Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas

(1)

PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN

KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI DAERAH PENGHASIL MIGAS

HARIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Maret 2010

Hariyanto NIM H151080314


(3)

ABSTRAK

HARIYANTO. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas. (SRI MULATSIH sebagai Ketua dan SUHARIYANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Pemberlakuan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi fiskal memberikan dampak yang besar terutama bagi daerah penghasil migas sebagai akibat meningkatnya penerimaan daerah melalui dana bagi hasil migas. Peningkatan penerimaan daerah ini seharusnya menjadikan daerah tersebut sebagai daerah yang relatif lebih maju dibanding daerah lain yang miskin sumber daya alam. Namun kenyataannya masih banyak daerah penghasil migas yang memiliki jumlah penduduk miskin yang besar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana struktur perekonomian daerah penghasil migas secara umum, bagaimana pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten penghasil migas, bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupaten penghasil migas, serta ingin pula mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah tersebut.

Penelitian yang dilakukan menggunakan data sekunder tahun 2004-2007. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, tipologi Klassen, indeks Williamson dan analisis data panel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian daerah penghasil migas tidak seluruhnya didominasi oleh sektor pertambangan. Sektor industri atau pertanian justru mendominasi struktur perekonomian di beberapa daerah penghasil migas. Pengelompokkan dengan tipologi Klassen menunjukkan bahwa beberapa kabupaten masuk dalam kabupaten tertinggal seperti Kabupaten Bangkalan, Lamongan, Tuban, dan Karawang.

Hasil penghitungan indeks Williamson menunjukkan bahwa secara umum minyak dan gas bumi berperan dalam meningkatkan disparitas pendapatan antar kabupaten didaerah penghasil migas namun hal ini tidak berlaku di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Hasil analisis data panel menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, jumlah penduduk yang lulus SMU dan anggaran pendidikan signifikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil migas sedangkan populasi dan pengangguran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Variabel populasi dan pengangguran diketahui berhubungan positif terhadap persentase penduduk miskin di daerah penghasil migas, sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi, anggaran kesehatan dan jumlah penduduk yang lulus SMU berhubungan negatif dengan kemiskinan di daerah tersebut. Sementara upah minimum regional dan ekspor diketahui berhubungan positif terhadap ketimpangan pendapatan, sedangkan variabel investasi dan dana alokasi umum berhubungan negatif terhadap ketimpangan pendapatan.

Kata Kunci : Daerah penghasil minyak dan gas bumi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, analisis data panel.


(4)

ABSTRACT

HARIYANTO. Economic Growth, Poverty and Income Inequality in Oil and Gas Producing Region. (SRI MULATSIH as a Chairman and SUHARIYANTO as a member of advisory Committe)

The implementation of regional autonomy accompanied with fiscal decentralization policy provides great impact, especially for oil and gas producing regions as a result of increased local revenues through oil and gas profit sharing funds. The increase of local revenue is supposed to make those regions has better welfare than poor natural resources regions. In reality, there are still a lot of oil and gas producing regions that has a large number of poor population and low economic growth rates.

The objectives of this study are to find out the economic structure of oil and gas producing regions, the pattern of income per capita and economic growth, income inequality among the oil and gas producing regions, and also to analyze what factors affect economic growth, poverty and income inequality in those regions.

The data employed in this study is secondary data during the 2004-2007 period. The methods used in this study are descriptive analysis, Klassen typology, Williamson index and panel data analysis. The results showed that the economic structure of oil and gas producing regions are not entirely dominated by the mining sector. Industrial sector or agricultural sector dominate the economy structure in some regions. Klassen typology shows that some districts such as Bangkalan, Lamongan, Tuban, and Karawang are categorized as undeveloped districts.

Williamson index calculation results show that in general the oil and gas play a role in increasing income disparities among oil and gas producing districts, but this does not apply in the Province of West Java and East Java. The results of panel data analysis showed that variables of local income, profit sharing funds, savings, the number of residents who graduated from high school and the education budget are positive and significantly contributed to economic growth in oil producing areas while the population and unemployment are negatively related to economic growth in the area. Population and unemployment variables are positively related to the percentage of poor people in oil producing areas, while variables of economic growth, health budget and the number of residents who graduated from high school are negatively related to poverty in the region. Regional minimum wage and exports are negatively related to income inequality, while investment and general allocation of funds are positively related to income inequality.

Keywords: Oil and gas producing regions, economic growth, poverty, income inequality, the panel data analysis.


(5)

RINGKASAN

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai sumber daya alam termasuk didalamnya minyak dan gas bumi (migas). Pemberlakuan Undang-Undang perimbangan keuangan memberikan dampak yang besar bagi daerah yang kaya sumber daya alam dengan diberikannya dana bagi hasil sumber daya alam. Besarnya limpahan dana bagi hasil dari pemerintah pusat seharusnya menjadikan daerah penghasil migas sebagai daerah yang relatif lebih maju dalam bidang perekonomian dibanding daerah lain yang miskin sumber daya alam. Namun kenyataannya disejumlah daerah penghasil migas masih terdapat kantong-kantong kemiskinan, bahkan sejumlah kabupaten termasuk dalam kabupaten tertinggal. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana struktur perekonomian daerah penghasil migas secara umum, bagaimana pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten penghasil migas, bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupaten penghasil migas dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah tersebut.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk memberi gambaran tentang struktur perekonomian kabupaten penghasil migas. Analisis tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi daerah penghasil migas. Ketimpangan pendapatan antar wilayah diketahui dengan menggunakan indeks Williamson. Analisis data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah penghasil migas. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder antara tahun 2002-2007 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, Kementerian Negara Daerah Tertinggal dan Bank Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak seluruh kabupaten penghasil migas sruktur ekonominya didominasi oleh sektor pertambangan dengan migas. Di beberapa kabupaten struktur perekonomian kabupaten penghasil migas justru lebih didominasi oleh sektor lain diluar migas seperti sektor pertanian atau industri. Di Kabupaten Sidoarjo dan Kota Bontang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri pengolahan. Sementara kabupaten Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Sarolangun, Tebo, Lahat dan Lamongan struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian.

Penghitungan indeks Williamson sepanjang tahun 2002-2007 menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah cenderung turun dari waktu ke waktu di hampir semua wilayah, kecuali di Provinsi Sumatera Selatan. Ketimpangan pendapatan di propvinsi ini memperlihatkan tren yang meningkat seiring dengan pemekaran wilayah yang terjadi di wilayah ini. Penghitungan indeks Williamson menggunakan pendapatan perkapita dengan migas dan tanpa migas diketahui bahwa migas berdampak negatif dalam meningkatkan ketimpangan antar wilayah. Namun demikian di beberapa daerah peran migas justru menurunkan ketimpangan antar wilayah seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Hal ini dimungkinkan karena struktur perekonomian


(6)

di kedua provinsi tersebut yang lebih didominasi oleh sektor pertanian atau industri.

Berdasarkan analisis tipologi Klassen diketahui bahwa sejumlah kabupaten masuk dalam kelompok daerah tertinggal seperti Kabupaten Bangkalan, Lamongan, Tuban dan Karawang. Kabupaten yang masuk dalam kelompok daerah maju sepanjang tahun 2002-2007 antara lain Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Samarinda dan Bekasi. Dalam kurun 5 tahun beberapa daerah berhasil keluar dari kelompok daerah tertingal menjadi kelompok daerah berkembang antara lain Kabupaten Tebo, Ogan Komering Ulu, dan Lahat.

Pertumbuhan ekonomi signifikan secara positif dipengaruhi oleh variabel pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, jumlah penduduk yang lulus SMU, dan pengeluaran pendidikan. Sedangkan variabel populasi dan pengangguran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kemiskinan signifikan secara positif dipengaruhi variabel populasi dan pengangguran. Variabel pendapatan perkapita, pengeluaran kesehatan dan penduduk lulus SMU negatif mempengaruhi kemiskinan. Sedangkan variabel dana bagi hasil tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan.

Ketimpangan pendapatan positif dipengaruhi oleh variabel upah minimum regional dan ekspor. Variabel investasi dan dana alokasi umum berpengaruh menurunkan ketimpangan pendapatan. Sedangkan variabel dana bagi hasil tidak signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan.

Saran penelitian ini adalah pemerintah daerah penghasil migas hendaknya lebih memprioritaskan penggunaan dana bagi hasil untuk meningkatkan berbagai fasilitas pendidikan dan kesehatan

,

perlunya perbaikan formulasi pemberian dana bagi hasil migas dengan mempertimbangkan kondisi wilayah dan tingkat kemiskinan di masing-masing daerah, perlunya dilakukan perbaikan definisi ”daerah penghasil migas” mengingat banyak daerah penghasil migas yang struktur ekonominya lebih didominasi sektor diluar pertambangan migas dan terakhir penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih jauh penggunaan APBD di masing-masing daerah penghasil migas.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa Mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(8)

PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN

KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI DAERAH PENGHASIL MIGAS

HARIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Judul Tesis : Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas

Nama : Hariyanto

NIP : H151080314

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr Dr. Suhariyanto

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryantono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Ketimpangan di Daerah Penghasil Migas” .

Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terimakasih yang mendalam dan dengan segala hormat kepada :

1. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan segala kesabarannya mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan suatu permasalahan untuk memperoleh alur penulisan yang baik.

2. Dr. Suhariyanto selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, utamanya dalam pemodelan dan sistematika isi tesis.

3. Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M,Si selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan dan pengarahan selama menempuh kuliah di S2 Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

4. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc selaku penguji luar komisi atas saran masukan bagi perbaikan tesis.

5. Para dosen di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala didikan dan pengajarannya. Untuk semuanya itu penulis mendoakan semoga akan menjadi amalan sholeh yang tidak akan putus pahalanya.

6. Dr. Rusman Heriawan, M.Si selaku Kepala Badan Pusat Statistik atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

7. Drs. Ardief Achmad M.M selaku Kepala Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Ir. Rita Setiawati, M.M selaku Kepala Subdit. Statistik Perkebunan atas ijin yang diberikan untuk


(12)

melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

8. Semua rekan seangkatan di Kelas Khusus Badan Pusat Statistik Program Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor untuk semangat dan kebersamaannya selama menjalani kuliah.

9. Para Pejabat Struktural dan rekan sejawat di lingkungan Subdit Statistik Perkebunan Badan Pusat Statistik atas segala bantuan selama penulis menjalani kuliah sampai dengan menyelesaikan tesis ini.

10. Erisman, M.Si selaku mantan atasan penulis yang selalu memberikan semangat dan dukungan untuk terus maju melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

11. Teristimewa kepada orang tua, istri (Iin Suwartini) dan anak-anak (Fathur Nurhafizh, Muhammad Fauzan dan Harish Fadhilah) atas segala do’a dan dorongan yang telah memberikan kekuatan bagi penulis untuk terus melangkah.

12. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan tanpa mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya.

Akhirnya, harapan besar penulis adalah tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dan penelitian, dan secara khusus bagi pembangunan di daerah penghasil migas.

Bogor, Maret 2010 Penulis


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 1973 dari ayah Alm Tukidjan bin Tudarmo dan ibu Kasmini. Penulis merupakan putra ke enam dari delapan bersaudara. Pada tahun 1986 menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 01 Pisangan Timur, Jakarta. Pada Tahun 1989 lulus dari SMP Negeri 44 Jakarta selanjutnya lulus dari SMA Negeri 5 Surakarta pada tahun 1992.

Pada tahun 1997 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada program Diploma III jalur Tugas Belajar di Akademi Ilmu Statistik dan lulus tahun 2000. Tahun 2000 penulis kembali melanjutkan pendidikan pada program Diploma IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan lulus tahun 2001. Tahun 2008 penulis diterima pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Tugas Belajar Badan Pusat Statistik.

Penulis bekerja sebagai staf di Biro Pengolahan Data, Badan Pusat Statistik sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 1995. Sejak tahun 1995 sampai dengan sekarang penulis bekerja di Subdit Statistik Perkebunan, Badan Pusat Statistik.


(14)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... ...xvii

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... ... 1

1.2. Perumusan Masalah... ... 4

1.3. Tujuan Penelitian... ... 5

1.4. Manfaat Penelitian... ... 6

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan... ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA... ... 7

2.1Pertumbuhan Ekonomi ... ... 7

2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik... ... 9

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik Solow... 9

2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen... ...10

2.1.4 Teori Pertumbuhan Kuznet... ...10

2.1.5 Teori Pertumbuhan Harrod Domar... ...11

2.2Kemiskinan ... ...11

2.2.1 Penyebab Kemiskinan ... 12

2.2.1 Dampak Kemiskinan ... 13

2.3Ketimpangan Antar Wilayah ... ...13

2.3.1 Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah ...14

2.3.1 Dampak Ketimpangan Antar Wilayah ...20

2.4Dana Bagi Hasil ... ...20

2.5Daerah Penghasil Migas ... ...22

2.6Daerah Tertinggal... ...22

2.7Penelitian Terdahulu ... ...22

2.7.1 Penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi ...22

2.7.2 Penelitian tentang Kemiskinan ...23

2.7.3 Penelitian tentang Ketimpangan Antar Wilayah ...25

2.8Kerangka Penelitian ... ...26

3. METODE PENELITIAN... ...29

3.1 Jenis dan Sumber Data……….. ... 29

3.2 Analisis Deskriptif……….. ... 29

3.3 Tipologi Klassen……….. . 29

3.4 Indeks Williamson……….. .. 30

3.5 Analisis Ekonometrika……….. 31

3.6 Spesifikasi Model……….. 34


(15)

xiv

4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENGHASIL MIGAS...…………37

4.1Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita... ...37

4.2 Produk Domestik Regional Bruto... ...40

4.3 Potensi Sumber Daya Migas...42

4.4 Kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah... ...45

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ………...…………48

5.1Analisis Disparitas Pendapatan ... ...48

5.1.1 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Indonesia... 48

5.1.2 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Riau ... 49

5.1.3 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Jambi ... 50

5.1.4 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Sumatera Selatan ... 51

5.1.5 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Jawa Barat... 52

5.1.6 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Jawa Timur ... 53

5.1.7 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Kalimantan Timur ... 54

5.2Analisis Tipologi Klassen ... ...56

5.3Analisis Data Panel ... 59

5.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ...60

5.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan ...68

5.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan ...74

5.4 Peran Dana Bagi Hasil terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas ... 80

6. KESIMPULAN DAN SARAN... ...83

6.1 Kesimpulan... ...83

6.2 Saran... ...84

DAFTAR PUSTAKA………. ...85


(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2002-2007 ... 38 2 Pendapatan Perkapita Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2002-2007... 39 3 Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Penghasil

tahun 2007 ... ... 41 4 DBH Migas, DBH perkapita dan persentase DBH Migas terhadap Total

Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2007 ... ... 44 5 Penduduk Miskin, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah

di Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2004-2007 ... ... 46 6 Pengelompokan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Penghasil Migas

Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2002 ... 57 7 Pengelompokan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Penghasil Migas

Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2007 ... 58 8 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2004-2007 ... ... 61 9 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Kemiskinan Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2004-2007 ... ... 68 10 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota Penghasil Migas 2002-2007 ... ... 75 11 Penanaman Modal Asing Menurut sektor di Provinsi Kalimantan Timur


(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kurva Kuznets “U Terbalik” ... ... 14 2 Kerangka Penelitian ... ... 28 3 Perkembangan Indeks Williamson Kabupaten Penghasil Migas

tahun 2002-2007 ... ... 48 4 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Riau tahun 2002-2007 ... 49 5 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jambi tahun 2002-2007 ... 51 6 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Sumatera Selatan

tahun 2002-2007 ... ... 52 7 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat tahun 2002-2007 ... ... 53 8 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2007 ... ... 54 9 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Kalimantan Timur


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Indeks Williamson Kabupaten/Kota Penghasil Migas 2002-2007... ... 88

2 Hasil pengolahan data model persamaan 1 pertumbuhan ekonomi ... ... 91

3 Hasil pengolahan data model persamaan 2 pertumbuhan ekonomi ... ... 92

4 Hasil pengolahan data model persamaan 3 pertumbuhan ekonomi ... ... 93

5 Hasil pengolahan data model persamaan 1 kemiskinan ... ... 94

6 Hasil pengolahan data model persamaan 2 kemiskinan ... ... 95

7 Hasil pengolahan data model persamaan 3 kemiskinan ... ... 96


(19)

I.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia meliputi kekayaan laut berupa hasil ikan dan biota laut, hasil kehutanan, pertanian dan pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Salah satu wilayah yang terkenal sebagai daerah penghasil minyak dan gas bumi yaitu Kalimantan Timur, merupakan provinsi dengan kelimpahan sumber daya alam migas yang luar biasa besarnya sehingga menjadikan provinsi ini sebagai salah satu provinsi dengan jumlah APBD terbesar di Indonesia.

Ditetapkannya Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, yang mulai dilaksanakan sejak awal Januari 2001 merupakan wujud dari desentralisasi aspek finansial. Sejak tahun 2001 pula transfer dana APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan, yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan untuk mengurangi/memperkecil perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Dana perimbangan yang diberikan ke pemerintah daerah terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK). Selain itu khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua diberikan dana perimbangan lain berupa dana alokasi khusus (DAK).

Pemberlakuan desentralisasi fiskal seiring dengan kebijakan otonomi daerah membawa dampak adanya transfer dari pusat kepada daerah dalam bentuk Dana perimbangan yang melonjak drastis, baik secara proporsi maupun jumlah absolut. Dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK) ini berkontribusi kepada lebih dari 85% rata-rata penerimaan kabupaten/kota, dan sekitar 70% rata-rata penerimaan daerah provinsi. Sebagai ilustrasi, ketika memasuki era desentralisasi, jumlah total dana APBD berbagai daerah melonjak menjadi 5 sampai dengan 20 kali lipat dari APBD-nya di tahun-tahun terakhir Orde Baru. Penyebabnya adalah dana perimbangan yang sangat signifikan tersebut (Hirawan, 2007).


(20)

Prinsip pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan ditunjukkan dengan adanya pembagian dana bagi hasil untuk daerah yang lebih proporsional dari bagian dana perimbangan pusat. Pembagian dana bagi hasil bagi daerah terdiri dari bagi hasil sumber daya alam yang ada di daerah tersebut dan dana bagi hasil pajak yang dipungut di daerah itu. Sumber– sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 meliputi pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/29 orang/pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara itu sumber–sumber penerimaan sumber daya alam yang dibagihasilkan terdiri kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No 216/PMK07/2007 tentang penetapan dana bagi hasil migas untuk sekitar 58 kabupaten/kota dan 17 provinsi sebesar Rp 22.1 trilyun dengan perincian sebesar Rp 12.3 trilyun untuk bagi hasil minyak dan Rp 9.8 trilyun untuk bagi hasil gas bumi. Dana sebesar Rp 22.1 trilyun tersebut dibagikan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota penghasil migas dan pemerintah kabupaten/kota bukan penghasil migas yang masih berada dalam satu provinsi. Secara umum daerah kabupaten/kota penghasil migas menerima lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota bukan penghasil migas. Tiga provinsi yang paling banyak menerima dana bagi hasil migas antara lain Kalimatan Timur (Rp 9.2 Trilyun), Riau (Rp 7.5 Trilyun) dan Sumatera Selatan (Rp 2.1 Trilyun).

Dana bagi hasil migas yang besar bagi daerah penghasil migas memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan penerimaan daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah/APBD. Bagi kabupaten tertentu dana bagi hasil migas bahkan memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah hingga 90 persen seperti di Kabupaten Bengkalis. Bahkan Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi salah satu kabupaten terkaya di Indonesia dengan total penerimaan daerah pada tahun 2008 sebesar Rp 4.6 trilyun dengan 50 persen lebih disumbangkan dari penerimaan dana bagi hasil migas.


(21)

3

Namun demikian, besarnya dana bagi hasil migas berbanding terbalik dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sebagian besar kabupaten/kota penghasil migas. Pada tahun 2005, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia Nomor 001/Kep/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal yang telah diupdate datanya hingga tahun 2009 melansir 199 kabupaten tertinggal di Indonesia yang tersebar pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dari 199 kabupaten tertinggal tersebut terdapat sekitar 18 kabupaten penghasil migas yang termasuk dalam kelompok ini dan pada tahun 2007 tercatat sekitar 22 dari 58 kabupaten/kota penghasil migas mempunyai tingkat kemiskinan diatas 20 persen.

Lebih jauh lagi, jika melihat perbandingan capaian pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia pada tingkat nasional tampak bahwa sebagian besar kabupaten/kota penghasil migas masih berada dibawah rata-rata nasional. Pada tahun 2007, seluruh kabupaten penghasil migas di Provinsi Riau memiliki indek pembangunan manusia yang lebih rendah dari pencapaian IPM secara nasional. Kabupaten Bengkalis sebagai kabupaten penghasil migas terbesar di provinsi ini justru memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding pertumbuhan rata-rata provinsi yang mencapai 3.41 persen pada tahun 2007.

Sementara itu kondisi di Provinsi Sumatera Selatan lebih memprihatinkan lagi, dari 5 Kabupaten penghasil migas hanya Kabupaten Ogan Komering Ulu saja yang memiliki indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi dari IPM secara nasional. Empat kabupaten lain memiliki angka IPM kurang dari 70.59. Kondisi yang sama juga tampak pada persentase penduduk miskin di provinsi ini dimana dari 5 kabupaten penghasil migas, 3 diantaranya memiliki persentase penduduk miskin lebih dari 28 persen yaitu Kabupaten Lahat, Musi Banyuasin dan Musi Rawas. Bahkan di Kabupaten Musi Banyuasin, persentase kemiskinan pada tahun 2007 mencapai lebih dari 33 persen atau bisa dikatakan 1/3 penduduk di kabupaten ini berada dibawah garis kemiskinan.


(22)

Perumusan Masalah

Besarnya potensi yang dimiliki oleh kabupaten penghasil migas seharusnya menjadikan wilayah ini sebagai daerah yang lebih maju dibanding daerah lain yang minim sumber daya alam. Pelaksanaan otonomi daerah yang efektif berjalan sejak 1 Januari 2001 memberikan energi baru bagi pembangunan daerah khususnya kabupaten penghasil migas. Pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada daerah otonom yang diikuti dengan pelimpahan sumber daya manusia pendukung dan pendanaan yang cukup besar mendorong pemerintah daerah untuk lebih berperan dalam memajukan daerahnya.

Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengalami peningkatan APBD yang sangat besar. Dalam hal ini pemerintah daerah yang memiliki sumber alam terutama migas sangat diuntungkan dengan munculnya kebijakan desentralisasi fiskal. Peningkatan APBD daerah penghasil migas dengan dikucurkannya dana bagi hasil migas seharusnya menjadikan daerah tersebut sebagai daerah yang memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik dibanding daerah yang minim sumber daya alam migas.

Bila mengamati keadaan kabupaten penghasil migas secara lebih mendalam maka akan tampak kondisi yang sangat mencengangkan. Dari sekitar 58 kabupaten penghasil migas terdapat 18 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Selain itu dari data Badan Pusat Statistik tahun 2007 terdapat sebanyak 22 kabupaten penghasil migas dengan jumlah penduduk miskin lebih dari 20 persen. Kedua hal ini sesungguhnya sangat memprihatinkan banyak kalangan dimana suatu daerah dengan kelimpahan sumber daya alam namun justru menjadi daerah yang tertinggal dan memiliki penduduk miskin yang relatif cukup besar.

Sementara jika kita memperhatikan kondisi perekonomian di wilayah kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Timur sungguh sangat kontras dengan besarnya aliran dana bagi hasil maupun APBD di daerah tersebut. Pada 2007 sejumlah kabupaten di provinsi ini mengalami pertumbuhan ekonomi dibawah nol. Kabupaten/kota tersebut yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara, Nunukan dan Kota Bontang. Besarnya pengaruh sumbangan migas dalam PDRB


(23)

5

ketiga kabupaten/kota tersebut diduga mempunyai peran yang besar terhadap kemunduran perekonomian di daerah tersebut.

Berdasarkan hal diatas maka permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah struktur perekonomian kabupaten/kota penghasil migas secara umum ?

2. Bagaimanakah pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota penghasil migas?

3. Bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota penghasil migas?

4. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota penghasil migas ?

5. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota penghasil migas ?

6. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota penghasil migas ?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Mengkaji struktur perekonomian kabupaten/kota penghasil migas.

2. Mengkaji pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota penghasil migas.

3. Mengkaji ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota penghasil migas. 4. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di

kabupaten/kota penghasil migas.

5. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan di kabupaten/kota penghasil migas

6. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota penghasil migas.


(24)

Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini merupakan wahana untuk mengaplikasikan teori yang telah dipelajari selama ini dengan kenyataan empirik dan menambah ketrampilan serta wawasan penulis dalam menganalisa dampak dana bagi hasil sumber daya alam migas terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah penghasil migas. 2. Sebagai informasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara umum

mengenai kondisi pembangunan di kabupaten penghasil migas.

3. Sebagai informasi yang bermanfaat bagi pemerintah baik pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakannya, terutama yang berkaitan dengan kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan masalah yang menyangkut masalah kemiskinan di daerah penghasil migas.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kondisi wilayah kabupaten penghasil minyak dan gas bumi sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang alokasi dana bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi. Namun demikian karena keterbatasan data yang tersedia maka untuk kabupaten penelitian dibatasi pada 32 kabupaten penghasil migas yang berada di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur dari sekitar 58 kabupaten/kota penghasil migas sedangkan periode waktu penelitian adalah antara tahun 2002-2007. 32 kabupaten/kota yang menjadi wilayah penelitian yaitu : 4 kabupaten di Riau (Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu), 6 kabupaten/kota di Jambi (Batanghari, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo dan Kota Jambi), 4 kabupaten di Sumatera Selatan (Lahat, Musi Banyuasin, Musi Rawas dan Ogan Komering Ulu), 5 kabupaten di Jawa Barat (Bekasi, Indramayu, Karawang, Majalengka dan Subang), 6 kabupaten di Jawa Timur (Sidoarjo, Mojokerto, Bojonegoro, Tuban dan Lamongan) dan 7 kabupaten/kota di Kalimantan Timur (Bulungan, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Nunukan, Bontang, Samarinda dan Tarakan).


(25)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah adalah besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Priyarsono et al, 2007). Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor produksi yang selalu mengalami pertambahan baik jumlah maupun kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal. Disamping itu tenaga kerja juga ikut bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk. Demikian juga halnya dengan teknologi dan mutu pendidikan dari tenaga kerja yang senantiasa berkembang.

Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi kerap kali lebih besar daripada pertambahan produksi yang sebenarnya, sehingga yang terjadi perkembangan ekonomi adalah lebih lambat dari potensinya.

Jika diamati, pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena penting yang dialami dunia dalam dua abad belakangan ini dan oleh Kuznets, proses pertumbuhan ekonomi tersebut dinamakan sebagai modern economic growth. Dalam periode tersebut dunia telah mengalami perubahan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sampai abad XVII kebanyakan masyarakat di dunia ini masih hidup pada tingkat subsisten dan mata pencaharian utamanya adalah di bidang pertanian, perikanan atau berburu. Namun pada saat ini keadaan sudah sangat berbeda.

Taraf kemakmuran suatu masyarakat ditujukan dengan adanya peningkatan di dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengalami peningkatan dan penurunan tergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Para ahli mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi yang


(26)

lambat atau kemunduran ekonomi menimbulkan implikasi ekonomi dan sosial yang sangat merugikan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan para ahli sejak berabad-abad yang lalu mencoba mencari formula untuk meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat.

Pada mulanya ahli-ahli ekonomi pada mahzab Merkantilisme berpendapat bahwa kekayaan emas dan perak merupakan sumber kekayaan dan kemakmuran suatu negara karena itu mereka menyatakan perlunya dilakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Pada Tahap selanjutnya, Adam Smith yang menjadi pelopor dalam pemikiran ekonomi memberikan pandangan bahwa; sistem pasar, perluasan pasar dan spesialisasi serta kemajuan teknologi merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Dengan lebih intensif, penelitian Harrod Domar menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan melalui pertumbuhan modal dan tabungan. Sollow kemudian merumuskan model pertumbuhan ekonomi dari sisi agregat supply dan memasukkan faktor pertumbuhan modal sebagai faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi disamping modal.

Menurut Todaro dan Smith (2006), terdapat sembilan faktor yang menyebabkan perbedaan dalam mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi yaitu:

1. Perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas modal manusia.

2. Perbedaan pendapatan perkapita dan tingkat pendapatan domestik bruto.

3. Perbedaan iklim

4. Perbedaan jumlah penduduk, distribusi serta laju pertumbuhannya. 5. Peranan sejarah migrasi antar wilayah.

6. Perbedaan dalam memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional.

7. Kemampuan melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidang ilmiah dan teknologi.

8. Stabilitas dan fleksibilitas lembaga-lembaga politik dan sosial. 9. Efektifnya lembaga-lembaga ekonomi dalam negeri.


(27)

9

2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik

Dua orang ahli pertumbuhan ekonomi klasik yang terkenal adalah Adam Smith dan Ricardian (dalam Priyarsono et al, 2007) mengemukakan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi klasik dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tingkat perkembangan suatu masyarakat yang tergantung pada empat faktor yaitu jumlah penduduk, jumlah stok modal, luas tanah dan tingkat teknologi yang dicapai.

2. Pendapatan masyarakat dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu upah pekerja, keuntungan pengusaha, dan sewa tanah yang diterima oleh pemilik tanah.

3. Kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan penduduk.

4. Tingkat keuntungan merupakan faktor yang menentukan pembentukan modal.

5. The law of diminishing return berlaku untuk semua kegiatan ekonomi sehingga mengakibatkan pertambahan penduduk yang akan menurunkan tingkat upah, menurunkan tingkat keuntungan tetapi menaikkan tingkat sewa tanah

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik Solow

Model pertumbuhan ekonomi Solow menyatakan bahwa secara kondisonal, perekonomian berbagai negara akan bertemu pada tingkat pendapatan yang sama, dengan syarat bahwa negara-negara tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan produktifitas yang sama. Dalam model pertumbuhan Solow disebutkan bahwa persediaan modal total tumbuh ketika tabungan tumbuh lebih cepat dibandingkan depresiasi (penyusutan) dan modal modal per tenaga kerja tumbuh ketika tabungan juga lebih besar daripada yang diperlukan untuk memasok para pekerja baru dengan jumlah modal yang sama dengan yang dimiliki pekerja yang sudah ada (Todaro dan Smith, 2006).


(28)

Teori pertumbuhan ekonomi Solow ini menunjukkan bahwa tabungan memegang peran yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peningkatan tabungan yang dihimpun oleh lembaga perbankan pada akhirnya akan disalurkan kembali kepada masyarakat untuk membiayai berbagai kegiatan produktif.

2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen

Teori pertumbuhan endogen memiliki kemiripan dengan teori pertumbuhan ekonomi klasik Solow dalam hal menjelaskan peran tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dasar perbedaan dari kedua teori ini adalah asumsi kurva produksi dan tabungan yang digunakan masing-masing teori. Pada teori neoklasik Solow diketahui bahwa fungsi produksi dan tabungan berada pada posisi dimishing marginal product of capital sehingga kurva fungsi produksi dan tabungan yang paralel akan melengkung. Karena garis investasi memiliki slope positif, maka garis investasi dan kurva tabungan akan saling bepotongan.

Berbeda dengan teori pertumbuhan neoklasik Solow, teori pertumbuhan endogen mengasumsikan bahwa fungsi produksi menunjukkan a contant marginal product of capital. Demikian pula halnya dengan fungsi produksi, kurva tabungan yang paralel, kini berupa garis lurus. Karena tidak ada lagi kecenderungan kurva tabungan untuk menurun, maka tingkat tabungan akan selalu lebih besar dari investasi yang dibutuhkan. Semakin besar tabungan maka semakin besar celah tabungan diatas investasi yang dibutuhkan dan semakin cepat pula pertumbuhan ekonomi (Dornbusch et al, 2001).

2.1.4 Teori Pertumbuhan Kuznet

Ahli ekonomi modern, Profesor Kuznet mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai jenis barang ekonomi yang terus menerus meningkat kepada masyarakat. Kemampuan ini tumbuh atas dasar kemajuan teknologi, institusional dan ideologis yang diperlukannya.


(29)

11

2.1.5 Teori Pertumbuhan Harrod Domar

Harrod Domar berpendapatan bahwa perlunya penanaman modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, setiap usaha ekonomi harus menyelamatkan proporsi tertentu dari pendapatan nasional untuk menambah stok modal yang akan digunakan dalam investasi baru. Ada hubungan yang langsung antara besarnya stok modal (K) dan jumlah produksi nasional (Y).

2.2 Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (2007) mendefinisikan kemiskinan dalam dua pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan Relatif didefinisikan sebagai suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran.

Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai kondisi ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah Garis Kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah Garis Kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

Metode yang digunakan untuk menghitung Garis Kemiskinan terdiri atas dua komponen utama yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll). Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan kebutuhan


(30)

minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 komoditi di perdesaan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).

2.2.1 Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material dasar, namun kemiskinan juga terkait erat dengan berbagai dimensi lain kehidupan manusia, misalnya, kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan dan peranan sosial. (BKPKRI, 2001).

Berdasarkan hasil World Summit for Social Development 1995, kemiskinan seseungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh masalah-masalah internal orang miskin seperti : rendahnya pendapatan, rendahnya posisi tawar, budaya hidup yang tidak mendukung kemajuan dan rendahnya kemampuan orang miskin dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun kemiskinan juga berkaitan dengan faktor-faktor eksternal yang berada diluar jangkauan orang miskin, seperti :

1. Rendahnya akses terhadap sumberdaya dasar (pendidikan dasar, kesehatan, air bersih) di daerah terpencil.

2. Adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat yang disebabkan karena sistem yang kurang mendukung.

3. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik. 4. Bencana alam.

5. Kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan

Selain itu kemiskinan juga bisa disebabkan oleh faktor adat dan budaya suatu daerah yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan atau sering disebut sebagai kemiskinan kultural. Padahal indikator kemiskinan tersebut seharusnya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat


(31)

13

kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan karena sosio-kultural pada suku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan dan suku Kubu di Jambi (BPS, 2007)

2.2.2 Dampak Kemiskinan

Menurut Todaro dan Smith (2006), kemiskinan yang meluas dapat mengakibatkan dampak yang negatif bagi pembangunan di suatu daerah antara lain: Pertama, kemiskinan menyebabkan kaum miskin tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, memperoleh akses kredit dan ketiadaan peluang untuk melakukan investasi baik investasi fisik maupun moneter.

Kedua, kemiskinan menyebabkan kaum miskin memiliki standar hidup yang rendah, yang tercermin dari kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga dapat menurunkan produktifitas ekonomi mereka dan akibatnya secara tidak langsung maupun langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat. Ketiga, meluasnya kemiskinan menyebabkan menurunkan permintaan atas barang dan jasa sehingga secara keseluruhan ekonomi akan tumbuh lebih lambat

2.3 Ketimpangan Antar Wilayah

Ketimpangan antar wilayah adalah perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Setiap negara selalu mempunyai wilayah yang maju secara ekonomi dan ada yang tertinggal. Perbedaan ini terletak pada perkembangan sektor-sektor ekonominya, baik sektor pertanian, pertambangan, industri, konstruksi, perdagangan, transportasi, komunikasi, sektor jasa seperti perbankan, asuransi, kesehatan, maupun sektor infrastruktur, perumahan dan lain sebagainya.

Pembangunan wilayah yang merata tidak berarti setiap wilayah mempunyai tingkat pertumbuhan atau perkembangan yang sama, atau mempunyai pola pertumbuhan yang seragam untuk setiap wilayah. Pengertian Pembangunan wilayah yang merata mengarah pada pengembangan potensi wilayah secara menyeluruh sesuai kapasitas dan potensi yang dimiliki, sehingga dampak positif dari pertumbuhan ekonomi terbagi secara seimbang kepada seluruh wilayah atau daerah.


(32)

Pada umumnya negara-negara maju telah mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang seimbang atau relatif merata. Masalah ketimpangan antar wilayah biasanya terjadi di negara-negara berkembang.

Sumber : Syafrizal, 2008

Gambar 1. Kurva Kuznets “U Terbalik”

Menurut hipotesa Neo klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara-negara berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara-negara maju ketimpangan tersebut akan lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk U terbalik (Reverse U Shape Curve) seperti tampak pada Gambar 1. (Syafrizal, 2008).

2.3.1 Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah

Disparitas pembangunan terjadi karena tiga faktor yaitu faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor alami meliputi kondisi iklim pertanian (agro climate), sumber daya alam, lokasi geografi, jarak pelabuhan dengan pusat aktifitas ekonomi dan wilayah potensial untuk pembanguan ekonomi. Sementara faktor-faktor sosial budaya meliputi nilai dan

Kurva Ketimpangan Regional

Tingkat Pembangunan Wilayah Ketimpangan


(33)

15

tradisi, mobilitas ekonomi, investasi dan kewirausahaan. Sedangkan faktor keputusan kebijakan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak langsung membuat terjadinya disparitas pembangunan (United Nations, 2001).

Pertumbuhan ekonomi tinggi yang kurang diimbangi dengan kekuatan-kekuatan redistributif baik secara ekonomi maupun politis akan menimbulkan kesejangan. Kesenjangan ini muncul disebabkan berbagai faktor yaitu sistem sentralisasi negara yang terlalu kuat, sedangkan kekuatan penyeimbang tidak sebanding; kondisi dualisme yang dipertajam dengan kebijakan pemerintah, misalnya kota desa, sektor formal-informal sehingga langsung berhadapan dengan skala besar dan kecil (ekonomi rakyat); adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang bersifat eksploitif, koruptif dan kolusif; kekuatan demokrasi ekonomi dan politik yang belum memadai (Hasibuan, 2001).

Kesalahan-kesalahan kebijakan pembangunan mengakibatkan pembangunan menjadi timpang dan tidak seimbang, dimana satu sektor berkembang jauh lebih cepat dari sektor lainnya. Dalam hal ini dimana sektor ekonomi mendapatkan prioritas tertinggi dalam program pembangunan, para perencana kebijakan cenderung untuk demikian memusatkan perhatian pada faktor ekonomi, sehingga mereka lupa memberi perhatian secukupnya pada segi-segi non ekonomis yang menunjang. Penekanan yang berlebihan pada pembangunan ekonomi seraya mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial atau dengan kata lain terlalu mengutamakan salah satu sektor ekonomi akan menciptakan ancaman bom waktu psikologis dan politis yang dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan. Sebab jurang perbedaan dalam pembangunan sektor-sektor dapat menimbulkan ketegangan dan rasa tidak puas yang selanjutnya akan mengundang reaksi-reaksi politis atau psikologis yang merugikan pembangunan ekonomi (Sumardjan, 1991).

Menurut Williamson (1975) tingkat kesenjangan antar wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :


(34)

a) Labor Migration (perpindahan tenaga kerja)

Perpindahan tenaga kerja antar daerah mungkin sangat selektif karena baik oleh hambatan keuangan daripada tingkat pendapatan yang rendah atau kelambanan tradisonal di masyarakat pedesaan dan daerah non industri yang miskin. Orang-orang yang pindah mungkin ditandai sebagai orang-orang yang bersemangat dan berjiwa kewirausahaan, terdidik dan mempunyai ketrampilan dan dalam umur-umur produktif.

Perpindahan penduduk yang selektif semacam ini akan memberikan penekanan terhadap adanya tendensi kearah terpencarnya pendapatan regional, tingkat partisipasi tenaga kerja, jika yang lain tetap, cenderung akan menguntungkan daerah yang kaya dan merugikan daerah yang miskin. Lebih dari itu, human capital yang berharga cenderung mengalir keluar dari daerah miskin ke daerah kaya yang membuat sumber-sumber regional perkapita yang dimiliki akan lebih pincang dan ketidaksamaan akan lebih besar.

b) Capital Migration (perpindahan modal)

Perpindahan modal swasta secara inter-regional cenderung berakibat buruk. Faedah eksternal ekonomis dan faedah umum yang berasal dari aglomerasi dari proyek-proyek modal di daerah kaya yang menyebabkan berpindahnya modal dari daerah miskin, hal ini cenderung memperhebat ketidaksamaan regional dan memperluas perpecahan antara daerah kaya dan miskin. Resiko yang tinggi, kekurangan kemampuan berwirausaha dan pasar modal yang belum berkembang, boleh jadi akan menekan kegiatan investasi dan akumulasi modal di daerah miskin.

c) Central Government Policy (kebijakan pemerintah pusat)

Pemerintah pusat yang secara terang-terangan atau tidak melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan pembangunan nasional yang menimbulkan peningkatan ketidaksamaan regional, jika keadaan politik di wilayah yang miskin kurang memuaskan maka pemerintah pusat dapat saja mengalihkan investasi dari daerah miskin ke daerah kaya. Hal ini akan menyebabkan kesenjangan yang semakin besar. Tetapi apabila pemerintah pusat cenderung berlaku adil maka kebijaksanaan dapat mengurangi kesenjangan ini juga.


(35)

17

Dengan memperhatikan pola investasi regional pemerintah pusat, hendaknya jelas bahwa setelah pembangunan berlangsung, maka investasi pemerintah diharapkan semakin berkurang dan dalam banyak hal investasi pemerintah akan dibiayai oleh investasi sebelumnya.

d) Interregional Linkages (keterkaitan antar daerah)

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada permulaan pembangunan mungkin efek menyebar dari perubahan teknologi dan perubahan sosial serta penggandaan pendapatan adalah kecil, tetapi selanjutnya diharapkan pada saat pembangunan telah berjalan, peningkatan di suatu daerah akan memberikan efek yang menyebar ke daerah di sekitarnya.

Setiap faktor-faktor diatas atau kombinasinya, boleh jadi cukup menyebabkan ketidaksamaan regional menjadi berkurang ataupun bertambah. Sedangkan ketimpangan antar daerah dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain kecemburuan antar daerah dan berbagai masalah kependudukan (migrasi, urbanisasi, pengangguran dan sebagainya), yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh pada stabilitas nasional.

Menurut Syafrizal (2008), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah antara lain :

a) Perbedaan Kandungan Sumberdaya Alam

Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah. Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan kandungan sumberdaya alam di Indonesia ternyata cukup besar. Ada daerah yang mempunyai minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak mempunyai. Sementara ada daerah yang memiliki kandungan batubara yang melimpah, tapi daerah lain miskin kandungan mineral. Demikian juga dengan tingkat kesuburan lahan yang juga bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah.


(36)

Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan daerah lain yang mempunyai sumberdaya alam yang lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam yang lebih sedikit akan memproduksi barang-barang dengan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumberdaya ini dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah yang lebih tinggi pada suatu negara.

b) Perbedaan Kondisi Demografi

Kondisi demografis juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan antar wilayah. Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.

Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh pada produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik cenderung akan mempunyai produktifitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.

c) Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Mobilitas barang dan jasa yang kurang lancar dapat juga mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut


(37)

19

kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan daerah lain yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. Karena itu tidaklah mengherankan bila ketimpangan antar wilayah seringkali terjadi di negara berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.

d) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena terdapatnya sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas dan batubara. Kedua, meratanya fasilitas transportasi baik darat, laut maupun udara, juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Ketiga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumberdaya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik.

e) Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang mendapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula


(38)

mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi.

Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan cenderung tinggi. 2.3.2 Dampak Ketimpangan Antar Wilayah

Ketimpangan antar wilayah tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai suatu masalah yang sederhana. Ketimpangan antara wilayah yang ekstrim akan menimbulkan beberapa masalah diantara :

1. Ketimpangan antar wilayah dipandang sebagai hal yang tidak adil. Konsentrasi pembangunan pada masa lalu yang lebih menfokuskan pembangunan di Pulau Jawa sehingga mengabaikan pembangunan di wilayah luar Jawa akan menimbulkan rasa ketidakadilan di sebagian besar masyarakat di luar Jawa. Jika hal ini terus menerus dibiarkan akan mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia sebagai suatu negara. 2. Ketimpangan yang terjadi antar wilayah akan menimbulkan ancaman bagi

stabilitas dan keamanan negara. Gerakan separatis yang menginginkan untuk merdeka atau untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu contoh betapa pentingnya ketimpangan antar wilayah harus menjadi perhatian Pemerintah. Hal ini terjadi terutama pada wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah namun tetap memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

2.4 Dana Bagi Hasil

Dana bagi hasil (DBH) merupakan hak daerah atas pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah, yang besarnya atas daerah penghasil (by origin) yang didasarkan atas ketentuan perundangan yang berlaku. Secara garis besar DBH terdiri atas DBH perpajakan


(39)

21

dan DBH sumber daya alam (SDA). Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi pajak penghasilan (pph) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, pertambangan panas bumi, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan.

Berdasarkan PP Nomor 115 tahun 2000, bagian daerah dari PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang pribadi ditetapkan masing-masing sebesar 20 persen dari penerimaannya. Dua puluh persen bagian daerah tersebut terdiri dari 8 persen bagian propinsi dan 12 persen bagian kabupaten/kota. Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah kabupaten/kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan mempertimbangkan berbagai faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan. Sementara itu, sesuai dengan PP Nomor 16 tahun 2000, bagian daerah dari PBB ditetapkan 90 persen, sedangkan sisanya sebesar 10 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, seluruhnya juga sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian sebesar 90 persen tersebut, 10 persen merupakan upah pungut, yang sebagian merupakan bagian pemerintah pusat. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka bagian pemerintah daerah dari penerimaan PBB diperkirakan mencapai 95.7 persen. Sementara itu, bagian dari dari BPHTB, berdasarkan UU nomor 25 tahun 1999 ditetapkan sebesar 80 persen, sedangkan sisanya sebesar 20 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya sudah dikembalikan ke daerah.

Dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan sebesar 15 persen dan 30 persen dari penerimaan bersih setelah dikurangi komponen pajak dan biaya-biaya lainnya yang merupakan faktor pengurang.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f dan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun 2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas bumi, ditetapkan masing-masing 15,5


(40)

persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.

2.5 Daerah Penghasil Migas

Definisi daerah penghasil migas adalah daerah dimana terdapat penerimaan negara dari migas atau daerah dimana terdapat lapangan/sumur yang berproduksi dan ada produk yang dijual (lifting). (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009)

Penggolongan daerah penghasil migas ditetapkan sebagai berikut:  Daerah 0 - 4 mil laut (kabupaten/kota),

 Daerah 4 - 12 mil laut (propinsi)

 Daerah > 12 mil laut (pemerintah pusat).

2.6 Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Penetapan daerah tertinggal menggunakan pendekatan penghitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah (Meneg PDT, 2005).

2.7 Penelitian Terdahulu

2.7.1 Penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi

Brojonegoro (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan dana bagi hasil sumber daya alam maka daerah kaya seperti Kalimantan Timur, Riau dan Aceh akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Sedangkan daerah seperti Papua tidak terpengaruh secara signifikan pertumbuhannya dengan transfer dana bagi hasil SDA. Liu (dalam Haryanto, 2006) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa desentralisasi fiskal memiliki efek positif dan signifikan didalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di China.


(41)

23

Penelitian lain juga dilakukan oleh Faisal (2002) dengan menggunakan data panel di 26 propinsi di Indonesia periode pengamatan 1995 sampai dengan 1999. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya tingkat propinsi di Indonesia.

Haryanto (2006), dalam penelitian dengan menggunakan data kabupaten seluruh Indonesia pada periode waktu 2001 sampai 2004 meneliti pengaruh variabel pendidikan, pengangguran, ketimpangan daerah, infrastruktur, jumlah penduduk dan keterbukaan daerah serta indikator desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari penelitiannya, disimpulkan bahwa variabel pendidikan, ketimpangan wilayah, jumlah penduduk dan infrastruktur mempengaruhi secara postif pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel pengangguran signifikan negatif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Selain itu diketahui bahwa indikator pendapatan asli daerah terbukti positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Sari (2006), dalam penelitiannya mengamati pengaruh perkembangan perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 30 propinsi pada periode 1987-2002. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel tabungan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.7.2 Penelitian tentang Kemiskinan

Balisacan et al (2003) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia dan apa yang ditunjukkan oleh data subnational. Hasil penelitian ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan memiliki hubungan yang kuat untuk tingkat agregat. Penelitian menggunakan metode data panel dengan menggunakan data 285 kabupaten /kota.

Skira (2006) melakukan penelitian yang bertujuan menganalisa hubungan antara desentralisasi fiskal dan kemiskinan di 200 Negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa regresi data panel dengan membentuk model hubungan antara dana perimbangan daerah dan kemiskinan


(42)

dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel proksinya. Variabel lain yang digunakan dalam model ini antara lain pengeluaran Sosial untuk masyarkat miskin, gini ratio, PDB perkapita , kepadatan penduduk, tingkat kelahiran dan persentase penduduk yang lulus sekolah dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana perimbangan daerah, pengeluaran sosial untuk masyarakat miskin, PDB perkapita dan kepadatan penduduk dan persentase penduduk yang lulus sekolah dasar memberikan dampak yang positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sementara itu Gini ratio dan tingkat kelahiran berdampak negative terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Siregar dan Wahyuniarti (2008) dalam penelitiannya mengamati pengaruh pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel lain seperti share sektor pertanian dan industri dalam PDRB, populasi, inflasi, jumlah penduduk yang lulus SMP, SMU, dan Diploma berdampak terhadap penurunan kemiskinan di 26 propinsi antara tahun 1995-2005 dengan menggunakan metode data panel. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, share sektor pertanian dalam PDRB, share sektor industri dalam PDRB, jumlah penduduk yang lulus SMP, SMU dan Diploma berhubungan negatif dengan jumlah kemiskinan. Sedangkan variabel populasi dan inflasi berhubungan positif dengan kemiskinan.

Zulfachri (2006) dalam penelitiannya mengamati pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan terhadap kemiskinan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi berganda. Hasil penelitian ini memberikan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi mendorong perlambatan laju pertumbuhan kemiskinan, sebaliknya ketidakmerataan pendapatan akan meningkatkan laju pertumbuhan kemiskinan.

Alawi (2006) melakukan penelitian pengaruh anggaran belanja pembangunan daerah terhadap kemiskinan dengan menggunakan model regresi data panel sebagai alat analisa. Penelitian yang dilakukan menggunakan data seluruh kabupaten dan kota yang berada di wilayah propinsi Jawa Tengah tahun 2002-2004. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa alokasi pengeluaran untuk

human capital investment belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan kedalaman kemiskinan, walaupun tingkat keparahan kemiskinan dapat dikurangi.


(43)

25

Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk kepentingan menyediakan jaminan sosial telah berhasil memperbaiki tingkat kemiskinan, kedalam kemiskinan dan keparahan kemiskinan.

Fatma (2005) dalam penelitiannya mengamati pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan analisa regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh searah dan signifikan terhadap Head Count Index, Poverty Gap Index dan

Distributionally Sensitive Index. Pengangguran berpengaruh searah terhadap Head Count Index dan Poverty Gap Index tapi berpengaruh tidak searah terhadap

Distributionally Sensitive Index.

2.7.3 Penelitian tentang Ketimpangan Antar Wilayah

LPEM-UI (2001), dalam penelitian mengamati dampak dana bagi hasil sumber daya alam (SDA) dan dana alokasi umum terhadap ketimpangan pendapatan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana bagi hasil SDA memberi dampak yang buruk terhadap disparitas pendapatan antar daerah sementara dana alokasi umum cukup efektif mengurangi disparitas antar daerah.

Syateri (2005), dalam penelitiannya mengamati pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, sumbangan pemerintah pusat dan pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap kesenjangan antar kabupaten/kota di Propinsi Bengkulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel investasi dan tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap kesenjangan antara wilayah. Sementara itu, variabel sumbangan pemerintah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Esmara (dalam Syateri, 2005) yang melakukan studi analisis tentang kesenjangan antar daerah dengan melihat koefisien disparitas Williamson dengan menggunakan data PDRB perkapita dari tahun 1968-1972. Secara umum disimpulkan bahwa dengan menggunakan PDRB dengan migas, kesenjangan antar daerah jauh lebih tinggi dibandingkan PDRB tanpa migas dan selama periode ini baik tanpa migas maupun dengan migas kesenjangan antar daerah cenderung meningkat.


(44)

Uppai dan Handoko (1986) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung menurunkan kesenjangan pendapatan antar daerah dalam kurun waktu 1976-1980, dengan pengecualian tahun 1979. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Karneo dan Rietveldt (1987) dengan menambah perhitungan koefisien disparitas Williamson, yaitu tahun 1975, 1982 dan 1983 menunjukkan adanya kecenderungan kesejangan pendapatan regional yang menaik.

Akita dan Lukman (dalam Syateri, 2005) dalam penelitiannya mengenai ketidakseimbangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan menggunakan data PDB non migas perkapita periode tahun 1975-1992 menemukan bahwa koefisien disparitas (indeks Williamson) nyaris stabil, setelah melalui perubahan yang signifikan terhadap strukturnya. Peranan sektor tersier sangat besar, meskipun dalam waktu berikutnya cenderung menurun. Sedangkan share Gross Domestic Product (GDP) sektor sekunder mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi besarnya koefisien kesenjangan.

Selanjutnya Garcia dan Soelistianingsih (dalam Syateri, 2005) melakukan penelitian tentang terjadinya perbedaan pendapatan propinsi-propinsi di Indonesia yang disebabkan oleh rendahnya indikator kesehatan dan angka melek huruf masayarakat pedesaan dan propinsi-propinsi miskin. Rendahnya indikator kedua aspek tersebut merupakan penyumbang terbesar pada tingkat kesenjangan regional di Indonesia.

2.8 Kerangka Penelitian

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk pembagian dana alokasi umum, dana bagi hasil dan dana alokasi khusus bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Khusus bagi daerah penghasil migas, pemerintah daerah setempat memperoleh dana bagi hasil sumber daya alam minyak dan gas bumi (DBH SDA migas).

Besarnya dana bagi hasil yang diterima dan pengalokasian APBD untuk pengeluaran yang berbeda-beda antar masing-masing Pemerintah Daerah memberikan dampak berbeda pula pada pencapaian tingkat kemiskinan dan


(45)

27

pertumbuhan ekonomi di tiap daerah. Penelitian ini ingin melihat bagaimana struktur perekonomian kabupaten penghasil migas secara umum, dampak migas terhadap ketimpangan pendapatan serta mengamati variabel-variabel yang terkait dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu pada penelitian ini juga ingin dilihat tingkat kemajuan dalam pembangunan daerah menurut tipologi Klassen.

Tentunya kemajuan yang dicapai oleh tiap daerah berbeda satu dengan yang lain. Hal ini tidak terlepas dari besarnya sumber-sumber pendapatan daerah dalam APBD dimana salah satu diantaranya dana bagi hasil. Seberapa jauh ketimpangan pembangunan antar daerah penghasil migas akan dilihat dalam penelitian ini dengan menghitung indeks Williamson ( Gambar 2).


(1)

Tabel 11 Penanaman Modal Asing Menurut sektor di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2007

No Sektor Jumlah

Proyek

Investasi (ribu US$)

Tenaga Kerja

1 Perkebunan 11 157.311 13.397

2 Kehutanan 1 2.000 355

3 Industri Makanan 14 104.688 3587

4 Industri Kimia 1 251.800 -

5 Industri Kertas 2 3.508.970 4.206

6 Industri Kayu 3 64.238 1.249

7 Industri lainnya 2 7.275 133

8 Kontruksi 1 3.508 197

9 Pertambangan 3 3.700 194

10 Perdagangan 18 13.474 655

11 Listrik 1 7.680 22

12 Jasa Lainnya 35 177.896 1.477

Total 92 4.302.543 25.683

Sumber : Badan Promosi dan Investasi Daerah Provinsi Kalimantan Timur

Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel dana alokasi umum (DAU) signifikan mempengaruhi ketimpangan dengan koefisein bertanda negatif yang berarti bahwa peningkatan dana alokasi umum akan menurunkan ketimpangan antar wilayah . Peningkatan dana alokasi umum sebesar 1 unit akan menurunkan ketimpangan pendapatan sebesar 4.50E-09 atau dengan kata lain peningkatan dana alokasi umum sebesar Rp 1 trilyun akan menurunkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.004 poin angka indeks. Hasil ini sesuai dengan hipotesa awal dimana peningkatan DAU akan menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah.

Pemberian Dana Alokasi Umum bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Tujuannya agar pemerintah kabupaten/kota mampu menyediakan layanan masyarakat yang sudah didesentralisasikan, dalam hal kualitas maupun kuantitas, dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Ketimpangan pembangunan antar daerah terutama kesenjangan antar kabupaten di daerah penghasil migas terlihat sangat nyata dengan diberikan dana bagi hasil sumber daya alam. Agar kesenjangan yang ada tidak terus menjadi semakin besar maka untuk mengimbanginya diberikanlah dana alokasi umum.


(2)

80

Hal ini dimaksudkan agar daerah dengan sumber daya alam yang terbatas mampu mengimbangi daerah yang relatif kaya dengan sumber daya alam.

Variabel dana bagi hasil (DBH) tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Hasil yang tidak signifikan ini diduga karena dana bagi hasil dalam persamaan ini merupakan dana bagi hasil provinsi sehingga tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Penggunaan data pada level provinsi ini karena keterbatasan data untuk variabel ekspor dan investasi yang hanya tersedia pada level provinsi sehingga untuk variabel lainnya (UMR, dana bagi hasil dan dana alokasi umum) mengikuti level kedua variabel tersebut.

Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syateri (2005) yang melakukan penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan antar wilayah di Provinsi Bengkulu menyimpulkan bahwa investasi berpengaruh negatif terhadap ketimpangan antar wilayah. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada saat ini. Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh Syateri diketahui bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap ketimpangan antar wilayah.

Perbedaan terjadi pada dana perimbangan daerah dimana pada penelitian ini dana perimbangan yang diikutkan dalam model dibagi menjadi 2 yaitu dana bagi hasil dan dana alokasi umum. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa dana bagi hasil berpengaruh positif terhadap ketimpangan antar wilayah sedangkan dana alokasi umum berpengaruh negatif terhadap ketimpangan antar wilayah. Perbedaan yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan tersebut disebabkan karena oleh adanya perbedaan waktu dan cakupan wilayah penelitian serta penggunaan variabel yang bervariasi misalnya adanya pemisahan variabel dana perimbangan antara variabel dana bagi hasil dan dana alokasi umum serta penggunaan variabel ekspor dan upah minimum regional dalam penelitian ini.

5.4 Peran Dana Bagi Hasil terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas.

Pada beberapa daerah penghasil migas, struktur perkonomian tidak selalu didominasi oleh sektor pertambangan migas. Beberapa daerah memiliki struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian atau sektor industri.


(3)

Perbedaan struktur ekonomi antar daerah penghasil migas ini tentunya berimplikasi pada perbedaan kebijakan yang akan diambil oleh masing-masing daerah. Prioritas pembangunan sektor unggulan daerah akan menentukan percepatan pertumbuhan perekonomian suatu wilayah.

Suatu daerah penghasil migas dengan struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian sejatinya merupakan daerah pertanian. Oleh karena itu agar daerah dengan basis pertanian mampu mengimbangi daerah penghasil migas lainnya maka perlu diambil kebijakan yang mampu meningkatkan nilai tambah dari sektor pertanian sebagai sektor unggulan daerah tersebut. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh daerah lain yang memiliki sektor unggulan seperti industri maupun perdagangan sehingga secara umum seluruh wilayah mampu meningkatkan PDRBnya. Semakin meratanya kemampuan ekonomi antar wilayah dengan keunggulan di masing-masing sektor akan semakin menurunkan ketimpangan pendapatan antar daerah penghasi migas.

Hasil penelitian mengenai dampak dana bagi hasil migas terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa variabel dana bagi hasil migas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di semua kelompok wilayah. Hal ini menandakan bahwa peningkatan dana bagi hasil migas akan memberi dampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi baik di wilayah yang kaya dengan sumber daya migas maupun wilayah yang relatif kurang memiliki sumber daya migas. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar sumber pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil migas berasal dari nilai tambah sektor pertambangan minyak dan gas bumi.

Namun demikian peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari peningkatan dana bagi hasil migas ternyata tidak diikuti oleh penurunan angka kemiskinan yang ada di daerah penghasil migas. Hal ini tampak dari hasil analisis data panel pada model kemiskinan dimana peningkatan dana bagi hasil migas pada semua kelompok wilayah tidak signifikan mempengaruhi penurunan kemiskinan. Kondisi ini diduga karena sebagian besar alokasi dana bagi hasil migas tidak digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi yang memiliki dampak terhadap penurunan kemiskinan seperti sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Pada sebagian daerah penghasil migas seperti di Provinsi


(4)

82

Kalimantan Timur dan Riau struktur pengeluaran pemerintah dalam APBD lebih didominasi oleh pengeluaran belanja rutin yang porsi terbesarnya untuk belanja gaji pegawai.

Pengalokasian anggaran yang tidak tepat sasaran diduga menjadi sebab dana bagi hasil migas tidak berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah orang miskin di daerah penghasil migas. Berapapun besarnya dana hasil migas yang diterima daerah tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan tanpa dibarengi oleh pengalokasian anggaran yang berorientasi pada peningkatan akses pendidikan dan kesehatan. Selain itu peningkatan sarana infrastruktur juga menjadi faktor penunjang yang harus dipenuhi untuk meningkatkan arus barang dan jasa sehingga kesejahteraan masyarakat juga ikut meningkat.


(5)

Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Struktur ekonomi di daerah penghasil migas relatif beragam. Sektor pertambangan dengan migas tidak selalu mendominasi struktur perekonomian daerah.

2. Hasil analisis tipologi Klassen tahun 2002 diketahui bahwa 50 persen kabupaten/kota masuk kelompok daerah tertinggal, sisanya masuk kelompok maju (16 persen), maju tapi tertekan (12 persen) dan berkembang (22 persen). Tahun 2007, 38 persen kabupaten/kota masuk kelompok daerah berkembang, sisanya masuk kelompok daerah maju (12 persen), maju tapi tertekan ( 25 persen) dan tertinggal (25 persen). Pada tahun 2007 beberapa daerah berhasil keluar dari kelompok daerah tertinggal menjadi kelompok daerah berkembang antara lain Kabupaten Tebo, Ogan Komering Ulu, dan Lahat.

3. Penghitungan indeks Williamson tahun 2002-2007 menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah turun di hampir semua wilayah kecuali di Sumatera Selatan. Migas berdampak negatif dalam meningkatkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di daerah penghasil migas kecuali di Jawa Barat dan Jawa Timur.

4. Pertumbuhan ekonomi positif dipengaruhi secara signifikan oleh variabel pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, jumlah penduduk yang lulus SMU, dan pengeluaran pendidikan. Sementara variabel populasi dan pengangguran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. 5. Kemiskinan positif dipengaruhi secara signifikan oleh variabel populasi

dan pengangguran. Variabel pendapatan perkapita, pengeluaran kesehatan dan penduduk lulus SMU negatif mempengaruhi secara signifikan variabel kemiskinan. Variabel dana bagi hasil tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

6. Ketimpangan pendapatan positif dipengaruhi secara signifikan oleh variabel upah minimum regional dan ekspor. Variabel investasi dan dana alokasi umum berpengaruh menurunkan ketimpangan pendapatan.


(6)

84

Variabel dana bagi hasil tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan perbaikan definisi ”daerah penghasil migas” mengingat banyak daerah penghasil migas yang struktur ekonominya lebih didominasi sektor non migas.

2. Pemerintah daerah penghasil migas agar lebih memprioritaskan penggunaan dana bagi hasil untuk meningkatkan berbagai fasilitas pendidikan dan kesehatan sebagai investasi jangka panjang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan mengurangi tingkat kemiskinan.

3. Perlunya perbaikan formulasi pemberian dana bagi hasil migas dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi di masing-masing daerah seperti pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. 4. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih jauh penggunaan