5.3.2  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
Variabel  bebas  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  yaitu  pendapatan domestik  regional  bruto  perkapita  PDRB,  dana  bagi  hasil  DBH,  jumlah
penduduk  POP,  pengangguran  TPT,  pengeluaran  kesehatanSEHAT  dan penduduk  yang  lulus  SMU  SMU  serta  variabel  tidak  bebas  yaitu  kemiskinan
POOR.  Penyusunan  model  data  panel  dilakukan  dalam  dua  tahap.  Pertama, membandingkan  fixed  effects  model  dengan  random  effects  model.  Kedua,
membuat  estimasi  model  atau  persamaan  dengan  menentukan  koefisien  masing- masing  variabel  bebas.  Software  yang  dipergunakan  dalam  pengolahan  data
penelitian adalah Eviews 6.0. Penentuan model yang sesuai ditetapkan dengan uji Hausman. Statistik Uji
Hausman  mengikuti  distribusi  statistik  Chi  Square  dengan  degree  of  freedom sebanyak  jumlah  variabel  bebas  dari  model.  Uji  kesesuaian  model  data  panel
dengan fixed effects dan random effects menggunakan uji Hausman menunjukkan nilai  p-value
2
 prob.    0,05,  hal  ini  berarti  model  persamaan  yang  disusun memiliki  heterogenitas  individu  tetapi  tidak  secara  random.  Dengan  demikian
fixed effects model lebih sesuai digunakan. Tabel 9
Uji  Signifikansi  Variabel  Bebas  pada  Persamaan  Kemiskinan Kabupaten Penghasil Migas tahun 2004-2007
Variabel Persamaan 1
Persamaan 2 Persamaan 3
Koefisien Prob
Koefisien Prob
Koefisien Prob
C 14.3191
0.00 14.5832
0.00 8.2124
0.00 PDRB perkpt juta Rp
-0.0498 0.00
0.0719 0.02
-0.0314 0.00
DBH milyar Rp -0.0001
0.60 -0.00005
0.68 0.0015
0.42 POP ribu orang
0.0082 0.00
0.0104 0.01
0.0110 0.00
TPT persen 0.2455
0.00 0.2239
0.07 0.4093
0.00 SEHAT milyar Rp
-0.0093 0.00
-0.2209 0.16
-0.1413 0.00
SMU persen -0.1990
0.00 -0.0181
0.00 -0.0020
0.45 R
2
0.99679 0.995262
0.99648 Adj R
2
0.99547 0.992454
0.99488 F statistic
191.8491 354.457
621.207 Sumber : Data diolah
Ket :   Persamaan  1  seluruh  kabupaten,  Persamaan  2  kabupaten  dengan  peran  sektor pertambangan  25  persen,  Persamaan  3  kabupaten  dengan  peran  sektor
pertambangan 25 persen.
Persamaan pada Tabel 9, menghasilkan nilai R
2
untuk persamaan 1,2, dan 3  yang  sama  yaitu 0.9967, 0.9952, 0.9964  yang  berarti  bahwa  pengaruh  variabel
bebas  produk  domestik  regional  bruto,  dana  bagi  hasil,  jumlah  penduduk, pengangguran,  pengeluaran  kesehatan  dan  penduduk  yang  lulus  SMU  terhadap
variabel  tidak  bebas  kemiskinan  sebesar  99.67,  99.52  dan  99.64  persen  sedang sisanya  sebesar  0.33,  0.48 dan  0.56 persen  lainnya  dijelaskan  oleh  variabel  yang
tidak masuk dalam model. Hasil  pengujian  pengaruh  variabel  bebas  secara  serempak  terhadap
varaiabel  tidak  bebas  dengan  menggunakan  uji  F  menunjukkan  nilai  F  hitung sebesar 754.45 jauh lebih besar dibandingkan dengan F tabel yang mencapai nilai
2.09.  Secara  keseluruhan  dari  hasil  uji  F  diketahui  bahwa  variabel  produk domestik  regional  bruto,  dana  bagi  hasil,  jumlah  penduduk,  pengangguran,
pengeluaran  kesehatan  dan  penduduk  yang  lulus  SMU  signifikan  berpengaruh terhadap variabel kemiskinan.
Variabel pendapatan domestik regional bruto perkapita pada persamaan 1 signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0.05 yang berarti
bahwa peningkatan PDRB perkapita 1 unit akan menurunkan jumlah orang miskin sebesar 0.05 unit dengan asumsi variabel  yang lain konstan. Hal ini berarti setiap
kenaikan  PDRB  perkapita    sebesar  Rp  1  juta  maka  akan  mengurangi  atau menurunkan  persentase  penduduk  miskin  sebanyak  0.05  persen.  Hal  ini
mengindikasikan  pentingnya  mempercepat  pertumbuhan  ekonomi  untuk menurunkan jumlah penduduk miskin.
Peningkatan  pendapatan  perkapita  dalam  level  yang  lebih  rendah  seperti keluarga akan mampu memberikan kesempatan bagi anggata rumah tangga untuk
memperoleh  tingkat  pendidikan  dan  kesehatan  yang  lebih  layak.  Peningkatan pendidikan  seorang indivudu  dengan  sendirinya  akan  meningkatkan  kualitas  dan
kemampuan  dari  invidu  tersebut  untuk  memperoleh  penghidupan  yang  lebih layak.    Peningkatan  standar  hidup  dari  seseorang  akan  mengangkat  individu
tersebut  keluar  dari  garis  kemiskinan  kemiskinan  absolut  dengan  demikian secara  keseluruhan  peningkatan  pendapatan  per  kapita  diharapkan  akan  mampu
mengurangi angka kemiskinan terutama di kabupaten penghasil migas.
Koefisien  variabel  PDRB  perkapita  yang  diperoleh  dari  persamaan  1 mempunyai arah yang sama dengan persamaan 3. Hasil yang berbeda ditunjukkan
persamaan  2  yang  memiliki  arah  koefisien  yang  berbeda  dengan  dua  persamaan sebelumnya.  Pada  daerah  yang  struktur  ekonominya  didominasi  sektor
pertambangan  migas  peningkatan  pendapatan  perkapita  justru  meningkatkan persentase  penduduk  miskin.  Hal  ini  terjadi  karena  peningkatan  PDRB  perkapita
tidak  seluruhnya  mampu  dinikmati  oleh  sebagian  besar  penduduk  di  wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi  yang terjadi akibat peningkatan nilai tambah dari
sektor  pertambangan  migas  hanya  memberi  dampak  relatif  kecil  mengingat penyerapan  tenaga  kerja  di  sektor  ini  pertambangan  migas  jauh  lebih  sedikit
dibanding  sektor  lain  seperti  pertanian  maupun  industri.  Hasil  dari  dari  sektor pertambangan migas lebih berupa dana  bagi  hasil  yang tidak sepenuhnya mampu
dinikmati oleh sebagian besar penduduk di wilayah tersebut. Variabel dana bagi hasil pada persamaan 1 tidak signifikan mempengaruhi
penurunan  kemiskinan  di  daerah  penghaasil  migas.  Hal  ini  diduga  karena sebagian  besar  dana  bagi  hasil  tidak  dialokasikan  untuk  berbagai  program
pengentasan kemiskinan, kalaupun ada jumlahnya relatif terbatas sehingga kurang mampu memberikan dampak yang signifikan bagi pengurangan penduduk miskin.
Pada  sebagian  besar  daerah  penghasil  terutama  yang  berada  di  Provinsi Kalimantan  Timur  dan  Riau,  sebagian  besar  anggaran  daerah  digunakan  untuk
belanja rutin dan porsi terbesar 60-80 adalah untuk gaji pegawai. Variabel  populasi  pada  persamaan  1  diketahui  signifikan  mempengaruhi
kemiskinan  dengan  koefisien  bertanda  positif  yang  berarti  bahwa  peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan persentase orang miskin. Hasil penelitian ini
sesuai  dengan  hipotesa  yang  ada  bahwa  peningkatan  populasi  yang  tidak terkendali  akan  meningkatkan  jumlah  orang  miskin  di  suatu daerah.  Peningkatan
penduduk  sebanyak  1  juta  orang  maka  akan  meningkatkan  persentase  penduduk miskin  sebesar  8.2  persen  cateris  paribus.  Hasil  ini  menunjukkan  perlunya
pemerintah  mengontrol  pertambahan  penduduk,  yang  memang  relatif    besar  di keluarga  miskin.  Untuk  itu,  diperlukan  penggalakan  kembali  program  Keluarga
Berencana dengan fokus pada keluarga miskin Siregar dan Wahyuniarti, 2008.
Pertambahan penduduk yang cepat cenderung berdampak negatif terhadap penduduk  miskin,  terutama  yang  paling  miskin;  mereka  yang  tidak  mempunyai
lahan atau alat produksi sendiri biasanya merupakan korban pertama dari langkah- langkah  penghematan  anggaran  pemerintah  seperti  ketika  pemerintah  terpaksa
membatasi  dana  untuk  program-program  kesehatan  dan  pendidikan.  Todaro dan Smith,  2006.  Peningkatan  penduduk  terutama  di  keluarga  miskin  akan  semakin
memiskinkan  penduduk.  Hal  ini  terjadi  karena  semakin  beratnya  beban  ekonomi harus  yang ditanggung oleh  suatu keluaga dengan jumlah anggota  keluarga  yang
lebih banyak. Variabel  populasi  pada  persamaan  2  dan  3  mempunyai  arah  yang  sama
dengan  persamaan  1.  Perbedaan  terjadi  hanya  pada  besarnya  nilai  koefisien  dari masing-masing  persamaan.  Dari  ketiga  persamaan  yang  ada,  persamaan  3
mempunyai  pengaruh  pertambahan  penduduk  yang  paling  besar  terhadap peningkatan penduduk miskin.
Variabel  persentase  pengangguran  pada  persamaan  1  signifikan mempengaruhi  kemiskinan  dengan  koefisien  bertanda  positif.  Hal  ini  berarti
bahwa  peningkatan  persentase  pengangguran  akan  meningkatkan  persentase penduduk miskin di suatu wilayah. Pada persamaan 1 terlihat bahwa peningkatan
pengangguran sebesar 1 unit akan meningkatkan penduduk miskin sebanyak 0.25 unit  cateris paribus dengan kata lain setiap peningkatan  1 persen pengangguran
maka akan menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 0.25 persen. Besarnya  pengaruh  variabel  penggangguran  terhadap  kemiskinan
menunjukkan  bahwa  sebagian  rumah  tangga  di  daerah  penghasil  migas  memiliki ketergantungan  yang  sangat  besar  atas  pendapatan  gajiupah  yang  diperoleh  saat
ini.  Hilangnya  lapangan  perkerjaan  diperlihatkan  dengan  meningkatkan  angka pengangguran  menyebabkan  berkurangnya  sebagian  besar  penerimaan  yang
digunakan  untuk  membeli  kebutuhan  sehari-hari.  Lebih  jauh,  jika  masalah pengangguran  ini  terjadi  pada  kelompok  masyarakat  berpendapatan  rendah
terutama  pada    kelompok  masyarakat  dengan  pendapatan  hanya  sedikit  berada diatas  garis  kemiskinan  maka  insiden  pengangguran  akan  dengan  mudah
menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin.
Kondisi  kelompok  masyarakat  berpendapatan  rendah  yang  rentan  ini seharusnya  menjadi  perhatian  pemerintah  baik  pusat  maupun  daerah.  Pemerintah
diharapkan  lebih  cepat  tanggap  terhadap  berbagai  kondisi  ekonomi  yang berkembang  saat  ini.  Pemberlakuan  area  bebas  perdagangan  antara  China  dan
ASEAN CAFTAChina ASEAN Free Trade Area harus menjadi perhatian serius terutama  bagi  pemerintah  pusat.  Pemberlakuan  CAFTA  ini  tentunya  akan
mengancam  keberadaan  sejumlah  industri  yang  banyak  menyerap  tenaga  kerja seperti  industri  tekstil  dan  pakaian  jadi.  Sejumlah  produk  China  saat  ini  mulai
membanjiri pasar-pasar termasuk berbagai jenis produk pertanian. Variabel  pengangguran  dari  ketiga  persamaan  memiliki  koefisien  yang
searah.  Hasil  analisis  data  menunjukkan  bahwa  persamaan  2  mempunyai pengaruh  peningkatan  pengangguran  terhadap  jumlah  penduduk  miskin  yang
paling      besar  dibanding  2  persamaan  lainnya.  Pada  persamaan  3  peningkatan  1 persen orang pengangguran akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar
0.14 persen cateris paribus. Variabel  pengeluaran  kesehatan  signifikan  mempengaruhi  kemiskinan
dengan  koefisien  bertanda  negatif  dengan  nilai  -0.009  yang  berarti  bahwa peningkatan 1 unit pengeluaran kesehatan akan mengurangi persentase penduduk
miskin  sebanyak  0.009    unit  jumlah  penduduk  miskin  dengan  kata  lain  bahwa peningkatan  pengeluaran  kesehatan  sebesar  Rp  1  trilyun  maka  akan  mengurangi
jumlah orang miskin sebanyak 9.3 persen cateris paribus. Variabel pengeluaran kesehatan  di  daerah  yang  struktur  ekonominya  didominasi  sektor  pertambangan
migas  persamaan  2  menunjukkan  pengaruh  yang  tidak  signifikan  terhadap penurunan  kemiskinan.  Hal  ini  diduga  karena  pengeluaran  kesehatan  yang
dianggarkan  relatif  terbatas  sehingga  tidak  memberikan  dampak  yang  nyata  bagi penurunan angka kemiskinan di wilayah tersebut.
Pada  studi  yang  lain,  tidak  adanya  cacat  tubuh  karena  lepra  diperkirakan dapat  membuat  pekerja  di  India  mampu  menghasilkan  tiga  kali  lipat  Max  dan
Shepard,  1989.  Selain  itu  hasil  penelitian  Strauss  dan  Thomas  1998 menyimpulkan bahwa kesehatan dan nutrisi memang meningkatkan produktifitas,
dimana perbaikan terbesar dinikmati oleh orang-orang yang sebelumnya memiliki pendidikan paling rendah dan paling miskin.
Peningkatan  kesehatan  akan  berdampak  pada  peningkatan  produktifitas sehingga  mampu  memperoleh  pendapatan  yang  lebih  tinggi  sehingga
meningkatkan  peluang  bagi  seseorang  keluar  dari  kemiskinan.  Implikasinya adalah  pemerintah  pusat  maupun  daerah  harus  mampu  menyediakan  anggaran
kesehatan  yang  cukup  bagi  seluruh  masyarakat  terutama  bagi  golongan masyarakat  miskin.  Pemberian  Jaminan  Kesehatan  Masyarakat  JAMKESMAS
bagi masyarakat yang tergolong miskin di kelas III pada Rumah Sakit Pemerintah merupakan  salah  satu  langkah  nyata  untuk  meningkatkan  kondisi  kesehatan
masyarakat. Variabel  pengeluaran  kesehatan  pada  persamaan  2  dan  3  memiliki  tanda
koefisien  yang  searah  dengan  persamaan  1.  Perbedaan  pada  ketiga  persamaan terletak  pada  besaran  nilai  koefisien  masing-masing  persamaan.  Dari  ketiga
persamaan  tersebut,  persamaan  2  mempunyai  pengaruh  pengeluaran  kesehatan terhadap  penduduk  miskin  paling  besar  diantara  2  persamaan  yang  lain.  Hasil
yang  tidak  signifikan  pada persamaan  2  menunjukkan  bahwa  besarnya  anggaran kesehatan  di  wilayah  tersebut  tidak  sepenuhnya  mampu  menurunkan  persentase
penduduk  miskin  yang  ada.  Hal  ini  diduga  karena  besarnya  anggaran  kesehatan yang ada tidak dialokasikan tepat sasaran.
Variabel penduduk yang lulus SMU pada persamaan 1 terbukti signifikan mempengaruhi  kemiskinan dengan  koefisien bertanda negatif  yang berarti bahwa
peningkatan  jumlah  penduduk  yang  lulus  SMU  akan  menurunkan  jumlah  orang miskin di suatu daerah. Peningkatan jumlah penduduk yang lulus SMU sebanyak
1  persen  akan  menurunkan  penduduk  miskin  sebanyak  0.19  persen  pada persamaan 1, sebanyak 0.02 persen pada persamaan 2 dan sebanyak 0.002 persen
pada persamaan 3 dengan asumsi variabel yang lain tetap. Hasil  ini  menunjukkan  bahwa  kualitas  pendidikan  memegang  peran  yang
penting menurunkan jumlah penduduk miskin. Kemiskinan erat kaitannya dengan kualitas  hidup  yang  rendah  termasuk  didalamnya  kualitas  pendidikan.
Peningkatan  kualitas  pendidikan  diharapkan  akan  meningkatkan  produktifitas seseorang yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan orang tersebut.
Jika  dibandingkan  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Siregar  dan Wahyuniati  2008  mengenai  pengaruh  pertumbuhan  ekonomi,  populasi,  jumlah
penduduk  yang  lulus  SMU  terhadap  penurunan  kemiskinan  di  Indonesia menunjukkan  hasil  yang  relatif  sama  dengan  penelitian  yang  dilakukan  pada
penelitian  ini  kecuali  persamaan  2.  Dari  hasil  analisis  diketahui  bahwa pertumbuhan  ekonomi,  jumlah  penduduk  yang  lulus  SMU  berhubungan  negatif
dengan  kemiskinan  di  daerah  penghasil  migas.  Sementara  itu  variabel  populasi dari  hasil  penelitian  ini  mempunyai  hubungan  yang  positif  dengan  peningkatan
kemiskian  di  daerah.  Perbedaan  kedua  penelitian  ini  disebabkan  karena  adanya perbedaan waktu penelitian, lokasi penelitian dan variabel  yang digunakan dalam
penelitian ini. Pada penelitian ini selain variabel yang digunakan oleh Siregar dan Wahyuniati  ditambahkan  pula  variabel  lain  yaitu  variabel  dana  bagi  hasil  dan
pengeluaran kesehatan. Perbedaan  terjadi  pada  hasil  analisis  mengenai  pengaruh  dana
perimbangan  dalam  hal  ini  dana  bagi  hasil.  Pada  penelitian  ini  diketahui  bahwa pengaruh  DBH  mempunyai  arah  yang  negatif  terhadap  kemiskinan  sementara
pada penelitian  yang dilakukan Skira 2006 justru mempunyai arah  yang positif. Perbedaan  ini  sesungguhnya  bukan  suatu  perbedaan  melainkan  merupakan
kesamaan  karena  indikator  yang digunakan dalam penelitian  ini untuk mengukur tingkat  kemiskinan  berbeda.  Pada  penelitian  di  kabupaten  penghasil  migas
indikator  yang  digunakan  untuk  mengukur  tingkat  kemiskinan  adalah  persentase orang  yang  berada  dibawah  garis  kemiskinan  sementara  dalam  penelitian  Skira
digunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia IPM.
5.3.3  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan