5.2. Analisis Tipologi Kelembagaan Komunitas Nelayan di Kawasan PPI Cisolok
. Hasil analisis tipologi kelembagaan ini dimaksudkan untuk “memetakan”
kondisi dan proses perkembangan kelembagaan grassroots di kawasan PPI Cisolok, Desa Cikahuripan. Berdasarkan peta kelembagaan di kawasan PPI
Cisolok yang dilengkapi dengan berbagai informasi mengenai kasus-kasus yang khas di lapangan, diharapakan dapat dihasilkan suatu rumusan strategi untuk
pemberdayaan masyarakat lokal yang bersifat holistik. Kerangka konseptual tipologi kelembagaan komunitas lokal ini merupakan
suatu “abstraksi’ terhadap hasil kajian empiris yang dilakukan dengan metode survey. Kajian empiris tersebut mengidentifikasikan tiga faktor penentu
keberlanjutan kelembagaan, yaitu: 1. Pelayanan terhadap anggota; 2. Peran serta anggota; 3. Good governance. Dari perspektif social capital, yang intinya
membangun dan mengembangkan jejaring networking, dapat dijelaskan bahwa interaksi atau “keseimbangan dinamis” antara “pelayanan” dan “peranserta”
merupakan suatu modal sosial kelembagaan yang mengindikasikan bahwa secara kelembagaan dicapai suatu “keberhasilan proses manajemen”. Sedangkan good
governance mengindikasikan bahwa telah terjadi proses pelembagaan pada
kelembagaan komunitas lokal yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan akauntabilitas Tonny, 2004.
Berdasarkan analisis tipologi kelembagaan yang dilakukan di kawasan PPI Cisolok, terdapat kelembagaan produksi dan pemasaran yang keberadaannya
dominan dirasakan oleh masyarakat. Kondisi kelembagaan tersebut berdasarkan penilai masyarakat adalah sebagai berikut.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden yang Menilai Kelembagaan Menurut Tipe Kelembagaan dan Tipologi di Kawasan PPI Cisolok.
Tipe-1 Tipe-2 Tipe-3 Tipe-4 Total No. Kelembagaan
N N N N N
1 Produksi 1 12,5
1 12,5 4 50 2 25 8 100,0
2 Pemasaran 0 0 2 9,1 20 90,9 0 0 22 100,0
Total 1 3,3 3 10 24 80 2 6,7 30 100,0
Sumber: Data Primer
Gambar 4.
Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal menurut Tipe Kelembagaan dan Tipologi di Kawasan PPI Cisolok.
Sumber: Data Primer.
Berdasarkan hasil analisis Tabel 3 dan Gambar 1 maka dapat ditunjukan bahwa sebanyak 3,3 persen responden menilai bahwa kelembagaan
komunitas lokal di kawasan PPI Cisolok adalah kelembagaan yang berkelanjutan. Sebanyak 10 persen responden menilai bahwa kelembagaan yang ada termasuk
dalam kategori semi-sustain dengan kendala manajemen. Kelembagaan yang dikategorikan sebagai kelembagaan yang tidak sustain dinilai oleh sebanyak 80
persen responden. Sedangkan sebanyak 6,7 persen responden menilai kelembagaan di kawasan PPI Cisolok sebagai kelembagaan yang semi-sustain
dengan kendala good governance. Analisis selanjutnya telaah berdasarkan jenis kelembagaan dan tipologi
kelembagaan menunjukan bahwa 12,5 persen responden menilai bahwa kelembagaan produksi adalah kelembagaan yang sustain dibandingkan dengan
kelembagaan pemasaran. Sebanyak 12,5 persen responden menilai bahwa kelembagaan produksi lebih mengalami semi-sustain dengan kendala manajemen
dibandingkan dengan kelembagaan pemasaran 9,1 persen.
“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”
Produksi 12,5
Pemasaran 0
Rendah Tinggi
“Bad Governance” “Good Governace”
1
3 2
“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”
4
Produksi 12,5
Pemasaran 9,1
Produksi 25
Pemasaran 0 Produksi
50 Pemasaran
90,9
Sebanyak 90,9 persen responden menilai bahwa kelembagaan pemasaran berada pada posisi tidak sustain, dan ini jauh lebih tinggi dari penilaian responden
terhadap kelembagaan produksi yang hanya 50 persen. Pada kelembagaan semi- sustain dengan kendala good governance, penilaian responden lebih tinggi pada
kelembagaan produksi 25 persen dibandingkan kelembagaan pemasaran yang hanya 0 persen.
Apabila dilihat dalam cakupan yang lebih luas mengenai social capital yang dimiliki oleh Desa Cikahuripan, maka akan didapati adanya kelembagaan-
kelembagaan lokal yang diharapkan menjadi sarana dalam peningkatan human capital
dan physical capital komunitas lokal Desa Cikahuripan. Beberapa kelembagaan yang telah teridentifikasi, meliputi Kelompok Nelayan TPI
Cikahuripan, Kelompok Usaha Bersama KUB Tenggiri, KUB Hurip Mandiri, dan Badan Usaha Milik Desa BUMDes Desa Cikahuripan.
a. Kelompok Nelayan TPI Cikahuripan Stakeholder yang berperan dalam kelompok nelayan TPI Cikahuripan, antara
lain: 1. Nelayan
2. Kepala TPI Orang yang ditugaskan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pemda
Kabupaten Sukabumi untuk mengawasi, mencatat, dan mengatur proses lelang yang dilakukan di TPI PPI Cisolok.
3. Karyawan TPI Tukang dorong kapal, pemikul ikan 4. Taweu atau Toke
Nelayan pemilik yang memberikan pinjaman perahu ke para nelayan, sekaligus pemberi modal untuk kelaut khususnya untuk jenis perahu
payang atau rumpon. 5. Penjual atau Pemodal
Pembeli ikan dari nelayan atau taweutoke, sekaligus berperan sebagai pemberi modal kepada para nelayan atau taweu yang tidak memiliki modal.
6. Bakul atau Pengumpul Pembeli ikan dari penjualpemodal, biasanya mereka akan menjual kembali
ikan ke pembeli akhir konsumen, tetapi jika pendapatan ikan banyak dan
harga ikan tinggi para bakul akan menjual ikan khususnya ikan layur ke bakul besar yang dikenal oleh masyarakat dengan nama PT. LIGO.
7. Bakul besar LIGO Agen pengumpul ikan dalam skala besar, ikan yang didapatkan berasal dari
para nelayan langsung yang berada dibawah koordinasi LIGO dan juga berasal dari bakul-bakul yang ada di TPI Cikahuripan, khususnya untuk
komoditas ikan layur. LIGO menjual ikannya ke PT. JIKO GANTUNG POWER URI yang kemudian di ekspor ke Korea dan Taiwan.
b. KUB Tenggiri dan KUB Hurip Mandiri Kelompok Usaha Bersama KUB Tenggiri dan Hurip Mandiri merupakan
lembaga ekonomi mikro UMKM yang ada di Desa Cikahuripan yang masih bertahan. Jenis usaha KUB tersebut bergerak didalam bidang pengolahan hasil
ikan, antara lain: abon ikan, bakso ikan, kerupuk tulang ikan, dan nudget ikan. Anggota kelompok KUB Tenggiri dan KUB Hurip Mandiri sebagian besar
merupakan ibu-ibu nelayan yang tinggal disekitar dusun Pajagan. c. Kelembagaan BUMDes
Kondisi BUMDes Desa Cikahuripan masih dalam tahap persiapan. BUMDes Cikahuripan baru dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa No.04
Tahun 2008 yang memiliki tujuan untuk menjadi perusahaan atau lembaga ekonomi desa yang mampu memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat.
Empat rencana unit usaha BUMDes Cikahuripan, adalah: 1. Unit usaha penyewaan sound system dan lainnya,
2. Unit usaha meubeler, 3. Industri kecil paving-blok
4. Simpan pinjam dan usaha perikanan Unit usaha ini bergerak untuk menopang ekonomi masyarakat dengan
meminjamkan modal usaha yang tidak mengikat serta penyediaan alat-alat untuk kebutuhan nelayan.
Kelembagaan-kalembagaan yang dipaparkan diatas, tidak semuanya menyenyuh grassroots perikanan tangkap. Hanya kelembagaan kelompok nelayan
TPI Cikahuripan dan kelembagaan BUMDes pada sub usaha simpan pinjam dan usaha perikanan yang langsung bersinggungan dengan grassroots perikanan
tangkap. Oleh karena itu perlu adanya upaya kerjasama antara kelembagaan tersebut dengan komunitas nelayan yang bersifat positive-sum, artinya pemberian
daya dari pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri yang berujung pada kemandirian bersama.
Kembali kepada hasil analisis tipologi kelembagaan. Dari hasil analisis tersebut, diketahui bahwa yang menjadi permasalahan adalah kelembagaan
produksi 50 dan kelembagaan pemasaran 90 berada pada posisi tidak sustain. Penilaian ini dipilih oleh 80 persen total responden. Mari kita lihat apa
yang sebenarnya terjadi dengan dua kelembagaan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dilapangan, diketahui
bahwa kelembagaan produksi dan pemasaran berada di bawah kendali LIGO. LIGO membuat semacam aturan amin yang digunakan untuk mengikat nelayan,
sehingga penguasaan sumberdaya dapat didominasi keuntungannya oleh LIGO dan kelembagaan nelayan TPI Cikahuripan sebenarnya berada dibawah kontrol
LIGO. Aturan main yang berlaku di dalam kelembagaan kelompok nelayan TPI
Cikahuripan, adalah sebagai berikut: dalam kelembagaan produksi, nelayan atau taweu ketika akan melakukan operasi penangkapan ikan biasanya meminjam
modal pada pembeli baik untuk bahan bakar, perbekalan ataupun perawatan armada. Namun, tidak semua nelayan dapat melakukan hal tersebut. Hanya
mereka yang memiliki kedekatan hubungan atau telah dipercaya oleh pembeli yang akan mendapat pinjaman dengan mudah. Selain mereka biasanya hanya
mendapat pinjaman alakadarnya saja. Pinjaman yang diberikan oleh pembeli kepada nelayan atau taweu ini tidak
serta merta harus dilunasi dalam sekali pembayaran. Nelayan atau taweu diwajibkan menabung kepada pembeli untuk setiap kali setiap kali hasil trip
penangkapan. Besar minimal tabungan ditentukan oleh pembeli. Hasil tabungan ini akan diakumulasi setiap tahun dan dilakukan perhitungan antara jumlah hutang
dan jumlah tabungan setiap tanggal 25 Ramadhan. Biasanya pembeli tidak langsung memotong tabungan untuk melunasi seluruh hutang. Sebagian hutang
akan tetap disisakan oleh pembeli untuk menjaga hubungan antara nelayan dengan pembeli tetap terjalin.
Proses pemasaran yang terjadi pada hasil tangkapan nelayan dilakukan dengan sistem ijon. Nelayan harus menjual seluruh hasil tangkapannya kepada
ketua masing-masing kelompok, yakni pembeli. Harga hasil tangkapan yang di jual ditentukan oleh pembeli. Hal ini terjadi karena pembeli telah merasa berjasa
dalam pemberian bantuan modal kepada nelayan. Nelayan pun tidak mampu berbuat banyak untuk melawan dominasi pembeli ini. Sempitnya akses pasar yang
dimiliki nelayan, menjadi penyebab terbesar dari mengakarnya dominasi pembeli dalam komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok.
Seluruh hasil tangkapan yang terkumpul ditangan para pembeli, semuanya dijual kepada LIGO. Namun, untuk komoditas hasil tangkapan yang tidak
diterima LIGO, maka pembeli menjualnya kepada bakul. LIGO yang merupakan suplier tunggal akan mengirim produknya ke PT. JIKO GANTUNG POWER
yang ada di Palabuhanratu untuk kemudian diekspor ke beberap negara di Asia.
Gambar 5. Rantai Pemasaran Hasil Tangkapan di PPI Cisolok
Kondisi yang terjadi dalam kelembagaan produksi dan pemasaran masih bersifat eksploitatif, dimana nelayan masih menerima penghasilan paling kecil
dari rantai pemasaran yang ada, khususnya untuk komoditas ikan layur. Berikut, data hasil tangkapan yang dikeluarkan oleh pihak TPI di PPI Cisolok tahun 2008:
Nelayan
PT. Jiko Gantung Power Pasarpengecer
LIGO Bakul
Penjual TaweuToke
Tabel 8 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Cisolok Tahun 2008.
Sumber: TPI Cisolok data Sekunder
Terdapat beberapa stakeholder yang terlibat dalam kelembagaan produksi dan pemasaran. Diantaranya 465 orang nelayan, tapi untuk tahun 2008 hanya
tercatat 415 nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan, 36 oarng bakul, 7 orang pembeli, dan 1 suplier. Dengan dipaparkannya rantai pemasaran ikan
seperti di atas, maka akan terlihat gambaran umum mengenai jumlah penghasilan yang diterima masing-masing stakeholder dalam rantai pemasaran khususnya
untuk komoditas ikan layur. Berdasarkan data hasil tangkapan diatas maka akan diketahui jumlah ikan
layur yang di daratkan pada tahun 2008 sebanyak 21.200 Kg. harga jual yang diterima nelayan dari pembeli sebesar Rp 12.000,-Kg, pembeli menjual kembali
LIGO dengan harga Rp 15.000,- Kg, dan LIGO memasok ikan layur tersebut ke PT. JIKO GANTUNG POWER dengan harga Rp 17.000,- Kg.
Ketimpangan pendapatan bisa dilihat dari jumlah penghasilan yang diterima oleh per individu nelayan, pembeli, dan LIGO. Pendapatan kotor nelayan
sebesar Rp 613.012,- tahun sebelum dikurangi modal melaut, retribusi, dan upah Jenis Hasil Tangkapan Kg
Bulan
Layur Tembang Layang Tongkol Banyar Tenggiri Peda Lainnya
Januari 176 400 1835 375 56
Februari 88 1360 585 230 Maret 200
440 565 67
April 1750 Mei 480
Juni 700 Juli 1893
345 Agustus 3095
137 September 10234
Oktober 540 160
November 510 Desember 1534
buruh angkut. Pendapatan kotor yang diterima oleh tiap pembeli rata-rata Rp 9.085.714,- tahun, dan LIGO memperoleh keuntungan kotor dari rantai
pemasaran ini sebesar Rp 42.400.000,- tahun sebelum dikurangi biaya pembelian es, penyimpanan, dan pengiriman ke eksportir.
Gambar 6. Persentase pemotongan pada rantai tataniaga TPI Cikahuripan
Satu hal yang perlu diingat bahwa tingkat partisipasi sejalan dengan keberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat “empowerment is road to
participation ”. Dengan kata lain, harus ada upaya dilakukan agar warga
komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian.
5.3. Pandangan Stakeholder untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Kawasan PPI Cisolok.