c. P2 = Kelompok perlakuan II terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap
pagi 0,5 ml ekor secara oral selama 30 hari. d.
P3 = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 mlekor selama 15 hari yang diberikan pada pagi hari, selanjutnya
pada hari ke 16 diberi vitamin E sebanyak 0,5 ml 0,33 mg setiap sore hari e.
P4 = Kelompok perlakuan IV terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 mlekor selama 30 hari selanjutnya pada hari yang
ke 16 diberikan vitamin E 0,5 ml 0,33 mg pada sore hari. f.
P5 = Kelompok perlakuan V terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 mlekor selama 30 hari bersama vitamin E 0,5 ml
0,33 mg sore hari
3.3. Alat dan Bahan
Untuk menghitung eritrosit menggunakan kamar hitung counting chamber, terbuat dari kaca object yang tebal, rata plat yang ditengah dipakai
untuk menghitung sel-sel darah. Kaca penutup cover slip tiap bilik hitung mempunyai kaca penutup yang khusus yang dipergunakan untuk kamar hitung
tersebut. Pipet pengencer darah, terdiri dari sebuah pipa kapiler yang mempunyai tanda angka ”0,5 dan 1,0” pada salah satu ujungnya membesar
dan sedikit lonjong. Didalam bulatan terdapat sebutir kaca merah untuk menghitung eritrosit. Cairan pengencer darah, syarat utama cairan pengencer
darah adalah harus isotonis dengan darah, tidak merusak eritrosit dan yang
paling sering dipakai adalah larutan hayem.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghitung hemoglobin digunakan, tabung reaksi 75x10 mm, regensia sianida, mikro pipet dan untuk menghitung hematokrit menggunakan
tabung Wintrobe, pipet kapiler dan alat pemutar. Dalam pengamatan morfologi eritrosit digunakan , kaca objek, bak tempat pewarnaan dan larutan methanol.
3.4. Populasi Penelitian
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan Mus musculus strain DD Webster, berumur 2 bulan dengan rata-rata
berat badan antara 25 – 30 gram. Hewan coba diperoleh dari unit penelitian hewan F MIFA Biologi USU Medan. Mencit jantan dewasa merupakan hasil
perbanyakan hewan yang diperoleh sebanyak 30 ekor mencit dipilih dari hasil perbanyakan untuk keperluan penelitian.
3.5. Dosis
3.5.1. Dosis Tuak
Bagi orang peminum tuak biasanya, meminum tuak di warung-warung rata-rata 3 – 4 gelas ml hari 1000 ml bagi orang dewasa rata-rata berat
badan 60 kg Ikegami, 1997, maka komsumsi rata-rata tuak oleh manusia setiap hari rata-rata 1000 ml 60.000 g berat badan orang dewasa = 0,016
mlg berat badan, maka dosis konversi untuk mencit dengan rata-rata berat badan 30 g adalah : 0.016 ml x 30 g = 0,48 mlmencithari. Pada penelitian
pendahuluan terhadap kadar alkohol tuak dari 4 jenis tuak diteliti kadar alkoholnya, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuak yang
dipasarkan, yaitu tuak pada hari kedua dengan konsentrasi alkoholnya 20 lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
3.5.2. Dosis Vitamin E
Vitamin E murni dalam bentuk cair, penentuan dosis vitamin E berdasarkan dosis per oral pada manusia yang aman untuk dikonsumsi orang dewasa adalah
1000 IUhari Baraas dan Jufri, 1999. Rata-rata berat badan orang dewasa 60 kg. Dengan asumsi bahwa 1 IU Karyadi 1990 = 0,67 mg. Dosis untuk
manusia dewasa adalah 670 mg60.000 g berat badan =0,011 mgg berat badan, maka untuk dosis mencit dengan berat badan rata-rata 30 g adalah =0,011 mg x
30 g berat badan = 0,33 mgmencit hari. Vitamin E dilarutkan dengan larutan akuades menjadi 0,5 ml.
3.6. Pelaksanaan Penelitian
3.6.1. Pemeliharaan Hewan Percobaan.
Mencit ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik dengan ukuran panjang 30 cm x lebar 20 x kedalaman10 cm yang ditutup
dengan kain kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5 - 1 cm dan diganti setiap dua hari. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang
pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00 dan 12 jam gelap pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00, sedangkan suhu dan kelembaban ruangan
dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan pelet komersial dan minuman air PAM disuplai setiap hari secara berlebih ad libitum
3.6.2. Sampel Darah
Setelah dilakukan perlakuan selama 30 hari, maka satu hari setelah pembemberian terakhir, mencit diambil dari kandang baik kelompok kontrol
Universitas Sumatera Utara
maupun kelompok perlakuan. Masing- masing hewan coba dikorbankan dengan cara dislokasi leher, kemudian dibedah dan pengambilan darah dengan spuit 1
ml langsung ke intracardial kemudian dimasukkan ke tabung yang sebelumnya telah diberi larutan EDTA 1 . Kemudian disimpan dalam lemari es selama 60
menit. Kemudian dilakukan pengukuran jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, pengamatan morpologi eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit.
3.6.3. Pemeriksaan Retikulosit
Retikulosit dihitung menggunakan metode pewarnaan supravital. Sampel darah dicampur dengan larutan brilliant cresyl blue BCB atau new methylene
blue maka ribosome akan terlihat sebagai filamen berwarna biru. Sampel darah yang digunakan untuk menghitung retikulosit adalah darah arteri
dengan antikoagulan EDTA 1 . Ke dalam tabung masukkan darah dan pewarna dengan perbandingan 1 : 1, campur baik-baik, dibiarkan selama 15
menit agar pewarnaannya sempurna. Sediaan apus dibuat dari campuran itu, kemudian biarkan kering di udara. Periksalah di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100x. Eritrosit nampak biru muda dan retikulosit akan tampak sebagai sel yang mengadung granulafilamen yang berwarna biru. Bila kurang
jelas waktu pewarnaannya diperpanjang atau dicat lagi dengan cat Wright. Selajutnya jumlah retikulosit dalam 1000 sel eritrosit dihitung. Jika kesulitan
menghitung, dilakukan pengecilan medan penglihatan okuler dengan meletakkan kertas berlubang pada lensa okuler. Retikulosit ditentukan dengan
Universitas Sumatera Utara
perhitungan sebagai berikut : Jumlah retikulosit = jumlah retikulosit per 1000 eritrosit : 10 . Depkes 1989
3.6.4. Penentuan Jumlah Eritrosit
Jumlah eritrosit ditentukan dengan menggunakan metode manual. Jumlah darah dihisap 0,5 skala dengan menggunakan pipet Thoma pipet eritrosit
kemudian reagensia Hayem dihisap sampai angka 101 lalu dicampur dengan cara menggoyang pipet hingga rata. Darah yang melekat pada ujung pipet
bersihkan dengan kapas. Lalu Kamar hitung counting chamber ditutup dengan cover glass. Kemudian biarkan selama 5 menit di atas kamar hitung
dan setelah itu diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 X lalu dihitung jumlah eritrosit pada bagian kotak yang lebih kecil dari arah A, lalu
ke B, lanjut C kemudian D dan terakhir E. Setiap eritrosit yang dilihat dihitung dengan bantuan mengklik Laboratory Counter untuk menghindari
kesalahan penghitungan dan hasilnya ditulis Depkes 1989.
3.6.5. Pengamatan Morfologi Eritrosit
Pengamatan morfologi eritrosit ditentukan berdasarkan apusan darah . Darah dituangkan satu tetes kecil pada kaca objek 2 - 3 mm dari ujung kaca
objek. Lalu diletakkan kaca penghapus dengan sudut 45 derajat terhadap kaca objek di atas tetes darah. Kemudian ditarik kaca penghapus ke belakang
sehingga menyentuh tetes darah dan ditunggu sampai darah menyebar pada sudut kiri dan kanan kaca objek tersebut. Setelah itu kaca penghapus didorong
hingga terbentuk hapusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian biarkan hapusan darah hingga kering. Setelah itu sediaan hapusan diletakkan di atas bak tempat pewarnaan. Kemudian sediaan hapusan difiksasi
dengan larutan metanol selama 2 - 3 menit. Setelah itu sediaan hapusan digenangi dengan zat warna Giemsa 5. Kemudian dibiarkan selama 20 -30
menit. Setelah itu dibilas dengan air keran, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih deras dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna.
Lalu dibiarkan hingga kering dan setelah itu dilihat morfologi eritrosit di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 800 kali kemudian dihitung
jumlah eritrosit yang normal Depkes, 1989. Dengan mikroskop eritrosit akan tampak bulat. Pemeriksaan kelainan morfologi eritrosit meliputi
bentuknya seperti cakram dengan ketebalan 1,5 - 2,5 µm bagian tengah lebih tipis daripada tepinya , ukuran diameter 5 - 7 µm dan tidak berinti Depkes,
1989. Sampel dari setiap kelompok berjumlah 4 ekor mencit, setiap mencit dibuat satu slide apusan darah. Untuk pengamatan morfologi dilakukan 4
lapangan pandang untuk setiap slide. Cara penentuan hasil :
Morfologi abnormal: dihitung 100 sel eritrosit dan diantara yang 100 tersebut berapa sel yang morfologinya abnormal100 dan dikali 100,
morfologi sel eritrosit abnormal = sel eritrosit abnormal100 sel darah merah x 100
Universitas Sumatera Utara
3.6.6. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin
Pemeriksaan kadar hemaglobin dilakukan dengan menggunakan metode sianmethomoglobin secara ringkas, diambil tabung reaksi 75 x 10 mm lalu
kedalamnya dimasukkan 5 ml regensia sianida dengan menggunakan pipet, kemudian tambahkan 20 µl sampel darah. Setelah itu campurkan, bagian
mikropipet dibersihkan dengan tissue. Kemudian campurkan isinya hingga merata dan biarkan pada suhu kamar selama 3- 5 menit. Setelah itu serapannya
dibaca dalam spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm dengan sianida sebagai blangko, lalu kadar hemoglobin dibaca pada kurva kalibrasi Soewoto
et al, 2001.
3.6.7. Penentuan Nilai Hematokrit
Darah dihisap dengan hematokrit kapiler dari tabung mikrotube ¾ dari hematokrit kapiler tersebut. Setelah itu masukkan cairan pengencer Natrium-
oxalat 1,65 diisap sampai memenuhi separoh bola. Kemudian tabung ditutup dengan ban karet yang khusus untuk itu. Lalu hematokrit kapiler dimasukkan
ke dalam hematokrit sentrifuge dengan bagian yang tersumbat mengarah ke luar. Setelah itu hematokrit kapiler tersebut diputar selama 5 menit dengan
kecepatan 10.000 rpm. Kemudian catat tinggi volume eritrosit yang dimaanfaatkan dan tinggi total volume darah pada pipet hematokrit. Penentuan
nilai hematokrit dibaca dengan perhitungan: Hematokrit = Tinggi volume eritrosit X 100 = …..
Tinggi total volume darah
Universitas Sumatera Utara
3.7. Pengukuran Kadar Alkohol Pada Tuak
Pemeriksaan ini menggunakan sampel tuak yang beredar di pasaran yang di ambil dari satu sumber yang beredar di kota Medan. Sampel yang
diambil sebanyak 500 ml untuk setiap jenis sampel tuak yang ada kemudian di
ambil 100 ml untuk dipreparasi.
1. Preparasi sampel
Diambil 100 ml sampel menggunakan pipet volume dan dimasukkan ke dalam labu alas bulat 250 ml di tambah 50 ml akuades, kemudian di destilasi.
Hasil destilasi ditampung pada labu ukur 100 ml hingga volume 90-95 ml Bowman dan Rand, 1980
2. Validasi Metode Kromatografi Gas
a. Pembuatan seri larutan baku etanol.
Disiapkan seri baku dengan konsetrasi berikut: Etanol p.a. ml
n-butanol ml Konsentrasi akhir etanol
vv 0,1
0,2 0,3
0,4 0,2
0,2 0,2
0,2 0,1
0,2 0,3
0,4 Etanol p.a. dan n-butanol dengan jumlah seperti tertulis di atas dimasukkkan
ke dalam labu ukur 100 ml.Volume 100,0 ml dicapai dengan penambahan akuades. Replikasi dilakukan 3 kali.
Universitas Sumatera Utara
b. Pembuatan kurva baku etanol.
Satu mikroliter 1µl larutan baku dari masing-masing konsentrasi disuntikkan ke dalam kolom. Luas puncak etanol dan n-butanol dari
kromatogram dihitung,kemudian dicari rasio luas puncak etanoln-butanol. Kurva baku dibuat dengan memplotkan rasio luas puncak etanoln-butanol vs
kadar etanol vv. Persamaan kurva baku dicari denga regresi linear. c.
Penentuan recovery, kesalahan sistemik dan kesalahan acak. Diambil 1 µl larutan etanol dengan kadar 0,1;0,2;0,3;dan 0,4 ml100,0 ml
dan disuntikkan ke dalam kolom. Luas puncak etanol dan n-butanol dari kromatogram dihitung, kemudian dicari rasio luas puncak etanoln-butanol.
Kadar dihitung dengan persamaan regresi linier. Recovery, kesalahan sistemik dan acak dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Recovery = x 100
Kesalahan Sistemik = 100 - recovery
Kasalahan acak = x 100
d. Pengukuran Kadar Etanol Dengan Metode Kromatografi Gas
Larutan sampel minuman tuak yang telah didestilasi masing-masing diambil 0,1 ml menggunakan micropipet dan dimasukkan ke dalam labu ukuran 50
ml, kemudian ditambah 0,1 ml n-butanol dan diencerkan dengan akuades. Larutan masing-masing diambil 1µl dan disuntikkan ke dalam kolom melalui
Universitas Sumatera Utara
tempat injeksi. Luas puncak etanol dan n-butanol dari kromatogram dihitung, kemudian dicari rasio luas puncak etanol dan n-butanol. Kadar etanol dalam
minuman tuak ditentukan dengan persamaan kurva baku. Metode ini dilakukan pada setiap sampel tuak yang telah di destilasi untuk menentukan
kadar etanolnya. Prosedur di atas dilakukan selama 3 hari berturut-turut untuk melihat tingkat kadar etanol di dalam nira aren asli, nira + raru, tuak
asli dan tuak yang di pasaran. 3.8. Analisis Data
Semua data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku
SD X
. Dilakukan uji normalitas dan homogenitas, dari hasil penelitian didapatkan data dengan distribusi normal dan variansi datanya tidak homogen,
sehingga dilakukan uji dengan analisis Non Parametrik Kruskal Wallis. Bila terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut Mann Witney untuk
melihat perbedaan masing-masing kelompok perlakuan yang ada. Bila data berdistribusi normal dan variasi datanya homogen diuji dengan analisis
Parametrik Anova pada taraf 5 dan untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan dilakukan uji lanjut post hoc Bonferroni.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik histogram dari rata- rata data hasil analisis yang dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil
dan pembahasan dari penelitian ini adalah : 1 Persentase retikulosit, 2 Jumlah eritrosit, 3 Persentase morpologi eritrosit abnormal, 4 kadar
hemaglobin, 5 nilai hematokrit pada darah mencit yang diberi tuak.
4.1.1. Sel Darah Merah Muda Retikulosit
Hasil pengukuran jumlah retikulosit mencit setelah perlakuan terdapat pada Gambar 7. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata
jumlah eritrosit mencit, maka didapatkan bahwa data tidak berdistribusi normal dan variansi datanya tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan transformasi
data dan diuji kembali distribusi dan variansi datanya. Tetapi distribusi dan variansi datanya masih tetap tidak homogen. Maka data tersebut diuji dengan
analisis non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata p0,05; antara perlakuan dalam penelitian P0, P1, P2,
P3, P4 dan P5. Sehingga dilakukan uji lanjut Mann Whitney untuk menentukan perbedaan pada antara masing-masing perlakuan. Perbedaan tersebut kemudian
dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan
untuk perbedaan yang tidak nyata dilambangkan dengan huruf yang sama.
Universitas Sumatera Utara