Penyebab-Penyebab Terjadinya ESKA

G. Penyebab-Penyebab Terjadinya ESKA

Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak. Walaupun karakteristik setiap daerah tidak persis sama, secara umum faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya ESKA terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT mendaftar faktor-faktor resiko tersebut di dalam buku pedomannya.

Factor-faktor pendorong, antara lain :

1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor pertanian.

2. Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga.

3. Peningkatan konsumerisme.

commit to user

5. Tiadanya kesempatan pendidikan.

6. Tiadanya kesempatan kerja.

7. Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakan hukum.

8. AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa masuk ke perdagangan seks.

Factor-faktor penarik, antara lain :

1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut anak-anak.

2. Pihak berwenang yang korup sehingga terlibat dalam perdagangan seks anak.

3. Permintaan dari industri seks mancanegara yang menciptakan perdagangan seks anak dan perempuan secara internasional.

4. Pernikahan yang diatur di mana pengantin anak perempuan terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah.

5. Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap pelacuran anak.

6. Permintaan dari wisatawan seks dan pedofil.

7. Ketakutan

terhadap AIDS yang membuat pelanggan

menginginkan pelacur yang lebih muda usianya.

commit to user

eksploitasi terhadap anak ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang masih menjadi penyebab utama eksploitasi seksual anak, akan tetapi ternyata ada faktor-faktor non ekonomi yang juga mendorong anak-anak ke eksploitasi seksual komersial. Anak-anak yang paling berisiko menjadi korban ESKA adalah mereka yang sebelumnya telah mengalami pelecehan fisik atau seksual. Sebuah lingkungan keluarga dengan sedikit perlindungan, dimana pengasuh tidak ada atau di mana ada tingkat kekerasan yang tinggi atau tingginya konsumsi alkohol atau konsumsi obat, menyebabkan anak laki-laki dan perempuan lari dari rumah, membuat mereka sangat rentan terhadap tindak pelecehan. Diskriminasi gender dan tingkat pendidikan pengasuh yang rendah juga menjadi faktor risiko. Anak-anak dengan kemiskinan ekstrim dan keluarga terpinggirkan di daerah pesisir juga menjadi korban ESKA.

Seperti yang diungkapkan Prof. Vitit Muntarbhorn dalam International Journal About Children Sexual Exploitation , 2008 :71 : “The abhorrent practices behind the commercial sexual

exploitation of children include rape, murder, abduction, bribery, false marriage, illegal adoption, illegal immigration, bonded labour,extortion and mailorder brides. It may also arise from domestic service,. While the phenomenon affects millions of girls and boys in many settings, it is girls who constitue the majority of the victims, aggravated by deepseated cultural attitudes that discriminate against women and the girl child. The practice or commercial sexsual exploitation of children is both old and new, although th issue has become more accentuated and critical in resent times. In regard to the former, traditional practices rooted include the dedication of girls to temples as sex goddess in various communities they then

commit to user

less positive sid of globalization and the advance of technology and communications have made it more instantaneous and widespread. The more modern side of the child sex trade includes the use of computer bulletin boards and internet to transfer child pornography worldwide, and the growth of sex tourism (Praktek-praktek dibalik eksploitasi seksual komersial anak antara lain pemerkosaan,

penculikan, perampokan, pernikahan semu/kontrak, adopsi illegal, imigrasi illegal, tenaga kerja paksa, pemerasan dan pengantin pesanan. Meskipun fenomena ini menimpa jutaan anak perempuan dan laki-laki dari berbagai latar belakang, namun anak perempuanlah yang mayoritas menjadi korban. Hal ini semakin diperburuk oleh kebudayaan yang mengakar, yang mendiskriminasikan wanita dan anak perempuan. Kasus eksploitasi seksual komersial terhadap anak adalah merupakan kasus lama sekaligus baru, walaupun masalah ini menjadi besar dan kritis akhir-akhir ini. Dalam kaitannya dengan masalah lama, praktek tradisional yang berasal dari sejarah meliputi persembahan anak perempuan di kuil sebagai dewi seks di berbagai komunitas mereka, sehingga menjadikan anak sebagai korban eksploitasi seksual. Dalam kaitannya dengan yang baru, efek globalisasi yang kurang positif dan kemajuan teknologi dan komunikasi telah membuat kasus tersebut menjadi lebih cepat menyebar luas. Perdagangan seks anak yang modern meliputi penggunaan papan bulletin computer dan internet untuk mentransfer pornografi anak dan wisata seks ke seluruh dunia)”

commit to user

Ada 5 bentuk ESKA, yakni prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak.

• Prostitusi Anak : Tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan lain. • Pornografi anak : Pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. • Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual : Proses perekrutan, pemindah- tanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eskploitasi seksual, yang biasanya dilakukan transaksi ke luar pulau atau bahkan sampai ke luar negeri. • Wisata seks anak : ESKA yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak, mereka lebih memilih anak-anak dikarenakan anak-anak masih kurang rentan terhadap virus HIV. • Perkawinan anak atau pernikahan dini : Pernikahan dengan anak, yakni di bawah umur 18 tahun yang memungkinkan anak menjadi korban ESKA, sebab tujuan menikahi anak tersebut untuk menjadikan anak sebagai objek

commit to user

Prostitution, Child Pornography and Traffiking of children for sexsual purposes 2008:22)

commit to user

Implementasi Kebijakan Penanggulangan ESKA (Pendampingan dan Pembinaan)

Indicator : a. Tahapan Awal Sosialisasi b. Rencana Aksi Kota c. Tahapan Pelaksanaan

Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual

Komersial

Eksploitasi Seksual Komersial Anak

(ESKA)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penanggulangan ESKA di Surakarta Indikator:

a. Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn)

b. Sumberdaya (Van Meter & Van Horn) c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan

aktivitas (Van Meter & Van Horn) d. Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn)

e. Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn)

Tujuan:

a. Memberikan rasa aman, nyaman dan tenang kepada anak-anak yang menjadi korban ESKA

b. Mendampingi dan membina anak-anak yang menjadi korban ESKA

c. Memberikan

pembinaan

ketrampilan

kepada anak-anak korban ESKA

commit to user

melakukan penelitian ini, dari awal penulis melihat Fenomena Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) yang saat ini menjadi hal yang sangat rentan dan menakutkan bagi anak-anak dan orang tua itu sendiri, terutama bagi anak perempuan, serta tidak menutup kemungkinan anak laki-laki juga ikut terlibat atau menjadi korban di dalamnya,.khususnya di kota Surakarta sendiri, oleh karena itu dengan adanya PERDA NO 3 TAHUN 2006 tentang “Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial“, diharapkan ESKA dapat diperangi atau dihapuskan. Untuk meneliti implementasi PERDA NO 3 TAHUN 2006 itu sendiri, terdapat tahapan yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu tahapan awal, tahapan RAK dan tahapan pelaksanaan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan penanggulangan eksploitasi seksual terhadap anak-anak tersebut.

Untuk melihat pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota Surakarta maka digunakan tahapan proses pelaksanaan dari BAPERMAS PP, PA dan KB untuk dapat mengamati pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA mulai dari tahapan awal (sosialisasi), tahapan Rencana Aksi Kota hingga tahapan pelaksanaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi selama pelaksanaan penanggulangan akan diamati melalui beberapa indikator dari Model Van Meter dan Van Horn sehingga akan didapatkan keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota Surakarta khususnya daerah kecamatan banjarsari.

commit to user

Meter dan Carl E. Van Horn karena kebijakan penanggulangan ESKA di kota surakarta merupakan tipe kebijakan top-down. Kebijakan tersebut berasal langsung dari atas karena berbagai alasan dari masyarakat yang mengakibatkan harus dibuatnya PERDA tersebut. Kebijakan top-down merupakan proses implementasi dari sisi vertikal dan terpusat; mengikuti struktur hierarki. Pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi.

Dalam pelaksanaan Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dipengaruhi oleh lima variabel dalam mendukung proses implementasi. Kelima variabel tersebut adalah yaitu Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn), Sumberdaya (Van Meter & Van Horn), Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter & Van Horn), Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn), dan Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn).

Kelima variabel tersebut tidak akan dapat berdiri sendiri, karena pada dasarnya variabel-variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi. Sehingga dapat dilihat faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi selama proses pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota Surakarta.

commit to user