1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini banyak program pemberdayaan yang mengklaim sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat bottom up, tapi
ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut, sebagai akibatnya banyak program yang hanya seumur masa proyek dan
berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Pertanyaan kemudian muncul apakah konsep pemberdayaannya yang salah atau pemberdayaan
dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu dari segolongan orang Syarief,2008. Sudah banyak usaha-usaha yang digulirkan baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan perikanan. Namun, usaha-usaha yang dilakukan tersebut seolah tidak memberikan dampak
yang berarti khususnya bagi nelayan sebagai pelaku terdepan dalam sektor perikanan.
Tidak optimalnya pengaturan sektor perikanan oleh pemerintah dan adanya sejumlah kedudukan serta peranan yang berbeda dalam masyarakat telah
melahirkan kelembagaan-kelembagaan yang diprakarsai oleh kelompok elit yang ada di masyarakat. Dalam sosiologi, kelompok elit tersebut didefinisikan sebagai
anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya, serta berkuasa. Menurut Usman dalam Tonny 2005, mereka
adalah kelompok minoritas superior yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan untuk mengendalikan aktifitas perekonomian dan sangat
dominan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Penjelasan tentang kelahiran kelompok elit dalam masyarakat biasa
dihubungkan dengan dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang percaya bahwa kelompok ini lahir dari proses alami, mereka adalah orang-orang terpilih yang
oleh Tuhan dikarunia kepandaian, kemampuan, dan keterampilan lebih tinggi dalam mengatasi atau memecahkan persoalan hidup. Mereka memiliki kapasitas
personal yang lebih potensial daripada massa. Pendapat kedua adalah yang percaya bahwa kelompok elit lahir akibat dari kompleksitas organisasi sosial.
Keberadaan kelembagaan-kelembagaan informal ini telah mengambil alih peran dari beberapa lembaga formal di masyarakat. Secara fungsional keberadaan
kelembagaan informal ini sangat dibutuhkan dalam menjembatani antara kemauan pemerintah dan kepentingan masyarakat dalam memacu gerak pembangunan di
negara sedang berkembang manakala fungsi dari lembaga formal tidak berjalan dengan optimal. Namun, masalah baru akan timbul ketika terjadi konflik sosial
antara kelompok elit dan pemerintah. Eratnya interaksi sosial yang terjalin antara nelayan dengan berbagai stakeholder menjadikan kelembagaan informal ini
memiliki kekuasaan yang lebih terhadap nelayan dibandingkan pemerintah, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh lembaga formal.
Selama interaksi yang terjalin antara nelayan dengan kelembagaan informal ini saling menguntungkan, tidak akan timbul masalah. Namun yang
dikhawatirkan adalah terjadinya monopoli kekuasaan oleh kelompok elit terhadap nelayan melalui mekanisme pranata sosial. Prasodjo dalam Tonny 2003
mengartikan sebagai kelembagaan sosial yang dimanfaatkan untuk mempertahankan sistem stratifikasi sosial dapat berupa politik, kelembagaan
ekonomi seperti hak kepemilikan terhadap barang dan usaha, kelembagaan agama, pendidikan, militer, kekerabatan, dan lain-lain.
Guna memahami interaksi antar stakeholder perikanan tangkap, penelitian telah dilakukan di Cisolok. Kawasan PPI Cisolok memiliki karakteristik yang unik
: PPI Cisolok merupakan kawasan sektor perikanan yang kedepannya akan menggantikan fungsi PPN Palabuhanratu bagi kapal-kapal berukuran 30 GT ke
bawah. Namun kondisi perikanan yang ada sangat memprihatinkan banyak nelayannya di PPI Cisolok yang memilih untuk bekerjasama dengan
kelembagaan-kelembagaan informal dalam melakukan aktifitasnya. Hal ini menarik untuk dikaji karena disana peran dari beberapa lembaga formal mulai
tergantikan.
1.2 Tujuan