I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia meliputi kekayaan laut
berupa hasil ikan dan biota laut, hasil kehutanan, pertanian dan pertambangan minyak dan gas bumi migas. Salah satu wilayah yang terkenal sebagai daerah
penghasil minyak dan gas bumi yaitu Kalimantan Timur, merupakan provinsi dengan kelimpahan sumber daya alam migas yang luar biasa besarnya sehingga
menjadikan provinsi ini sebagai salah satu provinsi dengan jumlah APBD terbesar di Indonesia.
Ditetapkannya Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, yang mulai dilaksanakan sejak
awal Januari 2001 merupakan wujud dari desentralisasi aspek finansial. Sejak tahun 2001 pula transfer dana APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk dana
perimbangan, yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan untuk mengurangimemperkecil perbedaan kapasitas fiskal antar
daerah. Dana perimbangan yang diberikan ke pemerintah daerah terdiri dari dana alokasi umum DAU, dana bagi hasil DBH dan dana alokasi khusus DAK.
Selain itu khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua diberikan dana perimbangan lain berupa dana alokasi khusus DAK.
Pemberlakuan desentralisasi fiskal seiring dengan kebijakan otonomi daerah membawa dampak adanya transfer dari pusat kepada daerah dalam bentuk
Dana perimbangan yang melonjak drastis, baik secara proporsi maupun jumlah absolut. Dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum DAU, dana
bagi hasil DBH dan dana alokasi khusus DAK ini berkontribusi kepada lebih dari 85 rata-rata penerimaan kabupatenkota, dan sekitar 70 rata-rata
penerimaan daerah provinsi. Sebagai ilustrasi, ketika memasuki era desentralisasi, jumlah total dana APBD berbagai daerah melonjak menjadi 5 sampai dengan 20
kali lipat dari APBD-nya di tahun-tahun terakhir Orde Baru. Penyebabnya adalah dana perimbangan yang sangat signifikan tersebut Hirawan, 2007.
Prinsip pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan ditunjukkan dengan adanya pembagian dana bagi hasil untuk
daerah yang lebih proporsional dari bagian dana perimbangan pusat. Pembagian dana bagi hasil bagi daerah terdiri dari bagi hasil sumber daya alam yang ada di
daerah tersebut dan dana bagi hasil pajak yang dipungut di daerah itu. Sumber– sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan berdasarkan Undang-Undang
No. 33 tahun 2004 meliputi pajak penghasilan PPh Pasal 21 dan Pasal 2529 orangpribadi, pajak bumi dan bangunan PBB dan bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan BPHTB. Sementara itu sumber–sumber penerimaan sumber daya alam yang dibagihasilkan terdiri kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan No 216PMK072007 tentang penetapan dana bagi hasil migas untuk sekitar 58 kabupatenkota dan 17 provinsi
sebesar Rp 22.1 trilyun dengan perincian sebesar Rp 12.3 trilyun untuk bagi hasil minyak dan Rp 9.8 trilyun untuk bagi hasil gas bumi. Dana sebesar Rp 22.1
trilyun tersebut dibagikan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenkota penghasil migas dan pemerintah kabupatenkota bukan penghasil migas yang
masih berada dalam satu provinsi. Secara umum daerah kabupatenkota penghasil migas menerima lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupatenkota bukan
penghasil migas. Tiga provinsi yang paling banyak menerima dana bagi hasil migas antara lain Kalimatan Timur Rp 9.2 Trilyun, Riau Rp 7.5 Trilyun dan
Sumatera Selatan Rp 2.1 Trilyun. Dana bagi hasil migas yang besar bagi daerah penghasil migas
memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan penerimaan daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerahAPBD. Bagi kabupaten tertentu
dana bagi hasil migas bahkan memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah hingga 90 persen seperti di Kabupaten Bengkalis. Bahkan Kabupaten Kutai
Kartanegara menjadi salah satu kabupaten terkaya di Indonesia dengan total penerimaan daerah pada tahun 2008 sebesar Rp 4.6 trilyun dengan 50 persen lebih
disumbangkan dari penerimaan dana bagi hasil migas.
Namun demikian, besarnya dana bagi hasil migas berbanding terbalik dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sebagian besar kabupatenkota
penghasil migas. Pada tahun 2005, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Negara Pembangunan
Daerah Tertinggal Republik Indonesia Nomor 001KepM-PDTI2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal yang telah diupdate datanya
hingga tahun 2009 melansir 199 kabupaten tertinggal di Indonesia yang tersebar pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dari 199 kabupaten tertinggal tersebut
terdapat sekitar 18 kabupaten penghasil migas yang termasuk dalam kelompok ini dan pada tahun 2007 tercatat sekitar 22 dari 58 kabupatenkota penghasil migas
mempunyai tingkat kemiskinan diatas 20 persen. Lebih jauh lagi, jika melihat perbandingan capaian pertumbuhan ekonomi,
tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia pada tingkat nasional tampak bahwa sebagian besar kabupatenkota penghasil migas masih berada
dibawah rata-rata nasional. Pada tahun 2007, seluruh kabupaten penghasil migas di Provinsi Riau memiliki indek pembangunan manusia yang lebih rendah dari
pencapaian IPM secara nasional. Kabupaten Bengkalis sebagai kabupaten penghasil migas terbesar di provinsi ini justru memiliki tingkat pertumbuhan
ekonomi yang lebih rendah dibanding pertumbuhan rata-rata provinsi yang mencapai 3.41 persen pada tahun 2007.
Sementara itu kondisi di Provinsi Sumatera Selatan lebih memprihatinkan lagi, dari 5 Kabupaten penghasil migas hanya Kabupaten Ogan Komering Ulu
saja yang memiliki indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi dari IPM secara nasional. Empat kabupaten lain memiliki angka IPM kurang dari 70.59.
Kondisi yang sama juga tampak pada persentase penduduk miskin di provinsi ini dimana dari 5 kabupaten penghasil migas, 3 diantaranya memiliki persentase
penduduk miskin lebih dari 28 persen yaitu Kabupaten Lahat, Musi Banyuasin dan Musi Rawas. Bahkan di Kabupaten Musi Banyuasin, persentase kemiskinan
pada tahun 2007 mencapai lebih dari 33 persen atau bisa dikatakan 13 penduduk di kabupaten ini berada dibawah garis kemiskinan.
Perumusan Masalah
Besarnya potensi yang dimiliki oleh kabupaten penghasil migas seharusnya menjadikan wilayah ini sebagai daerah yang lebih maju dibanding
daerah lain yang minim sumber daya alam. Pelaksanaan otonomi daerah yang efektif berjalan sejak 1 Januari 2001 memberikan energi baru bagi pembangunan
daerah khususnya kabupaten penghasil migas. Pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada daerah otonom yang diikuti dengan pelimpahan sumber daya
manusia pendukung dan pendanaan yang cukup besar mendorong pemerintah daerah untuk lebih berperan dalam memajukan daerahnya.
Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengalami peningkatan APBD yang sangat besar. Dalam hal ini pemerintah daerah yang memiliki sumber
alam terutama migas sangat diuntungkan dengan munculnya kebijakan desentralisasi fiskal. Peningkatan APBD daerah penghasil migas dengan
dikucurkannya dana bagi hasil migas seharusnya menjadikan daerah tersebut sebagai daerah yang memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik dibanding
daerah yang minim sumber daya alam migas. Bila mengamati keadaan kabupaten penghasil migas secara lebih
mendalam maka akan tampak kondisi yang sangat mencengangkan. Dari sekitar 58 kabupaten penghasil migas terdapat 18 kabupaten yang termasuk daerah
tertinggal. Selain itu dari data Badan Pusat Statistik tahun 2007 terdapat sebanyak 22 kabupaten penghasil migas dengan jumlah penduduk miskin lebih dari 20
persen. Kedua hal ini sesungguhnya sangat memprihatinkan banyak kalangan dimana suatu daerah dengan kelimpahan sumber daya alam namun justru menjadi
daerah yang tertinggal dan memiliki penduduk miskin yang relatif cukup besar. Sementara jika kita memperhatikan kondisi perekonomian di wilayah
kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Timur sungguh sangat kontras dengan besarnya aliran dana bagi hasil maupun APBD di daerah tersebut. Pada
2007 sejumlah kabupaten di provinsi ini mengalami pertumbuhan ekonomi dibawah nol. Kabupatenkota tersebut yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara,
Nunukan dan Kota Bontang. Besarnya pengaruh sumbangan migas dalam PDRB
ketiga kabupatenkota tersebut diduga mempunyai peran yang besar terhadap kemunduran perekonomian di daerah tersebut.
Berdasarkan hal diatas maka permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah struktur perekonomian kabupatenkota penghasil migas
secara umum ? 2.
Bagaimanakah pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupatenkota penghasil migas?
3. Bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupatenkota penghasil
migas? 4.
Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di kabupatenkota penghasil migas ?
5. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada jumlah penduduk miskin di
kabupatenkota penghasil migas ? 6.
Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada ketimpangan pendapatan di kabupatenkota penghasil migas ?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah : 1.
Mengkaji struktur perekonomian kabupatenkota penghasil migas. 2.
Mengkaji pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupatenkota penghasil migas.
3. Mengkaji ketimpangan pendapatan antar kabupatenkota penghasil migas.
4. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di
kabupatenkota penghasil migas. 5.
Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan di kabupatenkota penghasil migas
6. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada ketimpangan pendapatan di
kabupatenkota penghasil migas.
Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Penelitian ini merupakan wahana untuk mengaplikasikan teori yang telah dipelajari selama ini dengan kenyataan empirik dan menambah
ketrampilan serta wawasan penulis dalam menganalisa dampak dana bagi hasil sumber daya alam migas terhadap pertumbuhan ekonomi,
kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah penghasil migas. 2.
Sebagai informasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara umum mengenai kondisi pembangunan di kabupaten penghasil migas.
3. Sebagai informasi yang bermanfaat bagi pemerintah baik pusat dan daerah
dalam merumuskan kebijakannya, terutama yang berkaitan dengan kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan masalah yang
menyangkut masalah kemiskinan di daerah penghasil migas.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kondisi wilayah kabupaten penghasil minyak dan gas bumi sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia tentang alokasi dana bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi. Namun demikian karena keterbatasan data yang tersedia
maka untuk kabupaten penelitian dibatasi pada 32 kabupaten penghasil migas yang berada di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur
dan Kalimantan Timur dari sekitar 58 kabupatenkota penghasil migas sedangkan periode waktu penelitian adalah antara tahun 2002-2007. 32 kabupatenkota yang
menjadi wilayah penelitian yaitu : 4 kabupaten di Riau Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu, 6 kabupatenkota di Jambi Batanghari, Sarolangun,
Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo dan Kota Jambi, 4 kabupaten di Sumatera Selatan Lahat, Musi Banyuasin, Musi Rawas dan Ogan
Komering Ulu, 5 kabupaten di Jawa Barat Bekasi, Indramayu, Karawang, Majalengka dan Subang, 6 kabupaten di Jawa Timur Sidoarjo, Mojokerto,
Bojonegoro, Tuban dan Lamongan dan 7 kabupatenkota di Kalimantan Timur Bulungan, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Nunukan, Bontang, Samarinda dan
Tarakan.
II. TINJAUAN PUSTAKA