Gambar 3 Akses jalan menuju areal lahan perkebunan Sarana dan prasarana peribadatan yang terdapat di Desa Sipak hanya masjid
sebanyak 8 buah dan musholla sebanyak 10 buah karena mayoritas penduduk Desa Sipak beragama Islam. Sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di
antaranya Taman Kanak-kanak TK sebanyak 3 buah, Sekolah Dasar SD sebanyak 5 buah, Sekolah Menengah Pertama SMP sebanyak 1 buah. Sekolah
Menengah Atas SMA belum tersedia di desa ini. Selain sarana pendidikan
umum, terdapat juga sarana pendidikan Islam, di antaranya TK Alqur’an sebanyak 2 buah, Madrasah Ibtidaiyah MI sebanyak 2 buah, Madrasah Tsanawiyah MTs
sebanyak 1 buah, pondok pesantren sebanyak 22 buah dan majlis taklim sebanyak 10 buah.
Sarana dan prasarana di bidang olahraga yang dimiliki oleh Desa Sipak di antaranya 3 buah lapangan sepak bola, 4 buah lapangan badminton, 2 buah
lapangan voli, dan 7 buah lapangan tenis. Di bidang kesehatan, Desa Sipak memiliki 12 posyandu dengan 50 orang kader yang masih aktif setiap bulannya,
seorang dokter praktik swasta, seorang bidan desa, seorang bidan praktik swasta, dan 3 orang dukun beranak terlatih. Sarana dan prasarana lainnya yang tersedia di
desa ini yaitu kantor desa, 12 buah pos kamling, dan pasar Jasinga yang terletak di Desa Sipak.
5. Pranata Sosial dan Kelembagaan
Kondisi sosial dan politik serta ketenteraman dan ketertiban di wilayah Desa Sipak terbilang cukup aman terkendali. Mayoritas masyarakat Desa Sipak adalah
orang Sunda dan beragama Islam sehingga sehingga tatanan kehidupan mereka tidak terlalu beragam. Setiap masyarakat masih memegang teguh norma-norma
dan etika yang berlaku. Itulah sebabnya mereka hidup dengan rukun satu sama lain.
Desa Sipak memiliki kelembagaan berupa kelompok tani yang berjumlah 13 buah tetapi yang baru dilegalisir hanya 5 buah, yaitu kelompok tani Tulus Rahayu,
Wargi Mekar, Tunas Harapan, Bondol, dan Warisan, dan 3 buah gapoktan. Selain itu, terdapat juga 10 buah majlis taklim yang merupakan lembaga keagamaan di
Desa Sipak.
PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA DI KECAMATAN JASINGA
Riwayat Status Tanah di Jasinga
Program reforma agraria yang dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini yang berwenang adalah Badan Pertanahan Nasional BPN, dinamakan Program
Pembaruan Agraria Nasional PPAN. Program ini mencakup redistribusi lahan dan pemberian sertifikat gratis kepada warga di sepuluh desa di Kecamatan
Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sepuluh desa tersebut di antaranya Desa Koleang, Curug, Tegalwangi, Jugalaya, Setu, Sipak, Pangradin, Jasinga,
Pamagersari, dan Kalongsawah. Desa-desa tersebut merupakan lokasi bekas Hak Guna Usaha HGU PT. PP. Jasinga seluas 2 426.9297 ha.
Luas semula perkebunan PT. PP. Jasinga adalah 3 326.9299 ha. Perkebunan ini baru diberikan HGU oleh pemerintah pada tahun 1978. Oleh karena sebelum
tahun 1978 sudah banyak garapan milik rakyat di tanah tersebut, pemerintah hanya memberikan hak seluas 2 426 ha kepada PT. PP. Jasinga, sedangkan sekitar
900 ha dikeluarkan untuk rakyat. Hal ini sesuai dengan SK Mendagri Nomor SK.57HGUDA78 tanggal 3 Agustus 1978 BPN-Kab.Bogor 2007. Informasi
mengenai status tanah di Jasinga sebagai berikut BPN-Kab. Bogor 2007.
1. Hak Erfpacht, Verponding Nomor 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 118, s.d. 127, seluas 3 306.0066 ha dan Hak Eigendom Verp. Nomor 3092 s.d. 3097
dan 3214 seluas 20,9213 ha. 2. Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1964 perkebunan tersebut
berada dalam penguasaan dan pengawasan pemerintah. 3. SK Mendagri Nomor 57HGUDA1978 tanggal 3 Agustus 1978 diputuskan:
a. Status Hak ErpachtHGU dan Hak EigendomHGB atas tanah NV. Cultur Maatchapij Djasinga telah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.
b. Diberikan HGU kepada PT. PP. Djasinga seluas 2 426.9279 ha. c. HGU yang diberikan PT. PP. Djasinga berlaku sejak 13 Mei 1978 dan
berakhir tanggal 31 Desember 1998. d. Sesanya seluas ± 900 ha dikecualikan dari pemberian HGU karena sudah
digarap oleh rakyat. Lebih lengkap mengenai riwayat status tanah dapat dilihat pada skema berikut
BPN-Kab. Bogor 2007.
Gambar 4 Skema status tanah di Jasinga Riwayat status tanah perkebunan di Jasinga sebenarnya sudah sangat jelas
seperti yang telah disebutkan pada Gambar 4, tetapi masyarakat yang telah lama menggarap tanah tersebut dari jauh sebelum tanah tersebut diberikan HGU-nya,
merasa diperlakukan tidak adil karena bagian mereka menjadi berkurang, akibatnya mereka menganggap ada ketimpangan dalam hal penguasaan dan
penggarapan lahan tersebut.
Pelaksanaan Reforma Agraria di Jasinga 1. Latar Belakang
Tanah telah menjadi salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, berbicara tentang tanah pasti berbicara
tentang hubungan teknis dan hubungan sosial agraris juga. Masalah mengenai ketimpangan struktur penguasaan tanah bukan merupakan hal yang baru di
Indonesia. Jika dilihat secara makro, ketimpangan tersebut terdapat di tiga sektor, yakni kehutanan, perkebunan, dan pertanian pangan Wiradi 2009. Ketimpangan
struktur penguasaan tanah terjadi ketika tanah dijadikan sebagai komoditas. Proses perencanaan kota, pengembangan wilayah perumahan, kawasan industri,
dan lain-lain pasti membutuhkan tanah untuk pelaksanaannya, ketika itulah tanah menjadi komoditas. Padahal, wakil presiden Bung Hatta pernah berpesan dalam
pidatonya di Yogyakarta pada tahun 1946, mengenai masalah pertanahan. Isi pesan beliau salah satunya adalah sebagai berikut Wiradi 2009.
“… Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dengan negara karena negara itu alat
masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum ... ”
Pemda 100 ha
Masyarakat 617 ha
Perpanjangan 1 163 ha
PT. Indocement 189.00 ha
Masyarakat 419 ha
PT. Telkom 0.14 ha
Hasil ukur oleh Kanwil 1 880.09 ha
PT. PP. Jasinga sisa 2 426.9299 ha
Masyarakat ± 900.00 ha
Perkebunan Jasinga 3 326.9299 ha
PT. Indocement ± 711.27 ha
Masyarakat ± 189 ha
PT. Haza Sarmil
± 771 ha
Wiradi 2009 mengungkapkan di satu sisi rakyat menganggap tanah adalah tumpuan kehidupannya, sementara di sisi lain negara membutuhkan pengorbanan
rakyat untuk menyerahkan tanahnya demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Berkaitan dengan tanah perkebunan di Jasinga, ternyata pesan tersebut
tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi. Kenyataannya justru terjadi konflik mengenai penguasaan dan penggarapan tanah perkebunan. Rakyat sangat
membutuhkan tanah untuk menyambung hidupnya, sedangkan luas garapan yang diberikan pemerintah dirasa kurang dan jumlah penggarap terus bertambah.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa luas areal perkebunan PT. PP. Jasinga awalnya adalah adalah 3 326.9299 ha, kemudian setelah diberikan HGU oleh
pemerintah menjadi 2 426 ha karena sekitar 900 ha telah diberikan oleh rakyat yang telah menggarap lahan tersebut selama bertahun-tahun. HGU yang diberikan
pada tanggal 3 Agustus 1978 itu berakhir 20 tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 Agustus 1998. Sejak berakhirnya masa HGU perkebunan itu, tuntutan rakyat
untuk memiliki tanah tersebut semakin memuncak. Rakyat benar-benar haus tanah pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi pada era tersebut
Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi.
Tuntutan rakyat yang semakin menggebu tidak membuat pemerintah Jasinga tinggal diam. Akhirnya dibentuklah Paguyuban 10 Kepala Desa untuk
mengusahakan agar rakyat mendapatkan hak atas tanah tersebut atas nama sendiri. Melalui proses yang cukup panjang dan dengan usaha serta kerja keras rakyat dan
Paguyuban 10 Kepala Desa tersebut, tuntutan mereka akhirnya mendapat jawaban pihak perkebunan. PT. PP. Jasinga bersedia melepaskan tanah untuk para
penggarap di 10 desa dalam 3 tahapan: 1 tahun 1998 seluas 419 ha, 2 tahun 2000 seluas 86 ha, dan 3 tahun 2003 seluas 537 ha. Total tanah yang dilepaskan
oleh PT. PP. Jasinga adalah seluas 1 043 ha dengan perkiraan semula jumlah penggarap sebanyak 4 581 orang.
Sesudah tuntutan dipenuhi oleh pihak perkebunan, nampaknya rakyat belum juga merasa puas. Mereka ingin mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka.
Hal ini karena mereka takut jika sewaktu-waktu tanahnya akan diambil kembali oleh pihak perkebunan. Akhirnya mereka membuat tuntutan baru, yakni mengenai
kejelasan status atas tanah mereka dengan sertifikasi. Paguyuban 10 Kepala Desa juga membantu menyuarakan tuntutan ini ke pemerintah. Harapan rakyat akhirnya
mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Bogor dengan mengadakan program reforma agraria yang dinamakan Program Pembaruan Agraria Nasional
PPAN di Kecamatan Jasinga. Program ini merupakan yang pertama di Kabupaten Bogor dan menjadi percontohan.
2. Riwayat Penyelesaian Tanah