikan lainnya.


(9)

ix ABSTRACT

LIA SURAEDAH, NIM: 21104110000010, Religiosity Curriculum Development in Islamic Boarding School (Pesantren) (Religiosity Curriculum Qualitative Study in Islamic Boarding School (Pesantren) al-Hamidiyah Sawangan Depok).

The goal of research is to acknowledge and analyze religiosity curriculum development in pesantren, particularly in Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok. This thesis is similar with Ali Anwar‟s dissertation entitled “Pembaruan Pendidikan di Pesantren: Studi kasus Pesantren Lirboyo” or “Education Innovation in pesantren. That dissertation discussed all the aspect of education development and innovation in pesantren,

but not specifically discussed about curriculum development, different from this thesis that discussed deeply and comprehensively about religiosity curriculum development in

pesantren. The method used in this research is a descriptive analysis with a qualitative

approach, finding information by doing field study primery data and analyzing al-Hamidiyah‟s documents. Secondary data of this research is the books that very related to pesantren‟s curriculum. Data collection technique used were observations, interviews, and decomentations. Data analyses have done by matcing the findings and the theories from the experts of curriculum development and pesantren. Data validation has conducted by matching and comparing the data from various sources. The result of this research is that

Pesantren al-Hamidiyah has applying curriculum of pesantren‟s education which combine

traditional, or known as salafiyah, and modern pesantren‟s curriculum; and developed its religiosity curriculum by doing several steps which is appropriate with curriculum development‟s theories conducted by curriculum experts, i.e.: endorsing religiosity curriculum development by cosidering philosophy basis, psychology, sociology, and development of science and technology; flexibelity principal, relevance, and continuity; employing academic and humanistic subject approach; and attempting development on curriculum‟s components. Therefore, it implicated on higher pesantren‟s curriculum quality that constantly taking people‟s interest and being able to compete with other

pesantren and educatioan institutions.


(10)

x

صخلم

ةديرس

:

ةبلاطلا ليجست مقر

21140110000010

:

دهع ا ي ةي يدلا ةيساردلا ج ا ا ريوطت

:

ةسارد

ةيعون

ةيديم ا دهعم ي ةي يدلا ةيساردلا ج ا ا

ءوفيد ج عاوس

.

ا اذ

ثحبل

ءوفيد ج عاوس ةيديم ا دهعم ي ةصاخ دهع ا ي ةي يدلا ةيساردلا ج ا ا ريوطت ليلحتل جات

ةلداعم

ا اذ ك

ثحبل

فاو عب راونأ لعل ةحكرطأاب

:

دهع ا ي ةيب لا ديد

:

ثح ي ايبرل دهعم ي ةسارد

دهع ا ي ةيب لا ريوطت

.

ثحبتاك اامإ دهع ا ي ديدجتلاك ريوطتلا ثح تصخ ةحكرطأا ذ ك

ريوطت

ا اذه افاخ ةصاخ ةيساردلا ج ا ا

ثحبل

دهع ا ي ةي يدلا ةيساردلا ج ا ا ريوطت نبي

ايصفت

اماس

.

ـدختسا

ا اذ

ثحبل

دهع قئاثولا ليل ك ةيناديم تاساردب ةيركرضلا تا يبلا رداصم نم ةيعو لا ةيجه م

ةيساردلا ج ا اب قلعت دق بتكلا نم ةيجا ا تا يبلا رداصمك ةيديم ا

ةيدهع ا

تا يبلا عم اهقيرطك

قيثوتلاك تاباق اك تاظحا ا اه مك

.

نم جئات لا ةقفاوم تا يبلا ليل ك

ي نصصخت ا

ك ةيساردلا ج ا ا

ي نصصخت ا

رداص اب ةنراقم اهيحصتك دهع ا

.

ج ا ا روط ةيديم ا دهعم فأ ثحبلا اذ لصاح

ةيفلس ةيدهع ا ةيساردلا ج ا ا طم ب اهئاملع نم ةيساردلا ج ا ا ريوطت ةيرظن قفاوت لا ةي يدلا ةيساردلا

ةيناسنإك ةي داكا اهعوضومك ؛ةيرارمتسإاك ةيقفاو اك ةينكر اك ةيعامإا تارابتعإاب ا ريوطت بسكك؛ ةثيدحك

ة ك رخأ دهعم محازيك عمتجا ب ح دهع اذ ةيمكلا اهمدقت اهتبقاعك ةيساردلا ج ا ا ريوطت بسكك

رخأا ةيب لا

ةملكلا حاتفم

:

ةيساردلا جهانملا ريوطت

ةينيدلا

-دهعملا


(11)

xi

KATA PENGANTAR





Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah serta lindungan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut risalahnya hingga akhir zaman.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan civitas akademik Magister Pendidikan Agama Islam khususnya kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, Ketua Program Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Sapiudin, M.Ag, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan segala fasilitas belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan memberikan ilmu, inspirasi dan motivasi sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.

Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada dosen pembimbing tesis, Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D, yang dengan penuh ketelitian dan perhatian telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis dalam penulisan dan penyusunan tesis ini.

Tak terlupakan rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua dan mertua yang senantiasa mendoakan dan membimbing serta mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati Rasullullah SAW. Secara khusus penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta, H. Munawwir al-Qosimi yang terus mendo‟akan dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi, serta untuk putra-putri tersayang; Muhammad al-Qosimi, Ahmad al-Qosimi, Ibrahim al-Qosimi dan Deana Silvi semoga Allah SWT melindungi semua. Yang tidak terlupakan terimakasih kepada para santri Pesantren al-Qosimiyyah Parung Bogor yang turut mendo‟akan dan membantu penulis.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Yayasan Islam al-Hamidiyah, Dewan Pengasuh, Kepala MTs dan MA, Kepala Kajian Islam, guru, staf dan karyawan Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok yang telah terlibat dalam penelitian ini sehingga berjalan dengan lancar dan baik tanpa ada hambatan yang berarti.

Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan di Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan masukkan dan saran dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga jasa baik semua pihak mendapatkan balasan yang berlipat-lipat dari Allah SWT dan semoga semua mendapatkan ridha dari Allah SWT. Amin.

Jakarta, Januari 2017 Penulis


(12)

xii DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

LEMBAR PENGESAHAN iv

PEDOMAN TRANSLITERASI v

ABSTRAK viii

KATA PENGANTAR xi

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I : PENDAHULUAN 1

A.Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 7

C. Batasan Masalah 7

D.Rumusan Masalah 7

E. Tujuan dan Manfaat 7

BAB II : KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI

PESANTREN 9

A.Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan 9

1. Sejarah Pesantren di Indonesia 9

2. Ragam Pesantren 15

3. Pola Pendidikan di Pesantren 17

B. Kurikulum Keagamaan 21

1. Pendidikan Agama dan Keagamaan 21

2. Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren 25 3. Model-model Pengembangan Kurikulum 46

C. Kerangka Berpikir 51

D.Telaah Pustaka 52

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 54

A. Metode Penelitian 54

1. Pendekatan Penelitian 54

2. Jenis Data 54

3. Objek dan Sumber Data Penelitian 55

B. Teknik Pengumpulan Data 55

C. Teknik Analisis dan Validasi Data 56


(13)

xiii

BAB IV : KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI

PESANTREN AL-HAMIDIYAH 58

A.Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pendidikan Pesantren

al-Hamidiyah 58

B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Keagamaan di Pesantren

al-Hamidiyah 63

1. Dinamika Pengembangan Kurikulum Keagamaan Pesantren

al-Hamidiyah 63

2. Upaya-upaya Pengembangan Komponen-komponen Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah 69 C. Analisis Pengembangan kurikulum Keagamaan/Kajian Islam

Pesantren al-Hamidiyah 91

1. Landasan Filosofi, Psikologi, Sosiologi, dan Perkembangan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 91

2. Prinsip Feksibelitas, Relevansi, dan Kontinuitas 93 3. Komponen-komponen Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam

Pesantren al-Hamidiyah 94

4. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian

Islam Pesantren al-Hamidiyah 98

5. Model Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam

al-Pesantren Hamidiyah 99

BAB V : PENUTUP 102

A. Kesimpulan 102

B. Saran-saran 102

DAFTAR PUSTAKA 103


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kitab Tata Bahasa Arab, Tajwid, dan Logika 40

Tabel 2.2 Kitab Fiqh dan Usul Fiqh 41

Tabel 2.3 Kitab Aqidah (Usulluddin dan Tauhid) 42

Tabel 2.4 Kitab Tafsir al-Qur‟an 42

Tabel 2.5 Kitab Hadits dan Ilmu Hadits 43

Tabel 2.6 Kitab Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf 43 Tabel 2. 7 Kitab Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk

Nabi SAW 44 Tabel 4.1 Perkembangan Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah dari Periode ke

Periode 63

Tabel 4.2 Daftar Perkembangan Santri MTs/MA Putra dan Putri Pesantren

al-Hamidiyah (2000-2014) 66

Tabel 4.3 Daftar Perkembangan Jumlah Santri MTs/MA Putra dan Putri

Pesantren al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2014-2016 68 Tabel 4.4 Jadwal Kegiatan Santri Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun

Pembelajaran 2016/2017 73

Tabel 4.5 Struktur Program Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah 76 Tabel 4.6 Distribusi Jam Pelajaran Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah

Tahun Pembelajaran 2016/2017 77

Tabel 4.7 Rencana Pembelajaran Kitab Salaf Kajian Islam Pesantren

al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017 79 Tabel 4.8 Target Pencapaian Pembelajaran al-Qur‟an, Tilawah dan Tahfidz

Tahun Pelajaran 2016/2017 80

Tabel 4.9 Target Pencapaian Bahasa Arab Tahun 2016/2017 81

Tabel 4.10 Silabus Kajian Islam 81

Tabel 4.11 Silabus Kajian Islam 83


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

Gambar 2.1 Visualisasi Pendidikan dan Pengajaran 22

Bagan 2.1 Komponen Sistem Agama (Relegi) 23

Bagan 2.2 Model Pengembangan Kurikulum (Pawlas dan Oliva) 27 Bagan 2.3 Model Pengembangan Kurikulum Oliva 28 Bagan 2.4 Prosedur Pengembangan Kurikulum Model Taba 47 Bagan 2.5 Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp 48 Bagan 2.6 Skema Kerangka Berpikir 52 Gambar 4.1 Dokumentasi Pelatihan Internet Pesantren al-Hamidiyah 88 Gambar 4.2 Dokumentasi Syuting Live di Stasiun TV 89


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur Organisasi Yayasan Islam al-Hamidiyah Periode 2015-

2020 107

Lampiran 2 Struktur Organisasi Yayasan dan Pesantren al-Hamidiyah Tahun

2016/2017 108

Lampiran 3 Daftar Guru Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun

2016/2017 109

Lampiran 4 Daftar Guru dan Karyawan MTs al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 113 Lampiran 5 Daftar Guru dan Karyawan MA al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 115

Lampiran 6 Daftar Prestasi Santri 117

Lampiran 7 Data Lulusan Santri MA al-Hamidiyah Tahun 2015 119

Lampiran 8 Pedoman Wawancara 121

Lampiran 9 Pedoman Observasi 122

Lampiran 10 Dokumentasi Pelaksanaan Pembelajaran dan Kegiatan Santri


(17)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Pengkajian mengenai pendidikan, terutama yang terkait dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan dari persoalan kurikulum. Kurikulum merupakan salah satu faktor terpenting dalam pelaksanaan pendidikan. Setiap lembaga pendidikan baik yang dikelola oleh pemerintah, swasta ataupun masyarakat, membutuhkan kurikulum untuk dapat merumuskan nilai-nilai yang akan ditanamkan pada peserta didik.

Kurikulum menjadi ukuran tersendiri dari keberhasilan proses pengajaran. Kurikulum juga merupakan acuan yang digunakan oleh sebuah lembaga pendidikan dalam menjalankan proses pembelajaran. Dalam dokumen kurikulum 2013, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2012: 2) pembahasan umum mengenai pengertian dan substansi kurikulum secara konseptual, menyebutkan bahwa:

“Kurikulum merupakan suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis, kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.”

Kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 4), yaitu semua aspek yang terkait dengan pendidikan seperti metode belajar dan sasaran-sasaran pembelajaran. Sementara itu, Hidayat (2013: 20) menelusuri lebih jauh pengertian kurikulum, menurutnya kurikulum memiliki beberapa arti, yaitu: (1) sebagai rencana pembelajaran, (2) sebagai rencana belajar murid, (3) sebagai pengalaman belajar yang diperoleh murid dari sekolah atau madrasah.

Secara lebih luas lagi menurut Arifin (2013: 5) kurikulum adalah semua kegiatan dan pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan

hidden curriculum (kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang

aman, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut mendukung keberhasilan pendidikan. Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (2009: 10) bependapat bahwa:“curriculum is all the experiences children have under the guidance of teachers”.

Kurikulum sangat dibutuhkan oleh semua lembaga pendidikan termasuk pesantren. Sudah seharusnya pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki kurikulum agar pelaksanaan pembelajaran lebih terarah. Berbagai laporan penelitian oleh para sarjana Islam mengenai pesantren, menandai bahwa pesantren merupakan hal yang masih cukup menarik untuk diperbicangkan. Menurut hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2008: 101) pembaharuan pendidikan Pesantren Lirboyo Kediri ditandai dengan dibuatnya Yayasan Pendidikan Islam HM. Tribakti al-Mahrusiyah dan Pesantren Salafi Terpadu ar-Risalah sebagai unit (cabang) yang meyelenggarakan lembaga pendidikan di luar unit pondok induk, selain pempertahankan sistem pendidikan tradisional atau


(18)

pesantren salafiyah dengan melaksanakan pendidikan diniyah juga membuka sistem pendidikan umum di bawah pengawasan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, dengan membuka jenis pendidikan Taman Kanak-kanak, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi dibawah naungan Yayasan Pendidikan Islam HM. Tribakti (YPIT) dan jenis Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas dibawah naungan Pesantren Salafi Terpadu ar-Risalah. Sama halnya, dengan laporan Damopoli (2011: 311) fungsi pesantren dan implikasi pembaruan pendidikan Pesantren Modern IMMIM terhadap masyarakat salah satunya adalah menyelenggarakan pendidikan formal kesekolahan (SLTP/SMU) sebagai pembaruan pendidikan pesantren, juga tetap mempertahankan pendidikan kepesantrenan dengan menjalankan kurikulum pendidikannya 100 % umum dan 100 % agama.

Lain halnya, dengan Pesantren Darul Fallah sebagaimana berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malik MTT (2008: 49) ia meyebutkan dalam tulisannya bahwa Pesantren Darul Fallah menerapkan suatu sistem pendidikan terpadu dari berbagai sisi, seperti keterpaduan antara; (1) pendidikan agama dengan teknologi/keterampilan agrobisnis, (2) pendidikan formal dengan non formal pesantren serta informal komunitas pesantren, (3) pendidikan intelektual (teori) dengan praktek penerapan usaha dan kewirausahaan, (4) pendidikan pencapaian prestasi individual dengan semangat pelayanan pada masyarakat du‟afa wal masâkin.

Model pendidikan yang ditawarkan oleh masing-masing pesantren di atas merupakan upaya pengelola pesantren agar memiliki daya minat masyarakat yang kian berpikiran modern dan membutuhkan suatu lembaga pendidikan modern yang memberikan pendidikan-pendidikan yang dapat menjadi bekal bagi kehidupan dunia dan akhiratnya.

Laporan tersebut di atas menandakan bahwa pesantren terus berinovasi dengan mengembangkan kurikulum pendidikannya menyesuaikan diri dengan perkembangan kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah dan mencoba terus mengikuti dan memenuhi perkembagan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dalam memilih lembaga pendidikan. Oleh karena itu pesantren masih dijadikan arternatif pilihan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan Islam. Untuk itu pesantren dituntut agar lebih kreatif dan dapat berinovasi mengembangkan kurikulum pendidikannya yang memiliki daya tarik yang cukup baik dan dapat bersaing dengan jenis pendidikan lain.

Menurut Nata (2012: 297) masyarakat saat ini membutuhkan sebuah lembaga pendidikan yang menyediakan berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan dalam menggunakan teknologi yang canggih dan bahasa asing yang dibutuhkan untuk dapat memasuki lapangan pekerjaan dan merebut berbagai peluang yang tersedia. Hal ini pula yang dijadikan pertimbangan pesantren dalam mengembangkan kurikulumnya, yaitu selain memberikan materi-materi keagamaan, pesantren juga berupaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut dengan memberikan materi tambahan berupa berbagai keterampilan, pemanfaatan perkembangan teknologi dan memperdalam bahasa asing.

Berbagai bentuk dan model yang ditawarkan pada suatu lembaga pendidikan termasuk jenis pesantren, sudah semestinya menempatkan kurikulum sebagai landasan penting bagi keberlangsungan proses belajar mengajar walaupun dalam aplikasi di tingkat institusi berbeda-beda karena disesuaikan dengan kondisi riil suatu lembaga. Meskipun pesantren selama ini dikenal konservatif dan identik dengan wilayah Islam tradisional, pada dasarnya pesantren tetap membuka diri bagi perubahan. Dari segi historis menurut pandangan Madjid (1997: 3) pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab,


(19)

lembaga yang serupa dengan model pendidikan pesantren sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam sebagai pelopor pendidikan di Indonesia.

Pesantren sebagai produk asli masyarakat Indonesia sudah selayaknya pesantren hingga kini masih diminati oleh masyarakat Indonesia. Namun, pesantren perlu menyesuaikan diri dengan kemajuan kebutuhan masyarakat dengan melakukan langkah-langkah yang tepat seperti mengembangkan kurikulum keagamaannya yang sesuai dengan perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia, agar kurikulum keagamaan yang berada pada pendidikan kepesantren dapat berjalan lebih maju dan profesional sebagaimana perkembangan kurikulum pendidikan pada sekolah/madrasah di Indonesia.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim khususnya yang berkecimpung di dunia pesantren. Karena kelahiran Undang-undang ini masih sangat belia dan belum sebanding dengan usia keberadaan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat dilihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-undang Sisdiknas sebagai berikut; dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Bahkan pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang berperan membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta berakhlak mulia.

Pesantren telah sejak lama melaksanakan objek kajian berorientasi keagamaan namun tetap dalam kerangka kurikulum nasional. Dengan kata lain, secara tidak langsung fungsi kurikulum sudah diterapkan oleh kalangan pesantren secara konsisten sebagai syarat tercapainya tujuan pendidikan nasional, meskipun dalam konteks yang lebih sederhana. Sebagai lembaga pendidikan pesantren terkenal dengan kemandirian dalam mengelola sistem pembelajaran, inilah yang terkadang diartikan sebagai eksklusif, anti sosial, dan semacamnya. Dalam kesederhanaannya, kenyataan menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan sepanjang hayat (life long integrated education) di sebagian besar pesantren telah berjalan dengan sangat baik dan konsisten. Selain itu, peran pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah selain sebagai sarana pembentukan karakter dan pencetak kader-kader calon ulama, pesantren merupakan bagian dari khazanah pendidikan Islam Indonesia yang setia berada dalam barisan “apa adanya”.

Menurut Madjid (1997 : 7) sebagai lembaga pendidikan dengan kurikulum yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (agama Islam), pesantren dianggap kurang memberikan arah yang prospektif bagi masa depan dibandingkan dengan lembaga-lembaga formal sekolah dan perguruan tinggi. Di sisi lain, juga dianggap kurang dapat mengimbangi tuntutan zaman. Karena kurangnya dalam mengimbangi tuntutan zaman, beserta faktor-faktor lain yang beragam, pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur” dalam mewarnai kehidupan modern.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Qomar (2005: 113), yakni isi kurikulum keagamaan pesantren dianggap kurang melakukan


(20)

pengembangan-pengembangan yang di sesuaikan dengan tuntutan zaman seperti pada kajian bahasa Arab yang sangat populer diajarkan di setiap pesantren. Bahasa Arab adalah sebagai alat dalam memahami ajaran Islam terutama yang terurai dalam al-Qur‟an, Hadits, dan kitab-kitab Islam klasik, dianggap terlalu berlebihan pada aspek kognitif, sedangkan pada aspek afektif dan psikomotorik kurang terjelajahi secara proposional. Pesantren harus memperhatikan dan menghadapi situasi yang berkembang sekarang. Oleh karena itu, perlu trobosan-trobosan yang tepat dan sesuai, seperti kemampuan multibahasa sebagai alat utama pengembangan pemikiran. Maka para santri selain memiliki akar tradisi (kitab kuning dan pemikiran klasik), juga terlibat aktif dan kritis dalam wacana modernitas (Kitab putih).

Guna membenahi kekurangan-kekurangan tersebut banyak para tokoh dari kalangan pesantren mulai mengembangkan visi-misi dan kurikulumnya. Pesantren mulai melakukan akomodasi dan penyesuaian seperti adanya sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal. Bahkan pesantren juga mulai melakukan pengembangan kurikulum dengan memasukkan pelajaran umum seperti pelajaran bahasa Inggris, sains teknologi, keterampilan, dan ilmu-ilmu lain serta pelajaran ekstra seperti olah raga, seni dan lain-lain. Langkah lain yang ditempuh pesantren berdasarkan gagasan kemandirian adalah memperkenalkan beberapa pelatihan keterampilan (vocational) dalam sistem pendidikannya. Sebagai contoh, Pesantren Tebu Ireng dan Rejoso sejak dekade 1950-an dan awal 1960-an telah mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan keterampilan bidang pertanian dan perdagangan. Begitu juga pesantren Gontor, Denanyar, Tambak Beras dan Tegalrejo telah mengembangkan koperasi (Madjid, 1997 : xviii).

Perjumpaan pesantren dengan kurikulum merupakan sebuah keharusan karena kedudukannya yang cukup sentral dalam dunia keilmuan. Menurut Azra (1998: 87) karena kedudukannya sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat. Dengan bekal tersebut pesantren mampu bertahan di tengah gelombang perubahan berbagai sisi kehidupan menyangkut ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dalam konteks keilmuan, Azra (1998: 89) berpendapat paling tidak pesantren memiliki tiga fungsi pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of

Islamic knowledge); kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition);

ketiga, pembinaan calon-calon ulama (reproduction of ulama). Dilihat dari tanggungjawab

pesantren yang cukup besar terhadap tiga hal di atas maka agaknya pembaharuan terhadap kurikulum khususnya aspek pembelajaran merupakan kebutuhan mendesak.

Namun, sejauh ini masih jarang dari kalangan pesantren yang memperhatikan secara serius dalam kurikulumnya mengenai langkah pengenalan keluar secara lebih luas terhadap keilmuan yang diajarkan. Padahal segala potensi yang ada khususnya di bidang transmisi keilmuan klasik, jika tidak dikembangkan dan didukung dengan improvisasi metodologi hanyalah akan menghadirkan penumpukan keilmuan sebagaimana yang diungkapkan Malik Fajar seperti dikutip Madjid (1997 : 114), sehingga akhirnya karena kurangnya improvisasi metodologi tersebut materi keilmuan, ketrampilan yang didapatkan dari pesantren baik pesantren klasik maupun modern hanya menjadi teori-teori yang tidak dapat diaplikasikan secara praktis di dalam kehidupan sosial masyarakat, karena tidak responsif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.

Kurikulum harus senantiasa berkembang disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat merupakan input dari institusi pendidikan memerlukan proses dan output yang baik. Menurut Wahyudin (2014: 62) Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensip yang meliputi perencanaan,


(21)

penerapan, dan evaluasi karena pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan-perubahan dan kemajuan-kemajuan.

Pembahasan mengenai perubahan untuk pencapaian kemajuan dalam kaitannya dengan pendidikan Qomar (2010: 214) berpendapat bahwa, perubahan merupakan salah satu dari arah pembaruan. Perubahan dapat mengarah kepada kemajuan atau kemunduran. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola perubahan agar mengarah pada upaya dan orientasi penyempurnaan yang terkendali.

Perubahan dan perkembangan yang dirumuskan dalam ajaran Islam secara umum, memiliki landasan teologis normatif, yaitu yang terkandung dalam al-Qur‟an Surah al-Ra‟d (13): 11 dan al-Qur‟an Surah al-Anfâl (8): 53, kedua ayat tersebut mengandung pengertian bahwa suatu kaum harus merubah dirinya sendiri, jika menginginkan suatu perubahan pada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah Maha berkehendak atas segala sesuatu, maka sebagai makhluk ciptaan-Nya hendaklah kita selalu memohon perlindungan hanya kepada-Nya. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sudah semestinya melakukan perubahan dan pengembangan pada kurikulum keagamaannya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah sejak lama diakui sebagai lembaga induk yang berperan menciptakan usaha dalam memodernisasikan masyarakat dalam ruang lingkup yang sederhana. Keberadaan pesantren dari awal keberadaannya, hingga kini merupakan salah satu alternatif lembaga pendidikan Islam yang dipilih masyarakat Muslim. Pesantren terus berkembang, baik dari segi fisik maupun sistem kurikulum pendidikannnya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan pesantren tetap menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat Muslim yang ingin mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam.

Pesantren sejak awal keberadaannya, hingga kini telah menunjukkan perkembangannya terutama pada kurikulum yang diterapkan, baik pada pesantren yang menerapkan sistem tradisional (salafiyah), modern dan pesantren kombinasi yang memadukan sistem pendidikan tradisional dan modern tersebut. Fenomena hadirnya pesantren dengan sistem pendidikan kombinasi tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan pesantren agar dapat memenuhi kebutuhan dan minat masyarakat yakni masyarakat yang tidak hanya memiliki bekal pada kesalehan akhirat saja namun, juga dapat memenuhi kebutuhan duniawi. Fenomena keberadaan pesantren dengan sistem pendidikan kombinasi tersebut merupakan suatu bentuk perkembangan pesantren yang ditunjang dengan pengakuan yang diberikan pemerintah, yakni berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, yakni terdapat pada Pasal 14 ayat (3) “Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal” dan Pasal 26 ayat (2) “Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi”.

Upaya pengembangan kurikulum, terutama pada pendidikan keagamaan dapat dilakukan dengan terus mempertahankan ciri khas utama pesantren yakni pendalaman pada kajian yang bersumber pada al-Qur‟an, Hadits dan kajian-kajian keislaman karya-karya ulama klasik (kitab kuning) dengan mengembangkan komponen-komponen kurikulum, seperti tujuan, materi dan metode kurikulum dan ditambah dengan keterampilan yang menunjang nilai-nilai keagamaan, seperti konsep yang ditawarkan Qomar (2014: 42-43), yaitu: (1) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan


(22)

mendakwahkan Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman baik dalam sekala lokal, nasional, maupun internasional; (2) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan meneliti (menggali, menemukan, dan mengembangkan khazanah keislaman); (3) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki keterampilan kewirausahaan, seperti usaha memasarkan hasil karya keterampilan kaligrafi Islam; (4) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki konsentrasi keahlian.

Pesantren al-Hamidiyah adalah salah satu lembaga pendidikan swasta yang beralamat di Jl. Raya Depok Sawangan KM. 2 No. 12 Kec. Rangkapan Jaya Kel. Pancoran Mas Kota Depok. Pesantren al-Hamidiyah termasuk pesantren yang terus mengembangkan kurikulumnya. Pesantren yang didirikan oleh seorang ulama kharismatik yakni KH. Achmad Sjaichu pada 17 Juli 1988, lembaga ini pada awal berdirinya adalah pesantren dengan jenis pendidikan formal berbentuk Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, dan kini telah memiliki unit satuan pendidikan yang berkembang dengan pesat antara lain; Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak Islam (TK), Taman Pendidikan al-Qur‟an (TPQ), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) berwawasan Internasional, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Keberadaan unit-unit tersebut tetap mengedepankan ajaran dan nilai-nilai yang bercirikhas keagamaan. (Profil Pesantren al-Hamidiyah)

Pesantren al-Hamidiyah mengembangkan kurikulum pesantren salafiyah dengan memadukan kurikulum pesantren salafiyah dan pendidikan modern yang lazim dikenal dengan sistem salafiyah asriyah. Kurikulum yang digunakan oleh unit-unit pendidikan Pesantren al-Hamidiyah menggunakan kurikulum Kementrian Agama RI, Kementrian Pendidikan Nasional, dan kurikulum kepesantrenan/keagamaan yang biasa disebut Kajian Islam, adapun kitab kuning yang digunakan, seperti Bulugh al-Maram, Ta‟lim Muta‟alim,

Fath al-Qarib, Imritî dan Amtsilah al-Tasrifiyah. (Profil Pesantren al-Hamidiyah)

Secara geografis keberadaan Pesantren al-Hamidiyah berada di tengah perkotaan, disana terdapat beberapa lembaga pendidikan lain yang memiliki kualitas yang cukup baik dan diminati oleh masyarakat sekitar. Namun, hal tersebut tidak menjadikan keberadaannya tersingkir dari minat masyarakat. Pesantren al-Hamidiyah terus melakukan pengembagan kurikulum yang disesuaikan dengan minat masyarakat, yakni masyarakat yang membutuhkan pendidikan yang dapat dijadikan bekal untuk memenuhi tuntutan kehidupan duniawi dan akhiratnya kelak. Sebagai pesantren yang menerapkan pola pendidikan pesantren kombinasi, Pesantren al-Hamidiyah memberikan keilmuan agama dan non agama melalui sekolah/madrasah dan memberikan ilmu keagamaan tambahan melalui pendidikan kepesantren yang dilaksanakan di luar jam sekolah. Nampaknya, hal tersebutlah yang menjadikan Pesantren al-Hamidiyah tetap menjadi alternatif pendidikan yang diminati oleh masyarakat, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah kota Depok.

Pengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh Pesantren al-Hamidiyah adalah sebagai upaya peningkatan mutu pendidikannya terbukti dengan berbagai prestasi yang diperoleh para santrinya baik dalam bidang akademik dan non akademik, selain itu Pesantren al-Hamidiyah memiliki alumni yang tersebar di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia dan Universitas al-Azhar Kairo yang berada di luar Negeri. Dengan berdasarkan latar belakang tersebut penulis mencoba mengangkat tesis yang berjudul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)”.


(23)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas dalam latar belakang masalah di atas, maka beberapa masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pengembangan kurikulum keagamaan yang diterapkan di Pesantren al-Hamidiyah dalam meningkatkan mutu pendidikannya?

2. Bagaimana dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah? 3. Adakah upaya pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah yang

sesuai dengan konsep pengembangan kurikulum? 4. Bagaimana kualitas lulusan Pesantren al-Hamidiyah?

C.Batasan Masalah

Merujuk pada identifikasi masalah tersebut di atas, penelitian ini kiranya perlu penulis batasi, dengan demikian diharapkan menjadi jelas konteks apa saja yang akan menjadi inti permasalahan. Secara garis besar penelitian ini penulis batasi pada:

1. Langkah-langkah yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaannya.

2. Dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah. D.Rumusan Masalah

Berdasarkan dari beragam problematika yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini, khususnya pesantren, maka masalah yang akan dikupas pada penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok?”

Pertanyaan tersebut tentu tidak mewakili semua pembahasan yang disajikan. Namun, secara garis besar penelitian ini akan diarahkan pada satu titik, yakni mengupas secara komprehensif program-program yang ditempuh Pesantren al-Hamidiyah dalam menjaga irama sistem pendidikannya agar senantiasa dalam posisi yang tidak tertinggal. Selain beberapa hal yang telah diungkapkan di atas, tentunya dalam penelitian ini juga akan dibahas secara spesifik kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan yang diterapkan Pesantren al-Hamidiyah.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji aspek-aspek dalam perkembangan lembaga pendidikan Islam terutama menyangkut topik yang akan dibahas yaitu:

1. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaannya.

2. Untuk mengetahui dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah.

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritif substantif maupun manfaat secara praktis empirik.

1. Manfaat secara teoritif substantif, yaitu:

a. Memberikan masukan keilmuan dalam pengembangan dunia pendidikan pesantren. b. Menambah wacana baru seputar pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren


(24)

c. Memperkaya teori tentang pengembangan kurikulum keagamaan di lembaga pendidikan Islam.

2. Manfaat secara praktis empirik, yaitu:

a. Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Pendidikan Agama Islam b. Sebagai sumbangan informasi mengenai perkembangan praktis kurikulum

keagamaan di pesantren dan lembaga pendidikan Islam.

c. Sebagai masukan dan pertimbangan kepada pesantren dan lembaga pendidikan Islam terkait dengan pengembangan kurikulum.


(25)

BAB II

KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN A.Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, telah sejak lama diakui sebagai lembaga induk yang berperan menciptakan usaha dalam memodernisasikan masyarakat dalam ruang lingkup yang sederhana. Keberadaan pesantren dari awal keberadaannya, hingga kini merupakan salah satu alternatif lembaga pendidikan Islam yang dipilih masyarakat Muslim. Pesantren terus berkembang, baik dari segi fisik maupun sistem kurikulum pendidikannnya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan pesantren tetap menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat Muslim yang ingin mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam.

Menurut Tafsir (2013: 290) pesantren merupakan komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia yang religious. Lembaga tersebut telah banyak melahirkan pemimpin bangsa di masa lalu, kini, dan agaknya di masa datang. Lulusan pesantren banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembagunan bangsa.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan dapat menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, non formal, dan informal dengan jenjang pendidikan yang terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Pesantren juga termasuk pada jenis pendidikan keagamaan. Hal tersebut berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, yakni terdapat pada Pasal 14 ayat (3) “Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal” dan Pasal 26 ayat (2) “Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi”, juga diperkuat dengan ketentuan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 30 ayat (4), yang berbunyi: Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

1. Sejarah Pesantren di Indonesia

Sebelum membahas lebih lanjut sejarah perkembangan pesantren, terlebih dahulu perlu suatu penjelasan yang dapat dipahami mengenai pengertian dari pesantren. Pesantren memiliki berbagai macam pengertian, menurut Dhofier (2011: 41) pesantren berasal dari kata “santri” yang diberi awalan pe- di depan dan akhiran -an, yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan C.C. Berg sebagaimana di kutip Dhofier, berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Dari pengertian ini, istilah shastri jika dikaitkan dengan santri dalam makna pendidikan Islam, yakni orang yang mempelajari dan memperdalam ajaran agama Islam kemudian mengajarkannya kepada masyarakat, dari sini dapat dipahami bahwa pesantren merupakan tempat santri dalam proses mempelajari dan mendalami ajaran agama Islam tersebut.

Istilah pesantren yang mengadopsi istilah-istilah yang digunakan oleh masyarakat Hindu di atas, terkadang menimbulkan pertanyaan, yaitu mengapa istilah yang digunakan tidak mengadopsi istilah-istilah ajaran Islam. Penggunaan istilah pesantren tersebut bila


(26)

dikaitkan dengan sejarah asal mula menyebarkan ajaran Islam di Indonesia sebagaimana disebutkan oleh Yunus (1995: 220) salah satu faktor keberhasilan penyebaran Islam di Indonesia adalah menggunakan metode yang digunakan oleh Rasullullah SAW, yaitu dengan cara mudah, tidak sempit, dan disampaikan secara beranggsur-angsur. Pernyataan Yunus tersebut menunjukkan bahwa penggunaan istilah pesantren yang biasa digunakan oleh masyarakat Hindu, merupakan metode yang digunakan oleh para ulama yang menyebarkan Islam di Indonesia yakni menyesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia sebelum masuknya Islam yang sebagian besar menganut agama Hindu.

Pada zaman Sultan Agung (1613), kebudayaan lama Indonesia asli dan Hindu disesuaikan dengan agama dan kebudayaan Islam, seperti Gerebeg Poso” dan “Gamelan

Sekatan” dalam memperingati hari raya Idul Fitri dan perayaan memperingati Maulid

Nabi Muhammad SAW. (Yunus: 1995: 221)

Secara lebih tegas Madjid (1997: 20) membedah asal mula kata “santri” dan juga kiai karena kedua unsur ini senantiasa menyatu ketika berbicara mengenai pesantren. Cak Nur berpendapat bahwa kata “santri” berasal dari “sastri” (bahasa Sansekerta) yang berarti

melek huruf, sehingga dikonotasikan bahwa santri merupakan kelas literary, yaitu bagian dari komunitas yang memiliki pengetahuan agama yang dibaca dari kitab-kitab berbahasa Arab dan selanjutnya diasumsikan paling tidak santri mampu membaca al-Qur‟an. Kemudian istilah santri juga diyakini berasal dari bahasa Jawa, “cantrik” yang berarti

orang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun sang guru pergi dan menetap, dengan tujuan dapat belajar suatu keahlian. “Cantrik” juga terkadang diartikan sebagai orang yang menumpang hidup atau ngenger. Pandangan Cak Nur tersebut, mengandung pengertian bahwa pesantren merupakan tempat belajar santri yang didalamnya ada figur kiai sebagai seorang guru yang membimbing dan mengajarkan ilmu dan nilai-nilai keagaman Islam.

Istilah lain yang selalu berpasangan dengan pesantren adalah pondok. Istilah “pondok pesantren” menjadi sangat dikenal masyarakat. Kata “pondok”, sebelum tahun 1960-an lebih dikenal dari pada pesantren. Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau berasal dari kata bahasa Arab “funduq”, yang artinya hotel atau asrama. (Dhofier, 2011: 41) Dari pengertian dua istilah tersebut, baik pesantren maupun pondok, sama-sama mengandung pengertian sebagai tempat tinggal santri, sehingga pemakaian istilah tersebut secara bersamaan merupakan penguatan makna saja. Akan tetapi, menggunakan salah satu saja sudah dianggap cukup memadai untuk mendeskripsikan lembaga pendidikan Islam pesantren.

Istilah Pesantren atau pondok pesantren menurut Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 pasal 1 ayat (4) “Pesantren atau Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya”. Peraturan pemerintah tersebut dijadikan landasan bagi pesantren-pesantren saat ini, banyak pesantren yang terus berupaya bertahan dan mengembangkan pendidikannya dengan mengkombinasikan antara pendidikan kepesantrenan dengan jenis pendidikan lain seperti sekolah/madrasah.

Menurut Dhofier (2011: 79) harus ada lima elemen sekurang-kurangnya untuk dapat disebut pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai. Teori Dhofier tersebut ini dapat dijadikan rujukan untuk mengidentifikasi sebuah pesantren, setidaknya pesantren harus memiliki lima elemen, jika elemen tersebut tidak ada salah satunya, maka menjadi salah satu hambatan untuk kemajuan pesantren tersebut. Adapun elemen-elemen dasar pesantren adalah:


(27)

(1) Pondok atau asrama: sebagai tempat tinggal para santri. Dengan adanya pondok para santri menjadi tinggal teratur berada dalam satu lingkungan.

(2) Masjid: sebagai tempat menjalankan aktifitas ibadah harian dan biasanya pengajaran juga dilakukan di dalam masjid. Biasanya bagi pesantren dalam periode rintisan yang belum memiliki masjid, melakukan kegiatan ibadah di ruang-ruangan yang berada dilingkungan sekitar pesantren. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan bagi pesantren dalam melakukan aktivitas ibadah dan pendidikannya.

(3) Kiai: sebagai tokoh kunci dalam lingkungan pesantren, seorang kiai hendaklah betul-betul menguasai keilmuannya karena seorang kiai dituntut untuk mengajar dan memimpin berbagai kegiatan ibadah keagamaan para santri, selain itu figur kiai sama seperti figur ayah dalam keluarga yakni sebagai pendidik dalam menanamkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Seorang kiai dalam pesantren menentukan keberhasilan santri dikehidupannya kelak. Kiai juga biasanya dibantu oleh guru/ustadz baik yang menetap didalam lingkungan pesantren atau tidak. (4) Santri: sebagai pelaku dari pembelajaran, keberadaan santri sangat dibutuhkan sekali

karena santrilah adanya pesantren.Untuk itu diperlukan manajemen rekrutmen santri, yakni untuk merekrut masyarakat agar tertarik pada pendidikan pesantren. Karena pada beberapa kasus terdapat pesantren yang gulung tikar disebabkan tidak memiliki santri terutama yang menetap.

(5) Pengajaran Kitab-kitab kuning: merupakan salah satu alat dan sarana pendidikan dan ciri khas dari pesantren, pada beberapa pesantren seperti pesantren modern tidak memakai kitab kuning namun menggantinya dengan buku-buku karangan intelektual Islam.

Berbagai pengertian mengenai pesantren tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai tempat yang digunakan para penuntut ilmu yang biasa disebut sebagai santri, untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan yang berasal dari al-Qur‟an dan Hadits kemudian ditambah kitab-kitab ulama klasik (kitab kuning) yang merupakan ciri khas pesantren sebagai rujukan dalam proses pembelajaran. Sistem asrama yang dipandu langsung oleh kiai beserta para guru-guru dalam waktu 24 jam di dalamnya menjadikan kelebihan tersendiri bagi pesantren, yakni memungkinkan terbentuknya karakter santri yang mandiri dan dapat bersosialisasi langsung terhadap lingkungannya.

Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar tradisi sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikannya dapat dilacak meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman. Di kalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Menurut beberapa sumber, sebagian menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal sebagai Syaikh Maghribi, dari Gujarat, India, sebagai pendiri pencipta pondok pesantren yang pertama kali di Jawa. Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang Kuning Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly menginformasikan bahwa di samping Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai pendiri pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat, beribadah secara istiqamah untuk bertaqarrub kepada Allah. (Qomar, 2005: 8)

Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya, Qomar (2005: 9) mengutip beberapa catatan ahli sejarah, bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah sebagai peletak dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Imam


(28)

Rahmatullah (Raden Rahmat/Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur. Adapun Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), terdapat dua kemungkinan yang tercatat oleh ahli sejarah, yakni pendapat pertama, mendirikan pesantren sesudah Sunan Ampel, sedangkan pendapat kedua, menyatakan kemungkinan Sunan Gunung Jati sebagai pendiri pesantren pertama, tetapi khusus di wilayah Cirebon atau secara umum Jawa Barat.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli sejarah mengenai siapa tokoh pertama sebagai pendiri pesantren di tanah nusantara ini, hal yang terpenting adalah keberadaan pesantren di Indonesia seiring dengan awal masuknya ajaran Islam di bumi nusantara ini. Para ulama yang terkenal dengan “Wali Songo” tersebutlah merupakan perwakilan para tokoh-tokoh terpenting dari perkembagan awal ajaran Islam dan pesantren merupakan tempat yang dijadikan pusat pendidikan dan kegiatan dakwah Islam.

Pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai pioneer dan bahkan secara

geneologis merupakan “cikal bakal” bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia,

menurut Dhofier (2011: 63) indikatornya adalah dari keterangan-keterangan yang terdapat dalam Serat Cebolek dan Serat Centhini dapat disimpulkan bahwa paling tidak sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren-pesantren yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam, Mulyadi (dalam Nizar, 2013: 90) juga menambahkan bahwa saat itu juga telah banyak dijumpai pesantren yang besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqh, teologi dan tasawuf.

Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah, justru misi yang kedua ini lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah tersebut tepat sasaran sehingga terjadi benturan antara nlai-nilai yang dibawanya dan nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat. Lazimnya, baik pesantren yang berdiri pada awal pertumbuhannya maupun pada abad ke-19 dan ke-20 masih juga menghadapi kerawanan-kerawanan sosial dan keagamaan pada awal perjuangannya. (Qomar, 2005: 11)

Selanjutnya, pesantren ikut berperan dalam melawan penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Kemudian pada masa kemerdekaan pesantren mengalami nuansa baru, rakyat menyambut munculnya era pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat penjajahan, sedangkan pemerintah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Perkembagannya lembaga pendidikan milik pemerintah, justru menjadi ancaman bagi pesantren. Namun, pada perkembagan selanjutnya pesantren tetap masih bertahan hidup dan berkembang dengan baik hingga sekarang. (Qomar, 2005: 12-14)

Lembaga pendidikan pesantren berkembang terus dari segi jumlah, sistem, dan materi yang diajarkan. Bahkan pada tahun 1910 beberapa pesantren seperti pesantren Denanyar (Jombang), mulai membuka pondok khusus untuk santri-santri wanita. Kemudian pada tahun 1920-an pesantren-pesantren di Jawa Timur, seperti pesantren Tebuireng (Jombang), Pesantren Singosari (Malang), mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah. (Dhofier, 2011: 72)

Sebagaimana kita ketahui bersama, pendidikan pesantren kian berkembang sesuai dengan perkembangan jiwa dan kepribadian masyarakat Indonesia, karenanya perkembangan dan kemajuan pesantren merupakan cita-cita ideal semua elemen masyarakat (Muslim). Setidaknya, konsep tentang manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sekaligus menerapkan keimanan dan ketakwaan (IMTAK) dapat muncul dari institusi pesantren.


(29)

Sejak berdirinya pada abad yang sama dengan masuknya Islam hingga sekarang, pesantren telah berperan aktif dalam masyarakat luas. Pesantren telah berpengalaman menghadapi berbagai corak masyarakat dalam rentang waktu itu. Pesantren tumbuh atas dukungan mereka, bahkan menurut Rahim (2001: 152), pesantren berdiri didorong permintaan (demand) dan kebutuhan (need) masyarakat. Sehingga pesantren memiliki fungsi yang jelas.

Fungsi pesantren sejak awal keberadaannya sampai sekarang telah mengalami perkembangan. Visi, posisi, dan persepsinya terhadap dunia luar telah berubah. Qomar (2005: 22) mengutip berbagai catatan peneliti dari beberapa fungsi sekaligus peran pesantren sesuai dengan perkembagannya, yaitu:

(1) Pesantren sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Kedua fungsi ini bergerak saling menunjang. Pendidikan agama dapat dijadikan bekal dalam menyebarkan dakwah Islam, sedangkan dakwah dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan.

(2) Pesantren sebagai pencetak calon ulama dan mubaligh yang militan dalam menyiarkan agama Islam.

(3) Pesantren sebagai fungsi religious (diniyyah), fungsi sosial (ijtima‟iyyah), dan fungsi

edukasi (tarbawiyyah).

(4) Pesantren sebagai lembaga pembinaan moral dan kultur.

(5) Pencetak kader bangsa yang benar-benar patriotik; kader yang rela mati demi memperjuangkan bangsa, sanggup mengorbankan seluruh waktu, harta, bahkan jiwanya.

(6) Pesantren sebagai pusat penyuluhan kesehatan.

(7) Pesantren sebagai pusat pengembagan teknologi bagi masyarakat pedesaan. (8) Pesantren sebagai pusat usaha-usaha penyelamatan.

(9) Pesantren sebagai memberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.

Berbagai fungsi dan peran pesantren di atas merupakan sebuah bukti pesantren telah terlibat dalam menegakkan Negara dan mengisi pembangunan sebagai pusat perhatian pemerintah. Begitu besarnya fungsi dan peran pesantren bagi perkembangan Indonesia, selain sebagai pusat pendidikan dan dakwah Islam dan pusat reproduksi ulama, pesantren dalam masalah-masalah tertentu berperan sebagai kepanjagan tangan pemerintah dalam mengsukseskan program-program pembangunan.

Selanjutnya, tujuan dari pesantren sebagaimana terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 Pasal 26 ayat (1) adalah menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.

Menurut Qomar (2005: 7) pesantren bertujuan membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan Negara. Dhofier, (2011: 186) mengambil contoh dari tujuan pendidikan Pesantren Tebuireng yakni dalam 30 tahun pertama adalah untuk mendidik calon ulama. Sekarang ini, tujuannya sudah diperluas yaitu untuk mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi “ulama intelektual” (ulama yang menguasai pengetahuan umum) dan “intelektual Ulama” (sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahuan Islam.


(30)

Istilah “ulama” sebenarnya berasal dari kata „alim dan merupakan bentuk jama‟ dari kata itu. Tetapi dalam pengertian umum sekarang, “ulama” sudah menjadi bentuk tunggal. Seorang alim adalah orang yang berilmu, tetapi kata “ulama”menunjuk kepada orang yang memiliki pengetahuan agama, terutama dibidang fiqih atau hukum agama, padahal ahli fiqh disebut sebagai faqih atau jamaknya fuqaha. Para ulama, menurut suatu Hadits Nabi SAW adalah pewaris para Nabi. (Rahardjo, 1999:185) Sedangkan Istilah “intelektual”, disamakan dengan golongan terpelajar, golongan intelektual digolongkan menjadi dua, yang pertama adalah golongan terpelajar yang sekolahan atau bukan (termasuk drop-outs), yang peranannya tidak harus berkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang dikuasai. Sedangkan golongan kedua adalah kaum terpelajar yang kepentingan utamanya adalah menggunakan disiplin ilmunya secara profesional, dan karena itu peran yang mereka jalankan berkaitan erat dengan ilmu yang mereka pelajari sekolah atau profesi yang mereka kuasai. (Rahardjo, 1999: 68)

Dengan pengertian ulama dan intelektual di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ulama adalah mereka yang menekuni keseluruhan ajaran-ajaran Islam, melakukan interprestasi dan mensistematiskannya, kemudian menyampaikannya kepada masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa ulama adalah mereka yang benar-benar menguasi ajaran-ajaran Islam kemudian menyampaikannya kepada orang lain, sedangkan mereka yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam, namun tidak menekuni dan menguasai secara keseluruhan ajaran-ajaran Islam tersebut, maka belum dapat dikatakan ulama dan dibutuhkan istilah lainnya. Kemudian istilah intelektual disini mengandung arti sebagai orang yang terpelajar baik menekuni ilmu agama atau non agama. Jadi, cukup jelas bahwa tujuan pesantren untuk mereproduksi ulama yang intelektual, yang memungkinkan dapat berperan menyesuaikan keberadaannya di era globalisasi ini.

Menurut Mastuhu sebagaimana dikutip oleh Tafsir (2013: 303), terdapat prinsip-prinsip yang berlaku pada pendidikan di pesantren. Prinsip-prinsip-prinsip tersebut menggambarkan ciri-ciri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain sebagai berikut: 1) Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam.

2) Memiliki kebebasan yang terpimpin. 3) Berkemampuan mengatur diri sendiri. 4) Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. 5) Menghormati orang tua dan guru. 6) Cinta kepada ilmu.

7) Mandiri.

8) Kesederhanaan.

Inti dari tujuan pembelajaran yang merupakan keunggulan utama di pesantren adalah menanaman keimanan. Metode menanaman keimanan terbentuk dari kondisi menyeluruh kehidupan budaya pesantren, pengaruh kiai baik dalam ritual peribadatan maupun dalam perilaku kesehariannya. (Tafsir, 2013: 305)

Dari tujuan pesantren yang diuraikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah untuk mendidik dan membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran Islam atau ilmu-ilmu keagamaan, dan kaderisasi ulama yang dilakukan adalah upaya agar mereka siap mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Kaderisasi ulama ini sudah semestinya dilakukan oleh pesantren, agar tujuan-tujuan pembelajaran pesantren dapat tercapai sebagaimana semestinya dan tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pemahaman ilmu keagamaan yang disebabkan karena kurangnya pendalaman dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan tersebut. Wacana kaderisasi ulama


(31)

intelektual, merupakan trobosan yang sangat baik selain para santri menguasai ilmu-ilmu keagamaan juga menguasai ilmu-ilmu bidang lain yang dapat menjadi modal bagi kehidupan duniawinya dan merupakan salah satu solusi dalam menghadapi perkembangan arus globalisasi. Namun, pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan akhlak mulia harus tetap dilakukan karena merupakan ciri khas dari pesantren itu sendiri.

2. Ragam Pesantren

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang awal keberadaannnya adalah hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri dan masyarakat, pesantren memiliki berbagai bentuk dan ciri khusus tergantung selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun geografis yang yang berada disekelilingnya. Keberagaman pesantren dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti dari rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan dan kemoderenan, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya.

Pertama, pesantren dilihat dari segi kurikulumnya terbagi menjadi tiga kelompok,

yaitu (a) pesantren modern; (b) pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/usul al-fiqh, ilmu tafsir/Hadits, ilmu tasawwuf/tariqah, dan qira‟at al-Qur‟an); dan (c) pesantren campuran. (Arifin dalam Qomar, 2005: 16) Pembagian ketiga jenis pesantren ini, nampaknya tidak perlu dipertentangkan secara gradual. Ketiganya nampak jelas perbedaan satu sama lainnya, pada pesantren modern memang dikelompokkan sebagai pesantren jenis baru karena pada sistem pendidikannya berbeda dengan pesantren tahassus yang pada praktek pelaksanaan pendidikannya masih menggunakan sistem tradisional atau klasik. Kedua jenis pesantren tersebut tentunya berbeda dengan pesantren campuran, yang menggabungkan atau mengkombinasikan sistem kurikulum pendidikan modern dan tradisional.

Kedua, pesantren dilihat dari segi kemajuan muatan kurikulumnya, yaitu: (a)

pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal sebagian dari al-Qur‟an; (b) pesantren sedang yang hanya berbagai kitab fiqh, aqidah tata bahasa Arab/nahwu saraf, dan terkadang amalan sufi; dan (c) pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah, tasawwuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya. (Qomar, 2005: 16) Pembagian kelompok pada jenis pesantren ini terasa masih kabur, karena kemajuan bukan hanya dilihat dari banyaknya mata pelajaran yang ditawarkan, namun dapat dilihat dari hasil atau alumninya. Pada pelaksanaan dibeberapa pesantren yang hanya lebih fokus dengan satu bidang ilmu malah lebih terlihat keahliannya pada ilmu tersebut, dibandingkan dengan pesantren yang lebih banyak menawarkan berbagai macam keilmuan namun tidak lebih fokus pada satu keahlian. Namun, tidak dipungkiri banyak juga pesantren yang menawarkan berbagai macam keilmuan melahirkan alumni yang berkompeten, tentunya dalam pelaksanaan kurikulum pendidikannya harus didukung oleh metode, visi, sarana prasarana, dan sistem yang baik dan sesuai.

Ketiga, pesantren dilihat dari segi jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu: (a)

pesantren kecil jumlah santri kurang dari 1.000 santri dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten; (b) pesantren menengah memiliki santri antara 1.000 sampai 2.000 santri dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten; (c) pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2.000 orang dan memiliki pengaruh keberbagai kabupaten dan propinsi. (Dhofier, 2011: 79) pengelompokkan jenis pesantren ini nampaknya tidak perlu diperdebatkan, jika memang dilihat dari jumlah santri yang ada, namun jika diukur dengan tingkat keberhasilan penggolongan pesantren kecil, menengah, dan besar perlu dikaji lagi, yakni tidak menjadi sebuah standar bahwa pesantren yang jumlah santrinya sedikit tetapi


(32)

digolongkan pesantren kecil, bisa jadi pesantren dengan jumlah santri sedikit menghasilkan alumni yang berkualitas pada bidang tertentu dan pengaruhnya bisa menjangkau masyarakat di berbagai daerah yang memang tertarik dan membutuhkan sistem pendidikan pesantren tersebut.

Keempat, pesantren dilihat dari segi usia santri, yaitu (a) pesantren khusus

anak-anak balita; (b) pesantren khusus orang tua; dan (c) pesantren mahasiswa. (Qomar, 2005: 18) pengelompokan jenis pesantren ini masih perlu dipertegas, yakni pada pesantren khusus orang tua, karena tidak ada pembagian batasan usia. Jika memang yang dimaksud orang tua di atas batas kelompok usia mahasiswa, maka perlu satu pengelompokan lagi dari pesantren berdasarkan tingkat usia ini, seperti pesantren khusus remaja yang berada pada standar usia sekolah.

Kelima, pesantren dilihat dari segi kecenderungan pada organisasi sosial

keagamaan, yaitu: (a) pesantren NU; (b) pesantren Muhammadiyah; (c) pesantren Persis; dan (d) pesantren netral. (Qomar, 2005: 18) Jenis pesantren ini biasanya tidak semua melabeli dirinya secara langsung, jenis organisasi sosial keagamaan yang dianut pada nama lembaganya. Namun, dapat terlihat pada implementasi pendidikannya.

Keenam, pesantren dilihat dari segi sistem yang dikembangkan, dikelompokkan

menjadi tiga macam, yaitu: (a) memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai, kurikulum tergantung dengan kiai, dan pengajaran secara individual; (b) memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan palajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat di asrama untuk mempelajari pengetahuan agama dan umum; dan (c) hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah/madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama, kiai sebagai pengawas dan pembina mental. (Qomar, 2005: 18) Ketiga kelompok ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu bagi pesantren yang santri dan kiai tinggal bersama serta kiai sejara langsung memberikan pembelajaran secara individu memiliki kelebihan yakni adanya kedekatan emosional antara keduanya serta kiai dapat langsung memantau perkembagan santri, hal tersebut tentunya akan berbeda dengan kiai yang tinggal terpisah dengan santri dan hanya sebagai pengawas dan pembina mental saja, namun jenis pesantren ini biasanya memiliki kelebihan dalam sistem manajemen yang lebih baik, dibandingkan dengan pesantren yang masih menggunakan sistem tradisional.

Ketujuh, pesantren dilihat berdasarkan elemennya, dibagi menjadi lima kelompok,

yaitu: (a) terdiri dari masjid dan rumah kiai; (b) terdiri dari masjid, rumah kiai, dan pndok (asrama); (c) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), dan pendidikan formal; (d) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), pendidikan formal dan pendidikan keterampilan; dan (e) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), madrasah, dan dilengkapi bangunan-bangunan fisik lainnya. (Qomar, 2005: 18) Pengelompokkan jenis pesantren ini memang perlu diperhatikan oleh pesantren dalam menghadapi perkembangannya, karena elemen-elemen dasar tersebut memang yang sangat penting untuk perkambangan pesantren.

Kedelapan, pesantren dikelompokkan berdasarkan unsur kelembagaan, yaitu: (a)

pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun sekolah umum; (b) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; (c) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; (d) pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta‟lim); dan (e) pesantren untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa. (Qomar, 2005: 18)


(33)

Pengelompokkan jenis pesantren ini, merupakan ciri khas tersendiri bagi masing-masing pesantren dan memiliki daya tarik sendiri berbagai kalangan masyarakat yang memiliki beragam kebutuhan akan jenis pendidikan pesantren. Namun, disini pesantren harus lebih jeli memperhatikan perkembagan dan kebutuhan masyarakat tersebut.

Kesembilan, pesantren dilihat dari segi keterbukaan terhadap perubahan terhadap

perubahan-perubahan yang terjadi, yaitu: (a) pesantren salafiyah yang mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya, penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan tanpa mengenalkan pengajaran umum; (b) pesantren

khalafi memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrsasah-madrasah yang

dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren. (Dhofier, 2011: 76) Pesantren jenis ini, nampaknya yang paling popular dibandingkan pengelompokan pesantren-pesantren lainnya. Terlepas dengan adanya kerancuan dalam praktik tentang pemahaman pesantren salafiyah dan khalafiyah, untuk sementara istilah itu masih digunakan untuk memudahkan pemahaman terutama ditinjau dari perspektif jaringan dan perubahan sosial.

Variasi dan keberagaman pesantren merupakan ciri khas dari masing-masing pesantren tersebut, naman pesantren juga perlu melihat dan mempertimbangkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan tentunya harus menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan masyarakat tersebut. Jika, tidak dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat, pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat dan memilih jenis pendidikan lainnya.

3. Pola Pendidikan di Pesantren

Pola Pendidikan di pesantren dapat diklasifikasikan berdasarkan kurikulum pendidikannya menjadi beberapa pola, diantaranya, yaitu:

Pesantren Pola I adalah pesantren yang materi pelajaran agama bersumber dari

kitab-kitab kuning dan metode yang digunakan adalah wetonan dan sorogan, dan

bandongan tidak memakai sistem klasikal, juga tanpa mengenalkan pengajaran

pengetahuan umum. Pesantren pola ini menurut Dhofier (2011: 76) adalah sebagai pesantren tipe lama (klasik), sedangkan menurut Rahim (2005: 76) pesantren pola ini disebut pesantren salafiyah. Pada pola ini juga terdapat beberapa pesantren yang hanya mengajarkan dan memperdalam satu bidang ilmu saja, Arifin (dalam Qomar, 2005: 18) menyebutnya sebagai pesantren tahassus, seperti Pesantren Krapyak dan Wonokromo misalnya, hanya mengkhususkan pendidikannya untuk pendalaman ilmu Qirâ‟at

al-Qur‟an, kemudian pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren Bendo Jampes yang mengutamakan pengajaran gramatika bahasa Arab. Menurut Yasmadi (2002: 70-71) dalam konteks keilmuan pesantren tradisional (salafiyah) merupakan salah satu jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya.

Pola pengajaran di pesantren tersebut menjadikan kelebihan tersendiri sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang mewarisi sistem pengajaran Islam, yang digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan klasik. Dengan sistem tradisional ini tidak sedikit melahirkan alumni-alumni pesantren yang berbengaruh dan meneruskan sang guru “kiai” dengan membuka pesantren baru. Hal ini menjadi siklus yang berkelanjutan dalam melestarikan pendidikan dan ajaran-ajaran Islam.

Keberadaan pesantren-pesantren tradisional atau komunitas Islam tradisi yang merakyat sangat dirasakan manfaatnya. Hal ini dapat dilihat dari perspektif perlindungan dari serangan budaya Barat yang secara ekstrem merobek gaya hidup generasi muda yang sederhana menjadi individu-individu hedonis. Dengan pola hidup pesantren yang sangat


(1)

Agribisnis

27 Mohammad Andi A. XII MAK UIN Jakarta Managemen Dakwah

28 Rendra Trinanda Putra XII MAK UIN Jakarta Hukum Tata Negara

29 Iqbal Zauqul Adib XII IPA UIN Jakarta Teknik Informatika

30 Yudita Yuara XII IPA UNILA Biologi

31 Ken Warsy Triastuti XII IPA Univ. Andalas Sistem Informasi

32 Said Andi Hendriyan XII IPS Univ. Jambi Hukum

33 Muhammad Fikri Hadi XII IPS Univ. Brawijaya Ekonomi Islam

34 Ikrar Firstian XII IPS Univ.Soedirman Hukum

35 Astri Ainun Annisa XII IPA UPN Jakarta Ilmu Keperawatan

36 Jasmine Hanifa M. XII IPA UPN Jakarta Teknik Informatika

37 Nida Amalia XII IPA UPN Jakarta Ilmu Gizi

38 Achmad Sofyan Aziz XII IPA

ISTN Tanah

Baru Teknik Elektro

39

Agiandika

Sastramijaya XII IPA

ITENAS

Bandung Teknik Informatika

40 Astri Ainun Annisa XII IPA STIKES Imu Keperawatan

41 Ilham Ramadhani S. XII IPA

ITENAS

Bandung Tehnik Sipil

42 Khansa Permata Ary XII IPA STT Telkom Design Interior

43 Muhamad Facri Putra XII IPA BINUS Teknik Informatika

44 Muhammad Yusuf I. XII IPA STT PLN Teknik Informatika

45 Siti Halimatusy Syarah XII IPA Unv. Pancasila Teknik Sipil

46 Shopia Devi A. XII IPA UIKI Kedokteran

47 Syifa Amalia XII IPA Univ. Trilogi

Ilmu & Teknologi Pangan

48 Thifal Indri Maulidina XII IPA Univ. Trisakti Arsitektur

49 Utari Larasati XII IPA Univ. Pancasila Arsitektur

50 Winne Keke H. XII IPA

STT Tekstil

Bandung Desiner

51 Ananda Virghi A. XII IPS UMJ Akutansi

52 Anindita Putri W. XII IPS Univ. Trisakti

Desain Komunikasi Visual

53 Dhiya Ulhaq Q. XII IPS Mercubuana Managemen

54 Salmadianka K. XII IPS STT Telkom Desain Interior

55 Syifa Putri N. XII IPS STT Telkom Desain Interior

56 Syifa Violita XII IPS APP Manegemen

57 Faris Muhammad XII MAK YAMAN Studi Islam


(2)

Lampiran 8

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana pola kurikulum pendidikan di Pesantren al-Hamidiyah?

2. Kurikulum keagamaan seperti apa yang direkomendasikan oleh Pesantren al-Hamidiyah untuk menarik minat masyarakat?

3. Adakah kurikulum khusus yang diterapkan di Pesantren al-Hamidiyah? (kurikulum yang beda dengan pesantren lain)

4. Apakah Pesantren al-Hamidiyah menjalin kerjasama dalam bidang kurikulum Keagamaan dengan lembaga lain?

5. Bagaimana pola pengembangan kurikulum kegamaan Pesantren al-Hamidiyah sejak berdiri hingga sekarang?

6. Berapa kali mengalami pengembagan kurikulum bidang keagamaan pesantren? 7. Berdasarkan prinsip-prinsip apa saja pengembangan kurikulum keagamaan

dilakukan?

8. Apasaja yang menjadi landasan-landasan dalam merancang pengembangan kurikulum keagamaan tersebut?

9. Seperti apa bentuk mengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh Pesantren al-Hamidiyah yang berkaitan dengan komponen-komponen kurikulum: a. Perkembagan tujuan

b. Perkembangan materi/isi bahan ajar c. Perkembangan metodologi pembelajaran d. Perkembagan evaluasi hasil belajar

10. Model pengembangan kurikulum seperti apa yang digunakan oleh Pesantren al-Hamidiyah?

11. Bagaimana bentuk struktur organisasi kelembagaan Pesantren al-Hamidiyah? 12. Bagaimana sistem rekrutment tenaga pendidikan keagamaan?

13. Apasaja kegiatan-kegiatan edukatif tambahan sebagai penunjang kurikulum utama Pesantren al-Hamidiyah (khususnya dalam bidang keagamaan)?

14. Bagaimana kualitas output yang dihasilkan berdasarkan pengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan?


(3)

PEDOMAN OBSERVASI

1. Mengamati kondisi fisik atau sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembelajaran keagamaan

2. Mengamati proses pembelajaran secara umum, baik yang berlangsung di dalam ruangan maupun di luar ruangan

3. Mengamati aktifitas guru dan kelengkapan dokumen pendukung pembelajaran 4. Mengamati metode dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran 5. Mengamati tata waktu dan tempat dalam proses pembelajaran

6. Mengamati kondisi santri saat proses pembelajaran 7. Mengamati situasi dan kondisi lingkungan pesantren


(4)

Lampiran 10


(5)

(6)

BIODATA PENULIS

Nama : Lia Suraedah

Alamat : Pesantren al-Qosimiyyah

Kp. Tajur RT 001/04 Ds. Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 16 Januari 1983 Riwayat Pendidikan

1. Pendidikan Formal

a. SD Negeri Pedurenan 1 Bekasi (1989-1995)

b. MTs NU Putri Buntet Pesantren Cirebon (1995-1998) c. MA HM Tribakti Kediri (1998-2001)

d. S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001-2005) e. S2 FITK Megister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (2014-2017) 2. Pengalaman Organisasi

a. Kepala Sekolah SMP Islam Terpadu al-Qosimiyyah (2011-2012) b. Kepala Sekolah SD Islam Terpadu al-Qosimiyyah (2013-2014) c. Bendahara Yayasan Sunan Drajat Sejahtera (2010-Sekarang)