Tinjauan Kritis Pemikiran Quraish Shihab

4.3 Tinjauan Kritis Pemikiran Quraish Shihab

Dalam hal mempersepsikan perempuan, Quraish Shihab nampaknya sepakat dengan Carol Gilligan sebagaimana dikutip oleh Ritzer, menyatakan bahwa wanita bekerja dari metode

51 Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 381.

52 Quraish Shihab. “Membongkar Hadits-Hadits Bias Gender” dalam Shafiq Hisyam, ed. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Jakarta: JPRR, 1999) hlm. 28.

53 Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 122.

penalaran moral yang berbeda dengan pria. Gilligan membedakan dua gaya etis yang ia sebut sebagai etika kepedulian yang memfokuskan pada pencapaian hasil ketika semua pihak merasa kebutuhannya ditanggapi dan diperhatika n. Hal ini merupakan fokus seorang perempuan yang biasa bekerja dalam rumah tangga yang berusaha memenuhi semua kebutuhan suami dan anak-anaknya. Dan etika keadilan yang bersifat lelaki di mana etika ini

memfokuskan pada tercapainya perlindungan hak-hak yan 54 g sama bagi semua kalangan .

Quraish Shihab sendiri menyatakan bahwa kasih seorang ibu itu tiada batasnya, meski anaknya telah durhaka maka seorang ibu tetap saja akan memaafkan. Berbeda dengan seorang ayah yang takkan lagi mau peduli dengan anaknya jika anaknya tersebut telah

mendurhakainya 55 . Hal ini bisa dilihat dalam konteks etika keadilan yang diungkapkan Gilligan, di mana lelaki memfokuskan pada tercapainya hak dan kewajiban. Contohnya,

ketika anak berbuat kesalahan, maka pasti akan mendapat hukuman dari sang ayah, demi tegaknya keadilan, dan tercapainya hak sang ayah untuk mendidik sang anak melalui metode hukuman. Sedangkan sang ibu lebih mudah untuk memaafkan kesalahan anaknya karena sang ibu lebih memperhatikan si anak yang membutuhkan perlindungan dari kemarahan ayahnya.

Pendapat Quraish Shihab tentang penciptaan wanita dari tulang rusuk berasal dari Kitab Perjanjian Lama, diamini oleh Nasaruddin Umar. Nasaruddin Umar menuliskan berbagai bentuk kosakata yang dipakai al- Qur’an dalam menyebut penciptaan manusia. Seperti al- maa’ yang berarti air, dan 56 al-ardh yang bermakna tanah atau bumi , serta beberapa kosakata lain

yang bermakna tanah liat atau air mani. Kesemua kosa kata yang dipakai al- Qur’an tersebut tidak ada yang berkonotasi dengan kata yang bermakna 57 tulang rusuk . Bahkan dia mengutip

ucapan yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa jika saja tidak ada kisah tentang Adam dan Hawa di dalam Kitab Perjanjian Lama, maka pemikiran tentang peremp uan yang terbuat dari tulang rusuk lelaki tidak akan pernah terlintas dalam pikiran

umat muslim 58 . Nasaruddin Umar juga sepakat dengan Quraish Shihab ketika membicarakan

54 George Ritzer. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm. 787.

55 Wawancara dengan Quraish Shihab. 56 Nasarudin Umar. Paradigma Baru Teologi Perempuan (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) hlm. 26-27. 57 Nasarudin Umar. Paradigma Baru Teologi Perempuan (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) hlm. 31. 58 Nasarudin Umar. Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) hlm. 35.

mengenai hadits yang menyebutkan bahwa perempuan terbuat dari tulang rusuk yang bengkok hanya sebagai kiasan semata. Dia menegaskan dengan fakta sejarah bahwa banyak orang yang masuk Islam dulunya adalah penganut setia ajaran Kristen atau Yahudi. Dan ketika masuk Islam, banyak dari apa yang pernah dipelajari dalam agama-agama tersebut tidak ditinggalkan. Apalagi antara agama Islam dengan Kristen dan Yahudi terdapat beberapa persamaan. Maka tak heran jika kemudian banyak cerita-cerita Israiliyat yang masuk dalam tradisi umat muslim.

Quraish Shihab mengakui bahwa perempuan terkadang memiliki potensi kecerdasan melebihi lelaki, contohnya dalam mengingat hal-hal kecil. Kelebihan ini bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan oleh James Brown, yang menganggap bahwa kemampuan reproduksi perempuan sebagai kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya. Bagi James Brown, pekerjaan rumah tangga yang dilakukan para perempuan adalah pekerjaan yang membosankan dan bisa menumpulkan otak. Brown merasa bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan hanya membutuhkan keterampilan dan tidak memerlukan otak. Pendapat Brown ini didasarkan pada pemikiran masyarakat Eropa yang menganggap perempuan paling banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus rumah tangga, pekerjaan yang dianggap tak memerlukan otak, hanya butuh keterampilan untuk melakukanny a. Seperti halnya yang terjadi di Meksiko dan Brazil, ditunjukkan oleh Arizpe bahwa rendahnya status wanita adalah sebuah konsekuensi logis dari proses industrialisasi. Keberadaan perempuan hanya didasarkan pada keberadaan tenaga kerja perempuan di pabrik yang relatif s edikit, sedangkan peran serta perempuan di sektor pertanian dan perdagangan dalam lingkup mikro tidak di hitung. Akibat dari anggapan ini, konsep domestifikasi perempuan semakin

menguat. 59

Dalam menanggapi domestifikasi perempuan, Quraish Shihab menyatakan bahwa hal tersebut tidak sepatutnya dilakukan. Perempuan boleh saja ikut bekerja membantu suaminya mencari nafkah, dikarenakan tuntutan ekonomi semakin tinggi. Dengan catatan bahwa perempuan tersebut tidak meninggalkan kewajibannya untuk memberi pengasuhan dan pendidikan kepada anak-anak. Quraish Shihab juga tak setuju jika perempuan dikurung di rumah, kecuali perempuan-perempuan yang dikhawatirkan akan berbuat kerusakan jika keluar

59 Kartini Sjahrir. Wanita: Beberapa Catatan Antropologis dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 61.

rumah. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa seorang perempuan muslimah yang ideal dalam pandangan Quraish Shihab adalah mereka yang tak meninggalkan kewajiban mengasuh anak-anak walau sesibuk apa pun mereka, meski Quraish Shihab juga mengakui peran penting ayah dalam pendidikan karakter seorang anak. Namun dengan mengatakan bahwa perempuan memiliki kasih sayang yang tanpa batas, Quraish Shihab seolah ingin mengatakan bahwa tugas ini lebih banyak dibebankan kepada perempuan daripada lelaki. Ungkapannya yang mengatakan bahwa perempuan butuh anak dan takkan sempurna tanpa seorang anak, mengindikasikan sebuah pesan bahwa perempuan tak boleh meninggalkan pengasuhan terhadap anak-anaknya. Bukankah anak-anak tersebut adalah sebab kesempurnaan seorang perempuan? Maka, karena anak adalah sumber kesempurnaan diri seorang perempuan, maka

pengasuhan yang baik tak boleh diabaikan oleh si perempuan itu sendiri 60 . Seperti yang telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya, Quraish Shihab mendukung

hak perempuan untuk terjun di bidang politik. Karena hak berpolitik merupakan salah satu aspek dalam hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap indvidu sejak ia dilahirkan. Pendapat ini bertolak-belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Abu Hamid al-Ghazali bahwa kepemimpinan tidak bisa diserahkan kepada perempuan meskipun perempuan tersebut memiliki kemampuan. Pendapat ini didasari oleh fatwa lainnya di mana perempuan tak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam berbagai hukum. Al-Qasyqandi juga menyetujui pendapat Abu Hamid al-Ghazali ini, dengan menyampaikan argumen bahwa pemimpin memerlukan pergaulan luas dengan orang lain agar dapat bermusyawarah untuk memutuskan sesuatu hal yang penting. Sedangkan perempuan memiliki keterbatasan dalam

pergaulan sehingga ia tidak bisa menjadi pemimpin 61 . Berbicara soal hak, kita tidak bisa melepaskan ini dari konsep HAM yang telah ada

sekarang. Bahwa setiap manusia yang terlahir ke dunia memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya. Betapa banyak kita temui saat ini fenomena anak-anak yang diekspos ke media, atau dipekerjakan di dunia hiburan sehingga mengurangi hak mereka sebagai anak-anak yang seharusnya bisa bermain dan belajar bersama teman-teman sebayanya. Hal yang menarik saat membincangkan mengenai hak adalah ketika kita mengaitkannya dengan fakta-fakta realitas

60 Wawancara dengan Quraish Shihab. 61 Muhammad Anis Qasim Djafar. Aktualisasi Kaum Perempuan dalam Panggung Kehidupan

diterjemahkan oleh Ikhwan Fauzi (Depk: Bina Mitra Press, 2004) hlm. 62-63.

yang ada. Gerakan feminis yang muncul sebagai reaksi atas tindakan diskriminasi gender yang kemudian melayangkan tuntutan-tuntutan kesetaraan di segala bidang, tanpa disadari juga telah melahirkan penindasan terhadap hak dalam bentuk lain. .

Orang-orang yang terlibat dalam gerakan feminis tentunya adalah mereka yang memperoleh pendidikan tinggi yang melihat adanya ketimpangan penempatan kerja sosial antara laki-laki dan perempuan. Karena itu salah satu gerakan feminis awal adalah menuntut upah yang setara antara peker ja lelaki dan perempuan. Kemudian berlanjut pada tuntutan agar kesempatan berkiprah di ranah publik dan politik terbuka bagi perempuan. Kesalahan dari para feminis ini terletak pada generalisasi konsep kesetaraan yang mereka gaungkan, dengan mengindentifikasi diri mereka sebagai pembela kaum perempuan, mereka mengabaikan fakta bahwa tak semua perempuan setuju dengan konsep mereka. Tidak semua perempuan keberatan atas pembagian kerja yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan di dalam rumah mengurus keluarga. Hal ini sudah berlaku umum dan dianggap sebagai sesuatu yang kodrati, bahkan ada perempuan yang menganggap menjadi seorang ibu rumah tangga adalah sumber kebahagiaan bagi mereka tanpa harus menuntut kesempatan untuk berkiprah di luar rumah tangga.

Tak berbeda jauh seperti yang terjadi di Eropa, di mana gerakan feminis yang dipelopori oleh para perempuan kulit putih mendapatkan penolakan dari perempuan- perempuan kulit hitam. Perbedaan ras membuat mereka memiliki pengalaman yang berbeda sebagai kaum yang tersubordinasi dari lelaki. Maka, apa yang diperjuangka n oleh perempuan kulit putih belum tentu bisa membebaskan kaum perempuan kulit hitam yang merasakan penindasan ganda, penindasan jenis kelamin dan penindasan rasial. Demikian pula di Indonesia, gerakan feminis yang diusung oleh Kartini - meski Kartini sendiri tak menyebut dirinya seorang feminis, namun pergolakan pemikirannya menggambarkan penolakan terhadap subordinasi laki-laki atas perempuan yang merupakan agenda utama perjuangan kaum feminis - memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan partisipasi aktif di ranah publik. Di sini kita perlu melihat latar belakang Kartini yang berasal dari keluarga priyayi, sehingga seperti halnya organisasi-organisasi perempuan yang terbentuk setelah kemerdekaan yang digawangi oleh para perempuan dari kalangan elit priyayi, hal-hal yang dituntut adalah mengenai masalah rumah tangga seperti poligami dan kesempatan untuk berkiprah di ranah publik. Bagi kalangan perempuan priyayi, kebutuhan Tak berbeda jauh seperti yang terjadi di Eropa, di mana gerakan feminis yang dipelopori oleh para perempuan kulit putih mendapatkan penolakan dari perempuan- perempuan kulit hitam. Perbedaan ras membuat mereka memiliki pengalaman yang berbeda sebagai kaum yang tersubordinasi dari lelaki. Maka, apa yang diperjuangka n oleh perempuan kulit putih belum tentu bisa membebaskan kaum perempuan kulit hitam yang merasakan penindasan ganda, penindasan jenis kelamin dan penindasan rasial. Demikian pula di Indonesia, gerakan feminis yang diusung oleh Kartini - meski Kartini sendiri tak menyebut dirinya seorang feminis, namun pergolakan pemikirannya menggambarkan penolakan terhadap subordinasi laki-laki atas perempuan yang merupakan agenda utama perjuangan kaum feminis - memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan partisipasi aktif di ranah publik. Di sini kita perlu melihat latar belakang Kartini yang berasal dari keluarga priyayi, sehingga seperti halnya organisasi-organisasi perempuan yang terbentuk setelah kemerdekaan yang digawangi oleh para perempuan dari kalangan elit priyayi, hal-hal yang dituntut adalah mengenai masalah rumah tangga seperti poligami dan kesempatan untuk berkiprah di ranah publik. Bagi kalangan perempuan priyayi, kebutuhan

Perbedaan latar belakang keluarga, lingkungan masyarakat, tingkat pendidikan, dan status sosial menjadi hal yang krusial ketika membincangkan masalah hak dan kewajiban yang dipahami oleh si perempuan itu sendiri. Perempuan di perkotaan tentu memiliki pandangan yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dibandingkan dengan perempuan di pedesaan. Bisa jadi, perempuan di pedesaan menganggap pekerjaan di rumah tangga adalah kewajiban yang melekat pada kodratnya, sedangkan perempuan di perkotaan menganggap hal tersebut bukanlah kewajiban. Perempuan di perkotaan lebih memiliki kesadaran akan identitas dirinya dan menuntut hak yang menurutnya belum dipenuhi, yakni hak kebebasan untuk berkiprah di ruang publik dan membebaskan diri dari pekerjaan domestik yang dianggap mengungkung mereka.

Ketika perempuan yang memperoleh pendidikan lebih tinggi berusaha menghapus diskriminasi dan subordinasi perempuan dari laki-laki dengan cara memaksakan ideologi feminisnya kepada semua perempuan dan menganggap hal tersebut paling benar, ini bisa disebut sebagai kesalahan fatal. Karena jika nilai-nilai yang ditanamkan dalam diri perempuan di pedesaan tentang seorang wanita ideal yang diam di rumah mengurus rumah tangga dicabut, maka ia akan kehilangan norma hidupnya sendiri dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Oleh karena itu, seharusnya bagi perempuan pun ada hak untuk memilih, mengurus rumah tangga, atau bekerja di luar rumah. Semuanya bisa diputuskan sendiri oleh si perempuan sebagai manusia merdeka. Bila seorang perempuan yang memiliki keinginan untuk mengabdikan hidupnya dalam rumah tangga untuk mengurus suami dan anak-anak, kemudian perempuan tersebut dipaksa untuk keluar dari rumah tangga dan bekerja di luar rumah dengan mengatasnamakan emansipasi, yang terjadi adalah diskriminasi bentuk lain.

Bukan diskriminasi dari lelaki terhadap perempuan, melainkan diskriminasi dari perempuan terhadap perempuan.

Salah satu hak yang paling penting dalam hidup seorang manusia adalah hak untuk menentukan hidup dan kehidupannya sendiri. Ketika seorang perempuan memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, maka orang lain tak berhak memaksanya untuk aktif di luar rumah jika perempuan itu sendiri tidak bersedia. Begitu pun ketika kita membicarakan persoalan kepemimpinan perempuan. Menjadi seorang pemimpin adalah hak bagi siapapun, sepanjang ia memiliki kemampuan dan mempunyai kepercayaan dari masyarakat untuk memimpin meski ia adalah seorang perempuan, maka tak seharusnya hak ini dihalang-halangi dengan dalih kondisi biologis perempuan dianggap sebagai kelemahan.

Apabila yang dikhawatirkan bila seorang perempuan menjadi pemimpin maka siklus menstruasi yang mempengaruhi keadaan mentalnya bisa menyebabkan pengambilan keputusan yang salah dalam suatu masalah penting, solusinya ialah memilih seorang wakil laki-laki bagi perempuan tersebut untuk menjalankan tugas-tugasnya. Wakil laki-laki ini harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai karakter si perempuan yang menjadi pemimpin, jadi ia bisa mengetahui kapan si perempuan sedang stabil emosinya dan kapan sedang labil. Sehingga si lelaki ini bisa menutupi kekurangan yang ada dalam diri perempuan karena kodrat biologisnya. Tentu saja, lelaki yang menjadi wakil ini harus orang yang amanah, sehingga pengetahuan tentang perempuan yang menjadi pemimpin itu tidak disalahgunakan olehnya. Sedangkan bagi si perempuan, dia harus sepenuhnya menyadari dan mengakui kondisi mentalnya yang tak stabil jika sedang menstruasi sehingga perlu meminta pertimbangan dengan melakukan musyawarah bersama laki-laki yang menjadi wakilnya. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kesuksesan dalam kepemimpinan tersebut pasti akan tercapai.

Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa lelaki dan perempuan memiliki persamaan dalam beberapa hal menyangkut prilaku yang baik dan kemampuan berpikir benar, terkadang laki-laki mengungguli wanita, terkadang pula sebaliknya. Maka, perbedaan jenis kelamin sesungguhnya tak memiliki pengaruh atas kesuksesan atau kegagalan seseorang. Kedua jenis kelamin bisa saling bekerjasama, bahu membahu untuk mencapai kesuksesan yang diinginkan dengan saling melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh lawan jenisnya. Sebagaimana contoh yang penulis berikan sebelumnya. Jadi, pelarangan kepemimpinan seorang perempuan sudah tak relevan lagi di masa sekarang, mengingat bahwa pendidikan sudah terbuka seluas- Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa lelaki dan perempuan memiliki persamaan dalam beberapa hal menyangkut prilaku yang baik dan kemampuan berpikir benar, terkadang laki-laki mengungguli wanita, terkadang pula sebaliknya. Maka, perbedaan jenis kelamin sesungguhnya tak memiliki pengaruh atas kesuksesan atau kegagalan seseorang. Kedua jenis kelamin bisa saling bekerjasama, bahu membahu untuk mencapai kesuksesan yang diinginkan dengan saling melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh lawan jenisnya. Sebagaimana contoh yang penulis berikan sebelumnya. Jadi, pelarangan kepemimpinan seorang perempuan sudah tak relevan lagi di masa sekarang, mengingat bahwa pendidikan sudah terbuka seluas-

Naqiyah Mukhtar mengatakan bahwa ketidakkonsistenan Quraish Shihab dalam memaknai kata ar-Rijal dalam karyanya, membuktikan suatu teori yang menyatakan bahwa teks tidak pernah steril dari konteks yang melingkupinya, termasuk tafsir Al- Qur’an. Dalam hal ini penulis setuju, pemikiran Quraish Shihab mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tempat ia tumbuh dan memperoleh pendidikan, yaitu keluarga, pesantren dan Universitas al-Azhar Mesir. Ketiga institusi tersebut membentuk pola pikir Quraish Shihab yang mengunggulkan lelaki untuk menjadi pemimpin

dibandingkan perempuan 62 .

Meski Quraish Shihab tak pernah secara eksplisit mengungkapkan keberatannya terhadap pemimpin perempuan, namun dengan beberapa dalih yang ia kemukakan seperti dalih biologis dan nature perempuan, mengisyaratkan bahwa Quraish Shihab menginginkan perempuan tetap pada tugasnya untuk menjadi ibu yang bekerja dalam rumah tangga mengasuh anak-anak dan tak boleh menjadi pemimpin selama suaminya masih ada dan mampu memimpinnya. Jikapun menjadi pemimpin di luar rumah tangga, maka ibu tak boleh meninggalkan kewajiban mengasuh anak.

62 Naqiyah Mukhtar. “Kepala Negara Perempuan Muslimah: Analisis Wacana Terhdapa Tafsir Quraish Shihab.” dalam Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 5 No. 2 STAIN Purwokerto tahun 2011.