6 Rosela merupakan tumbuhan yang berkembang baik di daerah
beriklim tropis dan subtropis. Budidayanya dapat dilakukan di segala macam tanah, tetapi paling cocok pada tanah yang subur dan gembur.
Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 900m di atas permukaan laut. Curah hujan yang dibutuhkan
adalah 180cm. Jika curah hujan tidak mencukupi, irigasi akan memberikan hasil yang baik Maryani dan Kristiana, 2005.
Rosela yang direbus dalam air panas, menghasilkan minuman yang berwarna merah. Warna merah ini dapat dimanfaatkan sebagai zat warna
alami pada berbagai produk pangan. Komponen yang berperan memberikan warna merah pada hasil ekstraksi rosela ini merupakan
pigmen dari golongan antosianin. Puckhaber 2002 menyatakan bahwa ekstrak bunga dari genus Hibiscus kebanyakan mengandung antosianin
jenis delfinidin, sianidin, petunidin, miricetin, pelargonidin, malvidin, quercetin, dan kaempferol. Sebanyak 85 dari total antosianin yang
terdapat pada
tanaman rosela
diidentifikasi sebagai
delfinidin 3-sambubiosida yang memberikan warna merah pada hasil ekstraksi
rosela. Selain itu, golongan antosianin lain yang juga terdapat pada tanaman rosela adalah sianidin 3-samubiosida yang memberikan warna
pink pada hasil ekstraksi rosela Hong dan Wrolstad, 1990, Tsai dan Ou, 1996; Tsai et al., 2002. Selain dua antosianin utama tersebut, ekstrak cair
dari kelopak kering bunga rosela juga mengandung komponen antosianin minor, yaitu delfinidin 3-glukosida dan sianidin 3-glukoasida Du dan
Francis, 1973. Selain itu rosela juga mengandung komponen fenolik lainnya yang memiliki aktivitas antioksidan.
B. PEWARNA MAKANAN
Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Keinginan untuk
mengkonsumsi dan membeli produk pangan seringkali ditentukan oleh warna produk pangan tersebut yang menarik perhatian. Warna dalam
bahan pangan juga dapat menjadi ukuran terhadap mutu dari bahan pangan tersebut. Menurut Winarno 1997 apabila suatu produk memiliki nilai gizi
7 yang baik, rasa yang enak, dan tekstur yang baik tetapi memiliki warna
yang kurang menarik akan memberikan kesan menyimpang pada produk pangan tersebut.
Pewarna makanan adalah zat warna alami maupun buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh
warna yang diinginkan Enie, 1987. Tujuan penambahan pewarna ke dalam makanan dan minuman antara lain adalah untuk memperbaiki
penampakan produk pangan yang memudar akibat pengolahan, memperoleh penampakan warna yang seragam, memperoleh warna yang
lebih tua dari aslinya, melindungi flavor dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, memperoleh penampakan yang lebih
menarik dari aslinya, untuk memberi identitas produk, dan sebagai indikator visual dari kualitas Tjahjadi, 1987.
Ketentuan mengenai penggunaan pewarna di Indonesia diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 722MenkesPerIX1988 dan dalam
SNI Standar Nasional Indonesia 01-0222-1995 mengenai Bahan Tambahan Makanan BTM. Pewarna makanan terbagi menjadi tiga
golongan, yaitu pewarna alami, pewarna identik alami dan pewarna sintetik Bauernfeind, 1981.
Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang diperoleh dari bahan nabati, hewani, atau sumber-sumber mineral. Contoh pewarna alami
antara lain curcumin, riboflavin, klorofil, antosianin, brazilein, dan karotenoid.
Pewarna identik alami merupakan pewarna yang disentetis secara kimia sehingga menghasilkan pewarna dengan struktur kimia yang
samaidentik dengan pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni, antara lain: canthaxanthin merah, apo-karoten merah-
oranye, beta-karoten oranye-kuning. Semua zat warna ini memiliki batas konsentrasi maksimum penggunaan, kecuali beta-karoten yang boleh
digunakan dalam jumlah tidak terbatas. Pewarna sintetik merupakan bahan pewarna yang memberikan
warna yang tidak ada di alam dan dihasilkan dengan cara sintesis kimia,
8 bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi Hendry, 1996. Berdasarkan
rumus kimianya, pewarna sintetik dalam makanan menurut Joint FAOWHO Expert Committee on Food Additive
JECFA dapat digolongkan dalam beberapa kelas, yaitu azo, triarilmetana, quinolin,
xanten, dan indigoid. Kelas azo merupakan pewarna sintetik yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, oranye, merah, ungu, dan
coklat, setelah itu kelas triarilmetana yang mencakup warna biru dan hijau. Berdasarkan kelarutannya dikenal dua macam pewarna sintetis, yaitu dyes
dan lakes. Dyes adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sedangkan lakes merupakan zat pewarna yang tidak larut pada hampir
semua jenis pelarut. Bila dibandingkan dengan pewarna sintetik, penggunaan zat warna
alami mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain: memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan, konsentrasi dan stabilitas pewarna yang
rendah, keseragaman warna kurang baik, dan spektrum warna yang kurang luas. Pewarna sintetik lebih banyak digunakan dalam pembuatan berbagai
macam produk pangan karena memiliki kestabilan warna yang baik dan memiliki spektrum warna yang luas.
Dalam daftar FDA Food and Drug Administration, pewarna alami dan pewarna identik alami tergolong dalam uncertified color, karena
tidak memerlukan sertifikat kemurnian kimiawi, sedangkan pewarna sintetik harus melalui berbagai prosedur pengujian atau proses sertifikasi
sebelum akhirnya dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis
media terhadap pewarna tersebut. Pewarna makanan yang diijinkan penggunaannya dikenal dengan nama certified color atau permitted color.
Sementara itu, pewarna makanan yang belum diijinkan penggunaannya dan masih perlu diuji aspek keamanannya terhadap kesehatan manusia
digolongkan ke dalam provisional list.
9
C. ANTOSIANIN