Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Laju Produksi Dan Kualitas Eritrosit Mencit Yang Dipapari Tuak

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP

LAJU PRODUKSI DAN KUALITAS ERITROSIT

MENCIT YANG DIPAPARI TUAK

TESIS

Oleh

NORONG PERANGIN ANGIN

087008016/BM

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP

LAJU PRODUKSI DAN KUALITAS ERITROSIT MENCIT

YANG DIPAPARI TUAK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

NORONG PERANGIN ANGIN

087008016/BM

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN


(3)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 14 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Drs. Herbert Sipahutar, MS, M.Sc

Anggota : 1. DR. Marline Nainggolan, MS, Apt

2. Dr. Mary Margaret Thomas


(5)

ABSTRAK

Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak dan berperan sebagai antioksidan serta dapat melindungi aksi kerusakan membran biologis akibat radikal bebas dan melindungi asam lemak tidak jenuh pada membran fosfolipid. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, morpologi eritrosit abnormal, jumlah hemaglobin dan jumlah hematokrit mencit (Mus musculus L.) jantan yang dipapari Tuak. Penelitian ini adalah merupakan studi eksperimental laboratorik denngan menggunakan mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa sehat dan berumur 2-3 bulan dengan berat 25-35 g sebanyak 30 ekor dibagi dengan 6 kelompok perlakuan. Kelompok 1 (P0) = kontrol terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan yang diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari. Kelompok 2 (P1) = kelompok perlakuan I terdiri dari 5 ekor mencit jantan dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 15 hari, kemudian 15 berikutnya dilanjutkan dengan pemberian akuades 0,5 ml. Kelompok 3 (P2) = Kelompok perlakuan II terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 30 hari. Kelompok 4 (P3) = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0.5 ml/hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan diganti dengan pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/ekor/mencit secara oral. Kelompok 5 (P4) = Kelompok perlakuan IV teridiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor selama 30 hari dan hari ke 16 berikutnya pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari secara oral. Kelompok 6 (P5) = Kelompok perlakuan V terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak dipasaran (alkohol 20%) 0,5 ml dan pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari selama 30 hari secara oral. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok random. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian USU. Hasil yang didapat dalam pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat meningkatkan jumlah retikulosit, meningkatkan jumlah eritrosit, memperbaiki kerusakan morpologi eritrosit, meningkatkan kadar hemaglobin dan meningkatkan jumlah hematokrit mencit.

Kata kunci : Vitamin E, retikulosit, eritrosit, morpologi eritrosit, hemaglobin, hematokrit mencit jantan, tuak.


(6)

ABSTRACT

Vitamin E is one of vitamins soluble in fat and plays a role of antioxidant and even can keep biological membrane from the destructive action due to free radicals and keep unsaturated fatty acids from phospholipids membrane. The free radicals includes reactive molecules and can damage with the unpaired electrons. Administration of antioxidant intake in vitamin E is suggested to be able of reducing the free radical effect of the body.

The present study intends to know the effect of vitamin E on the amounts of reticulocyte, erythrocyte, morphology of abnormal erythrocyte, hemoglobin, and hematocrite male mice (Mus musculus L) exposed to the fermented palm wine. It is an experimental study using 30 male mice (Mus musculus L), strain of adult and healthy DD Webster ranging 2-3 months of age with the weight ranging 25-35 gs of divided into 6 groups of treatment. Group I (Po) is control consisting of 5 male mice given by 0.5 ml aquades for 30 days. Group II (P1) is treatment-1 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (20% alcohol) 0.5 ml /day /mice orally for 15 days, and then given by 0.5 ml aquades for next 15 days. Group III (P2) is treatment 2 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine ( alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice orally for 30 days. Group IV (P3) is treatment 3 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for first 15 days and for next 15 days, the supplementation of fermented palm wine is stopped and changed by vitamin E 0.33 mg /day/mice orally. Group V (P4) is treatment 4 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for 30 days and followed by vitamin E 0.33 mg /mice /day orally in the 16th day. Group VI (P5) is treatment 5 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml and vitamin E 0.33 mg /mice /day for 10 days orally. The mice were classified randomized. The study has been accepted by the ethical committee of study, USU. The result of vitamin E 0.33 mg/day/mice is in coincidence with the exposure of fermented palm wine for 30 days that can increase in the amounts of reticulocyte, erythrocyte, correcting the destructed morphology of erythrocyte, increasing in hemaglobin level and increasing in the amount of mice hematocrite.

Keywords : Vitamin E, reticulocyte, erythrocyte, morphology of erythrocyte, hemoglobin, hematocrite, male mice, fermented palm wine.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita ucapkan Puji dan Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya, maka saya dapat menyusun tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Adapaun judul dari penelitian adalah Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap laju produksi dan kualitas eritrosit mencit yang papari tuak.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada

1. Bapak Prof. Dr. Drs. Herbert Sipahutar, MS, Msc yang telah bersedia menjadi Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan-masukan dan penuh perhatian dalam penulisan tesis ini.

2. Ibu Dr. Marline Nainggolan, MS, Apt yang telah bersedia menjadi Anggota Komisi Pembimbing yang selalu tabah dan sabar dalam membimbing dan memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini.

3. Ibu Dr. Mary Margaret Thomas yang telah bersedia menjadi komisi pembanding untuk memberikan masukan-masukan pada seminar tesis demi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini.

4. dr. Darion Gatot, SpPD, KHOM yang telah bersedia menjadi komisi pembanding pada seminar tesis demi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini.

5. Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD, KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi izin penelitian. 6. Ibu dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan yang turut memberikan masukan dalam penulisan tesis ini.


(8)

7. Pimpinan dan staf laboratorium FMIPA, Pimpinan dan staf laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran, Pimpinan dan satf laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan dan Laboratorium Paramita cabang Medan yang menyediakan tempat dan tenaga laboran yang membantu saya dalam penelitian tesis ini.

8. Direktur Akademi Keperawatan Kesdam I BB Pematangsiantar dan seluruh rekan-rekan kerja di Akademi Keperawatan Kesdam I BB Pematangsiantar yang dengan penuh perhatian dan kasih memberikan dukungan dan semangat pada penulis selama mengikuti pendidikan.

9. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada istri tercinta Ujianna Br Sembiring, S.Kep, Ners, yang selalu memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

10. Persembahan kepada anak saya tercinta Roy Aditia, Prina Margaret dan Juna Alkana yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis. 11. Persembahan terimakasih yang tulus kepada ayahanda N. Peangin angin

(alm) dan ibu N, Br Ginting (alm) yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan dengan jasa mereka penulis dapat menjalani pendidikan hingga pascasarjana.

12. Terima kasih juga buat seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa/i Biomedik Angkatan 2008 yang selalu bersedia berdiskusi demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Norong Perangin angin Tempat/Tanggal Lahir : Kacinambun (Karo) 1 Mei 1965 Agama : Kristen Protestan

Status : Menikah

Alamat : Jln. Pelindung No. 20 Pematangsiantar Tel/Hp : 081296960609

Pendidikan :

SD Negeri Kubu : 1972-1979 SMP Negeri 1 Kabanjahe : 1979-1982 SPK Kesdam I BB Pematangsiantar : 1983-1986 Akademi Keperawatan Pajajaran Bandung : 1993-1996 Akta Mengajar III IKIP Bandung : 1996-1996 Diploma IV Perawat Pendidik USU : 2000-2001 Program Magister Studi Ilmu Biomedik FK-USU Medan : 2008-2011

Riwayat Pekerjaan :

Perawat Turwatun : 1987-1992 Staf Pengajar Pada SPK Ksdam I BB P. Siantar : 1997-2006

Pembantu Direktur I Pada AKPER Kesdam I BB P. Siantar : 2007-Sekarang


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Kerangka Konsep ... 4

1.4. Tujuan Penelitian... 5

1.5. Hipotesis... 5

1.6. Variabel Penelitian……….……….………. 5

1.7. Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuak………... 7

2.2. Absorbsi dan Distribusi Alkohol………... 7

2.3. Metabolisme Alkohol……….... ... 8

2.4. Kerusakan Akibat Radikal Bebas ………...……… 11

2.5. Antioksidan Vitamin E... 13

2.6. Komponen Darah... 15

2.7 Pembentukan Sel Darah …..……….... 16

2.8. Laju Produksi Eritrosit...…… 18

2.9. Retikulosit ……...………. 19

2.10. Morpologi Eritrosit ……….………..……….. 19

2.11. Fungsi Eritrosit ...……… 20

2.12. Gambaran Hematologi Mencit... 21


(11)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 24

3.2. Rancangan Penelitian…..…………...…..……… 24

3.3. Alat dan Bahan... …... 26

3.4. Populasi Penelitian... 27

3.5.Dosis... 27

3.5.1. Dosis Tuak... 27

3.5.2. Dosis Vitamin E ..………... 28

3.6. Pelaksanaan Penelitian... 28

3.6.1. Pemeliharaan Hewan Percobaan... 28

3.6.2. Sampel Darah... 28

3.6.3. Pemeriksaan Retikulosit ………... 29

3.6.4. Penentuan Jumlah Eritrosit …….…...…...………... 30

3.6.5. Pengamatan Morpologi Eritrosit .………..……….. 30

3.6.6. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin ….………. 31

3.6.7. Penentuan Nilai Hematokrit... 31

3.7. Pengukuran Kadar Alkohol Pada Tuak... 32

3.8. Analisis Data... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ………….………..………..……. 35

4.1.2. Jumlah Retikulosit ………..….. 36

4.1.3. Jumlah Eritrosit ….…………..…...….……… 36

4.1,4. Jumlah Morpologi Abnormal...………. 38

4.1.5. Kadar Hemoglobin…… ……..……….. 39

4.1.6. Nilai Hematokrit………..……….. 42

4.2. Pembahasan ……….…………...… 44

4.2.2.Laju Produksi Eritrosit………... 44


(12)

4.2.3. Kualitas Eritrosit...……… 45

4.2.3.1. Eritrosit...……… 45

4.2.3.2. Morpologi Eritrosit.……… 46

4.2.3.3. Hemaglobin... 47

4.2.3.4. Hematokrit... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………..……….. 49

5.2. Saran ………...……… 49

DAFTAR PUSTAKA……….... 50


(13)

DAFTAR TABEL


(14)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Kerangka Konsep ………...……… 4

2. Gambar 2. Metabolisme Alkohol ………...………. 10

3. Gambar 3. Perkembangan Sel Darah ………...……...………… 18

4. Gambar 4. Marfologi Eritrosit Normal………...….…………... 20

5. Gambar 5. Desain Penelitian... 24

6. Gambar 6. Garafik Jumlah Retikulosit …………..………...………… 36

7. Gambar 7. Grafik Jumlah Eritrosit….. ………....……… 37

8. Gambar 8. Grafik Morpologi Abnormal….……….…………....…… 39

9. Gambar 9.Gambar Morpologi Eritrosit... 40

10. Gambar 10. Grafik Kadar Hemaglobin ...……….…………..…… 41


(15)

ABSTRAK

Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak dan berperan sebagai antioksidan serta dapat melindungi aksi kerusakan membran biologis akibat radikal bebas dan melindungi asam lemak tidak jenuh pada membran fosfolipid. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, morpologi eritrosit abnormal, jumlah hemaglobin dan jumlah hematokrit mencit (Mus musculus L.) jantan yang dipapari Tuak. Penelitian ini adalah merupakan studi eksperimental laboratorik denngan menggunakan mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa sehat dan berumur 2-3 bulan dengan berat 25-35 g sebanyak 30 ekor dibagi dengan 6 kelompok perlakuan. Kelompok 1 (P0) = kontrol terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan yang diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari. Kelompok 2 (P1) = kelompok perlakuan I terdiri dari 5 ekor mencit jantan dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 15 hari, kemudian 15 berikutnya dilanjutkan dengan pemberian akuades 0,5 ml. Kelompok 3 (P2) = Kelompok perlakuan II terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 30 hari. Kelompok 4 (P3) = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0.5 ml/hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan diganti dengan pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/ekor/mencit secara oral. Kelompok 5 (P4) = Kelompok perlakuan IV teridiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor selama 30 hari dan hari ke 16 berikutnya pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari secara oral. Kelompok 6 (P5) = Kelompok perlakuan V terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak dipasaran (alkohol 20%) 0,5 ml dan pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari selama 30 hari secara oral. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok random. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian USU. Hasil yang didapat dalam pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat meningkatkan jumlah retikulosit, meningkatkan jumlah eritrosit, memperbaiki kerusakan morpologi eritrosit, meningkatkan kadar hemaglobin dan meningkatkan jumlah hematokrit mencit.

Kata kunci : Vitamin E, retikulosit, eritrosit, morpologi eritrosit, hemaglobin, hematokrit mencit jantan, tuak.


(16)

ABSTRACT

Vitamin E is one of vitamins soluble in fat and plays a role of antioxidant and even can keep biological membrane from the destructive action due to free radicals and keep unsaturated fatty acids from phospholipids membrane. The free radicals includes reactive molecules and can damage with the unpaired electrons. Administration of antioxidant intake in vitamin E is suggested to be able of reducing the free radical effect of the body.

The present study intends to know the effect of vitamin E on the amounts of reticulocyte, erythrocyte, morphology of abnormal erythrocyte, hemoglobin, and hematocrite male mice (Mus musculus L) exposed to the fermented palm wine. It is an experimental study using 30 male mice (Mus musculus L), strain of adult and healthy DD Webster ranging 2-3 months of age with the weight ranging 25-35 gs of divided into 6 groups of treatment. Group I (Po) is control consisting of 5 male mice given by 0.5 ml aquades for 30 days. Group II (P1) is treatment-1 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (20% alcohol) 0.5 ml /day /mice orally for 15 days, and then given by 0.5 ml aquades for next 15 days. Group III (P2) is treatment 2 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine ( alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice orally for 30 days. Group IV (P3) is treatment 3 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for first 15 days and for next 15 days, the supplementation of fermented palm wine is stopped and changed by vitamin E 0.33 mg /day/mice orally. Group V (P4) is treatment 4 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for 30 days and followed by vitamin E 0.33 mg /mice /day orally in the 16th day. Group VI (P5) is treatment 5 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml and vitamin E 0.33 mg /mice /day for 10 days orally. The mice were classified randomized. The study has been accepted by the ethical committee of study, USU. The result of vitamin E 0.33 mg/day/mice is in coincidence with the exposure of fermented palm wine for 30 days that can increase in the amounts of reticulocyte, erythrocyte, correcting the destructed morphology of erythrocyte, increasing in hemaglobin level and increasing in the amount of mice hematocrite.

Keywords : Vitamin E, reticulocyte, erythrocyte, morphology of erythrocyte, hemoglobin, hematocrite, male mice, fermented palm wine.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuak merupakan minuman tradisional yang dijumpai pada beberapa daerah di Sumatera Utara, yang diperoleh dari hasil fermentasi nira aren dan nira kelapa. Tuak sebagai minuman tradisional telah menjadi turun-temurun, dimana konsumsi tuak sangat sulit dihilangkan dari kebiasaan masyarakat. Sampai sekarang tuak masih menjadi kegemaran pada daerah ini yang dipakai sebagai minuman untuk penghangat tubuh dan di waktu adanya pesta-pesta di malam hari. Selain di Sumatera Utara, daerah lain sebagai penghasil dan pengkonsumsi tuak yang cukup tenar, adalah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali (Ikegami,1997).

Tuak yang diproduksi secara tradisional, sehingga sulit untuk mengetahui dan mengkontrol kadar alkohol yang ada dalam minuman tersebut. Tetapi secara umum Sunanto (1993) melaporkan bahwa tuak hasil fermentasi nira aren yang diperdangangkan dan dikonsumsi di Sumatera Utara rata-rata mengandung alkohol 4 %.). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 151/A/SK/V/81 bahwa minuman atau obat tradisional yang tergolong dalam minuman keras mengandung alkohol > 1 %. Dengan demikian tuak merupakan minuman beralkohol yang tidak jauh berbeda dengan minuman keras lainnya. Berdasarkan konsentrasi alkohol yang terkandung dalam tuak tersebut maka diduga bahwa mayarakat yang mengkonsumsi secara terus menerus akan dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pemberian tuak (alkohol 20 %) 0,5 ml perhari selama 30 hari kepada mencit


(18)

dapat menyebabkan terjadinya hemolisis darah mencit (Nordina, 2010). Begitu juga menurut Kamisah (2009) menyebutkan bahwa alkohol secara langsung dapat merusak sumsum tulang terutama prekursor eritrosit sehingga menimbulkan gangguan pembentukan eritrosit dan anemia. Konsumsi alkohol kronis, akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas, yang akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ termasuk struktur eritrosit dan fungsinya (Toykuni, 1999). Alkohol akan menginduksi sitokrom P450 sehingga enzim tersebut meningkat, yang dapat meningkatkan radikal bebas secara langsung dengan membentuk radikal superoksid (Bacman and Ames 1998)

Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi dewasanya mengkonsumsi minuman beralkohol secara teratur, dan sekitar 10% dari populasi umum di Amerika Serikat mereka tidak mampu membatasi konsumsi etanol, yang dikenal sebagai penyalahgunaan alkohol. Individu-individu yang terus meminum alkohol tanpa mempedulikan adanya konsekuensi yang dapat merugikan secara medis dan sosial yang berkaitan langsung dengan konsumsi alkohol akan menderita alkoholisme.Orang alkoholisme sulit untuk menentukan jumlah alkohol yang dikonsumsi tetapi dapat diketahui jika kebiasaan tersebut dibiarkan dalam beberapa waktu, dan ini akan mempengaruhi kehidupan seseorang secara bertolak belakang. Alkoholisme dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan meningkatkan toleransi terhadap efek alkohol serta ketergantungan fisiologik (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Terdapat 200.000 orang kematian di dunia yang berhubungan dengan alkohol setiap tahunnya. Kelompok usia dengan presentasi pengguna alkohol


(19)

tertinggi adalah usia antara 20 - 35 tahun. Sedangkan jenis klamin, laki-laki secara bermakna lebih banyak menggunakan alkohol dari pada wanita (Harimurti, 2009)

Vitamin E merupakan antioksidan atau penangkap radikal bebas (Free scavenger) terutama pada membran sel. Beberapa penelitian yang telah menunjukkan bahwa vitamin E dapat melindungi dan mempertahankan fungsi sel dari serangan radikal bebas yang disebabkan alkohol (Machlin dan Bendiech, 1997). Pemberian vitamin E dapat mencegah kerusakan sel darah merah yang disebabkan oleh radikal bebas, dan apabila vitamin E pada membran sel telah menurun atau habis, maka radikal bebas akan mengoksidasi membran sel sehingga menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid yang mengakibatkan hemolisis sel darah merah (Machlin dan Bendiech 1997).

Vitamin E memiliki kemampuan untuk menghentikan peroksidasi lipid dengan cara menyumbangkan satu atom hydrogennya dari gugus OH kepada lipid piroksil yang bersifat radikal sehingga kurang reaktif dan tidak merusak (Wahyuningsih 2009)

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa alkohol sangat memberi pengaruh terhadap sel darah. Maka penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap laju produksi dan kualitas sel darah merah mencit yang dipapari dengan tuak.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah vitamin E dapat mempengaruhi jumlah retikulosit mencit yang diberi tuak


(20)

2. Apakah vitamin E dapat mempengaruhi jumlah eritrosit dan gambaran morpologi eritrosit pada mencit yang diberi tuak

3. Apakah vitamin E dapat mempengaruhi kadar hemoglobin dan nilai hematokrit darah mencit yang diberi tuak

1.3. Kerangka Konsep

Tuak atau alkohol akan masuk kedalam sumsum tulang melalui saluran pencernaan yang kemudian akan berakumulasi dengan darah. Toksikasi yang ditimbulkan tuak/alhohol akan menyebabkan kerusakan jaringan ditingkat yang ringan (proses biokimia normal) sampai pada kematian sel. Perubahan proses biokimia akan merusak sumsum tulang terutama prekursor eritrosit sehingga menimbulkan gangguan pembentukan eritrosit. Pemberian vitamin E sebagai antioksidan berperan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan tuak.

KERUSAKAN SUMSUM  TULANG 

ANEMIA

GANGGUAN PEMBENTUKAN  ERYTROSIT T  RADIKAL BEBAS 

TUAK (ALKOHOL

)

RADIKAL BEBAS 

KERUSAKAN SUMSUM  TULANG  

VITAMIN. E 

GANGGUAN PEMBENTUKAN  SEL ERYTROSIT   ANEMIA TIDAK TERJADI 

Gambar 1. Kerangka konsep pengaruh Vitamin E terhadap jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran morpologi eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit darah mencit yang diberi tuak.


(21)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian eksperimental ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui pengaruh vitamin E terhadap jumah retikulosit pada mencit yang diberi tuak

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah eritrosit dan gambaran morpologi eritrosit mencit yang diberi tuak 3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar

hemoglobin dan nilai hematokrit darah mencit yang diberi tuak

1.5. Hipotesis

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, dikemukakan hipotesis sebagai berikut :

a. Ho ;

1. Tidak ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah retikulosit pada mencit yang diberi tuak

2. Tidak ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah eritrosit dan gambaran morpologi eritrosit pada mencit yang diberi tuak

3. Tidak ada pengaruh vitamin E terhadap kadar hemoglobin dan nilai hematokrit pada mencit yang diberi tuak

b. Ha :

1. Ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah retikulosit pada mencit yang diberi tuak


(22)

2. Ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah eritrosit dan gambaran morpologi eritrosit pada mencit yang diberi tuak

3. Ada pengaruh vitamin E terhadap kadar hemoglobin dan nilai hematokrit pada mencit yang diberi tuak

1.6. Variabel Penelitian

1.6.1. Variabel bebas

a. Tuak (alkohol)

b. Vitamin E

1.6.2. Variabel tergantung

a. Jumlah retikulosit

b. Jumlah eritrosit c. Morpologi eritrosit d. Kadar hemoglobin e. Nilai hematokrit

1.7. Manfaat Penelitian.

Bagi ilmu kedokteran, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu

acuan untuk menjadi status kesehatan dan mencegah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kerusakan eritrosit terutama karena radikal bebas akibat dampak komsumsi tuak


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuak

Tuak sering juga disebut arak, yaitu produk yang mengandung alkohol. Bahan baku yang biasa dipakai adalah: cairan yang diambil dari tanaman seperti nira dari pohon kelapa, aren dan pohon siwalan atau tal. Kadar alkohol pada tuak berbeda-beda tergantung daerah pembuatnya. Arak yang dibuat di pulau Bali dikenal dengan nama Brem Bali, mengandung alkohol yang kadarnya cukup tinggi.

Tuak, disamping sebagai minuman juga merupakan bahan baku untuk pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau gula jawa karena orang Jawa memang lebih banyak memproses tuak menjadi gula. Tuak merupakan sejenis minuman yang beralkohol yang berasal dari fermentasi nira aren mengandung alkohol dengan kadar 4 % (Sunanto, 1993).

2.2. Absorbsi dan Distribusi alkohol

Alkohol yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan diabsorbsi

melalui mukosa mulut dan epitel gastrointestinal dan sebagian besar (80%) diabsorbsi di usus halus, sisanya diabsorbsi di kolon. Kecepatan absorbsi tergantung pada takaran dan konsentrasi alkohol dalam minuman yang mengisi lambung dan usus. Bila konsentrasi optimal alkohol diminum dan dimasukkan dalam lambung yang kosong maka kadar puncak dalam darah telah dapat dideteksi pada 30 - 90 menit sesudahnya (Zakhari, 2006)


(24)

Setelah diabsorbsi, alkohol akan didistribusikan ke semua jaringan dan cairan tubuh serta cairan jaringan. Sekitar 90 - 98% alkohol yang diabsorbsi dalam tubuh akan mengalami oksidasi, sedangkan 2 - 10%nya diekskresikan tanpa mengalami perubahan, baik melalui paru-paru maupun ginjal. Sebagian kecil akan dikeluarkan melalui keringat, air mata, empedu dan air ludah (Darmono, 2000 ).

Alkohol mudah berdifusi dan distribusinya dalam jaringan sesuai dengan kadar air jaringan tersebut. Semakin hidrofil jaringan semakin tinggi kadar alkoholnya. Biasanya dalam 12 jam telah tercapai keseimbangan kadar alkohol dalam darah, usus, dan jaringan lunak ( Zakhari, 2006 ).

2.3. Metabolisme Alkohol

Alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami serangkaian proses biokimia. Alkohol yang dikomsumsi 90%, diantaranya akan dimetabolisme oleh tubuh terutama hati oleh enzim alkoholdehirogenase (ADH) dan koenzim nikotinamid-adenin-dinokleotida (NAD) menjadi asetaldehid dan kemudian oleh enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi asam asetat. Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Piruvat, levulosa

(fruktosa), gliseraldehida dan alanin akan mempercepat metabolism alkohol (Lieber, 1994)

Metabolisme alkohol melibatkan 3 jalur, yaitu jalur sitosol, jalur peroksisom dan jalur mikrosom.


(25)

a. Jalur Sitosol/Lintasan Alkohol Dehidrogenase.

Jalur ini adalah proses oksidasi dengan melibatkan enzim alkohol dehidrogenase (ADH). Proses oksidasi dengan menggunakan alkohol dehidrogenase terutama terjadi di dalam hepar. Metabolisme alkohol oleh ADH akan menghasilkan asetaldehid yang merupakan produk yang sangat reaktif dan sangat beracun sehingga menyebabkan kerusakan beberapa jaringan atau sel (Zakhari, 2006)

b. Jalur Peroksisom/Sistem Katalase

Melalui enzim katalase yang terdapat dalam peroksisom (peroxysome) hidrogen yang dihasilkan dari metabolism alkohol dapat mengubah keadaan redoks, dan pada pemakaian alkohol yang lama dapat mengecil. Perubahan ini dapat menimbulkan perubahan metabolisme lemak dan karbohidrat, yang menyebabkan bertambahnya jaringan kolagen dan dalam keadaan tertentu dapat menghambat sintesa protein ( Zakhari, 2006)

c. Jalur Mikrosom

Jalur ini juga sering disebut dengan sistem SOEM (Sistem Oksidasi Etanol Mikrosom). yang terletak dalam retikulum endoplasma. Dengan pertolongan 3 komponen mikrosom ( sitokrom P-450, reduktase dan lesitin) alkohol diuraikan menjadi asetaldehid (Zakhari, 2006)


(26)

        

ALKOHOL

Gambar 2. Metabolisme alkohol

Alkohol akan diubah menjadi asetaldehid, kemudian akan diubah menjadi asetat oleh aldehid dehidrogenase di dalam mitokondria. Pemakaian alkohol yang lama akan menimbulkan perubahan pada metokondria, yang menyebabkan berkurangnya kapasitas untuk oksidasi lemak. Semua yang tersebut diatas menyebabkan terjadinya perlemakan hati. Perubahan pada

METABOLISME  MENGHAMBAT  SINTESA  PROTEIN  PERTUMBUHAN  JARINGAN  KOLAGEN  PERUBAHAN  METABOLISME  LEMAK DAN KH  ASETAT  REDOKS  MENGECIL  ASETALDEHID  HIDROGEN  ASETALDEHID  SITOSOL     ENZIM ALKOHOL 

DEHIDRGENASE  MIKROSOM  SITTOKROM REDUKTASE  LESITIN  PEROKSISOM  ENZIM KATALASE 

HIDROGEN 

KERUSAKAN  STRUKTUR SEL 

MENINGKATKAN   PRODUKSI ROS 


(27)

Sistem Oksidasi Etanol Mikrosom yang disebabkan pemakaian alkohol berlangsung lama dapat menginduksi dan meningkatkan metabolisme obat-obatan, meningkatkan lipoprotein dan menyebabkan hyperlidemia (Lieber, 1994)

Reaktive Oxygen Species (ROS) dihasilkan secara alami dalam jumlah kecil selama reaksi metabolisme tubuh dan dapat bereaksi dengan molekul seluler dan kerusakan kompleks seperti lemak, protein, atau DNA. Alkohol mempromosikan generasi dari ROS dan mengganggu mekanisme normal pertahanan tubuh terhadap senyawa ini melalui berbagai proses, terutama di hati. Alkohol juga merangsang aktivitas enzim yang disebut sitokrom P450, yang berkontribusi pada produksi ROS. Lebih lanjut, alkohol dapat mengubah tingkat logam tertentu dalam tubuh, sehingga memudahkan produksi ROS ( Defeng, 2001)

2.4. Kerusakan Akibat Radikal Bebas

Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sistem model, dan dengan material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak, karbohidrat dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo atau in vitro di dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa terjadi mutasi. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan


(28)

nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang bermakna pada komponen biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara:

a. Radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat pada membran sel tersebut.

b. Radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti antigen.

c. Radikal bebas mengganggu proses transportasi melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak polyunsaturated

Radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap asam lemak polyunsaturated dinding sel. Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran (Slater, 1984). Sebagai tambahan adaptasi perubahan terhadap proteksi enzim-enzim, stress oksidatif atau stress lain yang diketahui menyebabkan meningkatnya produksi stress atau heat shock protein (HSP). Protein ini adalah komponen penting dari respon proteksi seluler, Ini terjadi dalam sel-sel darah ( Defeng, 2001)


(29)

2.5. Antioksidan Vitamin E

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan yang dikenal ada yang berupa enzim dan ada yang berupa mikronutrien. Enzim antioksi yang dibentuk dalam tubuh, yaitu super oksida dismutase (SOD), glutation peroksida, katalase, dan glutation reduktase. Sedangkan antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga yang utama, yaitu β-karoten, vitamin C dan vitamin E. β-karoten merupakan scavengers, vitamin C penangkap superoksida dan radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan low density lipoprotein. Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi poly unsaturated faty acids (PUFA) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas (Hariyatmi 2007).

Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibagi menjadi 4 tipe (Hariyatmi 2007)

a. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E

b. Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat pemulung, misalnya vitamin C


(30)

c. Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+, misalnya flavonoid

d. Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase. Mekanisme kerja antioksidan seluler adalah sebagai berikut:

a. Berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal b. Mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif

c. Mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik d. Mencegah kemampuan oksigen reaktif

e. Memperbaiki kerusakan yang timbul.

Vitamin E (tokoferol), adalah vitamin yang larut baik dalam lemak yang melindungi tubuh dari radikal bebas. Vitamin E sebagai antioksidan banyak terlibat dalam proses tubuh dan beroprasi sebagai antioksidan alami yang membantu melindungi struktur sel penting terutama membran sel termasuk sel eritrosit dari kerusakan akibat adanya radikal bebas. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai antioksidan dalam tubuh, vitamin E bekerja dengan caara mencari, bereaksi dan merusak rantai reaksi radikal bebas (Frei 1994).

Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak.


(31)

Mekanisme kerja vitamin E dalam mendonorkan ion hidrogen untuk menetralkan atau mengurangi kadar lemak peroksida darah dimulai dengan kerja α-tokoferol radikal yang kemudian berubah menjadi α-tokoferol peroksida. Dari dua α tocoferol radikal berubah menjadi α tocoferol dimer dan akhirnya menjadi α tokokuinone yang oleh vitamin C dapat diregenerasi kembali menjadi α-tokoferol (Hariyatmi 2007).

2.6.Komponen Darah

Darah merupakan gabungan dari cairan plasma, sel-sel dan partikel menyerupai sel, mengalir dalam arteri, kapiler, dan berfungsi untuk mengirimkan oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan dan membawa karbon dioksida dan hasil limbah lainnya.

Lebih dari separuh bagian dari darah merupakan cairan (plasma) yang sebagian besar mengandung garam-garam terlarut dan protein. Protein utama dalam plasma adalah albumin,protein lainnya adalah antibodi (immunoglobulin) dan protein pembeku. Plasma juga mengandung hormon-hormon, elektrolit, lemak, gula, mineral dan vitamin.

a. Sel darah merah (eritrosit)

Merupakan sel darah yang paling banyak jumlahnya dibanding dengan dua jenis sel lainnya dan dalam keadaan normal mencapai hampir separuh volume darah. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang memungkinkan sel darah merah membawa oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh


(32)

jaringan tubuh dan mengangkut karbon dioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru.

b. Sel darah putih (leukosit)

Jumlahnya lebih sedikit, dengan perbandingan satu sel darah putih untuk 660 sel darah merah. Terdapat lima jenis utama dari sel darah putih yang bekerja sama untuk membangun mekanisme utama tubuh dalam melawan infeksi, termasuk menghasilkan antibodi diantaranya, neutropil, limposit, monosit, eosinofil dan basofil.

c. Platelet (trombosit)

Merupakan partikel yang menyerupai sel, dengan ukuran lebih kecil dari pada sel darah merah atau sel darah putih. Sebagai bagian dari mekanisme perlindungan darah untuk menghentikan perdarahan, trombosit berkumpul pada daerah yang mengalami perdarahan dan selanjutnya akan mengalami pengaktivan. Setelah mengalami pengaktivan, trombosit akan melekat satu sama lain dan menggumpal untuk membentuk sumbatan dan menutup pembuluh darah dan menghentikan perdarahan. (Guyton, 2006)

2.7. Pembentukan Sel Darah

Pada manusia, sel darah dibuat di sumsum tulang belakang, lalu membentuk kepingan bikonkaf (Snyder dan Gregory , 1999). Sel darah merah, sel darah putih dan trombosit dibuat di dalam sumsum tulang. Selain itu, limfosit juga dibuat di dalam kelenjar getah bening dan limpa dan limfosit T dibuat dan matang dalam thymus (sebuah kelenjar kecil di dekat jantung). Di


(33)

dalam sumsum tulang, semua sel darah berasal dari satu jenis sel yang disebut sel stem (sel induk). Jika sebuah sel stem membelah, yang pertama kali terbentuk adalah sel darah merah yang belum matang (imatur), sel darah putih atau sel yang membentuk trombosit (megakariosit). Kemudian jika sel imatur membelah, akan menjadi matang dan pada akhirnya menjadi sel darah merah, sel darah putih atau trombosit. Kecepatan pembentukan sel darah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Jika kandungan oksigen dalam jaringan tubuh atau jumlah sel darah merah berkurang, ginjal akan menghasilkan dan melepaskan eritropoietin (hormon yang merangsang sumsum tulang untuk membentuk lebih banyak sel darah merah). Sumsum tulang membentuk dan melepaskan lebih banyak sel darah putih sebagai respon terhadap infeksi dan lebih banyak trombosit sebagai respon terhadap perdarahan (Depkes, 1989)


(34)

Eritrosit Retikulosit Metarubrsit Rubrisit

Prorubrisit Monosit Rubriblas Promonosit Monoblas

SEL INDUK 

Limpoblas Mieloblas Megakrioblas Prolimposit Progranulosit Promegakariosit

Limposit Mielosit Megakariosit Metamielosit Trombosit

Granulosit

Neutropil, Eosinopil, Basofil

Gambar. 3. Skema Perkembangan Sel Darah (Depkes, 1989)

2.8. Laju Produksi Eritrosit

Proses pembentukan eritrosit disebut dengan eritropoiesis, yang terjadi secara terus menerus diproduksi di dalam sumsum tulang. Laju produksi sekitar 2 juta eritrosit per detik. Eritrosit dikembangkan dari sel punca melalui retkulosit. Untuk mendewasakan eritrosit membutuhkan waktu 7 hari dan eritrosit dewasa akan hidup selama 100 sampai 120 hari. Pada embrio, produksi


(35)

eritrosit terjadi pada hati yang distimulasi oleh hormon eritropoeitin yang disintesa oleh ginjal (Cohen, 1982)

2.9. Retikulosit

Retikulosit adalah sel darah merah muda yang terdapat dalam volume darah tertentu. Jumlah retikulosit sekitar 0,5 - 1 % dari jumlah total volume darah. Hitung retikulosit merupakan indikator aktivitas sumsum tulang dan digunakan untuk mendiagnosis anemia. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung retikulosit yang rendah terus-menerus dapat mengindikasikan keadaan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik (Linda Rosita, 2006)

2.10. Morfologi Eritrosit

Sel darah merah atau yang juga disebut sebagai eritrosit berasal dari Bahasa Yunani, yaitu erythros berarti merah dan kytos yang berarti selubung/sel (Snyder dan Gregory, 1999). Sel darah merah, eritrosit (red blood cell, RBC, erythrocyte), berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kira-kira 7,8 mikrometer dan dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 mikrometer dan pada bagian tengah 1 mikrometer atau kurang.


(36)

Gambar. 4. Morfologi Eritrosit Normal pada Manusia (Depkes, 1989)

Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel berjalan melewati kapiler. Karena sel normal mempunyai membran yang sangat kuat untuk menampung banyak bahan material di dalamnya, maka perubahan bentuk tadi tidak akan meregangkan membran secara hebat dan sebagai akibatnya tidak akan memecahkan sel seperti yang terjadi pada sel-sel lainnya (Guyton dan Hall, 2006). Di dalam sel darah merah tidak terdapat nukleus. Sel darah merah sendiri akan aktif selama 120 hari dan kemudian akhirnya dihancurkan (Snyder dan Gregory , 1999).

2.11. Fungsi Eritrosit

Sel eritrosit berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh lewat darah. Bagian dalam eritrosit terdiri dari hemoglobin, sebuah biomolekul


(37)

yang dapat mengikat oksigen. Hemoglobin akan mengambil oksigen dari paru-paru dan oksigen akan dilepaskan saat eritrosit melewati pembuluh kapiler. Warna dari eritrosit berasal dari gugus heme yang terdapat pada hemoglobin. Sedangkan cairan plasma darah sendiri berwarna kuning kecoklatan, tetapi eritrosit akan berubah warna tergantung pada kondisi hemoglobin. Ketika terikat pada oksigen, eritrosit akan berwarna merah terang dan ketika oksigen dilepas maka warna erirosit akan berwarna lebih gelap, dan

akan menimbulkan warna kebiru-biruan pada pembuluh darah dan kulit. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh

jaringan tubuh. Selain mengandung hemoglobin, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Ia mengandung banyak karbon anhidrase, yang mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan air, sehingga meningkatkan reaksi bolak-balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat (Guyton dan Hall, 2006).

2.12. Gambaran Hematologi Mencit

Eritrosit normal merupakan bentuk cakram dengan ukuran tebal 1,5 – 2,5 μm diameter 5 – 7 μm. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit normal tidak berinti, berbentuk bulat dan tipis, bagian tengah lebih tipis daripada bagian tepinya. Sel muda lebih besar dari sel dewasa dengan inti sel relatif besar.


(38)

Makin dewasa inti sel dari eritrosit semakin kecil selanjutnya menghilang. Inti sel muda warna selnya lebih merah (Bijanti et al., 1997).

Tabel. 1, Gambaran hematologi mencit.

Hematologi Nilai normal

Eritrosit (RBC) (mm3) Haemoglobin (g/dl) Hematokrit (VCP) (%)

Leukosit Trombosit

6,86 .-11,7 juta /mm3 10,7 . 11,5 g/100 dl 33,1 - 49,9 % 7680 – 12810/mm3 81800 – 166000/mm3

(Kusumawati, Smith dan Mangkoewidjojo (1988).

2.13. Abnormalitas Morfologi Eritrosit Mencit

Abnormal morfologi eritrosit dapat terjadi oleh berbagai kondisi, termasuk fragmentasi eritrosit, stress oksidasi dan kelaianan bawaan. Kelaianan eritrosit bisa dilihat dari ukuran diameternya, lebih kecil dari normal atau lebih besar dari normal, warnanya lebih pucat atau tidak pucat dan bentuknya seperti bulan sabit dan seperti durian/ireguler.

Kelaianan yang sering terjadi adalah, poikilositosis yaitu irreguler atau terjadinya perubahan bentuk. Indikasi ini muncul karena adanya abnormalitas eritrogenesis atau pembentukan eritrosit pada sumsum tulang (Hariono B, 1998)


(39)

Gambar 5. Morpologi eritrosit abnormal, bentuk eritrosit yang tidak beraturan (Hariono, B 1998)


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium FMIPA Biologi, Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU) dan Laboratorium klinik Pramita Medan. Penelitian ini akan dilakukan selama 8 minggu, mulai dari Oktober sampai dengan November 2010

3.2. Rancangan Penelitian

       Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen laboratorik dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 30 ekor mencit jantan (Mus musculus L) strain DD Webster dewasa berumur 2-3 bulan dengan berat badan 25-30 g, yang dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok percobaan, 5 ekor mencit per kelompok. Jumlah ulangan ditentukan dengan menggunakan rumus (t-1) (n-1) ≥ 15 (Federer, 1963). Dimana t adalah jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 6 kelompok perlakuan) dan n adalah jumlah ulangan perkelompok. Eksperimen terdiri atas 6 kelompok.


(41)

0 hari 15 hari 30

P0

P1

P2

P3

P4

P5

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml   Larutan Akuades 0,5 ml 

Tuak (alkohol 20 %) 0,5 ml  

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml   Vitamin E 0,5 ml (0,33 mg) 

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml   Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml Vitamin E 0,5 ml (0,33mg)

Vitamin E 0,5 ml (0,33 mg)  Tuak (20%)  0,5 ml   Larutan Akuades 0,5 ml  

Gambar 6. Desain penelitian

Perlakuan dalam penelitian diberikan sebagai berikut  

a. P0 = kelompok kontrol terdiri dari 5 ekor yang diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari.

b. P1 = Kelompok perlakuan I terdiri dari 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor secara oral selama 15 hari kemudian 15 hari berikutnya dilanjutkan dengan pemberian akuades 0,5 ml.


(42)

c. P2 = Kelompok perlakuan II terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml /ekor secara oral selama 30 hari.

d. P3 = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 15 hari yang diberikan pada pagi hari, selanjutnya pada hari ke 16 diberi vitamin E sebanyak 0,5 ml (0,33 mg) setiap sore hari e. P4 = Kelompok perlakuan IV terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak

dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 30 hari selanjutnya pada hari yang ke 16 diberikan vitamin E 0,5 ml (0,33 mg) pada sore hari.

f. P5 = Kelompok perlakuan V terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 30 hari bersama vitamin E 0,5 ml (0,33 mg) sore hari

3.3. Alat dan Bahan

Untuk menghitung eritrosit menggunakan kamar hitung (counting chamber), terbuat dari kaca object yang tebal, rata plat yang ditengah dipakai untuk menghitung sel-sel darah. Kaca penutup (cover slip) tiap bilik hitung mempunyai kaca penutup yang khusus yang dipergunakan untuk kamar hitung tersebut. Pipet pengencer darah, terdiri dari sebuah pipa kapiler yang mempunyai tanda (angka) ”0,5 dan 1,0” pada salah satu ujungnya membesar dan sedikit lonjong. Didalam bulatan terdapat sebutir kaca merah untuk menghitung eritrosit. Cairan pengencer darah, syarat utama cairan pengencer darah adalah harus isotonis dengan darah, tidak merusak eritrosit dan yang paling sering dipakai adalah larutan hayem.


(43)

Untuk menghitung hemoglobin digunakan, tabung reaksi 75x10 mm, regensia sianida, mikro pipet dan untuk menghitung hematokrit menggunakan tabung Wintrobe, pipet kapiler dan alat pemutar. Dalam pengamatan morfologi eritrosit digunakan , kaca objek, bak tempat pewarnaan dan larutan methanol.

3.4. Populasi Penelitian

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus) strain DD Webster, berumur 2 bulan dengan rata-rata berat badan antara 25 – 30 gram. Hewan coba diperoleh dari unit penelitian hewan F MIFA Biologi USU Medan. Mencit jantan dewasa merupakan hasil perbanyakan hewan yang diperoleh sebanyak 30 ekor mencit dipilih dari hasil perbanyakan untuk keperluan penelitian.

3.5. Dosis

3.5.1. Dosis Tuak

Bagi orang peminum tuak biasanya, meminum tuak di warung-warung rata-rata 3 – 4 gelas ml/ hari (1000 ml) bagi orang dewasa (rata-rata berat badan 60 kg (Ikegami, 1997), maka komsumsi rata-rata tuak oleh manusia setiap hari rata-rata 1000 ml/ 60.000 g berat badan orang dewasa = 0,016 ml/g/ berat badan, maka dosis konversi untuk mencit dengan rata-rata berat badan 30 g adalah : 0.016 ml x 30 g = 0,48 ml/mencit/hari. Pada penelitian pendahuluan terhadap kadar alkohol tuak dari 4 jenis tuak diteliti kadar alkoholnya, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuak yang dipasarkan, yaitu tuak pada hari kedua dengan konsentrasi alkoholnya 20% (lampiran 1).


(44)

3.5.2. Dosis Vitamin E

Vitamin E murni dalam bentuk cair, penentuan dosis vitamin E berdasarkan dosis per oral pada manusia yang aman untuk dikonsumsi orang dewasa adalah 1000 IU/hari (Baraas dan Jufri, 1999). Rata-rata berat badan orang dewasa 60 kg. Dengan asumsi bahwa 1 IU ( Karyadi 1990 ) = 0,67 mg. Dosis untuk manusia dewasa adalah 670 mg/60.000 g berat badan =0,011 mg/g berat badan, maka untuk dosis mencit dengan berat badan rata-rata 30 g adalah =0,011 mg x 30 g berat badan = 0,33 mg/mencit / hari. Vitamin E dilarutkan dengan larutan akuades menjadi 0,5 ml.

3.6. Pelaksanaan Penelitian

3.6.1. Pemeliharaan Hewan Percobaan.

Mencit ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik dengan ukuran (panjang 30 cm x lebar 20 x kedalaman10 cm) yang ditutup dengan kain kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5 - 1 cm dan diganti setiap dua hari. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan (pelet komersial) dan minuman (air PAM) disuplai setiap hari secara berlebih (ad libitum)

3.6.2. Sampel Darah

Setelah dilakukan perlakuan selama 30 hari, maka satu hari setelah pembemberian terakhir, mencit diambil dari kandang baik kelompok kontrol


(45)

maupun kelompok perlakuan. Masing- masing hewan coba dikorbankan dengan cara dislokasi leher, kemudian dibedah dan pengambilan darah dengan spuit 1 ml langsung ke intracardial kemudian dimasukkan ke tabung yang sebelumnya telah diberi larutan EDTA 1 %. Kemudian disimpan dalam lemari es selama 60 menit. Kemudian dilakukan pengukuran jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, pengamatan morpologi eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit.

3.6.3. Pemeriksaan Retikulosit

Retikulosit dihitung menggunakan metode pewarnaan supravital. Sampel darah dicampur dengan larutan brilliant cresyl blue (BCB) atau new methylene blue maka ribosome akan terlihat sebagai filamen berwarna biru. Sampel darah yang digunakan untuk menghitung retikulosit adalah darah arteri dengan antikoagulan EDTA 1 %. Ke dalam tabung masukkan darah dan pewarna dengan perbandingan 1 : 1, campur baik-baik, dibiarkan selama 15 menit agar pewarnaannya sempurna. Sediaan apus dibuat dari campuran itu, kemudian biarkan kering di udara. Periksalah di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Eritrosit nampak biru muda dan retikulosit akan tampak sebagai sel yang mengadung granula/filamen yang berwarna biru. Bila kurang jelas waktu pewarnaannya diperpanjang atau dicat lagi dengan cat Wright. Selajutnya jumlah retikulosit dalam 1000 sel eritrosit dihitung. Jika kesulitan menghitung, dilakukan pengecilan medan penglihatan okuler dengan meletakkan kertas berlubang pada lensa okuler. Retikulosit ditentukan dengan


(46)

perhitungan sebagai berikut : Jumlah retikulosit = (jumlah retikulosit per 1000 eritrosit : 10 ) %. (Depkes 1989)

3.6.4. Penentuan Jumlah Eritrosit

Jumlah eritrosit ditentukan dengan menggunakan metode manual. Jumlah darah dihisap 0,5 skala dengan menggunakan pipet Thoma (pipet eritrosit) kemudian reagensia Hayem dihisap sampai angka 101 lalu dicampur dengan cara menggoyang pipet hingga rata. Darah yang melekat pada ujung pipet bersihkan dengan kapas. Lalu Kamar hitung (counting chamber) ditutup dengan cover glass. Kemudian biarkan selama 5 menit di atas kamar hitung dan setelah itu diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 X lalu dihitung jumlah eritrosit pada bagian kotak yang lebih kecil dari arah A, lalu ke B, lanjut C kemudian D dan terakhir E. Setiap eritrosit yang dilihat dihitung dengan bantuan mengklik Laboratory Counter untuk menghindari kesalahan penghitungan dan hasilnya ditulis (Depkes 1989).

3.6.5. Pengamatan Morfologi Eritrosit

Pengamatan morfologi eritrosit ditentukan berdasarkan apusan darah . Darah dituangkan satu tetes kecil pada kaca objek 2 - 3 mm dari ujung kaca objek. Lalu diletakkan kaca penghapus dengan sudut 45 derajat terhadap kaca objek di atas tetes darah. Kemudian ditarik kaca penghapus ke belakang sehingga menyentuh tetes darah dan ditunggu sampai darah menyebar pada sudut kiri dan kanan kaca objek tersebut. Setelah itu kaca penghapus didorong hingga terbentuk hapusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek dan


(47)

kemudian biarkan hapusan darah hingga kering. Setelah itu sediaan hapusan diletakkan di atas bak tempat pewarnaan. Kemudian sediaan hapusan difiksasi dengan larutan metanol selama 2 - 3 menit. Setelah itu sediaan hapusan digenangi dengan zat warna Giemsa 5%. Kemudian dibiarkan selama 20 -30 menit. Setelah itu dibilas dengan air keran, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih deras dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Lalu dibiarkan hingga kering dan setelah itu dilihat morfologi eritrosit di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 800 kali kemudian dihitung jumlah eritrosit yang normal (Depkes, 1989). Dengan mikroskop eritrosit akan tampak bulat. Pemeriksaan kelainan morfologi eritrosit meliputi bentuknya (seperti cakram dengan ketebalan 1,5 - 2,5 µm) bagian tengah lebih tipis daripada tepinya , ukuran diameter 5 - 7 µm dan tidak berinti (Depkes, 1989). Sampel dari setiap kelompok berjumlah 4 ekor mencit, setiap mencit dibuat satu slide apusan darah. Untuk pengamatan morfologi dilakukan 4 lapangan pandang untuk setiap slide.

Cara penentuan hasil :

Morfologi abnormal: dihitung 100 sel eritrosit dan diantara yang 100 tersebut berapa sel yang morfologinya abnormal/100 dan dikali 100%, % morfologi sel eritrosit abnormal = (sel eritrosit abnormal/100 sel darah merah) x 100%


(48)

3.6.6. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin

Pemeriksaan kadar hemaglobin dilakukan dengan menggunakan metode sianmethomoglobin secara ringkas, diambil tabung reaksi 75 x 10 mm lalu kedalamnya dimasukkan 5 ml regensia sianida dengan menggunakan pipet, kemudian tambahkan 20 µl sampel darah. Setelah itu campurkan, bagian mikropipet dibersihkan dengan tissue. Kemudian campurkan isinya hingga merata dan biarkan pada suhu kamar selama 3- 5 menit. Setelah itu serapannya dibaca dalam spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm dengan sianida sebagai blangko, lalu kadar hemoglobin dibaca pada kurva kalibrasi (Soewoto et al, 2001).

3.6.7. Penentuan Nilai Hematokrit

Darah dihisap dengan hematokrit kapiler dari tabung mikrotube ¾ dari hematokrit kapiler tersebut. Setelah itu masukkan cairan pengencer Natrium-oxalat 1,65% diisap sampai memenuhi separoh bola. Kemudian tabung ditutup dengan ban karet yang khusus untuk itu. Lalu hematokrit kapiler dimasukkan ke dalam hematokrit sentrifuge dengan bagian yang tersumbat mengarah ke luar. Setelah itu hematokrit kapiler tersebut diputar selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Kemudian catat tinggi volume eritrosit yang dimaanfaatkan dan tinggi total volume darah pada pipet hematokrit. Penentuan nilai hematokrit dibaca dengan perhitungan:

Hematokrit = Tinggi volume eritrosit X 100% = …..% Tinggi total volume darah


(49)

3.7. Pengukuran Kadar Alkohol Pada Tuak

Pemeriksaan ini menggunakan sampel tuak yang beredar di pasaran yang di ambil dari satu sumber yang beredar di kota Medan. Sampel yang diambil sebanyak 500 ml untuk setiap jenis sampel tuak yang ada kemudian di ambil 100 ml untuk dipreparasi.

1. Preparasi sampel

Diambil 100 ml sampel menggunakan pipet volume dan dimasukkan ke dalam labu alas bulat 250 ml di tambah 50 ml akuades, kemudian di destilasi. Hasil destilasi ditampung pada labu ukur 100 ml hingga volume 90-95 ml (Bowman dan Rand, 1980)

2. Validasi Metode Kromatografi Gas a. Pembuatan seri larutan baku etanol.

Disiapkan seri baku dengan konsetrasi berikut:

Etanol p.a. (ml) n-butanol (ml) Konsentrasi akhir etanol % (v/v)

0,1 0,2 0,3 0,4

0,2 0,2 0,2 0,2

0,1 0,2 0,3 0,4

Etanol p.a. dan n-butanol dengan jumlah seperti tertulis di atas dimasukkkan ke dalam labu ukur 100 ml.Volume 100,0 ml dicapai dengan penambahan akuades. Replikasi dilakukan 3 kali.


(50)

b. Pembuatan kurva baku etanol.

Satu mikroliter (1µl) larutan baku dari masing-masing konsentrasi disuntikkan ke dalam kolom. Luas puncak etanol dan n-butanol dari kromatogram dihitung,kemudian dicari rasio luas puncak etanol/n-butanol. Kurva baku dibuat dengan memplotkan rasio luas puncak etanol/n-butanol vs kadar etanol (% v/v). Persamaan kurva baku dicari denga regresi linear. c. Penentuan recovery, kesalahan sistemik dan kesalahan acak.

Diambil 1 µl larutan etanol dengan kadar 0,1;0,2;0,3;dan 0,4 ml/100,0 ml dan disuntikkan ke dalam kolom. Luas puncak etanol dan n-butanol dari kromatogram dihitung, kemudian dicari rasio luas puncak etanol/n-butanol. Kadar dihitung dengan persamaan regresi linier.

Recovery, kesalahan sistemik dan acak dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Recovery = x 100 % Kesalahan Sistemik = 100% - recovery

Kasalahan acak = x 100 %

d. Pengukuran Kadar Etanol Dengan Metode Kromatografi Gas

Larutan sampel minuman tuak yang telah didestilasi masing-masing diambil 0,1 ml menggunakan micropipet dan dimasukkan ke dalam labu ukuran 50 ml, kemudian ditambah 0,1 ml n-butanol dan diencerkan dengan akuades. Larutan masing-masing diambil 1µl dan disuntikkan ke dalam kolom melalui


(51)

tempat injeksi. Luas puncak etanol dan n-butanol dari kromatogram dihitung, kemudian dicari rasio luas puncak etanol dan n-butanol. Kadar etanol dalam minuman tuak ditentukan dengan persamaan kurva baku. Metode ini dilakukan pada setiap sampel tuak yang telah di destilasi untuk menentukan kadar etanolnya. Prosedur di atas dilakukan selama 3 hari berturut-turut untuk melihat tingkat kadar etanol di dalam nira aren asli, nira + raru, tuak asli dan tuak yang di pasaran.

3.8. Analisis Data

Semua data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku

XSD

. Dilakukan uji normalitas dan homogenitas, dari hasil penelitian didapatkan data dengan distribusi normal dan variansi datanya tidak homogen, sehingga dilakukan uji dengan analisis Non Parametrik Kruskal Wallis. Bila terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut Mann Witney untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok perlakuan yang ada. Bila data berdistribusi normal dan variasi datanya homogen diuji dengan analisis Parametrik Anova pada taraf 5% dan untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan dilakukan uji lanjut post hoc Bonferroni.

     


(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik histogram dari rata-rata data hasil analisis yang dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil dan pembahasan dari penelitian ini adalah : (1) Persentase retikulosit, (2) Jumlah eritrosit, (3) Persentase morpologi eritrosit abnormal, (4) kadar hemaglobin, (5) nilai hematokrit pada darah mencit yang diberi tuak.

4.1.1. Sel Darah Merah Muda ( Retikulosit)

Hasil pengukuran jumlah retikulosit mencit setelah perlakuan terdapat pada Gambar 7. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata jumlah eritrosit mencit, maka didapatkan bahwa data tidak berdistribusi normal dan variansi datanya tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan transformasi data dan diuji kembali distribusi dan variansi datanya. Tetapi distribusi dan variansi datanya masih tetap tidak homogen. Maka data tersebut diuji dengan analisis non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05; antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut Mann Whitney untuk menentukan perbedaan pada antara masing-masing perlakuan. Perbedaan tersebut kemudian dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan untuk perbedaan yang tidak nyata dilambangkan dengan huruf yang sama.


(53)

b a a a a b 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Po P1 P2 P3 P4 P5

Perlakuan Ra ta ra ta   Ju m la h   R e ti k u lo si t( %)   Gambar 7. Rata-rata jumlah (±SD) retikulosit darah mencit jantan setelah

perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Distribusi, homogenitas non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.

4.1.2. Jumlah Eritrosit  

          Hasil rata-rata jumlah eritrosit mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil analisis terhadap rata-rata retikulosit menunjukkan retikulosit berdistribusi normal dan memiliki varian homogen. Oleh karena itu data tersebut diuji dengan analisis


(54)

parametrik Anova pada taraf 5%. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05), antara tiap perlakuan penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut post hoc Bonferroni untuk menentukan perbedaan antara masing-masing perlakuan.

  Gambar 8. Rata-rata jumlah (±SD) eritrosit darah mencit jantan setelah

perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg


(55)

4.1.3. Jumlah Morfologi Abnormal

Hasil rata-rata persentase morfologi eritrosit abnormal pada mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil analisis terhadap rata-rata persentase morfologi abnormal, menunjukan bahwa berdistribusi normal dan memiliki varian homogen. Oleh karena itu data tersebut diuji dengan analisis parametrik Anova pada taraf 5%. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05), antara tiap perlakuan penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut uji post hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan, terlihat bahwa semua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap rata-rata persentase morfologi abnormal. Membuktikan bahwa persentase morpologi eritrosit abnormal setelah perlakuan pemberian vitamin E lebih rendah dari sebelum pemberian vitamin E. Perbedaan tersebut kemudian dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan untuk perbedaan yang tidak nyata dilambangkan dengan huruf yang sama.


(56)

  Gambar 9. Rata-rata jumlah (±SD) morfologi abnormal darah mencit jantan

setelah perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.


(57)

c

b

a

Gambar 10. Gambar morfologi dan ukuran sel darah merah dengan pembesaran 800x dengan pewarnaan Giemsa pada mencit jantan setelah perlakuan, (A) Bentuk darah yang normal, oval ( ) dari slide Po sebagai kontrol; (B) bentuk darah yang abnormal; a. bulat atau oval dengan diameter <5 μm), b. tidak beraturan, c. pipih (▲)dari slide P2; (C) Contoh ukuran yang tidak normal ( = 4,17 μm) dari slide P3.

4,17μ

4.1.4. Kadar Hemoglobin

Data pengukuran kadar hemaglobin pada mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 11. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata kadar hemaglobin, maka didapatkan bahwa data berdistribusi normal dan variansi datanya homogen. Oleh sebab itu data tersebut dapat diuji dengan analisis parametrik Anova pada taraf 5 %. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05), antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan post hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan penelitian. membuktikan bahwa semua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap kualitas hemoglobin mencit jantan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin E berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kadar hemoglobin mencit jantan.


(58)

  Gambar 11. Rata-rata kadar hemoglobin (±SD) pada mencit jantan setelah

perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.

4.1.5. Nilai Hematokrit

Hasil pengukuran jumlah hematokrit mencit setelah perlakuan terdapat pada Gambar 12. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata jumlah eritrosit mencit, maka didapatkan bahwa data tidak berdistribusi normal dan variansi datanya tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan transformasi data dan diuji kembali distribusi dan variansi datanya. Tetapi distribusi dan variansi datanya masih tetap tidak homogen. Maka data tersebut


(59)

diuji dengan analisis non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05; antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut Mann Whitney untuk menentukan perbedaan pada antara masing-masing perlakuan. Perbedaan tersebut kemudian dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan untuk perbedaan yang tidak nyata dilambangkan dengan huruf yang sama.

Gambar 12. Rata-rata nilai (±SD) hematokrit darah mencit jantan setelah

eterangan:

kuades 0,5 ml selama 30 hari,

lama 15 hari pertama dan diberi

i pertama dan 15 hari P4 = a 30 hari dan hari ke 16 sampai perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Distribusi, homogenitas non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney).

K

P0 = diberi a

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml se akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selam

P2 = a 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 har selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selam ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg


(60)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Laju Produksi Eritrosit

4.2.1.1. Sel Darah Merah Muda (Retikulosit)

Nilai retikulosit merupakan indikator aktivitas sumsum tulang dalam memproduksi sel darah eritrosit. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang akurat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai retikulosit yang paling rendah terdapat pada P2, (tuak 0,5 ml selama 30 hari) lebih rendah dari Po. Penelitian ini membuktikan adanya pengaruh tuak terhadap laju produksi eritrosit. Hal ini kemungkinan karena adanya efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap laju produksi eritrosit di sumsum tulang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu (Toykuni, 1999) yang menyebutkan bahwa komsumsi alkohol kronis akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ termasuk sumsum tulang dan eritrosit. Nilai retikulosit yang paling tinggi terdapat pada P5, dimana pemberian tuak 0,5 ml ditambah vitamin E 0,33 mg selam 30 hari menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan P2. Hal ini kemungkinan karena kehadiran vitamin E menghambat efek oksidan (radikal bebas) tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Menurut Udju Rusdi (2005), vitamin E (tokoferol) sebagai antioksidan telah banyak didokumentasikan, mempunyai kemampuan tinggi dalam memproteksi sel dari radikal bebas. Selain itu, menurut Arief (2008), penekanan pengaruh negatif


(61)

radikal bebas dapat menghindari kerusakan sel epitel tubulus ginjal yang berperan dalam produksi hormon eritropoeitin. Hormon eritropoeitin mengatur proses eritropoiesis di dalam sumsum tulang. Hormon ini meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis sehingga proses hematopoiesis tidak mengalami gangguan.

4.2.2. Kualitas Eritrosit

encit

kan bahwa adanya pengaruh pemberian i

integrit

4.2.2.1. Eritrosit Darah M

Pada Gambar 8, menunjuk

Vitam n E terhadap eritrosit mencit yang diberi tuak selama 15 dan 30 hari. Jumlah eritrosit yang rendah didapatkan pada P2, dengan pemberian tuak 0,5 ml selama 30 hari sangat berbeda nyata dengan P5. Hal ini kemungkinan karena adanya efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mengganggu kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Seperti yang dinyatakan Toykuni, (1999), bahwa konsumsi alkohol kronis, akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas, kemudian akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ termasuk struktur eritrosit dan fungsinya.

Suhartono et al (2007), menyebutkan radikal bebas dapat mengganggu as sel dan dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel, baik komponen struktural maupun komponen fungsional sehingga menyebabkan gangguan pada sel dan dapat menimbulkan gangguan pembentukan eritrosit. Pemberian tuak yang terlalu lama juga menyebabkan peningkatan persentase


(62)

hemolisis pada selaput eritrosit sehingga menimbulkan anemia. Jumlah sel eritrosit yang paling tinggi didapatkan pada P5, sangat berbeda nyata dengan P2. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Seperti pernyataan Wahyuningsih (2009), bahwa vitamin E memiliki kemampuan untuk menghentikan peroksidasi lipid dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogennya dari gugus OH kepada lipid piroksil yang bersifat radikal sehingga kurang reaktif dan tidak merusak.

4.2.2.2. Morfologi Eritrosit

jukkan adanya perbedaan nyata pada persentase Hasil penelitian menun

morpologi eritrosit abnormal setelah pemberian tuak 0,5 ml dan pemberian vitamin E 0,33 mg pada mencit selama 15 dan 30 hari. Persentase morfologi eritrosit abnormal yang paling tinggi terdapat pada P2, dimana pemberian tuak 0,5 ml selama 30 hari. Hal ini kemungkinan karena adanya efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mengganggu kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Seperti yang dinyatakan Hariono (1998) bahwa, kelainan yang sering terjadi adalah perubahan bentuk yang tidak beraturan. Indikasi ini muncul karena adanya abnormalitas eritrogenesis atau pembentukan eritrosit pada sumsum tulang.


(63)

Menurut Hoftbrand dan Pettit (1987), menyatakan bahwa, kegagalan sumsum tulang dalam membentuk sel darah menyebabkan terbentuknya sel-sel abnormal, jumlah leukosit dalam sirkulasi meningkat dan menginfiltrasi organ lain. Jumlah morfologi eritrosit abnormal paling rendah terdapat pada P5, dengan perlakuan pemberian tuak 0,5 ml ditambah dengan pemberian vitamin E 0,33 mg selama 30 hari. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap morfologi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup eritrosit dalam darah mencit. Seperti yang dinyatakan Hariyatmi (2007), vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi poly unsaturated faty acids (PUFA) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas.

4.2.2.3.Hemoglobin Darah Mencit

Rendahnya kadar hemoglobin mencit pada perlakuan P2 disebabkan oleh pengaruh pemberian tuak dimana pada perlakuan P2, pemberian tuak adalah paling lama dibandingkan pada perlakuan lainnya. Rendahnya kadar hemaglobin pada P2 kemungkinan karena efek radidal bebas tuak terhadap kelangsungan hidup eritrosit darah mencit. Seperti yang dinyatakan Hoftbrand dan Pettit (1987) bahwa, bahan yang menimbulkan radikal bebas seperti siklamat atau alkohol, dapat menyebabkan terjadinya anemia yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin serta rusaknya sel-sel darah merah. Begitu juga menurut Suryohudoyo (1993), apabila radikal bebas yang bersifat


(64)

reaktif tidak dihentikan maka akan merusak membrane sel eritrosit dan terjadi peroksidasi lipid. Adanya peroksidasi lipid membran sel memudahkan sel eritrosit mengalami hemolisis yang menyebabkan hemoglobin semakin berkurang. Tingginya kadar hemoglobin pada perlakuan P5 adalah akibat efek pemberian vitamin E yang berhasil menstabilkan efek negatif yang ditimbulkan tuak. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap hemaglobin eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit sehingga kadar hemaglobin yang terkandung di dalamnya menjadi cukup tinggi.

4.2.2.4.Hematokrit Darah Mencit

Rendahnya nilai hematokrit mencit pada perlakuan P2 disebabkan oleh pengaruh pemberian tuak. Oleh Soszynski dan Schuessler (1998) menyatakan bahwa, hal ini terjadi karena adanya hemolisis akibat rapuhnya membran sel eritrosit, akibat adanya radikal bebas yang timbul dan berinteraksi dengan oksigen membentuk radikal peroksida sehingga mengakibatkan membrane menjadi lemah atau rapuh. Tingginya hematokrit pada perlakuan P4 dan P5 adalah akibat efek dari pemberian vitamin E yang berhasil menstabilkan efek negatif yang ditimbulkan tuak. Seperti yang dinyatakan oleh Suryohudoyo (1993), vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai piroksidase lipid dengan cara


(65)

menyumbangkan satu atom hydrogen dari gugus OH pada cicinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak. Vitamin E berfungsi sebagai pelindung terhadap peroksidasi lipid di dalam membrane sel.


(66)

BAB V

KESIMPULAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hasil penelitian yang dilakukan dengan pemberian vitamin E pada mencit yang diberi tuak, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.Pemberian tuak 0,5 ml/mencit/hari dapat menurunkan persentase retikulosit jika ditambah vitamin E 0,33 mg/mencit/hari selama 30 hari dapat meningkatkan kembali persentase retikulosit pada mencit.

2.Pemberian tuak 0,5 ml/mencit/hari dapat menurunkan jumlah eritrosit dan meningkatkan kerusakan morpologi eritrosit jika ditambah vitamin E 0,33 mg/mencit/hari selama 30 hari dapat meningkatkan kembali jumlah eritrosit dan mencegah kerusakan morpologi eritrosit pada mencit.

3.Pemberian tuak 0,5 ml/mencit/hari dapat menurunkan kadar hemoglobin dan nilai hematokrit jika ditambah vitamin E 0,33 mg/mencit/hari selama 30 hari dapat meningkatkan kembali kadar hemagobin dan nilai hematokrit pada mencit.

5.2. Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya melakukan perpanjangan waktu pemberian dan penambahan dosis untuk mengetahui efek yang lebih luas dan menambah beberapa parameter yang lain misalnya: persentase ferrifin, untuk mengetahui jumlah cadangan zat besi di dalam darah.


(1)

Data hematokrit berdistribusi normal tetapi variansinya tidak homogen, maka

datanya harus ditransformasi dulu berdasarkan

slope

dan

power for

transformation

nya (1,811 & -0,811), seperti di bawah ini;

3.875 3.850

3.825 3.800

3.775 3.750

3.725 3.700

3.675

Level

2.4

2.2

2.0

1.8

1.6

1.4

1.2

1.0

S

p

re

a

d

Slope = 1.811 Power for transformation = -.811

* Plot of LN of Spread vs LN of Level

Spread vs. Level Plot of Hematokrit by Kelompok

Slope = 1.811 Power for transformation = -.811

Bentuk transformasinya adalah 1/n

Sedangkan data retikulosit tidak berdistribusi normal dan juga variansinya tidak

homogen, maka datanya harus ditransformasi dulu berdasarkan

slope

dan

power

for transformation

nya (1,811 & -0,811), seperti di bawah ini;


(2)

2.4 2.3

2.2 2.1

2.0 1.9

1.8

Level

2.

2.

1.

1.

0.

0.

-0. 5

0

5

0

5

0

5

Sp

re

a

d

Slope = -.190 Power for transformation = 1.190

* Plot of LN of Spread vs LN of Level

Spread vs. Level Plot of Retikulosit by Kelompok


(3)

Tests of Normality

.285 4 . .836 4 .184

.315 4 . .876 4 .323

.176 4 . .980 4 .900

.272 4 . .849 4 .223

.270 4 . .928 4 .583

.169 4 . .989 4 .951

.199 4 . .969 4 .835

.429 4 . .671 4 .005

.163 4 . .998 4 .993

.291 4 . .851 4 .231

.209 4 . .963 4 .798

.226 4 . .974 4 .865

Kelompok K

P1 P2 P3 P4 P5 K P1 P2 P3 P4 P5 trans_hematokrit

trans_retikulosit

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

4.416 5 18 .008

3.781 5 18 .016

3.781 5 11.694 .028

4.319 5 18 .009

5.863 5 18 .002

.789 5 18 .571

.789 5 3.240 .616

4.566 5 18 .007

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean Based on Mean

Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean trans_hematokrit

trans_retikulosit

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

Hasil transformasi hematokrit adalah data berdistribusi normal tetapi tetap

variansinya tidak homogen, dan data retikulosit datanya tetap tidak berdistribusi

normal dan variansinya tidak homogen. Maka dilanjutkan dengan uji

nonparametric Kruskal Wallis untuk kedua data tersebut.


(4)

NPar Tests

Ranks

4 10.50

4 11.13

4 7.50

4 14.25

4 21.25

4 10.38

24

4 17.50

4 7.50

4 6.50

4 12.50

4 16.75

4 14.25

24 Kelompok

K P1 P2 P3 P4 P5 Total K P1 P2 P3 P4 P5 Total Hematokrit

Retikulosit

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

9.207 8.574

5 5

.101 .127

Chi-Square df

Asymp. Sig.

Hematokrit Retikulosit

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Kelompok b.


(5)

Kruskal-Wallis Test

Ranks

4 18.63

4 11.38

4 2.50

4 12.38

4 19.00

4 11.13

24 Kelompok

K P1 P2 P3 P4 P5 Total morfologi

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

14.920 5 .011 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

morfologi

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Kelompok b.

Mann-Whitney Test

Ranks

4 6.00 24.00

4 3.00 12.00

8 Kelompok

K P1 Total morfologi

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

2.000 12.000 -1.845 .065 .114a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

morfologi

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.


(6)

Ranks

4 6.50 26.00

4 2.50 10.00

8 Kelompok

K P2 Total morfologi

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

.000 10.000 -2.337 .019 .029a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

morfologi

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.

Ranks

4 5.75 23.00

4 3.25 13.00

8 Kelompok

K P3 Total morfologi

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

3.000 13.000 -1.479 .139 .200a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

morfologi

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.