Pandangan M. Quraish Shihab tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
4.2 Pandangan M. Quraish Shihab tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
Quraish Shihab memandang kepemimpinan sebagai sebuah tugas pokok manusia sejak ia dilahirkan. Semua manusia adalah pemimpin, minimal ia harus bisa memimpin dirinya sendiri. Beberapa ciri kepemimpinan yang diungkapkan oleh Quraish Shihab:
Seorang pemimpin harus tahu apa tugas yang diembannya Seorang pemimpin wajib memiliki pengetahuan atas apa yang dipimpinnya Seorang pemimpin tidak boleh emosional Seorang pemimpin harus bisa memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin
orang lain Seorang pemimpin harus mencintai apa yang dipimpinnya 34 .
Quraish Shihab mengutip ayat dalam al-Qur'an yang menurutnya bisa menjadi rujukan dalam mengetahui sifat-sifat seorang pemimpin. Yakni Surat al-Baqarah ayat 124:
” Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perinta h dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji- 35 Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".”
Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim dijanjikan Allah untuk dijadikan pemimpin (imam) bagi manusia, kemudian ketika Nabi Ibrahim AS memohon agar anaknya dijadikan
33 Wawancara dengan Quraish Shihab. 34 Wawancara dengan Quraish Shihab. 35 Quraish Shihab. Membumikan Al Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat
(Bandung: Mizan, 1992) hlm. 189.
pemimpin seperti dirinya. Allah memberikan syarat bahwa Dia akan menjadikan keturunan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin dengan syarat bahwa keturunannya bukanlah orang-orang yang berbuat zalim. Keadilan adalah lawan dari kezaliman. Karenanya, seorang pemimpin haruslah orang yang dapat bersikap adil terhadap diri, keluarga, sesama manusia, lingkungan
dan juga adil memberikan hak Allah 36 .
Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Qur'an menyebut kepemimpinan sebagai imamah . Sehingga ia merujuk kepada ayat-ayat yang menyebut tentang imam atau imamah.
Ada beberapa ayat al-Qur'an yang mengandung kata imam atau imamah, namun tak semuanya bicara tentang sifat-sifat terpuji dari kepemimpinan. Quraish Shihab memilih Surat al-Anbiya ayat 73 dan Surat as-Sajdah ayat 24 untuk mendapatkan penjelasan mengenai sifat- sifat terpuji pemimpin dalam al-Qur'an.
Surat al-Anbiya ayat 73:
” Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah,”
Surat as-Sajdah ayat 24:
” Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat- ayat Kami.”
Quraish Shihab menggabungkan kedua ayat tersebut untuk mendapatkan gambaran lima sifat terpuji yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Yaitu yahduna bi amrina (pemimpin harus memberi petunjuk kepada pengikutnya sesuai dengan perintah dari Allah), wa awhayna
36 Quraish Shihab. Membumikan Al Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 190.
dayhim fi'la al-khairat ( pemimpin yang telah menerima wahyu dari Allah harus menyeru kepada pengikutnya untuk berbuat kebajikan), 'abidin (pemimpin yang baik adalah pemimpin yang taat beribadah termasuk shalat dan zakat), yuqinun (meyakini ayat-ayat Allah), dan
shabaru 37 (sabar dan tekun) . Dari kelima sifat tersebut, Quraish Shihab menyatakan bahwa al-shabar (ketekunan
dan kesabaran) dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan seorang manusia menjadi pemimpin bagi manusia lainnya. Seolah sifat inilah yang utama ada dalam diri seorang pemimpin, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan karakter mental dan prilaku dalam keseharian seorang pemimpin. Seorang pemimpin haruslah bisa membawa pengikutnya ke dalam kebahagiaan dna kesejahteraan. Dengan kata lain, seorang khalifah haruslah memiliki sifat-sifat terpuji yang sudah melekat dalam dirinya dan tercermin dalam prilaku serta tutur
katanya sehingga bisa menunjukkan jalan kebahagiaan bagi mereka yang dipimpinnya 38 .
Lebih lanjut, Quraish Shihab juga menjelaskan tugas-tugas seorang pemimpin dengan merujuk kepada surat al Hajj ayat 41:
” (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah- lah kembali segala urusan.”
Mendirikan shalat merupakan bukti kedekatan hubungan antara hamba dengan Allah, zakat adalah manifestasi dari harmonisnya hubungan antar sesama manusia, sedangkan amar ma'ruf nahyi munkar adalah menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh akal, agama dan budaya serta mencegah sesuatu buruk menurut agama, akal dan budaya. Dari hal-hal yang tertera dalam ayat di atas, maka tugas seorang pemimpin adalah menciptakan hubungan
37 Quraish Shihab. Membumikan Al Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 191.
38 Quraish Shihab. Membumikan Al Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 192-193.
masyarakat dengan Allah menjadi harmonis, kehidupan sosial kemasyarakatan berlangsung baik, serta agama, akal dan budayanya terpelihara 39 .
Qur’an Surah An Nisa ayat 34 yang berbunyi :
“Kaum laki -laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” Ayat ini dipahami Quraish Shihab dalam konteks rumah tangga. Yaitu bahwa lelaki adalah
yang paling berhak menjadi pemimpin dalam rumah tangga karena kewajibannya memberi nafkah kepada keluarganya. Hal ini dikatakan oleh Quraish Shihab sebagai imbalan atas kerja kerasnya menafkahi keluarga, maka sudah seharusnya lelaki menjadi pemimpin. Meski dia juga tak menutup kemungkinan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu perempuan bisa saja menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Contohnya jika lelaki sebagai suami tidak bisa memberi nafkah karena cacat atau sakit keras. Di luar hal tersebut laki-lakilah yang harus memimpin di rumah tangga, karena ia bertanggungjawab memberi nafkah dan melindungi
keluarganya 40 . Lelaki membutuhkan istri, dan dia berkewajiban menafkahinya sedangkan perempuan juga membutuhkan suami namun ia tak wajib menafkahi justru dialah yang kebutuhannya harus dipenuhi oleh suami. Inilah yang menurut Quraish Shihab sebagai
alasan logis kepemimpinan laki-laki di dalam rumah tangga 41 .
Quraish Shihab menuturkan bahwa seseorang yang melaksanakan tugas dinamakan qa'im, bila tugas itu dilaksanakan dengan sempurna, berkesinambungan dan berulang-ulang maka dia dianamakan qawwam. Kata qawwam ini sering diterjemahkan sebagai pemimpin, meski tidak menggambarkan keseluruhan makna yang dikehendaki dalam kata qawwam . Di sini, Quraish Shihab mengartikan kepemimpinan sebagai pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan. Maka dari itu, menurut Quraish Shihab perlu digarisbawahi bahwa qawwamah atau kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada
39 Quraish Shihab. Membumikan Al Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 193.
40 Wawancara dengan Quraish Shihab. 41 Quraish Shihab. M. Quraish Shihab Menjawab: 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui
(Jakarta: Lentera Hati, 2010) hlm. 17.
suami tidak boleh membuatnya berlaku sewenang-wenang terhadap istri. Lebih jauh Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kepemimpinan suami atas istri adalah suatu kelebihan yang
dimiliki suami namun juga mengandung tanggung jawab besar. 42 .
Di samping itu, Quraish Shihab juga menyatakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar ia mengarah secara sadar dan sukarela ke tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan mempengaruhi ini bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk perempuan. Perempuan sesungguhnya juga bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga secara tidak langsung ketika ia bisa mempengaruhi keputusan sang suami melalui musyawarah yang menyangkut kepentingan keluarga. Oleh sebab itu, Quraish Shihab menganjurkan kepada para perempuan agar terus memperbaiki kualitas dirinya dengan terus belajar supaya bisa mempengaruhi lelaki dengan argumentasi yang logis dan ilmiah. Perempuan yang seperti ini akan menjadi bintang dalam rumah tangganya, baik bagi suami maupun anak-anaknya, karena ia memiliki kekuatan argumentasi logis yang bisa mempengaruhi keputusan yang diambil suami dan perasaan halus untuk mengasihi keluarganya. Mengenai kepemimpinan perempuan, Quraish Shihab tidak menentang jika seorang perempuan memang memiliki kemampuan untuk memimpin. Maka dari itu, sah-sah saja jika perempuan tersebut menjadi pimpinan sebuah komunitas atau kelompok, dengan syarat bahwa tugas pokoknya yakni memberikan kasih sayang kepada anak dan mendampingi
suami tidak terabaikan 43 . Quraish Shihab menolak pendapat yang menjadikan ayat ini dalil untuk menghalangi
perempuan menjadi pemimpin. Karena baginya, jelas tercantum di lanjutan ayat tersebut yang berbunyi:
.... ْم لا ْمأ ْ م ا ف أ ا بو ” dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
42 Quraish Shihab. Pengantin Al Qur'an: Kalung Permata Buat Anak-Anakku (Jakarta: Lentera Hati, 2007) hlm. 147-148.
43 Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 370-372.
Ayat ini berbicara dalam konteks rumah tangga. Bukan dalam konteks lain. Di luar rumah tangga, Quraish Shihab membolehkan perempuan menjadi pemimpin bagi sesama perempuan ataupun laki-laki. Dengan catatan bahwa perempuan tersebut tidak meninggalkan tugas pokoknya untuk mendidik dan merawat seorang anak dengan penuh kasih sayang. Quraish Shihab tidak menyatakan secara langsung bahwa tugas perempuan adalah di dalam rumah tangga, tapi ia selalu menegaskan bahwa mendidik dan memberi kasih sayang terhadap anak-
anak adalah tugas utama perempuan 44 . Dalam hal mengenai tugas pokok ini, Quraish Shihab berpegang pada surat al-Ahzab ayat 33:
” dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.”
Dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab tidak sependapat dengan Ibnu Katsir melarang perempuan keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Quraish Shihab lebih memaknai ayat ini sebagai sebuah pembagian kerja antara lelaki dan perempuan dengan menitikberatkan penugasan perempuan dalam urusan rumah tangga sebagai tugas pokoknya. Quraish Shihab juga menguti Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa kata waqarna dalam ayat ini bermakna berart, mantap,dan menetap, namun bukan berarti melarang perempuan keluar rumah. Hanya saja, ayat ini mengisyaratkan bahwa tugas pokok perempuan adalah di dalam rumah tangga, sedangkan di luar rumah tangga adalah bukan tugas pokoknya. Adapun pembagian tugas untuk lelaki didasarkan pada Surat al-Jumu'ah ayat 10:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di m uka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- banyak supaya kamu beruntung.”
44 Wawancara dengan Quraish Shihab.
Ayat ini menjadi penegasan bahwa lelaki memang bertugas di luar rumah untuk mencari nafkah, mereka juga diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum'at di Masjid. Sedangkan perempuan tidak diwajibkan untuk shalat di masjid. Malah dianjurkan untuk tetap diam di
dalam rumah 45 .
Laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai kelebihan yang membuat mereka bisa saling melengkapi. Laki-laki tegas, rasional dan kuat. Sedangkan perempuan memiliki sifat keibuan dan kasih sayang yang tanpa batas. Dalam hal kelebihan yang dimiliki oleh kedua jenis kelamin ini, menurut Quraish Shihab kelebihan yang dipunyai laki-laki lebih cocok untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan oleh perempuan yang mengalami siklus menstruasi setiap bulan yang mempengaruhi kondisi mental dan kejiwaan perempuan. Perempuan menjadi lebih emosional dan cepat tersinggung saat sedang datang bulan, oleh karena itu ia tidak bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Merujuk pada bahasan sebelumnya bahwa pemimpin tidak boleh emosional, maka Quraish Shihab menggarisbawahi siklus menstruasi yang dialami oleh
perempuan sebagai sebab mereka tidak bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga 46 . Di sisi lain, Quraish Shihab menentang pandangan yang menganggap keadaan biologis
perempuan seperti menstruasi, melahirkan dan menyusui sebagai halangan untuk mereka terlibat aktif dalam politik praktis. Laki-laki juga ada yang sakit dan tak mampu melaksanakan tugas-tugas politik, namun hal ini tidak dijadikan alasan untuk melarang laki- laki terjun ke politik. Maka, seharusnya perempuan juga tak dilarang untuk berpolitik karena di antara mereka ada yang sudah berhenti siklus menstruasinya, dan juga tak memiliki anak- anak yang harus diasuh sehingga tak menghalangi tugas-tugas kepemimpinan yang mereka
emban 47 .
Quraish Shihab berpegang teguh pada pendapatnya bahwa QS. An-Nisa ayat 34 adalah persoalan kepemimpinan dalam rumah tangga. Dengan beberapa rasionalisasi yang ia berikan seperti rasionalitas laki-laki yang lebih kuat dibanding perempuan, dan siklus menstruasi
45 Quraish Shihab. “Membongkar Hadits-Hadits Bias Gender” dalam Shafiq Hisyam, ed. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Jakarta: JPRR, 1999) hlm. 30.
46 Wawancara dengan Quraish Shihab. 47 Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari
Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 380.
perempuan yang mempengaruhi kestabilan emosi perempuan menjadikan laki-laki lebih layak memimpin. Kemudian, setelah menegaskan hal ini Quraish Shihab menyatakan bahwa pada prinsipnya siapa yang memiliki kecakapan dan kemampuan dalam memimpin maka dialah yang wajar memimpin. Di dalam rumah tangga, kemampuan ini dianggap dimiliki oleh laki-
laki. Di luar rumah tangga, perempuan boleh menjadi pemimpin selama ia mampu 48 . Di sini kita dapat mengetahui pandangan yang berbeda dari Quraish Shihab mengenai
persoalan kepemimpinan perempuan di dalam dan di luar rumah tangga. Di satu sisi, ia mengatakan siklus bulanan perempuan menyebabkan ia tidak bisa jadi pemimpin di rumah tangga, namun di sisi lainnya ia mengatakan bahwa siklus tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalangi perempuan menjadi pemimpin di ruang publik. Ini memperlihatkan bahwa Quraish Shihab tidak menyetujui jika perempuan menjadi pemimpin dalam rumah tangga, dan baginya laki-lakilah yang paling berhak menjadi pemimpin dalam keluarga. Dia memberikan rasionalisasi bahwa tidak ada satupun lelaki di dunia yang mau diketahui oleh masyarakat luas bahwa ia dinafkahi oleh istrinya, demikian pula perempuan, tidak ada seorang perempuan pun yang akan merasa bangga jika diketahui oleh masyarakat luas bahwa
dirinya yang menafkahi suami dan keluarganya 49 . Persoalan nafkah keluarga menjadi hal penting yang menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin keluarga. Quraish Shihab
ingin mengatakan bahwa secara kodrati perempuan lebih nyaman berada dalam perlindungan lelaki dan kebutuhan hidupnya dicukupi oleh lelaki, kodrat inilah yang membuat perempuan
lebih suka dipimpin oleh lelaki dibandingkan menjadi pemimpin 50 .
Quraish Shihab menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk aktif di dalam politik praktis, pun juga memiliki hak untuk menjadi seorang pemimpin. Dia mengutip Surat At-Taubah ayat 71:
48 Quraish Shihab. M. Quraish Shihab Menjawa b: 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2010) hlm. 197-198.
49 Naqiyah Mukhtar. “Kepala Negara Perempuan Muslimah: Analisis Wacana Terhdapa Tafsir Quraish Shihab.” dalam Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 5 No. 2 STAIN Purwokerto tahun 2011.
50 Wawancara dengan Quraish Shihab.
“ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi auliya’ bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ”
Quraish Shihab mengartikan kata auliya’ sebagai suatu bentuk kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangan menyuruh yang ma’ruf berarti menyeru kepada kebaikan, termasuk juga memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa/pemimpin 51 . Hal ini bi sa dilakukan oleh
lelaki mau pun perempuan. Bahkan Rasulullah SAW pun menerima baiat dari kaum perempuan yang merupakan salah satu elemen politis pada masa itu, dan Aisyah RA istri Rasullah sendiri terjun langsung memimpin pasukan pada Perang Jamal, ini membuktikan
bahwa Aisyah sendiri dan para pengikutnya tidak melarang kepemimpinan perempuan 52 .
Mengenai hak keterlibatan perempuan dalam politik praktis tercantum dalam surat al- Baqarah ayat 228:
“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”
Quraish Shihab menggaris-bawahi kata hak di sini termasuk juga hak dalam berpolitik. Kata hak yang mendahului kewajiban bermakna bahwa di samping kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, perempuan juga memiliki hak yang terlebih dahulu harus
dipenuhi sebelum ia mampu melaksanakan kewajibannya 53 . Hak itu antara lain memperoleh pendidikan, pemeliharaan dan perlindungan, serta hak untuk berperan serta dalam politik.