Anak Jalanan

E. Anak Jalanan

Fenomena sosial anak jalanan atau biasa yang disebut dengan “Anjal” adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih ada yang memiliki hubungan dengan keluarganya, tapi ada juga yang sudah tidak sama sekali ada hubungan dengan keluarganya. Anak Jalanan, terutama terlihat nyata di kota-kota besar setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Hasil kajian Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar, melaporkan jumlah anak jalanan sebanyak 39.861 anak dan sekitar 48 persen adalah anak-anak

commit to user

sebanyak 60.000-75.000 anak jalanan dan 60 persen putus sekolah serta 80 persen masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18 persen adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kahamilan diluar nikah dan terinfeksi PMS serta HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan, keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan (sweeping) oleh pemerintah kota setempat.

Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah “ anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain” (dalam Dwi Astutik, 2005: 14). Sugeng Rahayu (dalam Dwi Astutik, 2005: 15) berpendapat lain bahwa “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko/kios)”. Menurut Soedijar (dalam Dwi Astutik, 2005: 15), “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 7-15 tahun, bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat membahayakan keselamatan dirinya”. Dalam UU No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak: anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais

commit to user

kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan seksual. Kondisi anak jalanan di kota surakarta dapat kita ketahui melalui pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti. Alasan anak-anak ini turun ke jalan sebagian besar karena masalah ekonomi. Selain itu, juga terdapat alasan lain yang mempengaruhi mereka harus turun ke jalan seperti permasalahan keluarga, permasalahan keluarga itu sendiri memiliki berbagai variasi, antara lain: diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya, kondisi disharmoni keluarga (perceraian orang tua dan brokenhome). Anak-anak yang miskin tidak dapat melanjutkan sekolah, karena adanya batasan biaya dari orang tua mereka yang tidak mampu karena biaya sekolah terlalu mahal. Hal tersebut memaksa mereka anak-anak turun ke jalan untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pemulung. Bahkan tidak jarang banyak juga anak-anak perempuan yang menjadi pekerja seks komersil.

Kehidupan anak-anak jalanan di Kota Surakarta secara jelas dapat ditemui di berbagai wilayah kota, seperti: Perempatan Manahan, Terminal Bus Titonadi, Gilingan, Perempatan Giri Mulyo, Perempatan Ngemplak, Stasiun Kereta Api Solo Balapan, Perempatan Timuran, Perempatan Gemblekan, daerah Pasar Gading, Perempatan Warung Miri, Perempatan Panggung dan daerah belakang Panggung Motor, Taman Jurug, Stasiun Kereta Api Jebres. Sejak pagi hingga malam hari, anak-anak jalanan

commit to user

uang yang hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Adanya beberapa faktor penarik dan pendorong yang mengakibatkan semakin banyaknya anak-anak jalanan di kota Surakarta. Menurut BKSN (dalam Dwi Astuti 2005: 25) faktor penarik terjadinya anak jalanan antara lain :

1) Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.

2)

Diajak teman.

3) Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.

Faktor pendorong pada umumnya berasal dari hubungan dalam keluarga, permasalahan ekonomi pada keluarga yang membuat anak ikut bekerja membantu orang tua mereka. Akan tetapi selain masalah lingkup dalam keluarga, faktor yang berasal dari masyarakat juga memberikan kontribusi bagi maraknya fenomena anak jalanan. Perkembangan pesat pembangunan di kota-kota besar menawarkan berbagai kemudahan hidup sehingga timbul arus urbanisasi yang cenderung tak terkendali. Orang- orang desa yang masuk ke kota membiarkan bahkan menyuruh anak- anaknya mencari nafkah dengan berbagai cara untuk meringankan hidup. Selain faktor-faktor di atas, faktor kesempatan dari masyarakat juga turut memberikan kontribusi yang berarti bagi mereka. Anak-anak yang bekerja

commit to user

hadir karena masyarakat memang membutuhkan dan memberi kesempatan kepada mereka.

Masalah Anak Jalanan adalah permasalahan yang krusial tidak habis-habisnya untuk dibicarakan, seakan-akan sebuah kehampaan belaka apabila menanganinya akan menemukan sebuah lingkaran setan, karena masalah Anak jalanan akan melibatkan masalah ekonomi, kondisi mentalitas masyarakat dan lingkungan dimana anak itu berada. Satu orang Anak jalanan dibina dapat terentaskan akan muncul 2 (dua) Anak atau lebih yang berprofesi sebagai Anak jalanan, dan juga karena Kota Solo adalah interland dari daerah sekitarnya maka semakin hari Anak Jalanan tidak semakin berkurang malah semakin bertambah. Pemerintah Kota Surakarta akan menangani membina serta melindungi Anak Jalanan dengan mengadakan Aksi Kota Penghapusan Anak Jalanan agar Kota Solo kondusif sebagai Kota Layak Anak. Akan tetapi sepertinya hal tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan, dikarenakan factor utama dari keberadaan anak-anak jalanan itu sendiri adalah factor kemiskinan yang menjadi “suburnya” anak-anak jalan di Kota Surakarta.